Shera mengemas barang-barangnya di ruang ganti, setelah selesai dengan pekerjaannya. Ia tak harus menunggu Vivia selesai dengan acaranya, sebab tugasnya hanya menyiapkan dan membantu Vivia mengenakan gaun. Selanjutnya setelah acara itu selesai, biasanya Vivia akan mengenakan gaun yang sama kembali ke rumah, lalu Reva yang akan menyerahkan gaun itu pada Shera saat di kantor. Sebab itu, ia tak harus membuang waktu untuk menunggu Vivia selesai.“Aku sudah siap, Bi, kau akan menjemputku, kan?” ucap Shera berbicara di dalam telepon, sesaat setelah lelaki itu mengangkat panggilannya.“Aku sudah di jalan, sebentar lagi akan tiba. Tunggulah di luar.”“Kau tak menjemputku ke dalam? Padahal aku sangat ingin kau memelukku dari belakang, saat aku masih sibuk dengan pekerjaan,” goda Shera bernada manja, membuat Albi terkekeh di ujung telepon.“Hehehe, kau sedang mengenang masa lalu kita?” Albian berkata sembari mengingat tingkahnya di masa lalu, yang sering membuat kekasihnya terkejut dan menjeri
“Ayah Mertua, Anda menghadiri acara ini?” sapa Albian menyalami ayah mertuanya. Vivia tidak berbohong, Adi Wangsa benar berada di acara itu. Hatinya terasa malas membayangkan apa yang akan terjadi ke depan nanti.“Ya. Aku diundang ke acara ini, jadi sekalian melihat istrimu berpidato, aku menghadirinya,” sahut Adi Wangsa bangga. Ia elus puncak kepala putrinya dan memuji kelihaian Vivi saat berada di podium tadi. “Kau semakin hebat, ayah bangga padamu.”“Terima kasih, Ayah. Semua ini berkat ayah dan ibu yang sudah mendidikku dengan baik.” Vivi membungkukkan tubuhnya sedikit, menunjukkan rasa hormatnya.Ia adalah putri yang manja dan suka merengek pada kedua orang tuanya, tapi Vivi juga selalu menunjukkan sikap hormatnya di depan publik untuk menjaga nama baik keluarga.“Pak Jendraaal....”Seorang bersetelan hitam lengkap dengan jasnya, mendekati tiga orang yang tengah berbincang, lantas disambut tawa oleh Adi wangsa.“Pak Wali Kota, akhirnya kita bisa bertemu kembali.”Adi Wangsa dan W
Bibir yang tadinya hanya menempel pelan, kini mulai bergerak melumat milik Vivia. Albi lebih berani, membuka mulut Vivia dengan lidah basahnya. Vivia semakin berdebar tak kuasa menolak saat lidah lelaki itu menjalar merongrong rongga mulutnya.Hasrat di dalam dirinya terpancing. Vivia sampai mencengkeram jok mobil untuk membuat dirinya tetap waras. Ia harus tahu diri bahwa lelaki yang menciumnya ini hanya ingin kejujuran dari dirinya.Albi tidak mencintainya. Hati Albian telah terpatri hanya untuk Shera si cinta pertamanya saja. Albi tak pernah mengharapkan Vivia menjadi istrinya.Jika Vivi membalas lumatan bibir Albi, sudah jelas dirinya yang akan kalah sekarang. Albi akan menertawakan Vivi dan menghina dirinya, menyebut Vivia tidak mau bercerai karena ego dan cinta yang tidak pernah Albi harapkan. Semua hinaan itu akan membuat Vivia semakin malu, hingga tak akan berani menatap mata Albian lagi. Karenanya, ia harus menunjukkan pada Albian bahwa dirinya sama sekali tak terpengaruh ole
“Apa-apaan itu? Kau... memaksa menciumnya?”Shera menatap Albian tak percaya. Saya marah, sangat marah sampai suaranya begitu keras terdengar di dalam rumah. Vivia yang sudah menaiki tangga menuju lantai dua masih bisa mendengar suara Shera di luar sana.Ia tersenyum. Jika belakangan ini dia yang harus makan hati oleh api cemburu, kali ini Shera merasakan hal yang sama.Rasakan itu. Kau terlalu bangga karena dia mencintaimu, tapi nyatanya lelaki yang kau cintai masih bisa mencium perempuan lain,” ucapnya sendiri.Di luar rumah, Albian mencoba menyadarkan dirinya yang masih terasa mabuk. Amukan Shera tak main-main, bukan hanya suara yang keras itu ia jadikan menyerang Albi tapi tangan juga mulai ikut memukul.“Kau menciumnya? Kau sengaja mempermalukanku? Sebenarnya, maumu apa, Albi? Bukannya kau bilang tak pernah mencintai? Kenapa kau mencium Vivia?!” Ia hujani Albi dengan rentetan pertanyaan yang sangat banyak. Entah mana yang akan Albi jawab lebih dulu."Dia... ini tidak seperti yang
