Laki-laki yang baru didatangkan perasaan berbeda terhadap perempuan, tersenyum malu-malu, seolah remaja yang jatuh cinta pada kekasih pertama. Wira hampir-hampir tidak menyadari raut wajahnya – yang bahkan aneh menurut pandangan orang lain. Gerakan mata Jimmy mengikuti gerakan anak asuhnya hingga tiba di hadapannya. Meja sebagai sekat mereka yang terlalu dikenali pria pengidap haphephobia.
“Sampai jam berapa hari ini?” Wira menanyakan masa terapi rutinnya.
“Tidak ada.”
Lalu tuan muda yang semula duduk santai berganti dengan duduk tegap. “Tidak ada? Aris menyuruhku menemuimu, Jimmy. Jangan bilang-”
“Dia berbohong?” potong si dokter.
Sementara Wira menyeluk saku – menggapai ponselnya, Jimmy dikejutkan air muka asing putra sulung Arasatya. Wira merengut lucu. Ia tampak seperti Rakin jika melembutkan pandangan, wajah kesalnya menarik perhatian. Ekspresi yang hampir tak dijumpai dokter itu.
(Iya, ada sesuatu yang dibutuhkan, tuan?) Aris men
beri dukungan kalian sebanyak mungkin
“Kau malu?” teman perempuan Wira tanpa berpikir berkata demikian. Dengan cepat Wira berbalik dan memunggungi. Berharap wajah memalukannya segera hilang. “Mengapa aku harus malu?” Wira mempertahankan nada bicaranya yang elegan sembari memperbaiki kancing-kancing tak bermoral tersebut. Seorang gadis yang belum diketahui namanya kemudian memalingkan wajah serta memperhatikan benda hias di atas meja, juga yang terpajang pada dinding. Di sayangkan, dia tak melihat pria di sana – pria yang seolah melindungi jati diri – CEO Ars Corp yang tak terjamah dan dikenal sebagai orang hebat. Midi dress hitamnya juga turut memutar mengikuti gerakan sang nona. “Apa aku bisa menyentuhmu lagi?” lalu ungkapan tulus pria yang penasaran karena aliran kehangatan dari genggaman tadi seolah menagih. Si gadis menangkap sorot mata Wira yang mengarah padanya. “Boleh.” Lalu tersenyum. “Baru kali ini aku melihat sosok anak kecil dalam diri orang dewasa.” “Kau menyam
Gelombang suara jendela yang diketuk mengganggu nona muda sedang tertidur pulas. Entah sejak kapan ia berhasil membujuk mata itu agar beristirahat. Namun, saat ini Kiran begitu malas menyambut tamu laki-laki kemarin.Suara ketukan kembali terdengar, barulah pemilik kamar berancang-ancang menuju sumber pengganggu. Dengan indera penglihatan menyipit – menahan kantuk – Kiran membuka benda persegi empat tersebut dan cukup terpaksa.“Selamat pagi, nona.” Sapa penuh keriangan dari pemuda bernama Dani. “Nona, ada apa? Kau kurang tidur?” Dani mencubit dagu kecil itu, menegakkan wajah sang nona dan menghadapnya.Kemudian mata bulat hitam terbuka lebar, mendapati wajah laki-laki yang ia kenal satu hari belakangan.“Dani, apa yang kau lakukan?” Kiran berbicara dengan suara yang mencicit. Dirinya sedikit terkejut.“Nona bermimpi buruk? Lihatlah wajahmu sangat tidak pantas, ada kantong di bawah sini." Ia men
“Dani… apa aku bisa sepenuhnya percaya padamu?” Pria itu menegakkan pandangan. Mengamati tiap inci kecantikan gadis yang berhasil membelenggu hatinya. Sayangnya, hanya rasa sepihak, sehingga kemungkinan kecil atau bahkan tidak akan mungkin bersambut. Kemudian Dani mengangguk – penuh keyakinan. “Bagus. Kalau begitu mengapa ada keraguan padamu? Bukankah kita bersama sejak kecil?” Kiran berkata tanpa memalingkan pandangan. Pemuda itu terhanyut pada raut serius dan gerakan bola mata hitam sang nona. Lalu Dani mengangguk pelan untuk kedua kalinya, ia sempat bodoh mengikuti keraguan yang dianggap benar. Di mulai dari pertemanan mereka – di awal kedatangan Dani sebagai anak pekerja rumah Lukman. Dani kecil memiliki rambut sedikit panjang, bersembunyi di balik tubuh ibunya kala perempuan itu sedang berbicara pada pemilik rumah. Waktu itu, Kiran berumur sepuluh tahun sedangkan Dani masih delapan tahun. Menjadi anak pekerja rumah, menyadari si Dan
