Matahari mulai tenggelam di ufuk barat, menciptakan semburat oranye yang memancar di langit. Di pondok kayu Tiger yang sederhana, suasana tegang terasa di antara empat orang yang sedang berkumpul di ruang tamu. Blue dan Sky bersiap-siap untuk misi pengintaian klub yang tersisa, sementara Rose dan Nala duduk di sofa dengan ekspresi tidak puas.
"Ini tidak adil!" Rose memecah keheningan, suaranya penuh dengan frustrasi. "Kami sudah banyak membantu dalam misi sebelumnya, dan kalian tahu itu!"Blue menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. "Rose, kami tahu kalian sangat membantu. Tapi setelah apa yang terjadi terakhir kali, kami tidak bisa mengambil risiko lagi."Nala, yang biasanya tenang, ikut tersulut emosinya. "Kami sudah belajar dari kesalahan itu. Kami lebih berhati-hati sekarang. Mengapa kalian tidak bisa mempercayai kami?"Sky, yang sedang mengemasi peralatan mereka, berhenti sejenak dan menatap Nala. "Ini bukan masalah kepercayaan, NalBlue dan Sky berpisah, masing-masing menuju klub yang berbeda. Tugas mereka adalah menyusup dan mengorek informasi tentang Elang Group, sebuah sindikat kriminal yang selama ini membuat darah mereka mendidih. Sebuah perusahaan yang menjauhkan mereka dari keluarga yang hangat dan layak. Blue melangkah masuk ke klub pertama, sebuah tempat yang gelap dengan musik berdentum keras. Cahaya strobo berkelap-kelip, membuat penglihatan sedikit sulit. Ia mengambil posisi di bar, memesan minuman sambil memperhatikan sekeliling. Seorang pria berjas hitam duduk di sebelahnya, tampak sibuk dengan ponselnya. Blue memutuskan untuk mendekati dan memulai percakapan. "Hei, tempat ini cukup ramai malam ini," kata Blue dengan senyum ramah. Pria itu mengangkat pandangannya dari ponsel dan tersenyum tipis. "Ya, memang. Apakah kamu sering datang ke sini?" Blue menggeleng. "Tidak terlalu. Aku hanya mendengar banyak tentang tempat ini d
"Hei, kalian! Apa yang kalian lakukan di sini?" pria itu bertanya dengan suara keras, menatap Blue dan Sky dengan tatapan tajam.Saudara kembar itu saling bertukar pandang, menyadari bahwa mereka mungkin telah menarik perhatian yang salah. Mereka harus berpikir cepat untuk menghindari masalah lebih lanjut."Kami hanya mencari tempat yang aman," kata Sky dengan nada tenang, berusaha menghindari konfrontasi.Pria itu tampak tidak puas dengan jawaban Sky, tetapi sebelum ia bisa melanjutkan, petugas keamanan klub datang dan menariknya pergi, menghentikan perkelahian yang terjadi.Blue menghela napas lega. "Kita harus keluar dari sini sekarang."Sky mengangguk setuju. "Ayo, kita tidak bisa mengambil risiko lebih banyak."Mereka segera meninggalkan klub, memastikan mereka tidak diikuti. Di luar, mereka berdua merasa sedikit lega, tetapi juga sadar bahwa mereka masih dalam bahaya.Blue dan Sky bergegas meninggalkan klub ketiga
Hartono duduk di ruang kerjanya, menatap layar laptop yang menampilkan berita penggerebekan besar-besaran di seluruh klub miliknya. Wajahnya merah padam, kemarahannya memuncak seiring dengan setiap kata yang ia baca. Polisi telah mengobrak-abrik semua tempat yang ia investasikan, merusak bisnis yang telah ia bangun dengan susah payah. Ia tak bisa menerima kenyataan ini. "Bagaimana bisa mereka melakukan ini padaku?!" Hartono menggebrak meja, suaranya menggema di ruangan yang sepi. Tak lama berselang, istrinya, Olivia, tergopoh-gopoh masuk ke dalam ruang kerja Hartono dengan cemas. Ia tahu suaminya bisa meledak kapan saja, tetapi berita ini benar-benar membuatnya kehilangan kendali. Olivia berusaha menenangkan dirinya sebelum mendekati pria itu. "Tenang, Hartono. Kita bisa mencari jalan keluarnya," kata Olivia dengan suara yang dipaksakan tenang. Hartono menatap Olivia dengan mata berapi-api. "Tenang? Kau minta aku tenang? Se
