“Tato naga di bahunya?” ulang Tuan Simon.
Arum mengangkat kepala dan mengangguk dengan mantap.
“Iya, saya baru saja mengingatnya, Tuan. Saya belum pernah mengatakan hal ini kepada siapa pun. Saya takut mengingat kejadian malam itu. Lalu … tadi ingatan itu tiba-tiba datang.”
Tuan Arya tersenyum, menatap Arum dengan sendu seakan berusaha menenangkan wanita cantik itu. Tuan Simon kini terdiam, keningnya berkerut dengan mata sipitnya yang semakin menghilang. Terlihat sekali jika pria ini sedang berpikir keras.
“Kamu ingat tato naganya di sebelah mana? Bahu kiri atau kanan lalu bentuknya bagaimana, kecil atau besar sampai ke lengan?”
Arum terdiam kemudian menggelengkan kepala dengan cepat.
“Saya … saya tidak tahu, Tuan. Ingatan tentang tato naga itu tiba-tiba muncul.”
Tuan Simon menarik napas panjang dan terlihat sekali kalau ada kekecewaan di matanya. Tuan Arya memperhatikan re
“Apa maksud Anda tidak tahu tentang pengiriman itu?” tanya Danu.Ia sudah kembali ke kantor dan kali ini sedang menginterogasi Pak Andreas. Pria bertubuh tambun itu hanya menganggukkan kepala menjawab pertanyaan Danu.“Bukankah Bapak yang bertanggung jawab dengan hal itu selama ini,” imbuh Danu.“Iya, benar, Tuan. Hanya saja pengiriman ini terjadi tanpa sepengetahuan saya. Beberapa hari lalu, saya cuti karena ada keperluan keluarga. Bisa jadi saat saya tidak ada, pengiriman itu terjadi.”Danu mendengkus sambil mengacak rambutnya.“Memangnya tidak ada yang bertanggung jawab selain Anda. Anda punya anak buah kan, Pak?”“Iya, benar, Tuan. Hanya saja saat saya bertanya ke mereka. Mereka bilang kalau yang melakukan pengecekan adalah orang baru yang saya kirim.”Danu mengernyitkan alis menatap dengan bingung ke arah Pak Andreas. Pria bertubuh tambun itu menarik napas panjang sambil
“Ba-baik, Tuan,” jawab Budi.Ia tidak tahu mengapa Danu tiba-tiba semarah ini. Apa memang dia sedang dibakar cemburu atau karena adanya beberapa masalah hari ini membuat Danu kesal.Pukul tujuh malam saat Danu tiba di rumah. Gara-gara percakapannya dengan Pak Andreas tadi membuat Danu pulang lebih malam. Ia berjalan masuk langsung ke dalam kamar dan melihat Arum sedang terbaring miring di atas kasur.Seketika amarah Danu yang membara sejak di kantor tadi tiba-tiba pupus saat melihat istrinya tidur setenang itu. Danu menarik napas panjang sambil berjalan mendekat tanpa suara. Sebuah senyuman terukir di raut tampannya melunturkan segala amarahnya.Perlahan Danu duduk di tepi kasur, kemudian tangannya terulur dan menyentuh lembut rambut Arum yang menutupi wajahnya. Tak disangka ulah Danu itu membuat Arum membuka mata. Ia langsung tersenyum menatap Danu.“Mas … baru datang?” tanya Arum dengan suara seraknya khas bangun ti
