Pertikaian suami istri terus terjadi hingga Wira memilih untuk mengalah. Nyatanya argumen putra tertua tidak sehebat yang dibicarakan orang-orang – para anggota meja rapat. Kebetulan pembelaan dari Kiran dibumbui sebuah ancaman, hanya sedikit di lebih-lebihkan.
Gadis pembuat emosi baru untuknya secara tidak langsung menaklukan kegilaan yang tanpa sengaja ia dapatkan, dan pikirnya penyakit ini akan abadi, terus menguasai serta beriringan dalam setiap gerak-geriknya.
Seulas sunggingan tanpa disadari menunjukkan Wira sebagai pria normal pada umumnya. Rasa kemeja basah yang dingin akibat tercebur seakan hilang, pikiran kotornya kembali pada bentuk unik dan menarik milik sang istri.
“Wira, aku sudah selesai. Cepat ganti bajumu, nanti kau sakit.” seruan Kiran membangunkannya dari dunia fantasy sebuah pikiran. Tubuh mungil itu sekaligus menyebarkan keharuman dari sabun yang biasa ia gunakan. Menjadi aroma kesukaan teman sekamar.
“Iya. Kau sering sekali berte
dukung author dengan cara memberikan permata sebanyak-banyaknya dan rating 5 bintang. jangan lupa tinggalkan komentar kalian setelah membaca ya.
Dengan cepat tetua ARS Corp menghampiri putra sulungnya, membalikkan bahu pemuda itu, lalu hendak mendaratkan kepalan tinju yang ingin menghantam wajah Wira. Berdiam diri akan semakin membuatnya naik pitam. Ketika tangannya siap menyentuh muka Wira, pandangan Wisnu tanpa sengaja tertuju pada gadis pengintip di atas. Mengharuskan perseteruan mereka berakhir. Berikutnya lirikan tajam Wira menangkap gadis pada ujung tangga, menjadikan Kiran salah tingkah, sebentar lagi ia akan diamuk pria aneh sekaligus payah itu. Karena lancang mengetahui urusan tuan muda dan ayahnya. Si istri pun nyengir tanpa dosa. Langkah kecilnya perlahan mundur. “Wira kau seperti monster – mengerikan. Sepertinya aku tidak akan pernah bisa pergi dari rumah ini.” nona muda bergumam mengungkapkan pikirannya. Ia tahu bahkan sangat tahu kalau pria itu tengah mengikutinya, sungguh ia seperti manusia ketakutan, wajah mencekam Wira siap melumpuhkan gadis mungil – seperti dirinya, meskipun
Teman asing Riana hari ini membawa pertanyaan-pertanyaan yang entah itu akan terjawab atau tidak. Kiran mengulik informasi sebanyak mungkin hanya karena keingintahuan dibalik alasan gadis penunggu perpustakaan selalu membahas pernikahan dan ayahnya. “Aku tidak tahu alasanmu sebenarnya, Kiran, yang bahkan aku tidak memahami ucapanmu sedari tadi. Kau dan Arina tidak dekat, bahkan aku masih kurang mengenalimu. Semasa sekolah pun kami tidak mengingatmu.” Tutur Riana. Ia tampak bingung harus dimulai dari mana kisah Arina sebelum kecelakaan. Kiran menunduk lesu, apakah ia menceritakan perjanjian waktu itu sekarang (perjanjian Arina dan Kiran untuk bertukar jiwa)? Namun, bagaimana mungkin Riana percaya. Solusi lainnya tentu diawali perginya Arina di malam sebelum kecelakaan ketika ia bertemu pemuda di sebuah restoran bergengsi. “Ah, baiklah, aku gadis yang pemurah asal kau tahu. Tidak tega melihat wajah cantik itu ditekuk. Silakan tanya apa yang mau kau tanya.” Rian
‘Apa dia pria gila yang terobsesi denganku?’ tuduhan tanpa dasar istri Wira seusai panggilannya dimatikan. Ia bahkan tidak memberitahu apapun tentang Riana – sebatas nama. Rasanya hubungan mereka sedang tidak baik. Di awal pagi suami istri ini tengah bertengkar. Kiran berdiri, melangkah dan mencari manusia tidak tahu diri. Lelaki itu bersembunyi dalam mobil mahalnya, bukan karena ia pengecut – tidak mau menemui Kiran lebih dulu – hanya saja ia tak tahu rumah Riana. Dalam sudut pandang Wira, mencari alamat rumah lebih sulit dari pada perencanaan dan perancangan sebuah mall. Ini sama saja dengan membuang-buang waktu, biarlah urusan seperti itu Aris yang mengurusnya. Dalam satu lirikan saja, Kiran telah menemukan laki-laki penggangu, kendaraannya terlalu mencolok. Para gadis lain akan langsung menggila kala tahu siapa pemiliknya, seakan siluet gagah di sana mengundang untuk dilihat. Kiran masuk mobil dengan cepat. “Wira, apa maumu?” nada bicaranya sudah kesal.
