Suara Di Bilik Iparku (3)
(Suamiku diarak warga karena berselingkuh)**
Hari sudah menjelang pagi saat Mas Akbar dan Hanum sampai kembali di rumah usai diarak warga karena hubungan terlarang yang mereka lakukan di rumahku dan Mas Akbar. Hanum tampak pucat, sepertinya sepanjang jalan banyak pasang mata yang menyaksikan saat mereka tengah diarak karena ketahuan berselingkuh.
Mas Agus menjatuhkan tubuhnya di atas sofa ruang tamu, begitu pun Mas Akbar dan Hanum. Sedangkan Pak RT hanya berdiri di samping Mas Akbar sampai aku memberikan tempat untuknya.
"Mbak Anisa, maaf jika saya selaku RT melakukan hal ini. Tapi saya harap kejadian ini tak terulang lagi," tuturnya dengan nada rendah.
Aku bisa paham, kejadian seperti ini merupakan aib keluarga. Tak seharusnya banyak pasang mata menyaksikan akibat perbuatan mereka, tapi aku sungguh tidak mau jika suatu saat nanti mereka akan melakukan hal yang sama.
"Mas Agus, Mbak Mawar, maaf juga jika saya ada kekeliruan," ungkapnya lagi saat aku hanya menganggukkan kepala saat beliau meminta maaf padaku.
"Tak masalah, Pak. Memang orang seperti ini pantas di hukum, mereka sudah melakukan perbuatan yang jauh lebih hina dari seekor binatang," tandas Mas Agus dengan diikuti anggukan kepala pula oleh Mbak Mawar, istrinya.
Aku menghela nafas panjang, kepalaku sangat pening akibat hanya tidur beberapa jam lalu mendapati perbuatan menjijikkan seperti ini.
"Tidak apa-apa, Pak. Justru saya sangat berterimakasih pada Bapak dan para warga yang mau memberikan efek jera pada mereka berdua. Menurut saya, ini pun belum seberapa dengan apa yang telah mereka lakukan kepadaku dan Bara," kataku, membuat Hanum seketika mendongakkan kepala.
Sepertinya ia lupa bahwa saat ini ia masih berstatus sah sebagai istri Bara. Betapa dangkal sekali otaknya, melakukan perbuatan tak senonoh itu di dalam rumah istri sahnya. Bahkan apakah ia sama sekali tak memikirkan bagaimana nantinya jika Bara, suaminya akan tahu perbuatan mereka?
Kita semua tahu bahwa Bara adalah seorang pria tempramental, terlebih jika ia disakiti sedalam ini. Entah apa jadinya Hanum nanti di tangan Bara.
"Baik kalau begitu. Saya pamit dulu, semoga kejadian ini tak akan terulang lagi. Dan juga kedua pelaku mendapat efek jera dan bisa berubah menjadi lebih baik lagi," ucap Pak RT undur diri.
Beliau pun bersalaman dengan kami semua lalu pamit meninggalkan rumahku. Aku hanya diam membisu sampai Adzan Subuh berkumandang. Rasanya mulutku terasa berat untuk mengajak bicara mereka berdua.
Mas Agus dan Mbak Mawar memilih duduk dan bersandar pada kursi sofa hingga Adzan Subuh selesai berkumandang. Air mataku pun telah kering meski luka di dalam hatiku masih menganga.
"Dek, ayo sholat dulu. Lalu kita pulang," ajak Mas Agus pada istrinya.
Mbak Mawar pun berdiri mengikuti suaminya, lalu berjalan ke arah kamar mandi untuk mengambik air wudhu.
"Anisa, kamu nggak sholat sekalian?" tanya Mbak Mawar usai mengambil wudhu.
Aku mengalihkan pandangan, menatap Mbak Mawar yang telah basah oleh air wudhu, "nanti saja Mbak, aku sholat sendirian." Aku menjawabnya pelan.
"Sama aku aja, Dek."
Aku tersenyum miring, melirik sekilas pada pria yang baru saja menawarkan ajakannya.
"Maaf, aku tidak akan mau sholat dengan orang yang telah melakukan perbuatan hina, bahkan saat ia belum melakukan mandi besar," tandasku, membuat Mas Akbar kembali menundukkan kepala.
