Pukul dua dini hari, angin malam berhembus dingin dan sepi di sekitar pusat perbelanjaan yang megah dan modern. Mall itu berdiri angkuh dengan jendela-jendela kaca besar dan dinding marmer yang berkilau di bawah sinar bulan. Sudah jelas Hartono cukup banyak menaruh minat dalam pembangunan gedung ini.Dua sosok bayangan bergerak dengan lincah dan penuh kehati-hatian, menyelinap di antara bayang-bayang, mencoba tetap tak terlihat dari para penjaga yang sedang berkeliling.“Tiger bilang, kemungkinan ada tiga titik,” bisik Sky pada Blue, begitu mereka sudah mencapai sudut gedung yang gelap. “Kita harus memastikan semuanya.”“Kalau ditemukan, kau yakin akan langsung menjinakkannya?”Sky mengangguk. “Aku tidak ingin mengambil terlalu banyak risiko, Blue. Sekalipun mungkin ada orang lain yang akan selalu memastikan bom itu tetap di sana, kita sebaiknya mencobanya.”Blue mengangguk sambil mengutak-atik tabletnya. “CCTV sudah kubekukan. Kita mulai
Pagi itu, matahari terbit dengan warna oranye keemasan, menyinari pusat perbelanjaan yang akan segera dibuka. Sky, Blue, dan Keep, tiba lebih awal. Mereka membaur menjadi pegawai keamanan yang lain agar lebih leluasa mengintai dan mengawasi mall dari dekat. Semalam, tiga bom sudah berhasil Sky dan Blue lumpuhkan. Kini, mereka bertiga memastikan tidak ada ancaman lain yang tertinggal.Mereka berpencar. Sky mengambil posisi keamanan di lantai satu, menyambut setiap tamu yang memasuki mall. Blue, dengan keahliannya mengawasi banyak orang, berada di ruang kendali CCTV di lantai dua. Keep, yang memiliki insting tajam dan kenekatan, memutuskan berjaga di lantai tiga, dekat pujasera yang diprediksi akan menjadi pusat keramaian.Pukul sembilan pagi, kerumunan mulai berkumpul di depan mall. Orang-orang bersemangat menantikan pembukaan resmi yang telah dinantikan berbulan-bulan. Pihak keamanan dan manajemen mall sibuk memastikan seluruh rangkaian acara berjalan lancar.
Sky dan Blue duduk di depan perapian hangat yang menyala mencoba menghangatkan diri dari dinginnya hutan. Sedangkan Nala dan Rose berada di dapur, bersama Bayu, memasak sesuatu.Mereka tidak banyak bicara. Masing-masing tenggelam dalam pikirannya sendiri. Cahaya api memantul di wajah mereka, menciptakan bayangan yang bergerak pelan di dinding kayu.Sky memandang ke dalam api dengan tatapan kosong. “Aku tidak bisa berhenti memikirkan apa yang sudah terjadi,” katanya akhirnya, memecah kesunyian.Blue mengangguk, meskipun ia tidak melihat langsung ke arah kakaknya itu. “Ada yang hilang, rasanya. Seandainya kita bisa memprediksi kehadiran tumbal itu..”Sky menghela nafas berat. “Susah menghilangkan rasa bersalah ini. Apalagi dia salah satu anak yang pernah diasuh oleh ibu.”Blue akhirnya menoleh ke Sky. Matanya memancarkan kepedihan yang sama. “Aku sudah lama tidak memanggilnya Kemal.”“Aku sesekali keceplosan. Dia imut kalau sedang
