Parta mengetuk pintu sore berikutnya. Dia membawa makanan, pakaian, dan buku. Caci makinya tumpah begitu melihat Mardian yang kacau seperti orang kehilangan akal.
“Apa yang kau lakukan, Kawan? Jangan menjemput kegilaan dengan membunuh gairah hidupmu. Itu bodoh namanya.”
Mardian tidak menyahut.
Parta menghela napas. “Bung, kita sekarang hidup di dunia yang keji dan sangat kejam. Jangan pedulikan masa silam yang menyenangkan, cita-cita konyol, juga hukum, prinsip, segala kata-kata indah, dan kalimat dahsyat. Dunia sudah lain sama sekali. Sekarang, di mana pun kita berada, kita akan melihat orang membunuh orang. Jika kau ingin menang, kau harus bertahan dan menyerang. Karena kehidupan memang seperti itu. Saat kau hidup kau harus
Cahaya senja terakhir baru saja lenyap digulung malam ketika sebongkah cahaya lain berkilau menggantikannya. Dia berwarna kuning lembut dan memancarkan kehangatan yang sama dengan mentari pagi. Mardian terpukau memandangnya. Ketika bergerak mendekat, kepangan rambutnya melonggar. Beberapa helai yang menjuntai segera dikacaukan angin. “Nah, itu dia sampai.” Mardian tidak mendengar. Dia sedang berada di dunia lain menatap bongkahan cahaya yang kian mendekat. Parta mengangkat sebelah tangannya. “Mar, kami di sini.” Seorang perempuan muda berkebaya kuning mendekat. “Maaf menunggu lama. Becak di sore h
Hari demi hari merangkak pergi. Matahari bersinar lebih cerah. Badai tidak lagi menampakan diri. Lautan yang semula diam bergelora kembali. Mardian yang baru, lahir. Lebih utuh, penuh gairah, menawan. Dia kini bercukur, berpakaian rapi, dan memakai minyak wangi. Sesekali dia pun keluar malam untuk menonton sandiwara atau ikut Parta juga Marni menghadiri diskusi partai. “Kawan-kawan,” ujar Parta pada suatu pertemuan, “kita semua tahu kemiskinan itu bukan takdir. Nasib dan takdir hanya omong kosong belaka. Seorang manusia mempunyai kendali penuh untuk menentukan jalan hidupnya sendiri. Hukum alam hanya berkuasa atas masa lalu, masa depan sepenuhnya milik manusia. Jika kita hingga hari ini masih miskin, masih tertindas, itu semua salah kita.” &l
Saya mengenal Marx sedalam saya mengenal diri saya sendiri. Kami bertemu di suatu masa terbaik, sekaligus masa terburuk yang pernah ada. Setiap hari kami menunggu musim terang datang menggantikan kegelapan yang dingin. Jika kami lelah menunggu, kami keluar berjalan-jalan. Kami pergi mengunjungi museum-museum, perpustakan, pemakaman. Kadang-kadang kami pergi ke taman kota yang terbengkalai di malam hari tanpa tujuan. Marx dan saya memiliki rasa haus dan ambisi yang sama: kami ingin menjelaskan manusia kepada manusia. Kami ingin merengkuh peristiwa dan menelanjanginya. Saat itu sore hari di musim gugur. Kami sedang membaca buku di perpustakaan. Marx duduk di depan saya, bersandar pada sikunya. “Bung sedang memikirkan apa?” tanya saya saat melihat M
Mardian dan Marni berjalan beriringan sepanjang alun-alun. Malam itu cuaca mendung, dingin. Tetapi mereka tidak memperhatikannya. Mereka menundukan kepala seolah-olah sedang berkabung, begitu takzim dan penuh renungan, berdebar sambil mencemaskan saat ketika akhirnya mereka akan berduaan dan bisa saling memandang, saling memuja, saling membuka diri. “Mari kita cari tempat duduk,” ujar Marni. “Aku lelah.” Keduanya memasuki kedai minum, duduk dan memesan kopi. Marni menceritakan kisah hidup dan perjuangannya yang memukau. Dia memang sangat pandai bicara. Perempuan muda yang penuh semangat. Kecanggungan di antara mereka meleleh bersamaan dengan setiap kata yang meluncur dari mulut masing-masing.&
