Bayu bersin.
Bocah itu tidak sedang flu. Ia hanya sedikit gugup dengan situasi yang kini menyelimuti kedua orang tuanya, Sky dan Nala. Mereka berdua memang sedang berada di depannya, menikmati makan siang di ruang tamu. Jendela yang terbuka membelai mereka dengan angin sepoi-sepoi hutan yang sejuk. Seharusnya, suasana yang nyaman dan tenang itu bisa membangkitkan kehangatan keluarga.Namun, yang terjadi justru sebaliknya.Bayu berusaha keras untuk tidak banyak tingkah. Meskipun ia masih bersikeras meminta bantuan Sky untuk mengajarinya merakit dan menjinakkan bom, Bayu memilih duduk diam, terpaku. Seolah setiap gerakan kecil dari tubuhnya mungkin bisa menyulut emosi yang meledak-ledak di dalam lingkaran kecil mereka.“Apa makanannya tidak enak?” Nala tersenyum pada Bayu, memecah keheningan.Bayu tersenyum kaku. “Tidak, kok,” ia menggelengkan kepalanya dengan cepat, kelewat semangat. “Rasanya enak. Ikannya dipanggang dulu ya?”Na“Ayah kemana, bu?” Desis Bayu, membuat hati Nala teriris.Malam itu, mereka berdua duduk di depan perapian. Sky tidak kunjung pulang, entah berada di mana. Nala terbiasa dengan datang dan pergi suaminya sejak sepuluh tahun mereka berpisah. Namun, hari ini terasa begitu berat karena mereka berpisah setelah bertengkar hebat.“Ada misi, sepertinya,” jawab Nala. Meskipun ia sendiri tidak yakin, namun wanita itu berusaha menenangkan anaknya.Bayu menguap. Ia khawatir kedua orang tuanya tidak akur lagi. Tapi, otaknya tidak bisa diajak kerja sama. Kantuk sudah menyerangnya.“Bayu mengantuk?”Bayu mengangguk. “Aku keasyikan main game tadi. Jadi tidak sempat tidur siang.”Nala mengecup kedua pipi Bayu sebelum anak itu pergi ke dalam kamarnya. Sendirian, wanita itu memperhatikan perapian yang berkobar, melumat kayu yang tergeletak. Asapnya membumbung tinggi ke ujung cerobong. Nala sempat mempertanyakan kemana asap itu pergi. Semi
Angin menampar pipi Sky. Meskipun hari ini cuaca sedang lembab dan berangin, ia nekat mengajak adiknya, Blue, bertemu dengannya di kafe terbuka langganan mereka. Karena berada di puncak hotel tertinggi, Sky bisa melihat dengan jelas petir menyambar dari kejauhan, menyeret awan mendung menuju ke tempatnya.“Wah..”Suara Blue yang baru datang memecahkan lamunannya. Blue mengenakan jaket tebal berwarna biru tua. Rambutnya tak perlu lagi dikeriting seperti yang biasa ia lakukan selama berakting menjadi Bram. Kini, Blue sudah percaya diri tampil dengan rambut lurus tebalnya.“Kau menunggu lama?” Ia bertanya. Kedua tangannya digosok-gosokkan. “Apa yang membuatmu ingin bertemu di tempat tinggi begini? Dasar gila! Sudah jelas kalau lima belas menit lagi hujan akan turun.”Sky tersenyum kecil. Benaknya berpikir kalau hubungan mereka harusnya baik-baik saja. Blue tetaplah adiknya yang manis. Namun, bayangannya menyetubuhi istrinya dalam keadaan mabuk, sudah
Olivia menaikturunkan kakinya sambil sesekali melihat ke sekeliling. Ia berada di restoran mewah, di salah satu hotel milik ayahnya yang diakuisisi oleh Hartono. Berbagai macam hidangan mewah sudah tersaji di atas meja, namun tak ada satupun yang ia cicipi. Dengan gugup, wanita itu meminum anggur putih sambil memperhatikan ke luar jendela, berharap pemandangan sibuk lalu lintas bisa mengalihkan pikirannya.Jam makan siang membuat suasana restoran cukup ramai. Olivia sengaja memilih waktu ini guna menutupi ketidaknyamannya atas pertemuan yang ia rencanakan sendiri.Pertemuan dengan Anggi, sahabat kecilnya.Setelah beberapa saat menunggu, munculah kepala sekolah SD Matahari yang baru saja kembali dari liburannya di luar negeri. Senyumnya yang kapitalis, digantikan dengan senyum puas, seolah yang ia temui adalah orang brengsek yang pernah membuangnya dan kini mengemis belas kasih setelah tahu dirinya menjadi orang sukses.Anggi duduk di depan Olivia