Di dalam pondok kayu Tiger, suasana dapur yang hangat dipenuhi aroma masakan yang sedap. Nala sedang sibuk memasak kari ayam di atas kompor, sementara Bayu, duduk di sofa dan hanyut membaca buku tentang luar angkasa. Rose duduk di meja dapur, menatap Nala dengan mata yang memancarakan kesedihan bercampur kecemasan.“Masakanmu selalu enak, ya, Nala,” kata Rose saat Nala mengaduk panci. Gadis itu mencoba mengalihkan pikirannya dari peristiwa yang terjadi siang ini.“Terima kasih, Rose. Tapi, kau harus tahu. Aku hanya bisa masak kari.”Rose menghela napas, seolah apapun yang dikeluarkan Nala tak menarik perhatiannya. “Aku masih sulit mempercayai kalau Keep sudah pergi. Rasanya seperti mimpi buruk yang tidak pernah berakhir.”“Kau kenal dengan Keep juga?”Rose mengangguk. “Dua tahun aku menginap di rumahnya sebelum memutuskan menyewa apartemenku sendiri agar lebih dekat dengan SD Matahari. Keep mungkin lebih muda dariku. Tapi, dia banyak mera
Malam itu, pondok kayu Tiger tampak sunyi. Hanya derit pintu yang sesekali terbawa angin dan gemerisik dedaunan yang menjadi suara latar kesedihan yang merayap di antara mereka yang berkumpul di sana. Seluruh lampu dimatikan setelah selesai makan malam. Cahaya dari perapian yang temaram menambah suasana duka, mengingatkan mereka pada sosok teman yang baru saja gugur saat menjalankan tugasnya.Bayu meringkuk dalam pelukan Nala. Selain bocah itu, semuanya masih terjaga. Sorot api yang menyala-nyala seolah menarik perhatian mereka dan menguncinya.“Kita setidaknya harus ke panti,” Sky memecah keheningan itu.“Ya, sepertinya memang itu ide bagus,” Blue sepakat. “Tapi, kau saja yang ke sana. Aku tidak terlalu punya ikatan dengan tempat itu.”“Memangnya, kau berada di panti yang berbeda?” tanya Nala, membuat Sky dan Blue berpandangan.“Ya, semacam itu,” Sky menegaskan. “Semisal aku punya gagasan kalau Bayu dititipkan di sana, apakah kau keberat
Sky memandang kosong ke luar jendela, pikirannya dipenuhi dengan berbagai macam pertanyaan yang sulit dipecahkan. Kesetiaan Nala yang selama ini ia yakini, mulai mengabur dari pikirannya. Sky tahu, sepuluh tahun adalah waktu yang lama. Ada banyak hal yang mungkin telah berubah dalam kehidupan mereka masing-masing. Tapi, mengapa harus Blue?Sky mengambil sebotol wiski dari lemari penyimpanan Tiger, menuangkan dua gelas penuh, dan berjalan ke arah Nala yang sedang duduk sendirian.“Blue mana?” tanya Sky berusaha terdengar biasa saja.“Dia memutuskan tidur bersama Bayu,” jawab Nala.Sky mencoba tersenyum, meskipun senyum itu terasa dipaksakan. “Bagaimana kalau kita minum sedikit malam ini? Mungkin bisa membantu kita lebih rileks,”Sky menyerahkan salah satu gelas kepada Nala.Nala menatap gelas itu sejenak sebelum mengambilnya. Wajahnya girang bukan main. Sudah lama ia tidak menikmati minuman kesukaannya karena akhir-akhir ini Blue
Nala terbangun dengan kepala yang berdenyut-denyut, seakan-akan ada palu besar yang terus memukul-mukul dari dalam. Sisa-sisa alkohol semalam masih terasa di mulutnya, pahit dan menyengat. Ini pertama kalinya setelah sekian lama ia minum wiski lagi. Seingatnya, semalam ia sedang heboh membahas rencana masa depan Bayu kalau tidak jadi pengembang teknologi. Mata Nala perlahan membuka, berusaha fokus di ruangan yang tampak asing dan kabur. Pondok kayu yang biasanya nyaman dan hangat, pagi ini terasa dingin. Pusing tak kunjung hilang membuat Nala sulit bangkit dari tempat tidurnya. Ia meringkuk di bawah selimut, merasakan rasa mual yang datang dan pergi. Perutnya melilit seperti ada yang menggeliat di dalamnya. Perlahan-lahan, ia mencoba untuk duduk. Ia tak tahu pasti sekarang sudah pagi atau siang, atau bahkan sore. Kamarnya berada di bawah tanah. Memikirkan sekarang pukul berapa justru menambah rasa pening di kepala Nala. Dengan langkah gon
