Bab 32 pov Robi, bagian 2.Pov Robi.“Kamu jangan macam -macam ya, aku nggak mau rencana aku sama papa gagal!”…..“Aku nggk cinta sama kamu, aku Cuma mencintai Robi!”….“Aku nggak peduli, semua itu bisa diurus papa. Lebih baik, kamu cari Wanita lain,”….“Semua bukti udah lenyap! Kamu nggak punya bukti apa – apa lagi,”….“Berani kamu lakukan itu, kamu tahu akibat nya!" ...."Walaupun anak yang aku kandung ini anak kamu, aku nggak peduli!" Mata ku membulat sempurna. Terkejut dengan apa yang terjadi! "Jelaskan! Jelaskan sekarang juga!" teriak ku, yang membuat Renata terkejut. "Ro- Robi? ka-mu dengar semua?" tanya renata terbata - bata. "Kenapa? kaget? siapa laki - laki itu?" "Robi, ini nggak seperti yang kamu dengar tadi," "Jangan bohong!" "Aku bisa jelaskan!" "Jelaskan sekarang!" "Apa yang kamu dengar nggak benar, laki -laki yang tadi telponan sama aku itu, ingin menghalangi pernikahan kita! dia nggak mau aku bahagia, dan anak yang aku kandung ini, murni anak kamu!" Entah
Setelah pulang dari Bali, aku masi stay di rumah yang di kampung, sekalian memantau kemajuan toko. "Mau kemana, ma?" "Ke butik. mau ikut?" "Mai banget. Papa mana ma?""Papa udah ke kantor, tapi nggak lama. Sebentar lagi pulang," "Aku siap - Siap dulu ya," "Cepetan! jangan lama," "Siap ratu!" Aku balik ke kamar dan meyiapkan diri. Setelah itu aku dan mama berangkat ke butik mama. Sekitar sepuluh menit, kami sudah sampai. Mama langsung menuju ruang kerjanya dan berbincang dengan staf nya. Mama harus mengurus klien nya. Aku pun mengelilingi butik mama. Dulu waktu masi kecil, aku sering ke sini menemani mama jahit ataupun merajut. Waktu itu perusahan papa, belum jaya seperti sekarang. Karena bosan mengelilingi butik ini, aku memutuskan untuk ke cafe 'Copbook' depan butik. [Ma, aku bosan. Jadinya aku ke cafe depan ya, Copbook,] sebuah pesan untuk mama, agar beliau tak khawatir. Sand. "Mas, Cappucino satu ya," "Mbak, mau minum disini? atau di-""Minim disini mas," potong ku, seb
Setelah menceritakan kejadian itu, Robi mengutarakan niatnya untuk meghalalkan aku. “Aku nggak mau terlambat lagi, aku nggak mau sia – siakan kamu, aku mau menikahi kamu. Apakah kamu mau, bersanding dengan ku?”Aku terdiam menatap wajah nya. Binggung ingin mengatakan apa.“Nel? Apa yang kamu pirkan?”“Ah, nggak-““Kamu ragu sama aku?” tanya Robi memotong ucapaan ku. Seakan tahu apa yang aku pikirkan, dia menebak. Tepat! ‘Aku ragu.’“Terus, Renata gimana?”“Kamu masi memikirkan dia? Aku udah nggak peduli sama dia dan keluarganya. Apa yang sudah merekan lakuakn itu, sudah mencemarkan nama baik aku maupun keluarga ku.”“Apan nanti mereka nggak mengusik kita?”“Aku pastikan nggak!”“Kamu tahu kan, kekuasaan om Samsul gimana? Dia bisa melakukan apa aja,”“Kenpa kamu takut kalau kekuasaan papa kamu lebih dari dia? Dan kamu piker papa ku nggak akan bertindak tegas, kalau dia macam – macam?”Aku terdiam. Benar apa kata Robi, papa juga orang hebat malahan melebihi om Samsul. Aku menatap pria
"Tutup dulu mata kamu,”“Ngapain sih pake nutup segala?”“Surprise. Kamu ikut aja, tutup mata pake ini,” katanya sambil mengikat kain menutupi mata ku. Setelah itu mobil lanjut melaju, sekitar dua menit mobil pun berhenti. “Udah sampai,” katanya kemudian.“Udah boleh buka?”“Belum, bentar ya,”Aku mendengar Robi turun dari mobil dan membuka pintu mobil untuk ku. Lalu, dia memegang kedua bahu ku dan menuntun aku jalan. Lalu ia berhenti, membuka ikatan tadi. “SURPRISE!”“Rumah siapa ini?” tanya ku, saat melihat rumah minimalis nan cantik, dihadapan ku ini. “Hadiah buat kamu,”“Jadi, ini hadiah yang kamu bilang tadi?”“Iya,”“Buat apa?”“Buat kita nanti, setelah nikah.”“Tapi kan, aku udah ada rumah,”“Itu kan rumah kamu, kalau ini rumah kita,”“Kan bisa kita tinggal berdua di rumah ku,”“No! kamu tahu? Aku beli ini pake hasil keringat aku sendiri. Aku mau membahagiakan kamu dengan usaha aku, aku mau kita buka lembaran baru dan mulai semuanya dibawa atap ini,”Sontak aku memeluk laki