“Tato naganya berbentuk seperti itu,” ulang Arum.Sontak Tuan Arya, Tuan Simon dan Danu melihat ke gambar naga yang dimaksud. Gambar naga itu hanya kepala saja yang dengan mulut menganga, mata merah dan surai yang berkibaran tertiup angin dalam posisi miring. Ada lingkaran emas yang mengelilingi dengan dua inisial angka dan huruf di bagian bawah.Tuan Arya dan Tuan Simon saling berpandangan kemudian diam dalam satu pemikiran. Danu ikut diam dan kini menatap tajam ke arah dua pria di depannya ini.“Anda mengenalnya, Tuan?” tanya Danu.Tuan Arya menghela napas panjang. Hal sama juga dilakukan Tuan Simon. Mereka belum menjawab hanya diam dan membuat Danu makin penasaran.“Sebaiknya kita pindah tempat saja. Saya takut ada banyak telinga yang mendengar percakapan kita nantinya,” putus Tuan Simon.Tanpa pikir panjang, Danu dan Arum mengiyakan saja permintaan Tuan Simon. Kali ini mereka memilih singgah di rumah T
“Tentu, Tuan Danu. Tanyakan saja!!” jawab Tuan Arya.Ia meletakkan cangkir kopinya dan kini memberi perhatian penuh ke Danu. Danu terdiam sesaat kemudian menarik napas panjang sambil menatap tajam ke arah Tuan Arya.“Apa tidak ada maksud tertentu di balik pertolongan Anda kepada istri saya, Tuan?”Seketika Tuan Arya terkejut mendengar pertanyaan Danu. Mata tuanya kini menatap tajam dengan bibir yang mengatup rapat. Danu belum bersuara hanya memperhatikan pria paruh baya itu, kemudian karena tidak kunjung mendapat jawaban. Danu kembali membuka mulut.“Ada seseorang yang menunjukkan kalau perlakuan Anda kepada istri saya melebihi batas, Tuan.”Kembali Tuan Arya tercengang dan menatap Danu dengan reaksi yang sama seperti tadi.“Saya tahu, mungkin ini sedikit kurang sopan. Namun, ada baiknya saya tanyakan langsung ke Anda daripada saya mendengar desas desus tak sedap di luar sana tentang hubungan Anda da
“Anda tidak perlu tahu siapa dia. Yang pasti saat semua sudah pasti saya akan memberi tahu,” jawab Tuan Simon.Arum sedikit ragu. Namun, dia juga sudah lama ingin tahu tentang asal usulnya. Selama ini, Arum berpikir dia hanya anak yang tidak diinginkan keluarganya. Anak yang dibuang, tapi setelah mendengar penjelasan Tuan Simon tadi, Arum seakan punya pemikiran baru.“Saya akan tentukan tempat dan waktunya. Anda tinggal datang saja.” Tuan Simon menambahkan.Arum mengangguk sambil tersenyum. “Baik, Tuan. Kalau memang itu yang terbaik, saya serahkan saja pada Anda.”Tuan Simon tersenyum sambil berulang menganggukkan kepala.“Lalu bagaimana dengan pria bertato itu, Tuan? Apa Anda sudah ada titik terangnya?”Tuan Simon menarik napas panjang sambil menyandarkan punggungnya ke kursi.“Saya mengenal beberapa dari mereka, tapi tentu saja saya harus mencari tahu siapa yang menyuruh sehingga
“Apa maksudmu, Simon?” tanya Tuan Arya.Pria paruh baya itu sangat terkejut dengan penjelasan Tuan Simon. Ia hanya diam sambil menatap tajam ke arah Tuan Simon. Tuan Simon tersenyum datar sambil membalas tatapan Tuan Arya.“Apa salahnya aku menyandingkan dengan DNA-mu, Arya?”Tuan Arya mendengkus sambil menggelengkan kepalanya.“Jangan berpikir kalau Arum itu adalah putriku, Simon.”Tuan Simon tidak menjawab hanya mengangkat bahunya sambil tersenyum datar.“Memangnya kamu berpikir kalau dia putrimu, Arya?”Tuan Arya terdiam, ia menunduk kemudian perlahan menggeleng.“Tidak. Itu tidak mungkin. Roweina meninggal dalam kecelakaan. Aku yakin bayi dalam kandungannya juga ikut meninggal.”Tuan Simon menarik napas panjang sambil menatap tajam Tuan Arya.“Kamu melihat jasad bayinya?”Sontak Tuan Arya terperangah kaget dan melihat Tuan Simon den