Di tengah keheningan malam itu Olivia duduk sendirian di dekat balkon, mata yang biasanya menyorot tajam, kini dipenuhi oleh air mata. Hatinya terluka oleh rasa kecewa yang mendalam. Melihatnya dari kejauhan, seorang pria merasa tergerak hatinya untuk mendekat.Dengan langkah perlahan namun mantap, Pak Was mendekati Olivia. Dia duduk di sebelahnya tanpa berkata apa-apa, memberikan kesempatan bagi Olivia untuk menangis sepuasnya.Setelah beberapa saat, Olivia mengangkat wajahnya dan menatap Pak Was dengan tatapan yang penuh rasa syukur. "Terima kasih," ucapnya pelan.Pak Was tersenyum lembut. "Tidak perlu berterima kasih. Aku hanya ingin kau tahu bahwa kamu tidak sendirian."Mereka duduk bersama di bawah cahaya remang-remang bulan purnama, suasana sekitar menjadi lebih hangat meskipun udara malam begitu sejuk. Pak Was memutuskan untuk membuka percakapan lebih jauh. "Aku juga baru tahu kalau yang kita lawan adalah anak-anak Liliana."
"Hoamm.."Anya memerjapkan matanya. Gadis itu tiba-tiba merasa mengantuk saat mengintai kamar ibunya diam-diam seharian. Entah kenapa, Olivia tidak terlihat di kamarnya saat malam. Karena kantuk tiba-tiba melanda, Anya meletakkan tabnya di meja di samping tempat tidur.Setelah mengumpulkan nyawa, gadis itu meraih tabnya. Awalnya, Anya merasa tidak ada yang aneh dari tangkapan layar yang ia lihat. Namun, matanya tiba-tiba terbelalak.Anya bangun dari tidurnya dengan perasaan aneh yang mengganjal di dadanya. Matanya langsung terpaku pada tab. Kini, kebingungannya berubah menjadi kejutan ketika ia melihat ibunya terlelap dalam pelukan sekretaris ayahnya yang juga berada di kamar tidur, di sisi tempat tidur ibunya.Anya menarik napas dalam-dalam, berusaha untuk tidak terpancing oleh emosinya yang mendidih. Tapi kejadian itu terlalu mengguncangnya. Dengan perasaan campur aduk antara marah, bingung, dan kesakitan, Anya tidak bisa menahan diri.
Anya berdiri di tengah keramaian pesta keluarga besar Triadmodjo, sebuah acara yang diadakan untuk merayakan seratus tahun berdirinya klan tersebut. Meskipun suasana penuh keceriaan dan kehangatan keluarga berdatangan dari berbagai penjuru, Anya merasa terombang-ambing dalam gelombang emosinya yang bergejolak. Ia berusaha tersenyum ramah kepada kerabat dan tamu yang menghampirinya, tetapi pandangan matanya terasa kosong, terpaku pada bayangan yang menghantuinya sejak malam sebelumnya.Olivia, sosok yang selama ini menjadi teladan kesempurnaan baginya, tiba-tiba menjadi terlihat rapuh dan kotor. Anya masih teringat dengan jelas bagaimana ia menemukan ibunya terlelap dalam pelukan sekretaris ayahnya di kamar tidur mereka. Kekecewaan dan rasa terkhianati masih menggunung di hatinya, meskipun ia mencoba untuk menguburnya di balik senyuman palsu.Di tengah kebingungannya, sepupunya, Anne, mendekatinya dengan penuh semangat. Anne selalu menjadi sosok yang ceria dan energ