Hari yang ditunggu - tunggu pun tiba. Acara digelar di rumah orang tua ku. Dengan dibaluti pakaian pengantin, hasil karya tangan berbakat ini, aku menjadi pusat perhatian para tamu. tamu yang datang lumayan banyak dari perkiraan kami. Kak Bima beserta keluarga sudah datang dua hari sebelum acara. Catering untuk acara pernikahan ini disponsori oleh restoran Robi, dan cemilan dari toko kue ku. Para tamu berdatangan mengucap salam. "Selamat ya beb, sekarang kamu nggak singel lagi, mau jalan sama aku harus izin deh," ucapan selamat dari Aina. "Hehehe, makasih ya Na, mas Bian, udah dateng." "Makasih udah dateng mas, Na," balas Robi. "Naira mana?" tanya ku, yang tak melihat keberadaan gadis kecil itu. "Nggak ikut. Tadi udah aku ajak, tapi dia nggak mau. Katanya kangen sama nenek nya, jadi dia tinggal di rumah," "Oh, nginap di rumah orang tua mu Na? atau langsung pulang?" "Kita nginap disini dulu, mumpung besok mas Bian libur, Naira juga masi kangen sama nene dan sepupu - sepupunya." J
Usai beberes, kami sekeluarga kembali ke kota bersama - sama. Kami berangkat pukul empat sore. Aku semobil dengan suamiku, mama mertua dan papa mertua. Sedangkan mobil kedua, kak Vela, suaminya serta anak nya dan Nanda. Empat jam perjalanan akhirnya, sampai juga di rumah pukul tujuh malam. Aku nginap di rumah Robi, atas permintaan mama mertua. Besok langsung pindah ke rumah baru kami. Saat kami tiba di rumah, tak lama kak Vela juga sampai di rumah, hanya untuk mengantar Nanda."Bi, antar pakaian Nela ke kamar Robi ya," ujar mama Lina, mertuaku itu pada art di rumah mereka. "Baik nyonya," "Ayo sayang," ajak Robi, sambil mengandeng tanganku. Aku dibawa ke kamarnya. "Istirahat dulu, kasian kamu capek di perjalanan?" "Iya," "Aku keluar sebentar ya, ada perlu sama mama," "Iya, jangan lama - lama ya," "Kenapa? kangen ya? keluar sebentar aja kok," "Ng- nggak, aku takut sendirian disini," "Iya sayang," balasnya sambil mengecup pipiku. Sial! lagi - lagi aku dibuat gugup dan kedua pi
Pov RobiKebahagiaan yang sudah aku dambahkan, bersama Wanita yang sudah lama hadir dihati ini, akhirnya terwujud juga pada hari ini. Hari dimana aku, sah menjadi suami Ketika mengucapkan janji suci pernikahan. Dihadapan pemimpin agama, orang tua ku, orang tua nya, serta keluarga yang turut serta dalam menyaksikan pernikahan kami. Gugup, saat benda berbentuk lingkaran emas ini, aku kenakan dijari manis Wanita itu. Senyum kebahagian dan terharu beserta buliran bening jatuh dipipi. Itulah, tanda kebahagian yang kurasakan sekarang. Acara digelar di rumah orang tua mempelai wanita, atas kesepakatan bersama. Dengan dibaluti gaun pengantin, nan indah ditubuh langsing Nela, membuat aku kagum tak jemuh memandang. Apalagi, yang mendesain adalah dirinya sendiri. Entah kenapa, aku tak punya alasan mengapa aku begitu mencintai istriku ini. Cinta itu tumbuh sendiri, dan sudah lama menetap dihati tanpa aku tahuh kapan ia datang. yang terpenting, cinta yang aku nantikan sudah menjadi milikku seutuh