“Dokter Sandy?” ulang Budi.“Iya, Tuan. Satu atau dua bulan sebelumnya, ia pernah mengantar surat kaleng juga untuk Tuan Danu. Mungkin Anda lupa, tapi saya yakin Tuan Danu pasti ingat tentang hal ini,” ulas Beni.Budi hanya diam, mengurut dagu sambil membenarkan keterangan Beni. Dia kini teringat kalau pernah membawa surat tanpa nama untuk Danu. Sayangnya, Danu tidak menanggapi surat itu dan dia tidak mendapat perintah apa pun dari Danu untuk bertindak.“Untuk apa Dokter Sandy melakukan itu?” gumam Budi.“Saya tidak tahu, Tuan. Hanya mereka berdua saja yang tahu alasannya.”Budi tersenyum sambil menganggukkann kepala.“Baik, kalau begitu aku akan menyampaikan semuanya ke Tuan Danu. Kamu bisa pulang, tapi besok aku masih membutuhkan tenagamu lagi.”Beni tersenyum lebar sambil menganggukkan kepala. Dia sudah tahu soal itu. Bukankah dia memang dibayar untuk melakukan tugas seper
“Apa maksudnya ini? Tiba-tiba Anda menuduh saya,” sergah Dokter Sandy.Arum yang tadinya sibuk dengan kerjaannya kini merasa terganggu dan melihat dua pria yang tampak bersitegang itu. Ia berjalan mendekat menghampiri mereka.“Ada apa, Mas?” tanya Arum.Danu menghela napas panjang, menoleh ke Arum.“Dia … dia yang menyuruh orang mengirim surat kaleng ke kantorku, Arum.”Seketika Dokter Sandy terperangah kaget. Mata kecilnya di balik lensa minus itu menunjukkan keterkejutan. Arum kini ikut melihat Dokter Sandy dan terdiam beberapa lama.“Arum … aku bisa menjelaskan ini,” tutur Dokter Sandy.Arum menarik napas panjang dan menoleh ke Danu.“Aku tidak tahu dengan surat kaleng yang kamu maksud, Mas. Memangnya kamu pernah mendapat kiriman surat kaleng?”Danu mengangguk. “Iya, dua kali. Dan pengirimnya sama hanya penyuruhnya berbeda.”K
“Selamat sore, apa benar ini rumah Tuan Burhan?” tanya Tuan Simon.Usai memastikan foto yang sama, sore itu Tuan Simon berkunjung ke rumah keluarga Dokter Sandy. Seorang wanita paruh baya tampak terkejut mendapati kedatangan Tuan Simon. Wanita itu hanya diam tak menjawab sambil menatap Tuan Simon dengan ketakutan.Tuan Simon tersenyum, membungkukkan badan seakan sedang memberi salam.“Jangan takut. Saya hanya ingin bertemu dengan teman saya. Sampaikan pada Tuan Burhan, ada Simon yang mencarinya.”Wanita paruh baya itu tampak ragu. Lagi-lagi ia tidak berkomentar hanya menatap Tuan Simon dengan bingung. Tuan Simon menunggu dengan sabar hingga akhirnya wanita paruh baya itu bersuara.“Tuan Burhan sedang istirahat. Saya … saya tidak berani membangunkannya.”Tuan Simon berdecak sambil menggelengkan kepala.“Sayang sekali … padahal saya datang dari jauh untuk melihat keadaannya.”