Suatu sore Mardian bertemu Marni di taman kota. Dia sedang membaca. Mardian menghampirinya dan duduk di sampingnya. “Wah, Bung suka berjalan-jalan sore rupanya,” kata Marni sambil menutup bukunya. Mardian tersipu. “Aku suka dengan langit petang, keindahaannya seperti memberi tabik pada kejamanya malam,” jawabnya. “Ah, ya, senja. Keindahannya merupakan ketidakpedulian dalam kesabaran yang diam; sebuah ironi dari keapatisan. Tapi begitu, pasti ada alasan sesungguhnya, alasan di balik segala alasan. Alasan apa dan mengapa.” “Entahlah. Aku tidak begitu memikirkan hal romantis itu. Bagiku,
“Ayah, ke mana lagi kita akan dibawa pergi?” Mardian menatap kapal besar yang baru sesaat lalu berlabuh dengan cemas. Pak Mantri mendesah. “Entahlah, Nak. Ayah sendiri tidak tahu ke mana kita akan dibawa pergi. Tapi, sepertinya ke tempat yang sangat jauh. Mungkin Sumatera atau Kalimantan.” “Apa kita akan dipenjara lagi?” “Ayah tidak tahu, Mardian. Apa pun itu, Ayah yakin sekali cobaan ini pasti ada maknanya. Bersabarlah, Nak. Terkadang cobaan memang begitu keras hingga tak dapat dipahami maknanya. Namun, pasti ada pembebasaan dalam kemeranaan hidup ini meski dalam bunyi gumamannya sekalipun.” “Tapi aku takut, Ayah. A
Palka selalu bagaikan sarang lebah. Orang-orang berbicara dalam berbagai bahasa, melontarkan lelucon, mengutuk, dan berkelekar. Mereka tidak menggubris suara langkah kaki di atas mereka atau debur ombak lautan. Sampai pada suatu ketika terdengar percakapan awak kapal yang mengusik hati semua tahanan. “Barang-barang kita turunkan di Gulag dan kita langsung menuju Halmahera.” Seseorang mengulangi percakapan itu. “Kira-kira apa maksudnya Gulag?” “Sepertinya kita akan dibuang sangat jauh. Gulag, di mana pun tempat itu, kedengarannya sangat mengerikan,” ujar seorang lain. “Semoga saja yang dimaksud barang itu bukan kita,” sahut seseorang lain lagi. “Mustahil!” temannya menyela, “barang itu sud
Dua buah sekoci diturunkan dari kapal, mesinnya dihidupkan. Kelompok pertama dan kelompok kedua bersiap-siap berangkat. Sambil menunggu gilirannya tiba, Mardian mengalihkan pikirannya dari laut dengan mengamati segerombolan pohon bakau mati yang batangnya miring karena susunan akarnya yang membusuk tak jauh dari dermaga. Sudah tak ada satu pun daun di dahan pohon-pohon itu, batangnya yang kelabu tampak bertambah kelabu oleh proses pembusukannya yang lambat. Hal itu mengingatkan Mardian pada akar pohon pidada yang tumbuh subur di sekitar rawa-rawa Pada Suka. Ketangguhannya menghadapi curahaan air dan terpaan badai membuat Mardian iri sekaligus takjub. Mereka benar-benar pejuang tangguh, batinnya sambil terus mengamati gerombolan bakau mati itu. Tiba-tiba Mardian seolah melihat lapisan kabut tipis yang menggantung di sekitar pohon bakau itu—tidak, bukan kabut, tetapi pembusukan tumbuhan tersebut tengah mewujudkan diri—
Mardian telah tiba pada batas akhir kekuatannya. Di hadapannya malam mengundurkan diri seperti yang terjadi di atas gunug menjelang fajar. Rohana berdiri duduk di sampingnya. Sosoknya semakin nyata, semakin utuh, semakin abadi. "Tepat pada saat ini, Ana, akhirnya aku mengerti sudah rahasia alam semesta. Aku tahun jalan setapak jiwa terkadang tumbuh dengan begitu cepat, kerap hanya mengenal malam. Malam yang sangat luas nyaris tak terbatas, gersang dan hampa. Namun, aku katakan padamu : kita akan lolos, Ana.Kita berdua akan terus hidup. Meskipun, ya, pasti dalam situasi yang sangat jauh berbeda.""Maha karya yang luar biasa selalu lahir dari kelam malam. Keindahan yang menakjubkan terinspirasi dari bintang-binta di langit dan rembulan yang menggantung rendah. Kelam mala. Kadang menenggelamkan jiwa manusia dalam lubang keputusasaan yang dalam, yang tak berdasar. Kelam malam membuat manusia sampai menutup mata dan menggadaikan idealismenya sendiri. Kelam malam melahirkan manusia menjadi