Di suatu pagi, Pak Was duduk di meja kerjanya, di kantor, menatap layar komputer dengan pandangan kosong. Sudah hampir tiga dekade ia bekerja sebagai sekretaris pribadi Hartono. Pekerjaannya itu kini bukan hanya sekedar mengatur jadwal dan mencatat rapat. Ada beban lain yang menekannya seiring berjalannya waktu. Meskipun pikiran jahat Hartono di dasari oleh istrinya, Olivia, secara alami Hartono tumbuh menjadi monster yang lebih jahat lagi. Apalagi dia ceroboh dan tidak bisa berpikir panjang. Pak Was sering membersihkan hal-hal kotor yang sering Hartono lakukan.Beberapa waktu lalu, Olivia sudah memberikan perintah agar Hartono dibunuh. Namun, beberapa kali ini ia selalu gagal melakukannya. Apalagi, Anya selalu menghalangi mereka.“Aku sudah muak dengan semua ini,” Pak Was mengeluh pada Olivia pada suatu sore. “Apa yang harus kita lakukan kalau Anya selalu menghalangi kita?”“Aku pun juga tidak punya ide yang lebih bagus.”Pak Was menatap sorot ma
Setahun kemudian.. Sky, Nala, dan Bayu, sedang menikmati sore di taman kota. Setelah sekian lama berjuang melawan berbagai tantangan dalam hidup, mereka akhirnya menemukan kedamaian dan kebahagiaan di kehidupan mereka saat ini. Bayu baru saja mulai bersekolah lagi di SD Matahari bersama teman-temannya, Joana dan Aldo. Mereka tinggal di kompleks yang sama dengan Joana dan Aldo, sehingga setelah berjalan-jalan santai, mereka kembali ke rumah mereka. Anya telah meniti karier yang sukses sebagai direktur Rumah Sakit Besari, mendedikasikan dirinya untuk meningkatkan pelayanan kesehatan di komunitas mereka. Elang Group, perusahaan yang dipimpin oleh Blue, atau yang sekarang dikenal sebagai Langit, terus berkembang dan memberikan kontribusi positif bagi masyarakat dan lingkungan sekitar. Sementara itu, Rose berhasil mendapatkan naturalisasi dan membuka toko bunga yang indah di dekat kompleks tempat tinggal Nala. Tokonya menjadi tempat favorit bagi penduduk setempat yang mengagumi keahli
Tiger, Nala dan Rose tiba di tepi pantai dengan napas terengah-engah, terdengar gemuruh ombak di kejauhan. Mereka menghentikan langkah mereka mendadak ketika mendengar suara letusan yang mengejutkan dari arah dermaga.Dor!Hati Nala berdebar kencang, naluri mereka langsung mengarahkan pandangan ke arah Sky dan Blue yang terendam di dalam air.Nala, dengan mata berkaca-kaca, berlari mendekati Sky yang terdampar di tepi pantai. Dengan gemetar, dia jatuh berlutut di pasir pantai. Riak air tiba-tiba berhenti, menandakan mereka berdua sudah jauh tenggelam.Nala dan Rose mencoba mendekati tempat kejadian, namun para polisi mencegahnya. Beberapa petugas ada yang menyelam, mencari mereka. Namun, nihil. Tak ada tanda-tanda tubuh mereka ditemukan."Sepertinya mereka terbawa arus," ucap salah satu di antara mereka. "Kami tidak menemukan apapun."Rose dan Nala menjerit tak karuan. Setelah beberapa saat, mereka mencoba menenangkan diri di pin