Anya duduk sendirian di tepi danau, air mata mengalir di pipinya tanpa henti. Sudah beberapa jam sejak malam yang menyedihkan itu, ketika ia mengetahui tentang pengkhianatan yang mendalam. Ia merasa terpukul oleh kenyataan bahwa ibunya, sosok yang selama ini menjadi teladan baginya, ternyata memiliki rahasia gelap yang tersembunyi.Keheningan malam hanya dipecahkan oleh suara gemuruh lembut dari air danau yang bergerak perlahan-lahan. Langit malam terhampar dengan indahnya, dipenuhi oleh gemintang yang bersinar terang. Namun, bagi Anya, keindahan alam ini tidak mampu menghilangkan beban berat yang ada dalam hatinya.Tiba-tiba, langkah halus terdengar. Anya menoleh ke arah suara itu dan terkejut melihat seorang pria yang berdiri di sampingnya. Pria itu tampak tenang dan bijaksana, dengan senyum hangat di wajahnya. Matanya yang cokelat, mengikat Anya. Ia tidak ingat punya sosok itu sebagai salah satu keluarganya."Pertama kalinya di sini?" tanya pria itu den
Sky dan Nala sibuk bekerja di depan laptop mereka. Tumpukan kertas, buku, dan kopi yang sudah hampir habis menjadi saksi bisu dari usaha mereka untuk mengurut dan menguraikan informasi yang sudah mereka dapatkan dari klub. Beberapa melibatkan pejabat tinggi dan sindikat kejahatan. Dengan tekad yang bulat, mereka melancarkan serangan melalui media cetak dan internet untuk membongkar kejahatan ini. Sky menatap layar laptopnya dengan serius. "Nala, kamu sudah cek data terbaru dari sumber kita di dalam? Kita harus pastikan semua nama yang kita punya benar-benar terlibat." Nala, yang sedang duduk di kursi sebelah sambil mengetik cepat, berhenti sejenak dan menatap Sky. "Iya, sudah aku cek tiga kali. Kalau ada yang salah, kita tinggal salahkan AI." Sky tertawa. "Kita ini bukan robot, Nala. Lagipula, ini bukan cuma soal benar atau salah, tapi juga tentang keadilan." Nala mengangguk. "Betul. Tapi serius, kita harus hati-hati. Sekal
Setahun kemudian.. Sky, Nala, dan Bayu, sedang menikmati sore di taman kota. Setelah sekian lama berjuang melawan berbagai tantangan dalam hidup, mereka akhirnya menemukan kedamaian dan kebahagiaan di kehidupan mereka saat ini. Bayu baru saja mulai bersekolah lagi di SD Matahari bersama teman-temannya, Joana dan Aldo. Mereka tinggal di kompleks yang sama dengan Joana dan Aldo, sehingga setelah berjalan-jalan santai, mereka kembali ke rumah mereka. Anya telah meniti karier yang sukses sebagai direktur Rumah Sakit Besari, mendedikasikan dirinya untuk meningkatkan pelayanan kesehatan di komunitas mereka. Elang Group, perusahaan yang dipimpin oleh Blue, atau yang sekarang dikenal sebagai Langit, terus berkembang dan memberikan kontribusi positif bagi masyarakat dan lingkungan sekitar. Sementara itu, Rose berhasil mendapatkan naturalisasi dan membuka toko bunga yang indah di dekat kompleks tempat tinggal Nala. Tokonya menjadi tempat favorit bagi penduduk setempat yang mengagumi keahli
Tiger, Nala dan Rose tiba di tepi pantai dengan napas terengah-engah, terdengar gemuruh ombak di kejauhan. Mereka menghentikan langkah mereka mendadak ketika mendengar suara letusan yang mengejutkan dari arah dermaga.Dor!Hati Nala berdebar kencang, naluri mereka langsung mengarahkan pandangan ke arah Sky dan Blue yang terendam di dalam air.Nala, dengan mata berkaca-kaca, berlari mendekati Sky yang terdampar di tepi pantai. Dengan gemetar, dia jatuh berlutut di pasir pantai. Riak air tiba-tiba berhenti, menandakan mereka berdua sudah jauh tenggelam.Nala dan Rose mencoba mendekati tempat kejadian, namun para polisi mencegahnya. Beberapa petugas ada yang menyelam, mencari mereka. Namun, nihil. Tak ada tanda-tanda tubuh mereka ditemukan."Sepertinya mereka terbawa arus," ucap salah satu di antara mereka. "Kami tidak menemukan apapun."Rose dan Nala menjerit tak karuan. Setelah beberapa saat, mereka mencoba menenangkan diri di pin