“Tuan?” sang sekretaris berbalik, menegur tuannya yang masih berdiri diam di ambang pintu ruang rapat. Wira tertinggal lima langkah dari Aris. “Anda baik-baik saja?” ia mendapati raut terkejut seorang yang tersadar dari lamunan. “Perlu kita tunda pertemuannya?” “Tidak-tidak. Kita harus melakukannya hari ini.” Tuan muda melangkah melewati sekretaris. Semua anggota rapat segera bangun memberi salam hormat dari posisi masing-masing kepada pemimpin pertemuan ini. Aris yang disebut tangan kanan CEO Ars Corporation berdiri di samping Wira. Ada tiga petinggi sebagai perwakilan Digital Local System (DLS), perusahaan yang diusahakan Wira agar bergabung dengannya. Perusahaan muda yang cukup dikenal kalangan bisnis kecil menengah. Wira memperhatikan satu per satu petinggi perusahaan DLS, mereka terbilang muda. Keputusannya tepat, jiwa muda dalam berbisnis bisa mengantarnya pada puncak keberhasilan. Universitas dan sekolah tinggi negeri ini sangat mampu mencetak
“Aku ikut ayah.” Kiran berucap di luar dugaan. Istri manisnya memilih Lukman secara terang-terangan. Apakah Wira saja yang berpikir jika Kiran tidak akan pergi bersama pria di sana? Pria yang dipanggil ‘ayah’ tetapi dengan sukarela menawarkan sang putri kepada laki-laki sakit seperti dirinya. Kiran juga sudah tahu alasan mereka menikah, adalah Lukman menjadikan gadis itu layaknya pengganti untuk kerugian bisnisnya. Pria tak tahu malu itu pun menggunakan Linda sebagai alasan. Wira begitu gusar, ia bahkan tidak paham perasaan apa ini. Egois? Benarkah apa yang dikatakan papa waktu itu? Lirikan tajam netra cokelat seakan memiliki dorongan – merebut istrinya. Tapi... apakah sikap itu akan disukai Kiran? Wira sangat bimbang. Wisnu sedikit terkejut mendapati putra tertuanya tengah berdiri tak jauh. “Wira, cepat sekali kau pulang? Ada yang ketinggalan? Biasanya kau menyuruh Aris untuk mengambilnya.” Seolah ia benar-benar tidak tahu. Nyatanya, tuan ini waswas melihat
“Ada masalah pada foto itu, sayang?” “Bibi itu…” “Kenapa dengan bibi Sarah? Apa mereka menemuimu tanpa sepengetahuanku, Kiran?” Lukman tahu adiknya – Sarah – tidak menyukai Kiran. 'Benar, mereka masih saudara Kiran'. “Em… Ya! Kami bertemu di minimarket.” “Mereka mengganggumu?” Lukman langsung mengecek bagian tubuh putrinya, khawatir. Kiran menjawab berupa gelengan. “Tidak sampai seperti itu, ayah.” senyum manisnya meneduhkan. ‘Aku baru sadar, selama ini aku belum pernah melihat ibu Kiran. Apa dia perempuan yang cantik?’ Ia ingin menanyakan, namun pertanyaan itu bisa berupa kesalahan fatal, mengakibatkan timbulnya kecurigaan bagi Lukman. “Kiran, ayo.” Ajak Lukman. Ia telah berada di depan gadis itu, mereka akan mengunjungi kamar putri rumah ini yang sudah ditinggal sebulan belakangan. Sembari mengikuti ayahnya berjalan, menantu keluarga Arasatya masih penasaran tentang Sarah dan gadis berparas C
Teman sekamar menghubungi gadisnya melalui pesan, Wira terlihat ke sana ke mari menunggu sebuah balasan. Dia layaknya pemuda jatuh cinta yang sedang menunggu jawaban gadis incaran.*Apa?Bergegas Wira mengecek balasan dari gadis penuh pesona.*Kau baik-baik saja? apa dia melukaimu? (Wira)Kiran membaca sambil terheran, apa maksudnya?*Tentu saja.*Hubungi aku kalau membutuhkan sesuatu. (Wira)Hanya tanda pesan telah dibaca yang tuan muda saksikan, gadisnya tak membalas lagi. Secercah harapan agar obrolan ini panjang menjadi ketidakmustahilan. Wira menjatuhkan handphonenya ke atas ranjang. Menggeram sendiri.Ia memukul-mukul bantal di sebelah. “Kau laki-laki payah. Payah. Payah. Memberi tahu yang sebenarnya saja tidak bisa. Lukman pria licik asal kau tahu, Kiran, jangan terlalu percaya dengannya.”***‘Kenapa aku tidak bisa bertemu Kiran di perpustakaan?’Arina terjaga setelah percoba