Sky dan Blue memacu mobil mereka dengan cepat mengejar Hartono yang melarikan diri. Lampu-lampu kota yang masih hidup, berkedip-kedip di sekitar mereka saat mereka melaju melewati jalan-jalan yang ramai. Mereka mengejar mobil Hartono yang berbelok-belok di antara lalu lintas, mencoba untuk tidak kehilangan jejak."Kita hampir mendapatkannya!" seru Sky, matanya tetap fokus pada mobil di depan mereka.Blue, yang duduk di kursi penumpang dengan tegang, mengangguk setuju. "Tetap fokus, Sky. Kita harus menangkapnya sebelum dia bisa kabur lebih jauh."Mereka terus memacu mobil mereka, mengikuti dengan cermat setiap gerakan mobil Hartono. Jalanan mulai sepi ketika mereka mendekati dermaga yang terletak di pinggiran kota. Lampu-lampu jalan redup di belakang mereka, memantulkan kekhawatiran yang mereka rasakan.Hartono, yang terus melaju dengan cepat, akhirnya memarkir mobilnya di ujung dermaga yang sepi. Dia keluar dengan cepat, menghadapi Sky dan Blue ya
Suara letusan senjata menggelegar di dalam vila yang sunyi, menyela hening pagi yang mulai terang. Tiger, yang menunggu di mobil dengan tegang, mendongak mendengar itu. Dia menatap Nala dengan mata penuh kekhawatiran."Kau merasa gugup?" Tiger bertanya dengan lembut. "Setelah ini, semuanya akan berakhir."Nala, yang duduk di sampingnya dengan wajah tegang, menggeleng pelan. Dia mencoba untuk menenangkan dirinya sendiri meskipun jantungnya berdegup kencang."Ya, sedikit," jawab Nala akhirnya, suaranya bergetar sedikit. "Ini semua terasa seperti mimpi buruk. Kuharap tidak ada yang terluka dari letusan itu."Tiger meraih tangan Nala dengan penuh dukungan. "Kita akan melalui ini bersama-sama, Nala. Kami sudah mendekati akhir dari semua ini."Mereka berdua duduk dalam hening sejenak, mengumpulkan keberanian dan fokus untuk apa yang akan mereka hadapi selanjutnya.Lalu, tiba-tiba suara radio mengejutkan mereka."Lapor, Tiger.
"Ahhhh!!!" Olivia, dengan hati yang penuh kegelisahan, melihat Pak Was jatuh dari balkon dengan terkejut yang mendalam. "Tidak, tidak. Was!! Was, jangan tinggalkan aku, Was. Jangan pergi! Was! Kau sudah berjanji padaku, Was. Kau harus hidup, jangan tinggalkan aku! Jangan tinggalkan akuu!!!"Olivia berteriak histeris, mencoba menjangkau pak Was yang terbaring tak bergerak di tanah. Anya, putrinya yang ketakutan, berlari mendekat untuk menahan ibunya. Namun, dalam kepanikan yang melanda, Olivia terlalu kuat untuk ditahan."Mama, sudah. Jangan seperti ini, atau mama akan jatuh. Ma, tolong. Ayo, ma kita turun. Ma,"Anya bisa melihat dari kejauhan kalau rumahnya sudah dikepung. Ia tahu sebentar lagi akan menjadi akhir dari perjalanan orang tuanya dalam melakukan kejahatan. Tapi, ia sendiri tidak menyangka akan menyaksikan peristiwa jatuhnya Pak Was. Dari tampilannya, tampaknya tubuh Pak Was sudah tak lagi bernyawa. Pria itu sudah tak lagi bisa diselam
Di luar jendela, matahari mulai terbit, menyisakan langit senja yang memancarkan cahaya oranye dan merah muda yang lembut. Suasana itu memberikan kontras dengan keheningan yang menyelimuti ruangan Hartono yang sepi.Pikirannya melayang ke masa lalu, saat semuanya masih normal. Pak Was, yang selalu setia dan dedikatif dalam pekerjaannya, kini telah mengkhianatinya. Dia merasa kehilangan sosok yang telah menjadi bagian dari kehidupannya selama bertahun-tahun.Hartono menatap foto keluarganya, foto Liliana dan kedua anak kembarnya, di meja kerjanya, sorot matanya tampak penuh penyesalan. Dia berdoa dalam hati, berharap agar Liliana tenang di tempat yang lebih baik.Suasana pagi itu di ruang kerja Hartono memantulkan perasaannya yang campur aduk: kesedihan, penyesalan, dan tekad balas dendam yang membara. Langit fajar yang merona menjadi saksi dari perubahan yang mendalam dalam hidupnya, suatu perubahan yang tidak pernah dia rencanakan atau bayangkan sebelumny