“Silakan, Tuan!!” ujar seorang pria.Dia tampak membungkuk sambil memberi jalan seorang pria berkepala plontos masuk ke dalam rumah sakit. Pria itu berjalan menyusuri koridor hingga menuju ruang praktek Dokter Andi. Seorang perawat menyambut pria paruh baya itu dengan ramah.“Selamat pagi, Pak!! Tunggu sebentar, Dokter akan segera memeriksa Anda.”Pak Sudibyo hanya tersenyum menyeringai sambil menatap perawat di depannya dengan tatapan liar. Sementara perawat itu buru-buru menunduk dan berlalu pergi dari ruang periksa. Pak Sudibyo kini sudah duduk di kursi periksa. Mungkin karena faktor usia, banyak giginya yang sering linu dan sakit digunakan untuk mengunyah. Selain itu ada juga yang berlubang dan itu menyulitkannya.Pak Sudibyo sedang asyik memainkan ponselnya saat pintu ruang periksa terbuka. Pak Sudibyo melirik sekilas dan melihat seorang pria mengenakan pakaian dokter masuk. Kali ini pria itu juga mengenakan masker putih. Pak
“PAPA!!! Papa!!!” seru Nyonya Maria.Wajahnya tampak cemas dan sudah berlarian keluar rumah. Lalu kakinya terhenti saat melihat suaminya keluar dari dalam mobil dengan tangan terborgol. Nyonya Maria tercengang, mulutnya terbuka dengan mata terbelalak.“Pa … ,” cicitnya lirih.Tuan Rafael sebenarnya ada di rumah dan hendak melarikan diri, tapi keburu polisi datang ke rumahnya. Lalu ia memilih sembunyi di garasi, tapi malang, malah ketahuan.Salah satu petugas polisi langsung mendatangi Nyonya Maria.“Anda juga harus ikut kami ke kantor, Nyonya. Anda sudah berbohong dan mengelabui petugas.”Mata Nyonya Maria sontak melotot dan tak lama ia sudah jatuh pingsan. Untung saja petugas polisi yang berdiri di depannya sigap menangkap tubuhnya. Hingga wanita paruh baya itu tidak sampai jatuh ke tanah.Sementara Tuan Rafael hanya menatap istrinya dengan sendu. Matanya berkaca dan terlihat penyesalan di w
“Tuan, ini foto Pak Burhan,” ujar Bu Rahayu.Wanita paruh baya itu tampak jalan tergesa keluar rumah menghampiri Tuan Simon. Tuan Simon tersenyum kemudian menerima selembar foto yang baru saja diberikan Bu Rahayu. Tuan Simon tampak diam sambil mengernyitkan alis menatap foto itu dengan seksama.“Apa pria yang berdiri di belakang anak-anak ini, Bu?” tanya Tuan Simon.“Iya, benar sekali, Tuan. Dulu saya punya fotonya yang jelas, tapi sepertinya sudah rusak termakan usia. Hanya itu yang tersisa.”Tuan Simon hanya diam sambil memandang foto yang terlihat usang dan lecek itu. Wajah Pak Burhan sama sekali tidak jelas terlihat. Wajahnya buram, tapi sosok tubuhnya terlihat tegap dan proposional.“Apa boleh saya simpan, Bu?”Bu Rahayu tersenyum sambil mengangguk. “Tentu saja, Pak. Silakan.”Tuan Simon mengangguk dan segera menyimpan foto itu ke dalam tasnya. Tak lama setelahnya dia su
“Mau apa lagi? Bukankah urusanmu sudah beres berpuluh tahun lalu,” ujar Dokter Sandy.Pria berkepala plontos itu tersenyum menyeringai sambil mengurut dagunya. Ia menatap Dokter Sandy dengan sinis dan penuh ejekan.“Jadi begini balas budimu setelah aku menyekolahkanmu hingga menjadi seorang dokter yang sukses?”Dokter Sandy berdecak sambil menggelengkan kepala.“Katakan saja berapa biaya yang kamu keluarkan untuk menyekolahkanku. Aku akan menggantinya.”Sontak pria itu terkekeh mendengar ucapan Dokter Sandy.“Sombong sekali kamu, Sandy. Merasa sudah hebat, ya? Jadi kamu sudah lupa siapa yang selama ini membantu keluargamu. Begitu!!!”Dokter Sandy tidak menjawab hanya diam sambil menatap pria berkepala plontos itu dengan mata berkilatan. Pria bertubuh gempal itu berdiri, berjalan menghampiri Dokter Sandy hingga sejajar di depannya.“Dengar, ya!! Gara-gara kamu, ada yang sedan