Dani terkejut. “Aku?” menunjuk wajahnya sendiri – sambil menahan langkah yang setengah diseret Kiran. “Tidak-tidak, aku tidak mau, Kiran. Tuan Lukman pasti menghukumku lagi kalau dia tahu aku di kamarmu.” Sontak nona muda melepaskan genggamannya. Ia melupakan rahasia Dani yang disembunyikan sejak lama. “Maaf, aku lupa. Aku cuma ingin kau melihatku pergi.” “Kalau begitu beri aku pelukan.” Celetuk si pemuda. “Sebagai bentuk permintaan maafmu.” Ia mengeles. Katakan saja bahwa ini adalah trik agar dapat mendekap tubuh kecil gadis yang ia sukai. Dengan besar hati Kiran memberikan pelukan pertama pada seorang laki-laki. Selama hidup sebagai Arina – ia bahkan menarik diri dari hubungan khusus terhadap sosok pria. Terkadang Arina merayu sahabatnya – Riana, untuk berpura-pura menjadi kakak perempuan pemarah dan jelek. Pelukan tulus ini seharusnya ia berikan pada laki-laki yang sepantasnya, Wira lebih dari berhak menerima kehangatan seorang istri. ‘Apa?
(Wira, apa kau pulang telat hari ini?) laki-laki yang menerima pesan tersebut menautkan alis. “Kiran.” gumamnya. “Aris, istriku sudah di rumah?” berseru pada sekretaris yang sedang berbincang pada bawahannya. “Kenapa kau tidak memberitahuku?” ia merasa kesal. Aris menoleh sesaat. “Kau boleh pergi.” Aris meminta Ricky keluar dari ruangan. Diskusi mereka terpaksa harus diselesaikan. Sekretaris menghela napas terlebih dahulu sebelum mendekati tuan muda yang labil akhir-akhir ini. “Dua jam yang lalu aku mengantarkan nona Kiran kembali ke rumah. Sudah sewajarnya dia di sana.” “Bisa tidak kita pulang lebih cepat hari ini?” Wira tak dapat menyembunyikan raut gembiranya, perhatian kecil Kiran sangat mempengaruhi suasana hati putra tertua Arasatya. “Paling cepat pukul delapan, setelah pertemuan dengan pihak pemasok sabun tradisional sekaligus mereka ingin menjamu makan malam. Mereka ingin berterima kasih telah menerima produk-produknya.”
Wira menatap aneh – bergantian antara Kiran dan piyamanya tadi malam terbentang di atas ranjang. “Piyamaku?” pemiliknya seakan meminta penjelasan. Bukankah pakaian itu seharusnya dibawa bibi Halim untuk dibersihkan? “Kau yakin ini punyamu, Wira?” “Kau menganggap aku mencurinya? Jelas-jelas itu piyamaku – istriku.” Wira berpindah – melepas jas yang seharian melekat pada tubuhnya. ‘Panggilan menggelikan apa yang barusan kudengar?’ perempuan yang mendapat julukan sedang kebingungan. “Ada apa dengan baju tidurku? Kau juga tidak biasanya menanyakan kepulanganku, lagipula bukan aku yang menjemputmu tadi, apa kau tidak marah?” tutur Wira. Laki-laki ini mencari jawaban atas kekhawatirannya. Sejujurnya Wira ingin mendapatkan sesuatu dari setiap pertanyaan-pertanyan yang memenuhi otak kiri. Sayangnya, putra sulung bukan pemuda dengan berbagai kisah roman picisan. Bibir mungil Kiran juga bukanlah sebuah buku – memiliki banyak jawaban untuk putra
“Sejujurnya aku juga takut saat kau memberitahunya. Tapi… penasaranku lebih besar. Apa kau juga bermimpi seperti yang aku mimpikan?” tanya Kiran. Dari tempatnya, perempuan ini mencuri pandang. Kedua matanya seakan tertarik pada porsi tubuh laki-laki di sana.Wira hampir selesai mengganti pakaiannya, lalu sedikit merapikan baju itu sambil mengamati gerik Kiran. Khawatir teman sekamar bergerak tiba-tiba.“Mimpi? Mimpi sepertimu? Tunggu, aku belum bisa memahami ucapanmu, Kiran.”“Kau bertemu perempuan asing di dalam mimpi, di sebuah kamar, kemudian pergi ke restoran?” paparan dari Kiran membuat raut wajah Wira berubah.“Bagaimana bisa? Kau-”‘Tunggu dulu, misal Kiran menguping rahasiaku jelas-jelas itu tidak mungkin. Sedangkan dia bermalam di rumah Lukman. Dan aku belum menceritakan mimpi itu. Tapi… cara dia tahu…’ Wira berdiskusi sendiri menggunakan pikirannya.&l