“Em… nona apa kau melupakan sesuatu?” akhirnya Dani bertanya. “Melupakan sesuatu? Kurasa tidak.” “Kurasa, ya. Biasanya nona sibuk bertanya aku ingin minum apa, tanpa kujawab pun nona tahu kesukaanku.” Dani semakin mencurigai temannya. Perbedaan mereka terlalu mencolok. Bola mata hitam Kiran bergerak ke kiri kanan – memikirkan kebohongan lagi. “Ma-mana mungkin aku lupa. Aku sengaja melakukannya untuk mengetesmu. Kukira kau tidak akan menanyakannya.” Putri Lukman berdalih. “Baiklah, mau minum apa? Nanti aku buatkan untukmu.” “Apa kau benar-benar nona Kiran?” tanya Dani lagi. Kiran tertegun sesaat. “Te-tentu saja.” ia terkekeh, namun kekehan yang terkesan memaksa. “Apa wajahku ini tampak berbeda, Dani?” putri Lukman mendekatkan wajahnya – sembari terpejam. Seketika jantung pemuda itu tak terkendali, tapi untunglah… ia berhasil kembali dalam kenormalan. “No-nona, anda terlalu dekat.” Dengan cepat Kiran menjauh. “Ehem…
Kecelakaan tak terkira dan seolah takdir buruk bagi Wira Arasatya, harus disembunyikan dari muka publik. Wisnu yang seorang pemilik nama terpandang tidak mungkin membiarkan kasus buruk mencoreng Ars Corporation.Kecurigaan dari masyarakat yang mengamati berita tersebut terus menjadi bahan ocehan. Dan tentu saja Wisnu tidak ingin putranya menjadi konsumsi publik – sebab kasus itu merupakan berita buruk, di mana putra sulung Arasatya menyetir dalam keadaan mabuk. Mudah sekali untuk media yang haus akan kasus para konglomerat.Namun, saat itu kasus Wira seolah lenyap. Para reporter dan penulis berita juga enggan mengambil risiko.***Pagi ini tuan muda menemui Jimmy, ia semakin penasaran dengan otaknya yang terkadang sengaja mengingat kejadian memilukan. Memori perempuan bergaun merah serta seringainya membuat pria yang memiliki tekanan jiwa – akan hal itu – semakin bermunculan.“Kebiasaan barumu ya datang tanpa menelepon dulu? Tidak sulit kalau menyuruh asistenmu berbicara padaku barang
[SEBELUM PERNIKAHAN] “Aris. Kau pulang saja, aku bisa menyetir sendiri.” Tuan muda memerintah sekretaris. Menikmati segelas alkohol pertama sedikit membuat tenggorokan tersengat, Wira beberapa kali mendesah. Malam akhir pekan. Kala itu… untuk pertama kalinya Wira dan Aris minum bersama, tuan muda mulai merasa jenuh dengan kehidupannya yang monoton. Liburan? Ia habiskan untuk bekerja dan dituntut oleh ambisi-ambisi yang harus ia capai. “Tidak. Bisa-bisa kau mabuk. Aku tidak mau ada apa-apa denganmu!” Sembari Aris menolak tawaran minum untuk gelas keduanya. “Kau sudah bekerja keras, luangkan waktumu untuk istirahat.” Wira terdengar memaksa. Tuan muda sengaja menyewa kamar hotel – tanpa seorang pun pengganggu. Beserta botol minuman beralkohol dengan harga tinggi. Kehidupannya yang berbeda atau bahkan di mata orang-orang tampak aneh, hanya dia dan Aris. Para kolega direktur Ars Corporation mulai mempertanyakan pernikahan putra tertua Arasatya, sungguh memuakkan kata-kata yang kelua