Sky dan Blue memacu mobil mereka dengan cepat mengejar Hartono yang melarikan diri. Lampu-lampu kota yang masih hidup, berkedip-kedip di sekitar mereka saat mereka melaju melewati jalan-jalan yang ramai. Mereka mengejar mobil Hartono yang berbelok-belok di antara lalu lintas, mencoba untuk tidak kehilangan jejak."Kita hampir mendapatkannya!" seru Sky, matanya tetap fokus pada mobil di depan mereka.Blue, yang duduk di kursi penumpang dengan tegang, mengangguk setuju. "Tetap fokus, Sky. Kita harus menangkapnya sebelum dia bisa kabur lebih jauh."Mereka terus memacu mobil mereka, mengikuti dengan cermat setiap gerakan mobil Hartono. Jalanan mulai sepi ketika mereka mendekati dermaga yang terletak di pinggiran kota. Lampu-lampu jalan redup di belakang mereka, memantulkan kekhawatiran yang mereka rasakan.Hartono, yang terus melaju dengan cepat, akhirnya memarkir mobilnya di ujung dermaga yang sepi. Dia keluar dengan cepat, menghadapi Sky dan Blue ya
Suara letusan senjata menggelegar di dalam vila yang sunyi, menyela hening pagi yang mulai terang. Tiger, yang menunggu di mobil dengan tegang, mendongak mendengar itu. Dia menatap Nala dengan mata penuh kekhawatiran."Kau merasa gugup?" Tiger bertanya dengan lembut. "Setelah ini, semuanya akan berakhir."Nala, yang duduk di sampingnya dengan wajah tegang, menggeleng pelan. Dia mencoba untuk menenangkan dirinya sendiri meskipun jantungnya berdegup kencang."Ya, sedikit," jawab Nala akhirnya, suaranya bergetar sedikit. "Ini semua terasa seperti mimpi buruk. Kuharap tidak ada yang terluka dari letusan itu."Tiger meraih tangan Nala dengan penuh dukungan. "Kita akan melalui ini bersama-sama, Nala. Kami sudah mendekati akhir dari semua ini."Mereka berdua duduk dalam hening sejenak, mengumpulkan keberanian dan fokus untuk apa yang akan mereka hadapi selanjutnya.Lalu, tiba-tiba suara radio mengejutkan mereka."Lapor, Tiger.
"Ahhhh!!!" Olivia, dengan hati yang penuh kegelisahan, melihat Pak Was jatuh dari balkon dengan terkejut yang mendalam. "Tidak, tidak. Was!! Was, jangan tinggalkan aku, Was. Jangan pergi! Was! Kau sudah berjanji padaku, Was. Kau harus hidup, jangan tinggalkan aku! Jangan tinggalkan akuu!!!"Olivia berteriak histeris, mencoba menjangkau pak Was yang terbaring tak bergerak di tanah. Anya, putrinya yang ketakutan, berlari mendekat untuk menahan ibunya. Namun, dalam kepanikan yang melanda, Olivia terlalu kuat untuk ditahan."Mama, sudah. Jangan seperti ini, atau mama akan jatuh. Ma, tolong. Ayo, ma kita turun. Ma,"Anya bisa melihat dari kejauhan kalau rumahnya sudah dikepung. Ia tahu sebentar lagi akan menjadi akhir dari perjalanan orang tuanya dalam melakukan kejahatan. Tapi, ia sendiri tidak menyangka akan menyaksikan peristiwa jatuhnya Pak Was. Dari tampilannya, tampaknya tubuh Pak Was sudah tak lagi bernyawa. Pria itu sudah tak lagi bisa diselam