Namun tidak dengan Hanum, ia terlihat sangat berbeda saat masih di tengah kerumunan warga. Ia menatapku tajam, kedua manik matanya menyiratkan amarah yang sangat besar kepadaku.
"Seharusnya kamu itu ngaca dulu. Kenapa bisa suamimu sampai selingkuh denganku? Apa selama ini kamu sudah cukup memuaskannya atau belum. Jangan main hakim sendiri dengan memanggil warga dan mengarak kami berdua!" ucap Hanum sukses memancing amarahku lagi.
Aku kembali menatapnya nanar, gumuruh emosi menggebu di dalam hatiku.
"Apa? Katakan sekali lagi? Pandai sekali kamu bicara!" tandasku tanpa mengalihakan pandangan darinya.
"Dasar tidak tau diuntung! Kita lihat saja nanti kalau Bara pulang, kamu masih bicara seperti itu atau tidak," lanjutku bergantian membuat nyali Hanum menciut.
"Dek, kamu bilang sama Bara?" Mas Akbar mengajukan pertanyaan bod*h. Mana mungkin aku tak memberitahu Bara, sedang ia juga berhak tahu tentang perbuatan istrinya.
"Dia pantas tau dan memang harus tau!" bentak Mas Agus dari depan kamar mandi, lagi-lagi membuat Mas Akbar dan Hanum terdiam.
Sedang aku memilih memandang mereka sinis lalu kembali pada layar ponsel yang sejak tadi kugenggam. Menunggu kedatangan Bara yang mungkin sebentar lagi akan sampai di rumahku.
Suara Di Bilik Iparku (4)(Suamiku diarak warga karena berselingkuh)**"Istri nggak ada guna! Ditinggal cari nafkah malah selingkuh. Tak main-main selingkuhnya sama kakak kandungku sendiri. Dasar murah*n!" hardik Bara saat ia telah sampai di rumahku pukul sembilan pagi.Sejak Subuh tadi aku tak beranjak dari tempat dudukku selain hanya mengerjakan sholat Subuh. Sedangkan Mas Agus dan Mbak Mawar hanya pulang sebentar untuk mengurusi anak-anak mereka yang hendak berangkat ke sekolah.Pernikahanku dan Mas Akbar yang berjalan hampir dua tahun ini juga belum dikaruniai seorang anak, pun begitu juga dengan pernikahan Hanum dan Bara. Mereka menikah setahun yang lalu, tapi Tuhan belum menitipkan buah hati pada mereka."Mas, maaf. Aku khilaf," bela Hanum ketika kedua mata Bara mulai memerah karena amarah pada istrinya itu.Mas Akbar hanya tertunduk dalam, sepertinya ia benar-benar telah menyesali perbuatan hinanya it
Suara Di Bilik Iparku (5)(Suamiku diarak warga karena berselingkuh)**Aku tak tahu bagaimana jalan fikiran Mas Akbar, bisa-bisanya ia akan melabrak Bu Wati yang sudah mengunggah video saat ia tengah diarak warga karena kedapatan selingkuh dengan Hanum, Iparku. Seharusnya ia malu, bukannya malah melabrak Bu Wati. Aneh memang.Mas Akbar terlihat sangat marah dan lantas berjalan ke arah rumah Bu Wati yang jaraknya tak terlalu jauh dari rumah. Aku hanya mengikutinya dari belakang tanpa berniat mencegahnya yang hendak melabrak tetangga kami itu."Bu ... Bu Wati. Keluar!" teriaknya lantang di depan pintu rumah Bu Wati, membuatku berhenti seketika di depan pagar rumah Bu Wati.Tak puas dengan panggilannya yang memekakkan telinga, Mas Akbar pun juga menggedor pintu rumahnya kasar bak orang kesetanan. Hingga tak berselang lama, keluar lah sang tuan rumah dengan wajah tak kalah garangnya dengan Mas Akbar."Lho, Mas A
Suara Di Bilik Iparku (6)(Suamiku diarak warga karena berselingkuh)**Tubuhku masih tertegun di depan pintu masuk rumah saat baru saja pulang dari rumah Bu Wati. Tepatnya setelah mengikuti Mas Akbar yang baru saja melabraknya yang sudah menyebarkan videonya saat diarak warga karena berselingkuh.Pikiranku berkecamuk, memikirkan perkataan Bu Wati mengenai rumah tanggaku dan Mas Akbar.Aku menarik nafas panjang, saat mengingat kejadian beberapa saat yang lalu."Mbak, sebenarnya gimana, sih? Kok Mas Akbar bisa selingkuh? Sama iparnya pula."Astaga. Aku kira mau membicarakan apa, ternyata dia hanya ingin mengorek informasi dariku. Belum juga kering luka di dalam hatiku, Bu Wati sudah berusaha memperdalam lukanya lagi.Bu Wati, adalah seorang janda dengan harta yang terbilang cukup banyak di lingkungan ini. Berbekal dengan usaha tinggalan suaminya yang telah meninggal, ia tak perlu repot-repot lagi mencari uang meski anak-anaknya ma