Setelah perjalanan yang tegang dan cepat dari kota menuju vila terpencil di pinggiran hutan, Blue, Nala, Sky, dan Rose tiba di tempat tujuan mereka. Hutan di sekeliling vila memberikan kesan sunyi namun tegang, dengan sinar fajar yang mulai membuat bayangan di balik pohon-pohon rimbun. Mereka turun dari mobil dengan hati-hati, siap untuk bertindak cepat dan efisien, menunggu pasukan lain dan Tiger tiba.Setelah beberapa saat, belasan mobil polisi dan dua mobil yang mengangkut pasukan khusus, mulai berdatangan. Tiger muncul di antara mereka dengan membawa senapan laras panjang dan senyum di wajahnya."Bagaimana? Siap?" pria itu bertanya. "Helikopter sudah dalam perjalanan. Kali ini, Hartono tidak akan kabur.""Bukankah jumlah ini terlalu berlebihan?" Rose tampak melongo dengan sejumlah pasukan yang mengitari mereka. "Memangnya kita menangkap gerombolan orang jahat ya?""Ya, Hartono setara dengan ratusan penjahat, sih. Jadi ini sepadan, hehe."
Anya melangkah dengan cepat di koridor vila, menuju kamar Olivia. Setiap langkah yang ia ambil, membuat ingatannya memainkan gambaran masa lalu yang penuh cahaya, berbeda dengan suasana saat ini yang dipenuhi dengan ketegangan dan kekhawatiran. Dia berusaha menenangkan dirinya sendiri sambil mencari-cari ibunya, Olivia, yang mungkin masih terlelap dan tidak tahu atas apa yang akan terjadi.Sebagai anak dari Olivia dan Hartono, Anya tumbuh di lingkungan yang sering kali menawarkan lebih banyak teka-teki daripada jawaban. Ayahnya, Hartono, adalah seorang pria yang selalu tampak gelap dan misterius yang dibalut dengan senyum hangatnya, sementara ibunya, Olivia, adalah sosok yang mencoba sekuat tenaga untuk menjaga ketenangan dan keseimbangan dalam kehidupan keluarga mereka, tentu saja dengan cara-cara licik yang belakangan Anya ketahui. Namun, situasi yang sering kali tegang dan penuh tekanan telah membuat Anya belajar untuk memilih langkah-langkahnya denga
Suasana malam yang dingin dan tenang menyelimuti kota saat Sky, Nala, Blue, dan Rose menerima telepon darurat dari Anya. Mereka duduk bersama di ruang tengah pondok kayu, tempat mereka kini berkumpul, atmosfer yang sebelumnya santai berubah menjadi tegang seketika. Anya, dengan suara gemetar, memberitahukan bahwa Hartono memergoki istrinya, Olivia, sedang bermesraan dengan Pak Was. Entah bermesraan yang seperti apa, yang pasti Anya tampak takut akan terjadi sesuatu yang buruk.Sky, yang duduk di sofa dengan laptopnya, segera menutup layar dan menatap serius ke arah Blue dan Nala. "Kita harus segera ke sana. Anya bilang dia sudah mengirimkan alamatnya padamu, kan?"Blue, yang biasanya santai, kini tampak tegang. Dia mengangguk cepat. "Aku ambil kunci mobil."Nala, yang sedang mengaduk secangkir teh, menaruh sendoknya perlahan. "Aku ambil kit medis dari lemari."Rose, yang duduk di pojok ruangan dengan buku di tangannya, mengangguk setuju. "Aku ambi