Hari ini Bayu berangkat ke panti asuhan Besari. Meskipun Nala dan Sky sedang bertengkar, mereka masih bisa sempat berdiskusi dan memutuskan langkah yang tepat dalam mengamankan anak mereka. Bayu masih belum dewasa, ia tetaplah seorang anak. Tentu saja berada di lingkungan yang menegangkan tidak baik untuk tumbuh kembangnya.“Hati-hati di jalan, ya..” Nala berlutut memeluk anaknya dengan erat. Rose berada di belakang mereka, membantu Sky membawakan barang-barang yang dibutuhkan. Tentu saja kebanyakan dari barang bawaan itu buku-buku kuantum dan anatomi.“Ibu,” Bayu menarik diri. Anak itu membelai lembut rambut ibunya dengan lembut. Matanya yang berbinar meluluhkan segala waswas yang sempat menyelimuti Nala. “Aku pasti baik-baik saja.”“Ibu tahu.”“Jangan bertengkar lagi ya sama ayah.”Nala tersenyum, membalas senyuman polos anak yang berada di hadapannya. Setelah mereka berpelukan sekali lagi, Bayu berangkat bersama Rose. Mereka menghilang
Rose sampai apartemen nyaris tengah malam. Sebenarnya, ia ditawari menginap oleh Kak Joe di panti. Namun, mengingat dia belum mengambil cuti sebagai guru di SD Matahari, tawaran itu ditolaknya dengan halus. Meskipun sosok guru hanyalah sebuah samaran baginya, Rose cukup totalitas.“Aku pulang!” Seru Rose begitu menginjakkan kaki di apartemen.Tak ada jawaban. Biasanya, Blue sudah pulang sebelum pukul sebelas meskipun lampu apartemen dibiarkan mati.Rose bermaksud membereskan diri, namun ia dikejutkan oleh kehadiran Blue yang meringkuk di atas kasur.“Sayang,” sapa Rose. Ia pun duduk di tepi tempat tidur dan membelai lembut rambut Blue.Blue menoleh, baru menyadari kehadiran Rose di sisinya.“Kau sudah pulang?” Tanya pria itu dengan suara serak.“Kau sakit?” Rose memeriksa kening Blue. “Tapi kau tidak demam. Aku baru saja datang. Tadi aku berteriak tapi kau tidak menjawab.”Blue mengangguk tak bersemangat. Ia mel
“Semua sudah berkumpul?” Tiger memeriksa setiap orang yang kini berada di dalam pondok. Mereka semua berkumpul di depan perapian. Blue dan Sky masih canggung dan berjarak. Sedangkan Rose berada di sisi lain, mencoba menguatkan Nala. Nala memperhatikan Tiger yang menjadi satu-satunya orang yang berdiri di antara mereka berlima. Saat mata mereka saling beradu, Tiger dan Nala menjadi agak salah tingkah dan kikuk. “Ehem, semuanya,” Tiger mencari perhatian. “Kita mendapatkan informasi baru.” “Kau bisa mengirimi telegram atau sinyal radio pada kami tanpa harus berkumpul di sini,” Rose merasa jengah. Matanya memberi isyarat pada Tiger untuk memperhatikan ketegangan yang muncul di antara Blue dan Sky. Tiger mengikuti arah pandangan Rose, lalu mendesah pelan. “Kita tidak bisa mencampuri urusan keluarga dengan pekerjaan, Rose. Sayang sekali.” Mendengar kalimat yang keluar d