“Wira, kupikir, kau telah menerima hukumanmu selama ini.” Laki-laki di depannya memperhatikan, mencari pemahaman dari perkataan Kiran. “Aku tidak tahu mengapa kau melakukannya, bisa saja kau mempunyai alasan yang kuat. Tapi, aku tak bisa melihat ketulusan dari dirimu. Kau selalu memikirkan keuntungan. Juga aku tak menemukan kenyamanan padamu, maksudku sebagai partner ataupun sebagai teman. Kau sangat berbeda dengan Rakin.” Wira tersenyum getir. “Ya. Hukuman itu membuatku seperti patung hidup, dan keseharianku di jadwalkan seperti anak SD. Hidupku hanya sebatas pekerjaan dan rumah – kalaupun ada waktu untuk tidur. Tetap saja, aku tidak bisa melupakan kejadiannya, klakson memekakkan selalu terngiang, sampai telingaku sakit.” “Apa kau punya kenangan buruk akan suara itu, Wira?” tanya Kiran. Pria di sana diam menatap istrinya. Barulah kemudian berkata, “Aku menabrak seorang gadis, kondisiku saat itu sangat kacau. Aku sedang mabuk berat, tiba-tiba gadis berpakaian
Kecelakaan tak terkira dan seolah takdir buruk bagi Wira Arasatya, harus disembunyikan dari muka publik. Wisnu yang seorang pemilik nama terpandang tidak mungkin membiarkan kasus buruk mencoreng Ars Corporation.Kecurigaan dari masyarakat yang mengamati berita tersebut terus menjadi bahan ocehan. Dan tentu saja Wisnu tidak ingin putranya menjadi konsumsi publik – sebab kasus itu merupakan berita buruk, di mana putra sulung Arasatya menyetir dalam keadaan mabuk. Mudah sekali untuk media yang haus akan kasus para konglomerat.Namun, saat itu kasus Wira seolah lenyap. Para reporter dan penulis berita juga enggan mengambil risiko.***Pagi ini tuan muda menemui Jimmy, ia semakin penasaran dengan otaknya yang terkadang sengaja mengingat kejadian memilukan. Memori perempuan bergaun merah serta seringainya membuat pria yang memiliki tekanan jiwa – akan hal itu – semakin bermunculan.“Kebiasaan barumu ya datang tanpa menelepon dulu? Tidak sulit kalau menyuruh asistenmu berbicara padaku barang
[SEBELUM PERNIKAHAN] “Aris. Kau pulang saja, aku bisa menyetir sendiri.” Tuan muda memerintah sekretaris. Menikmati segelas alkohol pertama sedikit membuat tenggorokan tersengat, Wira beberapa kali mendesah. Malam akhir pekan. Kala itu… untuk pertama kalinya Wira dan Aris minum bersama, tuan muda mulai merasa jenuh dengan kehidupannya yang monoton. Liburan? Ia habiskan untuk bekerja dan dituntut oleh ambisi-ambisi yang harus ia capai. “Tidak. Bisa-bisa kau mabuk. Aku tidak mau ada apa-apa denganmu!” Sembari Aris menolak tawaran minum untuk gelas keduanya. “Kau sudah bekerja keras, luangkan waktumu untuk istirahat.” Wira terdengar memaksa. Tuan muda sengaja menyewa kamar hotel – tanpa seorang pun pengganggu. Beserta botol minuman beralkohol dengan harga tinggi. Kehidupannya yang berbeda atau bahkan di mata orang-orang tampak aneh, hanya dia dan Aris. Para kolega direktur Ars Corporation mulai mempertanyakan pernikahan putra tertua Arasatya, sungguh memuakkan kata-kata yang kelua