Wira merasakan lehernya tercekat, seakan udara sulit menetralkan dadanya, penyesalan dan rasa bersalah datang kian membesar.‘Apa hubungannya kejadian itu dengan Kiran?’ ia benar was-was.Putra tertua Arasatya berusaha mengontrol dirinya untuk memudahkan suara keluar dengan sempurna.“A-apa gadis di mimpimu meninggal?” cara bicaranya yang pelan sekaligus ragu.Sesuai apa yang ditakuti Wira, perempuan di depannya mengangguk. Dadanya seolah bergemuruh, namun ingatan tentang Kiran tetap di sampingnya ketika ia berbicara kisah gadis bermidi dress – memberi sedikit ruang lega.‘Ternyata kejadian memilukan itu adalah diriku sendiri, takdir hendak memberitahuku dengan cara mendatangkan mimpi tersebut. Bagaimana bisa ingatanku tentang kehidupan sebelumnya bisa terlupakan?’ Kiran semakin tidak mengerti.“Mi-mirip sekali dengan gadis yang aku tabrak.” Ucapan Wira setengah berbisik.“Apa?” Sialnya Kiran bisa mendengar. Hanya saja ia terkejut.“Lupakan.” Titah pria itu.Ada setitik curiga dalam b
“Berapa lama lagi aku berada ditubuhmu? Kemungkinan terburuknya jiwaku akan mati mengikuti jasadku?”Gadis di balik meja menundukkan pandangan, “Aku tidak tahu. Setelah perjanjian yang kita sepakati, begitu saja aku di tempatkan di perpustakaan ini.”“Jika jiwamu terkurung di sini, bukan tidak mungkin ia akan kembali bukan? Kalau benar asumsiku, cepat atau lambat aku akan mati, Kiran. Dan perjanjian itu untuk pertama kali aku menyesalinya. Aku merasa dimanfaatkan! Tidak. Ini tidak adil bagiku.” Arina memundurkan langkah perlahan.Gadis penunggu perpustakaan klasik masih termenung, gurat wajahnya tetap datar seperti biasa. Kulit putihnya bersinar, memancarkan cahaya dalam sekejap. Tiba-tiba gadis itu berada tepat di depan jiwa Arina.“Darahmu sudah menjadi saksi perjanjian, dan kau manusia yang terpilih untuk bertukar jiwa denganku.”***“Da-darah?” Kiran berjiwa Arina terjaga dari mimpi. Dada itu seakan sesak di iringi napas yang terengah.Bayangan gadis bermidi dress hitam kemarin ke
“Kalau begitu kau boleh pergi.” Wira berkata cepat. Ia bisa menjadi manusia setengah mati kalau benar-benar Kiran melakukan ucapannya tadi. Membayangkannya saja membuat Wira sesak napas.‘Ternyata kau sungguh takut dengan perempuan ya?’ Kiran tersenyum miring, asumsinya semakin menunjukkan kebenaran.Kemudian tubuh mungil menurut Wira pun melenggang pergi.Sementara itu, lelaki di sofa menyambar gelas berisi air putih di samping – lalu meminumnya. Tenggorokan yang basah berhasil menyisihkan sedikit kecemasan.Kemudian hening.Rumah besar terasa kembali seperti pertama kali Wira menapakkan kaki ketika Jimmy memperbolehkannya pulang. Semua orang terlihat enggan berbicara pada si sulung. Di saat malam tiba, mimpi buruk menghantui Wira kecil.Ketakutan serta tangisan terdengar pilu bagi seorang ibu. Ningrum tak bisa berbuat apa-apa selain terisak hingga tak bersuara lagi.Rakin lah orang yang mampu mengajak s
Misteri kapan kembalinya jiwa Kiran ke tubuh yang digunakan sosok Arina saat ini semakin membuat kepala menantu keluarga Arasatya berdenyut.Rasanya ia tidak rela pergi dari tubuh ini.‘Kalau Kiran meminta badannya kembali, lalu jiwaku akan berpindah ke mana? Apa aku bisa mati mengikuti jasad seorang Arina yang terkubur?’ pikirnya. ‘Aku harus bagaimana? Jika Kiran benar-benar memaksaku memberikan tubuh ini, sama saja dia egois bukan? Tidak ada untungnya bagiku. Lebih baik dari awal aku tidak menerima tawarannya’. Ia mulai goyah pada perjanjian di antara mereka.Seperti angin menyelinap ke dalam ingatan, Kiran teringat teman dekat – Riana. Sesuatu yang mengganjal akhir-akhir ini.‘Aku tidak bisa percaya sepenuhnya sebelum melihat langsung kuburan tubuhku.’ Tubuh Arina yang ia maksud. ‘Apa aku bisa membujuk Riana?’ Kiran berpikir sambil memainkan kuku ibu jari tangan, sedikit menggigitinya pelan.