Hari ini aku dan suami akan pindah ke rumah baru yang sudah Robi beli dan memulai lembaran baru kehidupan kami. Rencananya rumahku ini akan aku jual, karena tak ada yang menepati. Lalu, bi Ijah akan ikut aku, karena jarak dari rumahnya ke rumah yang akan kami tempati lebih dekat dengan rumahnya. Setelah beres - beres, aku dan bi Ijah menunggu kedatangan Robi untuk menjemput kami. Tak lama, ia sampai. "Barang - barang nya udah semua?" "Udah," "Barang - barang bi Ijah mana?" "Nggak ada den, bibi nggak menetap disini." jawab bi Ijah."Oh, biasanya langsung pulang?" "Iya Den," "Ya udah, ayo berangkat." Mobil melaju meninggalkan pekarangan rumah ku. Rumah yang aku beli, dengan hasil keringatku sendiri. Sekarang, aku harus meninggalkan nya dan berteduh dibawah atap lain bersama orang tercinta. Setelah kami sampai, langsung menurunkan barang dan mulai mengemasi. Bi Ijah langsung ke dapur, ternyata semuanya sudah disiapkan Robi. seperti, kebutuhan dapur, isi kulkas, ruangan - ruangan
Setelah permasalahan sudah selesai, persahabatan ku dengan Aina kembali seperti semula. Namun, kami jarang sekali bertemu apalagi bertukar cerita, entah itu di dunia nyata ataupun di dunia maya. Sekalinya bertukar pesan, ia hanya memesan kue untuk hajatan di rumah mertua nya. Setelah itu, tak lagi ada perbincangan akrab. Sepertinya ia masi canggung jika diajak berbicara. Seperti pagi hari ini, tiba - tiba saja ia memesan 20 bentuk kue tart dengan model yang berbeda dan varian rasa yang best seller di toko kue ku. Aku segera mengerak kan, karyawan - karyawan ku untuk segera membuat tart, pesanan Aina. Karena sore nanti, sudah harus selesai. Setelah semuanya selesai, aku kembali menghubungi dirinya untuk segera menuju rumah mertuanya, utuk mengantarkan pesanan.Sore ini cukup cerah. Karena melihat, karyawanku yang sudah kelelahan, aku memutuskan untuk mengantar pesanan semuanya sendiri saja. Toh, mereka juga sudah sangat bekerja keras, untuk membuat pesanan kue dadakan dari Aina ini. S
P O V Aina. Sesuai kesepakatan, hari ini aku akan ke kantor polisi dan memberi pengakuan semuanya. Aku di arahkan, ke ruang interogasi. Di hadapanku, sudah duduk pria berumur yang akan menyelidiki diriku. Setelah itu, aku pun memberi pengakuan seperti apa yang aku tahu. Sebenarnya, aku juga harus di tangkap, karena terlibat dan mendukung rencana suamiku. Tak hanya itu, aku juga sudah memutar balikan fakta dan berbohong kepada Nela. Aku meminta polisi itu juga turut adil, dalam menangkap diriku. Tapi, nyatanya tidak. Ia hanya mengatakan kalau semuanya tergantung pada keputusan Robi. Aku masi saja, bersihkeras untuk menyerahkan diri, tapi itu hanya angin lalu baginya dan, ia mengabaikan diriku lalu melangka keluar. Aku pun ikut keluar, dan menghampiri dua insan yang tengah menatapku. Aku meminta mereka, untuk menuntutku, agar turut mendapatkan hukuman juga. "Tidak, kami tak akan menuntut kamu," ujar Robi, ketika aku mengatakan itu. "Aku mohon, biarkan aku menebus kesalahanku ini. Nel
P O V Aina. Rencanaku hari ini, adalah ke toko kue milik Nela. Aku mencoba untuk, memelas meminta dirinya membebaskan mas Bian. Semoga saja, dirinya mau dan luluh dengan diriku, yang memohon untuk membebaskan suamiku , atau setidaknya bertemu sedetik dengan mas Bian. Sesampainya di toko cake Nela, aku bergegas masuk. Sepertinya Nela, ada di toko karena mobilnya sudah terparkir rapi di garasi toko kue nya. "Nela ada?" Tanyaku, pada salah satu karyawan yang berada di meja kasir. Entah lah, siapa. Aku Lupa dengan nama nya. "Bu Nela, ada bu." Jawab wanita itu. "Okey," langsung saja, aku masuk dalam ruangan nya. Benar saja, Nela sedang fokus berkutat dengan komputer yang ada di depan nya. Tanpa basa basi lagi, aku langsung mengatakan tujuanku kesini. "Nela.. aku mohon, tolong bebaskan mas Bian... tolong Nel, tolong cabut tuntutan itu," cercaku, yang datang langsung memohon. Nela hanya sedikit terkejut, dengan kedatanganku. Tapi, segera ia memalingkan wajah dan mengabaikan diriku.