Wira merasakan lehernya tercekat, seakan udara sulit menetralkan dadanya, penyesalan dan rasa bersalah datang kian membesar.‘Apa hubungannya kejadian itu dengan Kiran?’ ia benar was-was.Putra tertua Arasatya berusaha mengontrol dirinya untuk memudahkan suara keluar dengan sempurna.“A-apa gadis di mimpimu meninggal?” cara bicaranya yang pelan sekaligus ragu.Sesuai apa yang ditakuti Wira, perempuan di depannya mengangguk. Dadanya seolah bergemuruh, namun ingatan tentang Kiran tetap di sampingnya ketika ia berbicara kisah gadis bermidi dress – memberi sedikit ruang lega.‘Ternyata kejadian memilukan itu adalah diriku sendiri, takdir hendak memberitahuku dengan cara mendatangkan mimpi tersebut. Bagaimana bisa ingatanku tentang kehidupan sebelumnya bisa terlupakan?’ Kiran semakin tidak mengerti.“Mi-mirip sekali dengan gadis yang aku tabrak.” Ucapan Wira setengah berbisik.“Apa?” Sialnya Kiran bisa mendengar. Hanya saja ia terkejut.“Lupakan.” Titah pria itu.Ada setitik curiga dalam b
“Berapa lama lagi aku berada ditubuhmu? Kemungkinan terburuknya jiwaku akan mati mengikuti jasadku?”Gadis di balik meja menundukkan pandangan, “Aku tidak tahu. Setelah perjanjian yang kita sepakati, begitu saja aku di tempatkan di perpustakaan ini.”“Jika jiwamu terkurung di sini, bukan tidak mungkin ia akan kembali bukan? Kalau benar asumsiku, cepat atau lambat aku akan mati, Kiran. Dan perjanjian itu untuk pertama kali aku menyesalinya. Aku merasa dimanfaatkan! Tidak. Ini tidak adil bagiku.” Arina memundurkan langkah perlahan.Gadis penunggu perpustakaan klasik masih termenung, gurat wajahnya tetap datar seperti biasa. Kulit putihnya bersinar, memancarkan cahaya dalam sekejap. Tiba-tiba gadis itu berada tepat di depan jiwa Arina.“Darahmu sudah menjadi saksi perjanjian, dan kau manusia yang terpilih untuk bertukar jiwa denganku.”***“Da-darah?” Kiran berjiwa Arina terjaga dari mimpi. Dada itu seakan sesak di iringi napas yang terengah.Bayangan gadis bermidi dress hitam kemarin ke
“Kalau begitu kau boleh pergi.” Wira berkata cepat. Ia bisa menjadi manusia setengah mati kalau benar-benar Kiran melakukan ucapannya tadi. Membayangkannya saja membuat Wira sesak napas.‘Ternyata kau sungguh takut dengan perempuan ya?’ Kiran tersenyum miring, asumsinya semakin menunjukkan kebenaran.Kemudian tubuh mungil menurut Wira pun melenggang pergi.Sementara itu, lelaki di sofa menyambar gelas berisi air putih di samping – lalu meminumnya. Tenggorokan yang basah berhasil menyisihkan sedikit kecemasan.Kemudian hening.Rumah besar terasa kembali seperti pertama kali Wira menapakkan kaki ketika Jimmy memperbolehkannya pulang. Semua orang terlihat enggan berbicara pada si sulung. Di saat malam tiba, mimpi buruk menghantui Wira kecil.Ketakutan serta tangisan terdengar pilu bagi seorang ibu. Ningrum tak bisa berbuat apa-apa selain terisak hingga tak bersuara lagi.Rakin lah orang yang mampu mengajak s
Misteri kapan kembalinya jiwa Kiran ke tubuh yang digunakan sosok Arina saat ini semakin membuat kepala menantu keluarga Arasatya berdenyut.Rasanya ia tidak rela pergi dari tubuh ini.‘Kalau Kiran meminta badannya kembali, lalu jiwaku akan berpindah ke mana? Apa aku bisa mati mengikuti jasad seorang Arina yang terkubur?’ pikirnya. ‘Aku harus bagaimana? Jika Kiran benar-benar memaksaku memberikan tubuh ini, sama saja dia egois bukan? Tidak ada untungnya bagiku. Lebih baik dari awal aku tidak menerima tawarannya’. Ia mulai goyah pada perjanjian di antara mereka.Seperti angin menyelinap ke dalam ingatan, Kiran teringat teman dekat – Riana. Sesuatu yang mengganjal akhir-akhir ini.‘Aku tidak bisa percaya sepenuhnya sebelum melihat langsung kuburan tubuhku.’ Tubuh Arina yang ia maksud. ‘Apa aku bisa membujuk Riana?’ Kiran berpikir sambil memainkan kuku ibu jari tangan, sedikit menggigitinya pelan.