Suara Di Bilik Iparku (7)(Suamiku diarak warga karena berselingkuh)**Minta maaf katanya? Mudah sekali ia bicara tanpa memikirkan perasaanku yang telah dilukainya dengan perselingkuhan yang ia lakukan dengan ipar sendiri. Jika semudah itu ia mengucapkan maaf, maka seharusnya pula aku mempersulit keadaannya."Dek, aku minta maaf," ucap Mas Akbar lagi ketika aku tak kunjung menjawab perkataannya.Aku melepas tangannya, lalu mundur selangkah darinya."Kenapa? Kamu takut kalau orang tuamu tahu tentang perbuatanmu itu? Maaf, sayangnya teleponku sudah terhubung," jawabku dengan menunjukkan layar ponsel yang sudah terhubung ke nomor ibu mertuaku.Dia boleh berbuat salah dan juga menyakiti hatiku, tapi dia lupa kalau setiap orang punya batas kesabaran dan rasa dendam masing-masing. Aku tak dendam, hanya ingin dia merasakan sakit seperti apa yang aku rasakan."Hallo," ucap seseorang di seberang sana membuat k
Suara Di Bilik Iparku (8)(Suamiku diarak warga karena berselingkuh)**Aku bukan terlalu sabar dan bucin alias budak cinta meskipun telah diselingkuhi oleh suamiku, melainkan aku tak terima saja jika langsung mengajukan perceraian dengan Mas Akbar. Bukannya menuntut balas atas semua perlakuannya jauh lebih menyenangkan?"Oh, baju dan parfum dari adik iparmu, ya? Kasihan sekali ya adikmu, Mas. Harus berbagi istri denganmu. Kakaknya terlalu serakah," ucapku ketika Mas Akbar memamerkan baju serta parfum pemberian Hanum."Mas, Mas ... Selingkuh sama adik ipar sendiri kok bangga. Jadi kakak benar-benar nggak punya hati, ya? Miris banget. Untung adiknya kuat mental," tandasku lagi membuatnya pias seketika.Aku lantas melanjutkan langkah keluar rumah dan bergegas ke kantor bank terdekat guna mengusut isi rekening Mas Akbar. Ia tak akan tahu, kalau diam-diam aku akan mencetak buku rekening miliknya. Dengan begitu, aku bisa
Suara Di Bilik Iparku (9)(Suamiku diarak warga karena berselingkuh)**"Mbak, kalau bisa tolong pindahkan 80% uang di dalam rekening ini ke dalam nomor ini, ya. Maaf, tadi suamiku, yang memiliki rekening ini berpesan begitu. Beliau tidak bisa hadir sendiri ke bank karena sedang ada urusan yang sangat penting," tuturku saat petugas bank itu tengah mengecek rekening Mas Akbar.Aku memang sengaja sedikit berbohong agar semua yang kulakukan ini terlihat lebih meyakinkan.Petugas itu pun mengangguk, lalu kembali fokus pada layar komputernya. Mungkin hal ini bisa saja terjadi karena aku memegang surat kuasa yang ditanda tangani oleh Mas Akbar sendiri. Syukurlah, seakan alam pun ikut merestui ketika aku tengah di sakiti oleh Mas Akbar.Aku tergagap, lamunanku buyar ketika sopir taksi yang kukendarai menginjak pedal rem kuat."Oh, maaf, Mbak. Itu tadi ada anak kecil tiba-tiba lari," katanya meminta maaf padaku