P O V AinaSegera aku menghubungi mas Bian, tapi ponsel nya aktif. Tak seperti biasa ia begini, jika memang sibuk bekerja, tapi kalau aku yang telpon dia segera angkat. Firasat ku mendadak jadi tak enak, kepada dirinya. Apa yang sudah terjadi dengan suamiku? ****Aku semakin di buat pusing, karena mas Bian tak juga mengangkat telpon ku. Drittt...Drittt...Tiba - tiba, telpon ku berdering. Gegas aku meraih benda pipi yang layarnya sedang menyala kerlap kerlip itu, yang ku pikir adalah mas Bian, ternyata bukan...."Hallo bu, gawat!" Ujarnya, seorang pria dari sebrang sana. "Hallo.. kenapa Di?" "Bapak bu... Bapak...." Gugupnya, seraya menggantungkan kalimatnya. "Bapak kenapa Di?" Aku semakin panik dengan, perkataan Budi, yang tak menyelesaikan ucapanya. "Bapa ditahan-" "Maksud kamu? Ditahan sama siapa?" Potongku, yang sudah keringat dingin, padahal suhu Ac di ruangan ini sangat dingin. "Bapak ditahan polisi. Tadi, polisinya datang bu," "APA?!!" Sekujur tubuhku lemas, tanganku
Aina pun, sudah benar - benar pulih dan sekarang sudah di izinkan pulang oleh dokter. Akhirnya, yang di tunggu - tunggu tiba juga. Dimana, hari berlangsungnya sidang telah tiba. Didepan hakim, Aina, mas Bian, Budi, supir truk dan ada beberapa yang terlibat di seret semua ke hadapan hakim. Dulu, Aku sempat berpikir, kalau mereka akan menyewa pengacara untuk membantu dalam kasus ini. Ternyata tidak! mereka ingin bertanggung jawab atas perbuatan mereka. Baguslah! Padahal, aku dan Robi juga sudah merencanakan akan menyewa pengacara juga dalam kasus ini. Sebelum berjalan ke depan, Aina sempat melemparkan tersenyum padaku. Senyum, yang terlihat tulus. Dengan spontan, aku membalas senyum darinya. Ia terlihat, masi sangat pucat. Persidangan pun dimulai. Hakim menanyakan semuanya dan para tersangaka mejawab dengan jujur tanpa ada yang ditutupi. Aina pun, ditanya oleh hakim dan ia menjawab dengan jujur, seperti apa yang ia katakan kepadaku. "Saudara Bian Aditama, apa benar anda yang sudah me
Selepas pulang kerja, aku selalu mengunjungi Aina di rumah sakit. Seperti biasa, ia belum juga menyadarkan diri. Akhirnya, sidang itu diundur dilain waktu lagi, sampai Aina benar - benar pulih kembali. Kata Robi, mas Bian masi saja bungkam. Ia tak berniat mengakui semua kesalahanya. Saat, sudah berada di rumah sekitar jam empat, aku dikabarkan dari tante Risa, katanya Aina sudah siuman. Setelah mengurus Dania, aku bersiap diri untuk ke rumah sakit. "Kamu ikut, sayang?" Tanyaku, pada Robi yang sedang fokus pada laptop, di ruang kerjanya. "Nggak, aku masi banyak kerjaan," jawabnya, tanpa melihat ke arahku. "Baiklah, aku sediri saja," "Hati - hati, sayang. Oh iya, sampaikan salam pada Aina," tukasnya."Iya! Perhatikan Dania ya, kalau dia rewel, tolong kamu gendong dulu. Kasian bi Ijah," peringatku, karena bi Mey masi izin ke kampungnya. Jadi, Dana dijaga Bi Ijah. Aku segera masuk mobil dan menyalakan mobil lalu perlahan meninggalkan rumah. Saat sampai di rumah sakit, langsung saja