Aroma kopi memenuhi paru-paru Hartono pagi itu. Ia masih dalam kebimbangan yang carut marut. Videonya masih diperbincangkan, bahkan rencananya dengan pembukaan mall yang sudah direncanakan dengan matang, tidak berjalan sempurna. Semuanya gagal, seolah seseorang sudah tahu pion apa yang akan ia mainkan.“Tuan..” Pak Was datang, sesuai arahan Hartono.Hartono memutar kursi kerjanya, menyambut kedatangan sekretaris setianya itu.“Bagaimana citraku hari ini?” Hartono bertanya dengan rahang yang mengeras.“Masih belum ada tanda-tanda yang positif, Tuan.”Hartono menggebrak meja. Wajahnya merah padam. “Sial. Sudah kuduga.”“Bagaimana kalau kita membuat pernyataan kalau semua itu fitnah?” Pak Was mengusulkan. “Video itu disunting seolah-olah anda adalah yang ada di dalam video.”Hartono menanggapi ide itu dengan kepala berdenyut. “Tidak perlu begitu. Lagipula, apakah ada orang yang akan percaya? Aku dikenal sebagai malaikat tak
“Direktur utama sekaligus pemilik saham terbesar Elang Group, Hartono Triadmodjo, secara resmi mencalonkan diri sebagai calon presiden periode 202X-203X. Hal ini disampaikan langsung oleh kepala divisi humas, yang mengadakan konferensi pers pada sore hari ini.”Suara berita memenuhi seluruh pondok. Nala diam terpaku. Ia saat itu sedang sibuk membersihkan lantai dengan penyedot debu. Kini, wanita itu hanya bisa termenung, meratapi pekerjaan mereka. Dia bahkan rela memakai baju bewarna merah muda yang mencolok demi menjatuhkan reputasi Hartono.“Sialan!” Sky menggerutu. Ia keluar dari kamar Bayu. Lalu, matanya tak sengaja bertemu mata dengan Nala.“Dia mencalonkan diri, Sky,” desis Nala, seolah Sky belum tahu.Pria itu mengangguk. Pintu kamar Bayu setengah terbuka. Suara televisi di dekat perapian bisa masuk lewat celah-celah yang terbuka.“Apa yang dipikirkan orang itu sebenarnya?”“Aku juga tidak tahu,” Sky tampak putus asa. “Ras
Setahun kemudian.. Sky, Nala, dan Bayu, sedang menikmati sore di taman kota. Setelah sekian lama berjuang melawan berbagai tantangan dalam hidup, mereka akhirnya menemukan kedamaian dan kebahagiaan di kehidupan mereka saat ini. Bayu baru saja mulai bersekolah lagi di SD Matahari bersama teman-temannya, Joana dan Aldo. Mereka tinggal di kompleks yang sama dengan Joana dan Aldo, sehingga setelah berjalan-jalan santai, mereka kembali ke rumah mereka. Anya telah meniti karier yang sukses sebagai direktur Rumah Sakit Besari, mendedikasikan dirinya untuk meningkatkan pelayanan kesehatan di komunitas mereka. Elang Group, perusahaan yang dipimpin oleh Blue, atau yang sekarang dikenal sebagai Langit, terus berkembang dan memberikan kontribusi positif bagi masyarakat dan lingkungan sekitar. Sementara itu, Rose berhasil mendapatkan naturalisasi dan membuka toko bunga yang indah di dekat kompleks tempat tinggal Nala. Tokonya menjadi tempat favorit bagi penduduk setempat yang mengagumi keahli
Tiger, Nala dan Rose tiba di tepi pantai dengan napas terengah-engah, terdengar gemuruh ombak di kejauhan. Mereka menghentikan langkah mereka mendadak ketika mendengar suara letusan yang mengejutkan dari arah dermaga.Dor!Hati Nala berdebar kencang, naluri mereka langsung mengarahkan pandangan ke arah Sky dan Blue yang terendam di dalam air.Nala, dengan mata berkaca-kaca, berlari mendekati Sky yang terdampar di tepi pantai. Dengan gemetar, dia jatuh berlutut di pasir pantai. Riak air tiba-tiba berhenti, menandakan mereka berdua sudah jauh tenggelam.Nala dan Rose mencoba mendekati tempat kejadian, namun para polisi mencegahnya. Beberapa petugas ada yang menyelam, mencari mereka. Namun, nihil. Tak ada tanda-tanda tubuh mereka ditemukan."Sepertinya mereka terbawa arus," ucap salah satu di antara mereka. "Kami tidak menemukan apapun."Rose dan Nala menjerit tak karuan. Setelah beberapa saat, mereka mencoba menenangkan diri di pin