“KAU TIDAK TIDUR?” Wira terkejut bukan main, layaknya pencuri yang ketahuan.“Aaaa…. Kau mengejutkanku Wira!” gadis di depannya berteriak juga.Dengan segera putra tertua Arasatya kembali ke tempat tidurnya – ia tampak menyembunyikan kegelisahan.Kamar yang awalnya sunyi semakin menambah kesunyiannya, pasangan suami istri muda tidak saling sapa lagi.“Ku-kukira kau sudah mendengkur, Kiran.” Wira membuka pembicaraan mereka lebih dulu.“Mendengkur? Bagaimana bisa aku mendengkur, tidur saja tidak.” istri Wira merapatkan selimutnya – di iringi kekesalan. “Kau juga kenapa mendekatiku? Kau mau mesum ya?” Kiran menambah tuduhan.“Enak saja! Aku kan tidak bisa disentuh sembarang orang.”“Itu kan kalau kau yang disentuh. Akan berbeda jika kau menyentuh lebih dulu.” Balas istrinya. Wira pun tak bisa menyanggah. Ia termangu untuk sesaat sambil
“Iya, baiklah. Bisakah kau duduk terlebih dahulu. Kepalaku sakit melihat ke atas terus.” Wira meminta sembari matanya menangkap sesuatu yang kemerahan pada wajah Kiran. Ia sedari tadi sadar akan hal itu. Hanya saja pengetahuannya yang kurang – pria ini tidak tahu penyebab munculnya rona di pipi seorang gadis. “Terlalu dekat?” Kiran bertanya sesaat setelah ia duduk. Khawatir Wira memberikan peringatan lagi. “Tidak.” “Wira. Aku melakukan kesalahan, ya?” Netranya masih enggan menatap lawan bicara. Putri Lukman tetap menunduk. “Aku minta maaf. Sungguh aku tidak tahu kalau kau tidak suka denganku. Bahkan kau membuatku ketakutan, kukira kau tidak akan bangun lagi.” “Memangnya kalau aku tidak bangun lagi kau akan menangis sampai tak bersuara?” pria kaku ini melempar candaan. “Tentu saja!” diiringi pandangannya yang terangkat. “Walaupun kau aneh, kau kan suamiku.” Wira kembali terkekeh. Ternyata istrinya begitu lucu. “Bukannya ti
“Hai, kita bertemu lagi, nona.” Teman pria di mimpi Kiran menyapa penuh senyum bersamaan lambaian tangannya. “Apa kita akan ke restoran waktu itu?”Kiran pun baru teringat kalau dirinya mengunjungi kembali dunia mimpi, dunia yang selalu membuat teka-teki.Perempuan yang diajak bicara masih termenung, berpikir sambil mengamati wajah laki-laki di depannya. Mengapa ia tidak bisa mengenali pria ini? meskipun ia sangat tahu nama dan identitas lawan bicara.“Nona, apa aku mengganggumu. Kemarin kan kau yang menemuiku lebih dulu.” Tambah si pria.“Ah, em, tidak – kau tidak mengenaliku, ya?” Kiran bertanya dengan raut muka yang menuntut.“Kenal. Bukannya kita sudah bertemu sebelumnya?” giliran laki-laki itu yang keheranan.Kiran sedang berpikir keras, dengan mengikuti alur alam bawah sadar – ia akan semakin terkunci dan mendapatkan pertanyaan-pertanyaan yang baru. Seperti suatu l