Di luar jendela, matahari mulai terbit, menyisakan langit senja yang memancarkan cahaya oranye dan merah muda yang lembut. Suasana itu memberikan kontras dengan keheningan yang menyelimuti ruangan Hartono yang sepi.Pikirannya melayang ke masa lalu, saat semuanya masih normal. Pak Was, yang selalu setia dan dedikatif dalam pekerjaannya, kini telah mengkhianatinya. Dia merasa kehilangan sosok yang telah menjadi bagian dari kehidupannya selama bertahun-tahun.Hartono menatap foto keluarganya, foto Liliana dan kedua anak kembarnya, di meja kerjanya, sorot matanya tampak penuh penyesalan. Dia berdoa dalam hati, berharap agar Liliana tenang di tempat yang lebih baik.Suasana pagi itu di ruang kerja Hartono memantulkan perasaannya yang campur aduk: kesedihan, penyesalan, dan tekad balas dendam yang membara. Langit fajar yang merona menjadi saksi dari perubahan yang mendalam dalam hidupnya, suatu perubahan yang tidak pernah dia rencanakan atau bayangkan sebelumny
Setelah perjalanan yang tegang dan cepat dari kota menuju vila terpencil di pinggiran hutan, Blue, Nala, Sky, dan Rose tiba di tempat tujuan mereka. Hutan di sekeliling vila memberikan kesan sunyi namun tegang, dengan sinar fajar yang mulai membuat bayangan di balik pohon-pohon rimbun. Mereka turun dari mobil dengan hati-hati, siap untuk bertindak cepat dan efisien, menunggu pasukan lain dan Tiger tiba.Setelah beberapa saat, belasan mobil polisi dan dua mobil yang mengangkut pasukan khusus, mulai berdatangan. Tiger muncul di antara mereka dengan membawa senapan laras panjang dan senyum di wajahnya."Bagaimana? Siap?" pria itu bertanya. "Helikopter sudah dalam perjalanan. Kali ini, Hartono tidak akan kabur.""Bukankah jumlah ini terlalu berlebihan?" Rose tampak melongo dengan sejumlah pasukan yang mengitari mereka. "Memangnya kita menangkap gerombolan orang jahat ya?""Ya, Hartono setara dengan ratusan penjahat, sih. Jadi ini sepadan, hehe."
Anya melangkah dengan cepat di koridor vila, menuju kamar Olivia. Setiap langkah yang ia ambil, membuat ingatannya memainkan gambaran masa lalu yang penuh cahaya, berbeda dengan suasana saat ini yang dipenuhi dengan ketegangan dan kekhawatiran. Dia berusaha menenangkan dirinya sendiri sambil mencari-cari ibunya, Olivia, yang mungkin masih terlelap dan tidak tahu atas apa yang akan terjadi.Sebagai anak dari Olivia dan Hartono, Anya tumbuh di lingkungan yang sering kali menawarkan lebih banyak teka-teki daripada jawaban. Ayahnya, Hartono, adalah seorang pria yang selalu tampak gelap dan misterius yang dibalut dengan senyum hangatnya, sementara ibunya, Olivia, adalah sosok yang mencoba sekuat tenaga untuk menjaga ketenangan dan keseimbangan dalam kehidupan keluarga mereka, tentu saja dengan cara-cara licik yang belakangan Anya ketahui. Namun, situasi yang sering kali tegang dan penuh tekanan telah membuat Anya belajar untuk memilih langkah-langkahnya denga
Suasana malam yang dingin dan tenang menyelimuti kota saat Sky, Nala, Blue, dan Rose menerima telepon darurat dari Anya. Mereka duduk bersama di ruang tengah pondok kayu, tempat mereka kini berkumpul, atmosfer yang sebelumnya santai berubah menjadi tegang seketika. Anya, dengan suara gemetar, memberitahukan bahwa Hartono memergoki istrinya, Olivia, sedang bermesraan dengan Pak Was. Entah bermesraan yang seperti apa, yang pasti Anya tampak takut akan terjadi sesuatu yang buruk.Sky, yang duduk di sofa dengan laptopnya, segera menutup layar dan menatap serius ke arah Blue dan Nala. "Kita harus segera ke sana. Anya bilang dia sudah mengirimkan alamatnya padamu, kan?"Blue, yang biasanya santai, kini tampak tegang. Dia mengangguk cepat. "Aku ambil kunci mobil."Nala, yang sedang mengaduk secangkir teh, menaruh sendoknya perlahan. "Aku ambil kit medis dari lemari."Rose, yang duduk di pojok ruangan dengan buku di tangannya, mengangguk setuju. "Aku ambi