Sky dan Blue memacu mobil mereka dengan cepat mengejar Hartono yang melarikan diri. Lampu-lampu kota yang masih hidup, berkedip-kedip di sekitar mereka saat mereka melaju melewati jalan-jalan yang ramai. Mereka mengejar mobil Hartono yang berbelok-belok di antara lalu lintas, mencoba untuk tidak kehilangan jejak."Kita hampir mendapatkannya!" seru Sky, matanya tetap fokus pada mobil di depan mereka.Blue, yang duduk di kursi penumpang dengan tegang, mengangguk setuju. "Tetap fokus, Sky. Kita harus menangkapnya sebelum dia bisa kabur lebih jauh."Mereka terus memacu mobil mereka, mengikuti dengan cermat setiap gerakan mobil Hartono. Jalanan mulai sepi ketika mereka mendekati dermaga yang terletak di pinggiran kota. Lampu-lampu jalan redup di belakang mereka, memantulkan kekhawatiran yang mereka rasakan.Hartono, yang terus melaju dengan cepat, akhirnya memarkir mobilnya di ujung dermaga yang sepi. Dia keluar dengan cepat, menghadapi Sky dan Blue ya
Suara letusan senjata menggelegar di dalam vila yang sunyi, menyela hening pagi yang mulai terang. Tiger, yang menunggu di mobil dengan tegang, mendongak mendengar itu. Dia menatap Nala dengan mata penuh kekhawatiran."Kau merasa gugup?" Tiger bertanya dengan lembut. "Setelah ini, semuanya akan berakhir."Nala, yang duduk di sampingnya dengan wajah tegang, menggeleng pelan. Dia mencoba untuk menenangkan dirinya sendiri meskipun jantungnya berdegup kencang."Ya, sedikit," jawab Nala akhirnya, suaranya bergetar sedikit. "Ini semua terasa seperti mimpi buruk. Kuharap tidak ada yang terluka dari letusan itu."Tiger meraih tangan Nala dengan penuh dukungan. "Kita akan melalui ini bersama-sama, Nala. Kami sudah mendekati akhir dari semua ini."Mereka berdua duduk dalam hening sejenak, mengumpulkan keberanian dan fokus untuk apa yang akan mereka hadapi selanjutnya.Lalu, tiba-tiba suara radio mengejutkan mereka."Lapor, Tiger.
"Ahhhh!!!" Olivia, dengan hati yang penuh kegelisahan, melihat Pak Was jatuh dari balkon dengan terkejut yang mendalam. "Tidak, tidak. Was!! Was, jangan tinggalkan aku, Was. Jangan pergi! Was! Kau sudah berjanji padaku, Was. Kau harus hidup, jangan tinggalkan aku! Jangan tinggalkan akuu!!!"Olivia berteriak histeris, mencoba menjangkau pak Was yang terbaring tak bergerak di tanah. Anya, putrinya yang ketakutan, berlari mendekat untuk menahan ibunya. Namun, dalam kepanikan yang melanda, Olivia terlalu kuat untuk ditahan."Mama, sudah. Jangan seperti ini, atau mama akan jatuh. Ma, tolong. Ayo, ma kita turun. Ma,"Anya bisa melihat dari kejauhan kalau rumahnya sudah dikepung. Ia tahu sebentar lagi akan menjadi akhir dari perjalanan orang tuanya dalam melakukan kejahatan. Tapi, ia sendiri tidak menyangka akan menyaksikan peristiwa jatuhnya Pak Was. Dari tampilannya, tampaknya tubuh Pak Was sudah tak lagi bernyawa. Pria itu sudah tak lagi bisa diselam