"Tunggu dulu, Bung. Jangan pergi dulu. Ada satu kisah yang ingin saya ceritakan kepada Anda sebelum Anda pergi." "Baiklah, Ana. Kalau begitu silakan bercerita." Aku lahir dan dididik menurut agama Islam. Bahkan saat masih kecil dan sepanjang masa remajaku, aku di sekolahkan di sekolah-sekolah Islam. Aku mengaji ilmu agama di sore dan malam hari. Dan lebih sering lagi ketika datang bulan suci. Namun saat berusia sembilan belas tahun aku meninggalkan kegitaan keagamaanku itu, aku mulai kehilangan kepercayaan atas apa yang telah diajarkan padaku. Dilihat dari apa yang bisa kuingat, aku tak pernah benar-benar memiliki kepercayaan yang sungguh-sungguh. Aku sekadar percaya pada apa yang telah diajarkan padaku dan pada hal-hal yang berlaku di masyarakat luas. Namun, saat usiaku menginjak dewasa dan aku mulai mampu memahami kehidupan, kepercayaan ini perlahan mulai goyah. Aku melihat bahwa mayoritas ajaran-ajaran agama yang diterima tanpa pertanyaan dan ditopang ole
“Bung masih belum menjawab pertanyaan saya, mengapa Bung kembali ke desa itu lagi?”“Bersabarlah, Ana. Aku pasti akan menceritakannya padamu; kisahku pada akhirnya akan sampai pertanyaanmu.”“Setelah memejamkan mata aku mematikan senter. Kegelapan yang pekat dengan cepat menelan sekujur tubuhku dan mengempaskannya ke dalam kehampaan. Suara malam terdengar lebih jernih. Kesunyian terasa begitu lembut. Waktu berhenti dan menjadi bisa di amati. Yang lainnya, semua yang lain berubah menjadi aku. Yang ketiga dalam segitiga. Yang bersatu menafikan cahaya.“Aku merasakan ketenangan yang aneh, berdamai dengan diri sendiri. Sesuatu yang seperti tirai berat terangkat. Semilir angin berembus. Kegelapan retak, melebar, dan berhamburan. Di atasku aku mendapati ketinggian sejati. Aku mencoba mencapainya. Tapi aku tak cukup kuat mendaki. Kakiku terkilir dan aku jatuh berguling-guling.“Kembali lagi ke bawah, aku menangis. Aku tak bisa mencapai ketinggian itu dan aku tidak tahu cara mencapainya. Dala
“Kami meninggalkan Pada Suka dengan sepeda. Pak Mantri yang memboncengku. Sepanjang perjalan Pak Mantri menjelaskan bahwa Paman Darto baik-baik saja.“ ‘Kau jangan cemas. Pamanmu baik-baik saja. Sekarang dia masih berada di Pada Suka. Yang terpenting sekarang kau harus pergi sejauh mungkin. Jendral Sudarto berencana mengarakmu di alun-alun.’“Aku menjelaskan pada Pak Mantri bahwa aku tidak tahu harus pergi ke mana dan bagaimana. Aku tidak punya teman dan keluarga selain pamanku.“Jangan cemas. Aku sudah mengatur keberangkatanmu. Kau akan naik mobil yang membawa gula kelapa ke kota. Setelah itu, carilah kereta jurusan Cirebon. Tunggulah pamanmu di sana.’“Aku berterima kasih pada Pak Mantri. Aku memeluknya saat mengucapkan selamat tinggal dan berjanji akan mengirim telegram begitu tiba di Cirebon nanti.“Tapi apa yang terjadi kemudian, yang kudengar dari bisikan angin, ternyata ada persekongkolan—sebuah drama—yang telah direncanakan untuk menghancurkanku. Lebih kejam lagi, pamanku send
"Ana apa kau masih di dalam aku?""Ya, Bung, saya masih di dalam Bung.""Aku ingin menyelesaikan ceritaku. Aku terbangun untuk memberitahumu bagian terakhir dari ceritaku.""Saya akan mendengarkan Bung. Saya akan selalu mendengarkan Bung. Bung juga masih belum menjawab pertanyaan saya, mengapa Bung kembali ke desa itu lagi?”“Bersabarlah, Ana. Aku pasti akan menceritakannya padamu; kisahku pada akhirnya akan sampai pertanyaanmu.”“Setelah memejamkan mata aku mematikan senter. Kegelapan yang pekat dengan cepat menelan sekujur tubuhku dan mengempaskannya ke dalam kehampaan. Suara malam terdengar lebih jernih. Kesunyian terasa begitu lembut. Waktu berhenti dan menjadi bisa di amati. Yang lainnya, semua yang lain berubah menjadi aku. Yang ketiga dalam segitiga. Yang bersatu menafikan cahaya.“Aku merasakan ketenangan yang aneh, berdamai dengan diri sendiri. Sesuatu yang seperti tirai berat terangkat. Semilir angin berembus. Kegelapan retak, melebar, dan berhamburan. Di atasku aku mendapat