Suara Di Bilik Iparku (10)(Suamiku diarak warga karena berselingkuh)Pov Hanum**Aku ingin mati! Tidak ada gunanya aku hidup! Semua sudah sia-sia!"Buka mulutmu! Kamu bisu!" hardik Mas Bara untuk kesekian kalinya ketika ia mendesakku agar berkata jujur perihal hubunganku dengan Mas Akbar, kakak kandungnya.Air mataku sudah tak dapat lagi keluar setelah sepanjang perjalanan pulang Mas Bara memakiku dengan segala sumpah serapah. Kini, aku tengah duduk tersungkur di bawah kakinya yang lagi-lagi memakiku hingga telah habis harga diriku."Dasar murahan, lebih baik kamu kaw*n sana sama kuda jantan biar puas sekalian! Jadi perempuan nggak ada bersyukurnya!" teriak Mas Bara lantang. Memang kuakui aku terlalu gegabah dengan mengikuti alur perasaanku pada kakak iparku, sehingga kini aku menuai apa yang telah kuperbuat."Aku kurang apa? Katakan! Semua kebutuhan dari ujung rambut hingga ujung kaki sudah kupenuhi,
Suara Di Bilik Iparku (11)(Suamiku diarak warga karena berselingkuh)Pov Hanum II**Aku mengepal tangan kuat ketika Mas Bara lebih membiarkanku mati daripada membelaku. Apa dia sudah tidak cinta denganku sehingga tidak mau memperjuangkanku?Dasar Mbak Anisa, gara-gara dia sekarang aku harus seperti ini. Lagian kenapa sih Mbak Anisa harus sekatrok itu membiarkan aku dan Mas Akbar diarak warga? Bukannya jaman sekarang itu udah biasa seorang suami suka sama perempuan lain? Dianya saja yang tidak bisa memuaskan suaminya, pakai nyuruh-nyuruh Mas Agus sama Mbak Mawar ngarak aku sama Mas Akbar segala. Lihat saja, aku nggak bakal terima kalau sampai rumah tanggaku dengan Mas Bara hancur karena ini!"Kenapa diam? Mati sana kalau mau mati. Mau aku pasangkan dulu talinya buat gantung diri?" cecar Mas Bara membuatku semakin muak.Suami apa dia? Harusnya aku mengancam seperti itu dia luluh, tidak malah menyuruhku seperti
Aku dan Kekasih SuamikuPart 28Satu tahun kemudian ...."Sarapannya sudah siap, Mas," ucapku pada Mas Chandra ketika aku baru saja menyiapkan dua lembar roti tawar dengan selai kacang di atasnya, juga susu hangat di samping piringnya."Iya, sebentar," jawabnya dari kamar.Aku tersenyum tipis, lalu melanjutkan menyiapkan sayuran yang hendak kumasak untuk makan siang. Namun, sebelum itu aku mengelus lembut perutku yang mulai menyembul.Ya, tepat bulan ini usia kandunganku sudah memasuki bulan ke tujuh, rencananya sepulang dari kantor Mas Chandra akan mengantarkanku pergi ke dokter untuk kontrol bulanan.Tak berselang lama, Mas Chandra menghampiriku dengan melingkarkan tangannya di perut buncitku. Dia menciumi pipiku brutal hingga aku meletakkan pisau yang kugunakan untuk mengupas bawang."Ini masih pagi, Mas," ledekku, membuatnya terkekeh kecil lalu melepaskanku."Kamu cantik banget hari ini," ujarnya.Aku mendengus, lalu mundur darinya. "Jadi aku cantiknya hari ini saja?"Dia tak han
Aku dan Kekasih Suamiku (27)“Kamu sudah tahu kalau Lusi kecelakaan?” tanya ibu ketika aku baru saja pulang bekerja.Aku memicingkan mata, “dari mana Ibu tahu?”Wanita yang telah melahirkanku itu tersenyum, lalu berjalan mendekat ke arahku. “Apa kamu pikir gara-gara Ibu tidak perna bertanya padamu mengenai masalahmu lantas Ibu tidak tahu?”Sampai ibu berkata demikian pun aku masih belum paham mengenai apa yang beliau maksud. Memang selama ini aku sangat jarang sekali menceritakan masalah pribadiku pada ibu maupun bapak karena aku takut jika apa yang kuceritakan akan menganggu pikirannya.“Bu ….”“Sayang … selama ini Ibu dan Bapak hanya diam, tapi diamnya kami bukan karena tidak perduli melainkan kami memilih mengawasimu seperti sebelumnya,” kata ibu lagi memotong pembicaraanku.“Selama ini Ibu pun kesana kemari mencari informasi tentangmu dan semua yang berhubungan denganmu. Semua itu kulakukan karena semata-mata kami tidak ingin ada yang menyakiti hatimu, Nak.”Kedua mataku berkaca-k