Di luar jendela, matahari mulai terbit, menyisakan langit senja yang memancarkan cahaya oranye dan merah muda yang lembut. Suasana itu memberikan kontras dengan keheningan yang menyelimuti ruangan Hartono yang sepi.Pikirannya melayang ke masa lalu, saat semuanya masih normal. Pak Was, yang selalu setia dan dedikatif dalam pekerjaannya, kini telah mengkhianatinya. Dia merasa kehilangan sosok yang telah menjadi bagian dari kehidupannya selama bertahun-tahun.Hartono menatap foto keluarganya, foto Liliana dan kedua anak kembarnya, di meja kerjanya, sorot matanya tampak penuh penyesalan. Dia berdoa dalam hati, berharap agar Liliana tenang di tempat yang lebih baik.Suasana pagi itu di ruang kerja Hartono memantulkan perasaannya yang campur aduk: kesedihan, penyesalan, dan tekad balas dendam yang membara. Langit fajar yang merona menjadi saksi dari perubahan yang mendalam dalam hidupnya, suatu perubahan yang tidak pernah dia rencanakan atau bayangkan sebelumny
Setelah perjalanan yang tegang dan cepat dari kota menuju vila terpencil di pinggiran hutan, Blue, Nala, Sky, dan Rose tiba di tempat tujuan mereka. Hutan di sekeliling vila memberikan kesan sunyi namun tegang, dengan sinar fajar yang mulai membuat bayangan di balik pohon-pohon rimbun. Mereka turun dari mobil dengan hati-hati, siap untuk bertindak cepat dan efisien, menunggu pasukan lain dan Tiger tiba.Setelah beberapa saat, belasan mobil polisi dan dua mobil yang mengangkut pasukan khusus, mulai berdatangan. Tiger muncul di antara mereka dengan membawa senapan laras panjang dan senyum di wajahnya."Bagaimana? Siap?" pria itu bertanya. "Helikopter sudah dalam perjalanan. Kali ini, Hartono tidak akan kabur.""Bukankah jumlah ini terlalu berlebihan?" Rose tampak melongo dengan sejumlah pasukan yang mengitari mereka. "Memangnya kita menangkap gerombolan orang jahat ya?""Ya, Hartono setara dengan ratusan penjahat, sih. Jadi ini sepadan, hehe."
Anya melangkah dengan cepat di koridor vila, menuju kamar Olivia. Setiap langkah yang ia ambil, membuat ingatannya memainkan gambaran masa lalu yang penuh cahaya, berbeda dengan suasana saat ini yang dipenuhi dengan ketegangan dan kekhawatiran. Dia berusaha menenangkan dirinya sendiri sambil mencari-cari ibunya, Olivia, yang mungkin masih terlelap dan tidak tahu atas apa yang akan terjadi.Sebagai anak dari Olivia dan Hartono, Anya tumbuh di lingkungan yang sering kali menawarkan lebih banyak teka-teki daripada jawaban. Ayahnya, Hartono, adalah seorang pria yang selalu tampak gelap dan misterius yang dibalut dengan senyum hangatnya, sementara ibunya, Olivia, adalah sosok yang mencoba sekuat tenaga untuk menjaga ketenangan dan keseimbangan dalam kehidupan keluarga mereka, tentu saja dengan cara-cara licik yang belakangan Anya ketahui. Namun, situasi yang sering kali tegang dan penuh tekanan telah membuat Anya belajar untuk memilih langkah-langkahnya denga
Suasana malam yang dingin dan tenang menyelimuti kota saat Sky, Nala, Blue, dan Rose menerima telepon darurat dari Anya. Mereka duduk bersama di ruang tengah pondok kayu, tempat mereka kini berkumpul, atmosfer yang sebelumnya santai berubah menjadi tegang seketika. Anya, dengan suara gemetar, memberitahukan bahwa Hartono memergoki istrinya, Olivia, sedang bermesraan dengan Pak Was. Entah bermesraan yang seperti apa, yang pasti Anya tampak takut akan terjadi sesuatu yang buruk.Sky, yang duduk di sofa dengan laptopnya, segera menutup layar dan menatap serius ke arah Blue dan Nala. "Kita harus segera ke sana. Anya bilang dia sudah mengirimkan alamatnya padamu, kan?"Blue, yang biasanya santai, kini tampak tegang. Dia mengangguk cepat. "Aku ambil kunci mobil."Nala, yang sedang mengaduk secangkir teh, menaruh sendoknya perlahan. "Aku ambil kit medis dari lemari."Rose, yang duduk di pojok ruangan dengan buku di tangannya, mengangguk setuju. "Aku ambi