Saya melihat semuanya. Apa yang tidak orang lihat saya menyaksikannya. Dunia benar-benar gelap waktu itu. Harapan seperti kabut tipis yang mudah menguap. Saya adalah saksi bisu dari ketidak adilan tanah moyang saya. Jika saya bisa berseru, saya pasti akan berteriak paling nyaring. Waktu itu, adalah pagi yang biasa. Benar-benar tak ada satu pertanda apa pun dari malam harinya. Saya membuka pintu. Tak ada yang asing di udara, tak ada yang ganjil di langit. Tapi, dunia kemudian berubah dengan sangat cepat, tanpa aba- aba , tanpa peringatan , tanpa pertanda. Hanya salakkan anjing. Itulah awal mulanya. Salakkan anjing terdengar dari arah hutan Pada Suka. Tapi, apa yang salah dengan salakkan anjing? Tentu saja tidak ada. Di hutan itu memamng masih banyak binatang liar. Babi hutan, anjing liar, monyet, dan yang lain-lain. Karena itulah, hampir atak ada yang sepesial dengan anjing yang menyalak pagi hari itu. Kecuali saya yang merasa aneh, yang lainnya sama sekali tidak peduli."Ayah, ada apa
Ana melipat kakinya dalam posisi bersila. “Pak Jendral, sebaiknya Pak Jendral segera menangkap Bung Tan Djiman. Sebelum segala sesuatunya terlambat.”Jendral Sumarto mengerutkan alis. “Apa maksudmu? Mengapa aku harus menangkan Tan Djiman?”“Karena Bung Tan Djimanlah yang membantu Bung Mardian dalam rencana balas dendamnya pada kehidupan ini. Bung Tan tak lain dan tak bukan merupakan keponakan Bung Kasim. Bung Tan juga seorang komunis. Dialah salah satu otak dibalik huru-hara selama ini. Dalang dari geger-geger. Bung Tan Djiman memiliki banyak jaringan. Dia sangat cerdik dan licik. Bung Tan Djiman memiliki banyak uang yang dapat membeli apa pun yang dia mau. Karena itulah orang-orang bersedia menjadi pengikutnya.”“Aku tidak percaya pada surga. Tapi aku percaya pada kesedihan. Aku tidak percaya pada penderitaan. Tapi aku percaya pada kematian. Kebebasan, pembebasan dan kemanusiaan. Aku tidak percaya lagi pada omong kosong selain tiga hal itu. Tidak bahkan pada penyesalan.”“Apa maksudm
Jendral Sumarto masih tidak dapat mempercayai apa yang dilihatnya. Ada penyesalan yang menggumpal di dada, membuatnya sesak dan sulit bernapas.“Saya yakin Pak Kolonel sudah berbicara banyak pada Anda, Pak Jendral.” Suara itu begitu tenang, penuh kedamaian, dan hampir tanpa emosi. “Saya berjanji akan membantu Anda, saya akan mengatakan segala sesuatunya kepada Anda, apa yang Anda ingin ketahui.”Jendral Sumarto duduk di sebelah Rohana, punggungnya menyandar ke dinding batu sumur tua itu. Dia mengangsurkan sigaret dan korek api. Ana mengambilnya sebatang dan menyalakannya.“Aku tidak pernah menyangka akhirnya akan begini,” ujar Jendral Sumarto. “Semua memang salahku. Ya, aku bertindak terlalu sembrono. Aku terlalu memaksa Mardian, aku mendesaknya, aku menghancurkan hidupnya, harapannya, sisa-sisa kesadarannya. Aku sendiri yang meminta Marni untuk mendekati Mardian seperti dia mendekati Parta. Agar aku dapat mengorek informasi mengenai keterlibatan Bu Mantri dengan orang-orang komunis j
Jendral Sumarto masih tidak dapat mempercayai apa yang dilihatnya. Ada penyesalan yang menggumpal di dada, membuatnya sesak dan sulit bernapas.“Saya yakin Pak Kolonel sudah berbicara banyak pada Anda, Pak Jendral.” Suara itu begitu tenang, penuh kedamaian, dan hampir tanpa emosi. “Saya berjanji akan membantu Anda, saya akan mengatakan segala sesuatunya kepada Anda, apa yang Anda ingin ketahui.”Jendral Sumarto duduk di sebelah Rohana, punggungnya menyandar ke dinding batu sumur tua itu. Dia mengangsurkan sigaret dan korek api. Ana mengambilnya sebatang dan menyalakannya.“Aku tidak pernah menyangka akhirnya akan begini,” ujar Jendral Sumarto. “Semua memang salahku. Ya, aku bertindak terlalu sembrono. Aku terlalu memaksa Mardian, aku mendesaknya, aku menghancurkan hidupnya, harapannya, sisa-sisa kesadarannya. Aku sendiri yang meminta Marni untuk mendekati Mardian seperti dia mendekati Parta. Agar aku dapat mengorek informasi mengenai keterlibatan Bu Mantri dengan orang-orang komunis j