Aku dan Kekasih Suamiku (26).Untuk beberapa saat kedua orang yang baru saja kubongkar rahasianya itu terdiam, terlebih dihadapan Lusi. Mana mungkin mereka akan mengakui kebobrokan masalalunya di hadapan anaknya?"Pa, Ma. Kenapa diam? Katakan apa yang sebenarnya terjadi."Aku tersenyum kecut, melihat orang yang hendak menghancurkan rumah tanggaku nyatanya justru akan hancur dengan sendirinya. Mungkin ini yang dinamakan 'karma'."Pak Akbar, Bu Hanum. Kenapa? Lebih baik jujur, bukan?""Lancang kamu!" bentak perempuan yang duduk di atas kursi roda itu.Bukan aku ingin menjadi wanita yang jahat, hanya saja mereka sudah lebih dulu menjahatiku. Mungkin dulu ibuku diam, dan menerima semuanya. Namun, aku tak terima. Mereka harus mendapatkan sanki atas apa yang sudah dilakukannya.Kulihat Pak Akbar menarik rambutnya kasar, lalu menatapku dan Lusi secara bergantian. Bisa kulihat jelas bahwa dia tengah tertekan dengan keadaan saat ini.
Aku dan Kekasih Suamiku (25).“Dari mana kamu yakin bahwa orang tuaku lah yang telah membuat hidup mamamu menjadi seperti ini? Dan juga, bagaimana kamu bisa yakin bahwa orang tuaku pula telah merebut semua milik mamamu?” tanyaku ketika telah duduk berhadapan dengan Lusi di meja nomor 8.Dia tampak santai, raut tenang tergambar jelas di wajahnya. Semua ini terlihat berbanding terbalik dengan apa yang biasa dia tunjukkan padaku. Jika biasanya dia selalu saja terlihat menjengkelkan tapi kali ini dia terlihat jauh lebih tenang.“Kamu tau hanya dari ucapan mamamu, kan?”“Mana mungkin aku bisa mempercayai orang lain, sedang aku yakin Mama tidak akan pernah berbohong kepadaku,” tandasnya begitu percaya dengan mamanya.Memang, kuakui bahwa di dunia ini tidak ada orang yang patut kita percayai selain perempuan yang telah melahirkan kita. Namun, bukankah seharusnya kitak boleh menelan kebenaran itu secara mentah-me
Aku dan Kekasih Suamiku (24).Aku masih tertegun setelah mendengar penuturan Mas Chandra mengenai alasannya mengenai foto itu. Rasanya kini untuk percaya dengannya terlihat sangat lah sulit, karena aku pernah dikecewakan olehnya."Hanan, kamu percaya, kan?" ucapnya lagi ketika aku masih terdiam.Jika dilihat dari gerak-gerik dan mimik wajahnya, dia terlihat seperti benar-benar tidak berbohong. Namun, bukankah tidak seharusnya aku percaya begitu saja dengannya?"Terserah, sekarang kamu kamu percaya atau tidak denganmu. Namun, yang pasti aku telah mengatakan semua kejujuran ini padamu."Hatiku bimbang, sejujurnya aku sangat ingin percaya padanya. Aku juga tidak ingin rumah tanggaku hancur hanya karena wanita seperti Lusi."Baik, aku percaya. Tapi jangan memaksaku untuk bersikap baik seperti dulu lagi," tuturku setelah beberapa saat memikirkan mengenai hal ini.Mas Chandra tersenyum, sepertinya dia memang menunggu jawaban ini dar
Aku dan Kekasih Suamiku (23).Pak Akbar masih menatapku heran, ketika dengan sengaja aku mengatakan tentang hubungan saudara antara diriku dan juga Lusi. Hatiku sudah terlanjur panas, terlebih setelah aku mengetahui semua kebenaran yang terjadi antara mama, papa dan juga Pak Akbar."Apa maksud kamu?"Aku memutar bola mata malas, lalu berdiri dan berjalan sedikit menjauh darinya. Bagaimana bisa, aku berbaik hati pada orang yang telah berbuat buruk pada mamaku. Bahkan dia juga tidak berniat mengakuiku sebagai anaknya."Tentunya Anda ingat bukan dengan Anisa dan Oki Wijaya? Sudah lah, aku lelah dengan sandiwara ini, Pak. Lebih baik, jika Anda dan istri Anda masih memiliki dendam pada kedua orang tuaku, jangan bawa-bawa aku dan Mas Chandra. Setidaknya aku hanya ingin rumah tanggaku ini baik-baik saja. Terlepas bahwa ternyata Anda adalah ayah kandungku, itu sudah bukan menjadi prioritasku lagi karena bagiku ayahku cuma satu, yaitu Papa Oki Wijaya."