“Tuan, makanan ini saya apakan?” tanya Beni.Pria bertubuh tinggi besar itu sudah menunjuk paper bag berisi makanan yang diberikan Nyonya Lani tadi. Danu diam sejenak sambil melirik paper bag tersebut. Sementara hidung Arum tampak mengendus aroma makanan tersebut.“Baunya enak sekali. Aku jadi ingin mencobanya, Mas.”Danu langsung memelotot ke Arum. Arum tampak terkejut, mengernyitkan alis dengan tatapan penuh tanya.“Maaf, Mas. Sejak hamil hidungku sangat sensitive kalau mencium bau sedap seperti ini. Aku jadi laper.”Arum berkata sambil tersenyum meringis.Danu ikut tersenyum sembari mengelus kepala Arum.“Iya, aku tahu. Mungkin itu bawaan ibu hamil. Kamu boleh makan apa saja, tapi jangan masakan Mama Lani.”Arum terlihat semakin bingung mendengarnya. Danu melihat reaksi Arum. Ia tersenyum sekilas sambil mengajak Arum duduk di sofa. Tuan Prada masih terlelap di brankarnya. Ada Ben
“Tuan, saya Beni. Maaf, ini nomor telepon baru saya,” ucap Beni.Danu menghela napas panjang sambil mengusap wajahnya dengan kasar. Ia sudah tegang sekaligus kesal setengah mati.“Ada apa, Ben?”Terdengar helaan napas panjang dari seberang sana.“Tuan … maaf, saya pulang lebih awal dari rumah sakit untuk menyelidiki Nyonya Lani.”Danu mengernyitkan alis, tapi kepalanya sudah mengangguk kali ini.“Lalu … kamu menemukan sesuatu? Dia menemui siapa?”“Belum, Tuan. Hanya saja Nyonya Lani tampak sedang berkemas saat ini. Tidak hanya beliau, putrinya Nona Citra juga sedang sibuk berkemas. Beberapa kali saya melihat mereka memindahkan barang-barang ke sebuah apartemen mewah di pinggir kota.”Danu menganggukkan kepala sambil sibuk menerka di mana lokasi apartemen yang dimaksud.“Papa memang sudah menceraikan Mama Lani. Mungkin itu sebabnya mereka tamp
“Sayang … sudah bangun?” tanya Danu.Ia langsung masuk usai berbincang dengan Budi dan Beni tadi. Arum yang tadi hendak keluar segera duduk di sofa dan hanya tersenyum saat melihat Danu. Kebetulan Art mereka sedang keluar untuk membeli makanan.Danu menggeser duduknya mendekat ke Arum, kemudian mengecup keningnya sekilas.“Kita pulang habis ini. Aku sudah minta Beni berjaga di sini membantu Bibi.”Arum hanya mengangguk sambil tersenyum. Ia melihat Beni dan Budi ikut masuk ke dalam ruangan. Dua orang kepercayaan Danu itu tampak membungkuk memberi salam ke Arum. Arum hanya tersenyum sambil menganggukkan kepala.Arum berharap semoga saja dua orang ini tidak menemukan keterlibatan Tuan Arya pada semua hal yang dilakukan Nyonya Lani. Arum akan sangat kecewa jika itu semua terjadi nantinya.Selang beberapa saat, Arum dan Danu sudah tiba di rumah. Usai makan malam, mereka langsung masuk kamar untuk beristirahat. Sepan
“Baguslah. Aku tunggu di sini.” Danu mengakhiri panggilannya.Ia melirik Arum dan tersenyum saat melihat istrinya masih terlelap. Dengan hati-hati, Danu mengangkat kepala Arum dan meletakkannya di atas bantal. Selanjutnya ia sudah keluar kamar menunggu kedatangan Budi dan Beni di teras.Selang beberapa saat tampak Budi dan Beni mendekat. Dua orang kepercayaan Danu itu tersenyum lebar berjalan mendatangi Danu.“Jadi katakan siapa pelakunya, Bud!!” seru Danu tak sabar.Budi tersenyum, menganggukkan kepala sambil menatap Danu dengan senyum penuh kemenangan.“Anda pasti sangat terkejut begitu tahu siapa orang yang ada di balik semua ini, Tuan,” ucap Budi.Danu mengernyitkan alis menatap Budi dengan penuh tanya. Sementara Beni dan Budi hanya saling pandang dengan senyum lebar.“Baik, kalau begitu katakan siapa dia? Apa Dokter Sandy lagi atau Mama Lani?”Tentu saja Budi dan Beni tampak