“KAU TIDAK TIDUR?” Wira terkejut bukan main, layaknya pencuri yang ketahuan.“Aaaa…. Kau mengejutkanku Wira!” gadis di depannya berteriak juga.Dengan segera putra tertua Arasatya kembali ke tempat tidurnya – ia tampak menyembunyikan kegelisahan.Kamar yang awalnya sunyi semakin menambah kesunyiannya, pasangan suami istri muda tidak saling sapa lagi.“Ku-kukira kau sudah mendengkur, Kiran.” Wira membuka pembicaraan mereka lebih dulu.“Mendengkur? Bagaimana bisa aku mendengkur, tidur saja tidak.” istri Wira merapatkan selimutnya – di iringi kekesalan. “Kau juga kenapa mendekatiku? Kau mau mesum ya?” Kiran menambah tuduhan.“Enak saja! Aku kan tidak bisa disentuh sembarang orang.”“Itu kan kalau kau yang disentuh. Akan berbeda jika kau menyentuh lebih dulu.” Balas istrinya. Wira pun tak bisa menyanggah. Ia termangu untuk sesaat sambil
“Iya, baiklah. Bisakah kau duduk terlebih dahulu. Kepalaku sakit melihat ke atas terus.” Wira meminta sembari matanya menangkap sesuatu yang kemerahan pada wajah Kiran. Ia sedari tadi sadar akan hal itu. Hanya saja pengetahuannya yang kurang – pria ini tidak tahu penyebab munculnya rona di pipi seorang gadis. “Terlalu dekat?” Kiran bertanya sesaat setelah ia duduk. Khawatir Wira memberikan peringatan lagi. “Tidak.” “Wira. Aku melakukan kesalahan, ya?” Netranya masih enggan menatap lawan bicara. Putri Lukman tetap menunduk. “Aku minta maaf. Sungguh aku tidak tahu kalau kau tidak suka denganku. Bahkan kau membuatku ketakutan, kukira kau tidak akan bangun lagi.” “Memangnya kalau aku tidak bangun lagi kau akan menangis sampai tak bersuara?” pria kaku ini melempar candaan. “Tentu saja!” diiringi pandangannya yang terangkat. “Walaupun kau aneh, kau kan suamiku.” Wira kembali terkekeh. Ternyata istrinya begitu lucu. “Bukannya ti
“Hai, kita bertemu lagi, nona.” Teman pria di mimpi Kiran menyapa penuh senyum bersamaan lambaian tangannya. “Apa kita akan ke restoran waktu itu?”Kiran pun baru teringat kalau dirinya mengunjungi kembali dunia mimpi, dunia yang selalu membuat teka-teki.Perempuan yang diajak bicara masih termenung, berpikir sambil mengamati wajah laki-laki di depannya. Mengapa ia tidak bisa mengenali pria ini? meskipun ia sangat tahu nama dan identitas lawan bicara.“Nona, apa aku mengganggumu. Kemarin kan kau yang menemuiku lebih dulu.” Tambah si pria.“Ah, em, tidak – kau tidak mengenaliku, ya?” Kiran bertanya dengan raut muka yang menuntut.“Kenal. Bukannya kita sudah bertemu sebelumnya?” giliran laki-laki itu yang keheranan.Kiran sedang berpikir keras, dengan mengikuti alur alam bawah sadar – ia akan semakin terkunci dan mendapatkan pertanyaan-pertanyaan yang baru. Seperti suatu l