Aku dan Kekasih Suamiku (22)."Jadi, kamu menuduh kami telah mencelakakan mamanya Lusi?" sahut papa ketika aku berbicara demikian."Oh ... Bukan begitu, bukan ....""Lalu? Dengan nada bicaramu seperti itu tandanya kamu menuduh kami melakukan hal itu, Nan. Papa kecewa, bisa-bisanya kamu bersikap seperti itu," tandas papa dengan raut wajah kecewa.Aku menunduk dalam, seharusnya aku memang tidak berkata seperti itu karena mungkin hal itu akan menyakiti hati kedua orang tuaku. Namun, aku hanya ingin mencari kebenaran atas apa yang telah menimpaku ini. Apa aku salah?Mama hanya diam, entah apa yang sedang dipikirkan olehnya. Membenarkan pertanyaanku, atau justru sama kecewanya dengan papa?Kedua bahu papa naik turun, menandakan bahwa dia terlihat sedang menahan amarah."Ma, Pa. Bukan begitu maksudku, hanya saja aku benar-benar sedang ingin mencari kebenaran. Hidupku sudah terlalu penat dengan semua masalah ini. Bukankah lebih
Aku dan Kekasih Suamiku (21)**Siang ini aku berencana untuk menyegarkan pikiranku dengan berjalan-jalan di Mall besar kota. Setelah tragedi Mas Chandra kemarin, dia belum berani pulang ke rumah. Entah, dia pergi kemana setelah aku mengusirnya.Tidak ada sesuatu yang penting, aku hanya ingin menyegarkan pikiranku sejenak dengan berjalan-jalan dan menikmati hari. Usai kunjunganku ke rumah kakek, aku juga belum bertemu dengan Pak Akbar yang ternyata adalah ... Ayahku.Ah, memuakkan sekali. Ternyata, selama ini aku telah mengenal pria yang dulu telah mengkhianati mama sedalam itu. Bahkan mungkin bisa saja mama depresi karena ulah pria itu.Dan sekarang, anak perempuannya pun juga ingin merusak rumah tanggaku. Bukan kah hal itu adalah suatu kebetulan yang sangat mengejutkan. Atau ... Sebenarnya ini bukan kebetulan? Melainkan direncanakan. Entahlah.Kedua mataku tertuju pada sebuah toko baju yang sering kukunjungi. Jika biasanya aku akan datang
Aku dan Kekasih Suamiku (20)."Sudah berapa lama kamu kenal orang ini?" tanya kakek tanpa menjawab pertanyaanku.Aku menghela nafas panjang, sepertinya orang yang aku tanyakan ini memang benar ayahku."Kek, tolong. Apa benar, orang ini ayahku?" ucapku sekali lagi.Kakek menatap Bibi Wulan seperti meminta persetujuan, lalu berbalik menatapku setelah Bibi Wulan menganggukkan kepalanya. Jantungku berdetak dua kali lipat dari sebelumnya, menunggu saat kakek akan menjawab pertanyaanku."Iya. Itu memang ayahmu," jawab kakek membuat duniaku seketika berhenti berputar.Aku terpaku, semua ini benar-benar membuatku sangat terkejut. Bagaimana bisa semua ini terjadi? Benar hanya kebetulan, atau memang sudah di rencanakan?"Selama ini kami benar-benar kehilangan kontak dengannya karena kami memang tidak ingin mengenalnya lagi. Sikap dan perbuatannya dulu sangat membuat kami terutama Kakekmu ini sakit hati, hingga akhirnya aku memutuskan un