Amarahnya kian membara. Shera memukul daun pintu kamar Vivia agar wanita di dalam sana segera membuka pintu. Ia tak akan membiarkan Albi dan Vivia menikmati malam indah sementara dirinya ada di antara kedua orang itu.“Vivia, buka atau aku menghancurkan pintu ini!”Ketika ia memukul pintu kembali, pintu itu terbuka dari dalam.“Aku tahu kau perempuan yang tak memiliki attitude. Tapi, Shera, kau tengah menumpang di rumahku jadi jaga sikapmu sebelum aku melemparmu ke luar!”“Persetan dengan kau!” Shera membalas tak kalah kerasnya. Ia dorong Vivia dan masuk ke kamar wanita itu. “Di mana Albi? kau perempuan tak tahu malu yang masih berusaha keras merayu kekasihku!”“Albi tak ada di sini. Carilah kekasihmu sendiri.”“Kau pikir aku percaya padamu? Albi mabuk dan kau sedang mencari keuntungan darinya!” Shera menyingkap pintu lemari, membuka pintu kamar mandi untuk menemukan kekasihnya. “Albi, di mana kau? Aku akan sangat marah jika kau tidak keluar sekarang!”“Shera, apa yang kau lakukan mal
“Aku tahu apa yang kau khawatirkan, Shera.”“Aku tahu apa yang kau khawatirkan, Shera.”Vivia sudah menghilang dari kamar Shera, tapi kalimat terakhirnya masih terus terngiang di dalam telinga Shera. Itu bagaikan sebuah rekaman yang berulang kali diputar untuk memberi peringatan.Shera menggeleng kepala dan bergegas menuju pintu. Buru-buru ia kunci kamarnya sebelum Vivi mungkin kembali datang.“Tidak, itu tidak mungkin,” gumam Shera menjatuhkan diri di atas ranjang. Pikirannya mengembara jauh ke masa lalu yang tak ingin ia ingat.***“Perempuan kotor! Kau sudah merusak kesucian kampung ini!”“Usir saja dia. Bahkan ayahnya meninggal karena ulahnya yang menjijikkan!”“Anak itu akan membuat sial kampung kita jika dia melahirkannya di sini!”“Usir dia! Usir perempuan busuk itu!”“Ya, usir sundal yang tak bisa menjaga harga dirinya!”Berita kehamilan Shera sudah terdengar ke para tetangga. Mereka tidak terima kampungnya dikotori oleh Shera, yang diketahui mengandung di luar nikah. Para war
NEXT[Kita harus bertemu. Ada hal penting yang harus kita bicarakan.]Vivia menghela malas membaca pesan itu. ‘Lewin?’ pikirnya. Ada apa perempuan itu tiba-tiba menghubungi? Desainer pribadinya yang mengambil cuti melahirkan, tiba-tiba mengirimkan pesan ingin bertemu. Bahkan itu terdengar seperti pemaksaan.“Ada apa?” Vivia berbicara di telepon. Setelah membaca pesan Lewin, ia langsung menghubungi mantan desainernya. “Sudah berapa kali aku katakan, belajarlah sopan saat mengirimkan pesan padaku.”“Maaf, Bu Vivia, aku terlalu kalut.” Lewin meminta maaf setelah memikirkan isi pesannya. “Tapi ini sangat penting, aku ingin bertemu dengan Anda.”“Apakah itu penting bagiku sampai harus menemuimu?” tanya Vivia dengan nada acuh, seperti kebiasaan angkuhnya.“Ini... tentang masa lalu. Shera baru saja menemuiku di rumah.”Mendengar nama Shera disebut, Vivia menghentikan pekerjaannya. Masa lalu... sudah pasti menyangkut awal pernikahannya dengan Albian.“Aku kirimkan alamat padamu. Temui aku sa
Vivia meremas jari-jarinya. Shera ternyata tidak merasa puas setelah merampas Albi darinya. "Tidak!" tegas Vivia berbisik. "Apa pun itu, dia tidak boleh tau tentang masa lalu!" "Tapi, Bu, bagaima jika dia sudah tau? Saat menemuiku, Shera curiga aku menyimpan rahasia darinya.""Sekali aku bilang tidak, ya tidak! Tetap tutup mulut busukmu itu jika tak ingin aku menghancurkan semua yang kau miliki!" ancam Vivia tegas, kata-katanya tidak sekedar ancaman yang bisa diabaikan. Vivia adalah orang yang akan melakukan apa yang ia katakan. "Jika kau mencintai keluargamu, maka jangan pernah membuka mulut. Biarkan dia curiga atau bahkan memaksa kau berkata jujur, tapi jangan kau coba berkhianat padaku, camkan itu!" Kenapa harus mengkhawatirkan yang sudah berlalu? Semua barang bukti sudah hancur sejak tujuh tahun yang lalu. Shera tidak mungkin bisa menuntutnya tanpa barang bukti!"Ingat, Lewin, hanya kau satu-satunya saksi dari kejadian itu. Jika terbongkar, itu berarti dari kau. Dan jangan lup