Aina dikabarkan sakit, satu hari sebelum sidang dilaksanakan. Kata asisten rumah tangga mereka, bahwa Aina ditemukan tak menyadarkan diri di kamar, dengan beberapa obat yang sudah kadarluasa. Tanpa berpikir panjang, aku langsung ke rumah sakit, tempat ia dirawat. Saat sampai di rumah sakit, aku langsung mendatangi kamarnya dan menerobos masuk. Terlihat Naira, yang sedang menangis di samping ibunya itu. "Tante Nela...." Seru Naira, langsung menghambur dalam pelukanku. Naira, juga sangat dekat dengan ku, makanya dia tak lagi sungkan untuk memeluku. "Sayang, jangan nangis ya.... Mama Aina pasti baik - baik, saja." Ujarku, menenangkan gadis cantik, yang sebentar lagi akan beranjak dewasa. "Iya tante," jawabnya, masin memelukku. "Sekarang, yang perlu Naira lakukan adalah, mendoakan mama Aina, agar segera pulih seperti sedia kala, okey?" kataku, dengan lembut seraya tersenyum kepada gadis cantik itu. "Iya tante," Aku berjalan mendekati Aina, yang sedang terbaring lemah."Aina kenapa b
Tiga hari setelah kedatangan Aina di toko, aku tak lagi mendengar kabarnya. Hingga hari ini, ia datang langsung ke rumah kami. Aku sedikit terkejut saat, bi Ijah mengatakan kalau ada Aina di depan. Awalny, aku malas bertemu dengan dirinya, karena pasti ia akan memohon - mohon lagi, untuk membebaskan suaminya itu. Tapi, Robi membujuk diriku untuk tetap menemukan dirinya. "Ayolah, sayang. Siap temui Aina," "Malas ah, palingan dia mohon - mohon untuk mencabut tuntutan itu," "jangan berpikir negatif dulu sayang, kita kan nggak tahu, maksud dan tujuan nya apa," Robi masi saja, keukeh dengan pendiriannya. Mau tak mau, akhirnya aku pun setuju dan melangka dengan malas le ruang tamu untuk menemukan dirinya. "Ada perlu apa kamu datang kesini?" Tanyaku, dengan nada ketus. "Nel, aku kesini ingin-" "Mau minta kita cabut tuntutan, agar suamimu bebas? dan akan melanjutkan proyek itu?" Potongku cepat, saat ia melanjutkan ucapannya. Segera Robi, memegang tanganku lembut dan memberi isyarat agar
"Bagaimana proses selanjutnya?" Tanyaku pada Robi, yang kini duduk berhadapan denganku. "Aman. Semua bukti, sedang diproses oleh polisi." "Apa, tadi kamu mengunjungi dirinya?" "Iya. Aku menangkap langsung di perusahannya," "Lalu, bagimana reaksinya? Aku tahu, tak semudah itu dia mengakui kesalahnya," "Iya dia tak mengaku. Saat di ruang interogasi di kantor polisi pun, iya tak membuka mulut," Jawab Robi. Ia lalu menceritakan kepadaku, semuanya yang telah terjadi siang tadi. "Bagimana jika dia tidak mengaku? Aku tahu, kita punya bukti yang kuat. Tapi, bisa jadi dia melakukan sesuatu, yang akan membuat dirinya bebas," aku khawatir jika, itu akan terjadi.. "Jika begitu, maka Aina yang harus mengantikan dirinya," "Maksud kamu?" aku mengernyitkan kening, saat mendengar perkataanya barusan. "Aina yang akan menanggung, semua perbuatan suaminya," Aku sedikit terkejut. "Apa, harus Aina?" "Apa kamu tak mau menyeret dia, dalam masalah ini?" Aku menagngguk. Jujur saja, walaupun aku m