Sinar matahari memantul di atas helm keselamatan yang dikenakan Joseph. Pria itu berdiri tegak di atas hamparan tanah luas yang sedang dipersiapkan untuk proyek pembangunan pusat perbelanjaan baru di Miami. Sekelilingnya, suara alat berat bergemuruh, para pekerja sibuk dengan tugas masing-masing, dan tim arsitek berdiri tak jauh darinya, membahas temuan terbaru mereka. Jennifer, asistennya yang selalu sigap, berdiri di sisinya dengan tablet di tangan, siap mencatat setiap instruksi yang diberikan Joseph. "Jadi, apa kendala yang kita hadapi sekarang?" tanya Joseph dengan nada tegas, menatap kepala tim arsitek yang tampak sedikit ragu. Seorang pria berkacamata, Michael Carter, melangkah maju dengan lembaran peta dan blueprint proyek. "Mr. Reign, setelah melakukan survei lebih lanjut, kami menemukan bahwa struktur tanah di beberapa titik tidak cukup stabil untuk menopang beban bangunan sesuai rencana awal. Jika dipaksakan, ada risiko pergeseran pondasi dalam beberapa tahun ke depan."
Sementara itu, di rumahnya, Juliana masih menatap layar ponselnya setelah membaca pesan terakhir dari Jennifer. "Aku tidak akan mengatakan apa pun. untuk sekarang, tapi kau harus memikirkan ini baik-baik, Juliana. Kau tidak bisa lari selamanya." Juliana menggigit bibirnya, hatinya terasa semakin gelisah. Ia tahu Jennifer benar. Cepat atau lambat, Joseph akan menemukan mereka, tapi ia tidak bisa membayangkan hidupnya tanpa anak-anaknya. Mereka adalah dunianya, satu-satunya alasan ia bertahan setelah semua yang terjadi di masa lalu. Ia berjalan ke kamar anak-anaknya dan melihat mereka sedang tidur nyenyak di tempat tidur kecil mereka. Alya meringkuk dengan boneka beruang kesayangannya, sementara adiknya tidur dengan damai di sampingnya. Juliana duduk di tepi tempat tidur dan mengusap rambut Alya dengan lembut. "Ibu akan selalu melindungi kalian," bisiknya. Ia tidak akan membiarkan siapa pun, termasuk Joseph, mengambil mereka darinya. *** Keesokan harinya, Joseph kembali ke kantor
"Bagaimana kalau Kak Juliana ke Miami saja? Bukankah keluarga Joseph ada di sana?" Juliana terdiam. Dia benar-benar tidak tahu perusahaan tempat Joseph bekerja dan ke mana Joseph melakukan perjalanan dinas. Jadi, dia tidak tahu harus menghubungi siapa ketika beberapa hari lalu, polisi mengabarkan bahwa helikopter yang ditumpangi suaminya jatuh dan pria itu tak dapat ditemukan. Juliana sampai pingsan dan kehilangan nafsu makan. Tawa dan kelucuan anak didik di TK tempatnya mengajar bahkan tak mampu menghilangkan beban pikirannya, seperti biasa.Mendengar perkataan sang adik, Juliana mendapat secercah harapan. Sayangnya, dia memiliki kekhawatiran bila melakukan saran sang adik."Tapi, bagaimana kalau mereka tidak menerima kedatangan kita? Aku dan Joseph menikah tanpa kehadiran keluarganya," tanya Juliana setengah ragu.Meski Juliana tidak bisa hanya diam dan menunggu kabar yang entah kapan akan dia terima, tetapi dia takut keluarga Joseph tidak menerimanya.Reina, sang adik terdiam. "T
"Permisi, Pak. Saya ingin masuk," ujar Juliana nekat mendekat ke mansion itu. Reina yang melihatnya pun hanya bisa terperangah tak percaya. Sebelumnya dia dan sang Kakak bingung harus berbuat apa. Reina menyarankan agar mereka pulang saja dan mencari informasi lain, karena begitu banyak petugas keamanan dan wartawan di sana. Namun siapa sangka? Tiba-tiba saja Juliana mendekat dan nekat menerobos kerumunan itu. "Maaf, Nona. Anda tidak bisa masuk ke dalam. Siapa pun tidak diizinkan masuk ke dalam," timpal salah satu petugas keamanan memasang badan yang mengira Juliana adalah wartawan. Reina berusaha menarik kakaknya untuk menjauh. Bukan apa-apa dia takut kalau Juliana diseret ke kantor polisi, karena sudah berani menerobos penjagaan di mansion ini. Hanya saja pemikiran Juliana tidak seperti itu, karena dia merasa ada banyak misteri yang disembunyikan suaminya terutama tentang keluarganya. Jika benar mansion itu adalah tempat tinggal kedua orang tua Joseph, maka ini adalah kesempat
Juliana tertegun. Lagi-lagi, Joseph berbohong padanya. Juliana semakin yakin kalau dirinya tidak tahu apa-apa tentang Joseph. Dia merasa tidak berguna."Tidak ada, Nyonya. Saya pikir Nyonya ada di sana." Juliana hanya menjawab sekenanya."Tidak. Saya dan keluarga tinggal di sini sudah lama. Kami tidak tinggal di Afrika dan juga tidak berniat tinggal di sana," timpal Ariana dengan senyumannya.Juliana hanya bisa tersenyum kaku. Keterangan Ariana cukup membuatnya tak berkutik.Sementara itu, Ariana tampak tidak memikirkan pertanyaan Juliana terbukti saat wanita paruh baya itu kembali mengganti topik pembicaraan."Saya sangat sedih mendengar kabar kecelakaan yang dialami Joseph. Kami juga sedang berusaha mencari keberadaan Joseph, tapi untuk sekarang, tidak ada kabar apa pun tentang anak itu."Juliana terlihat sedih. Akhirnya hanya ada informasi kosong tentang keberadaan suaminya. Juliana merasa sedih, kesal, dan khawatir. Dia tidak bisa tenang sebelum mendapat kabar tentang Joseph.Dia t
Juliana kaget mendengar pertanyaan Ariana. Dia pikir, ibu tiri Joseph itu tidak tertarik dengan perjalanan kisah cinta mereka, tetapi ternyata di luar dugaan. "Aku bertemu dengan Joseph di Italia. Dia menolongku saat aku hampir tenggelam di kanal. Pertemuan itu mengalir begitu saja sampai akhirnya kami bisa menikah seperti ini," terang Juliana dengan wajah berseri. Dia tampak sedang mengenang masa-masa itu. Ariana melihat ekspresi yang berbeda dari Juliana. Padahal sedari datang, wanita itu tampak murung dan sedih, tetapi saat ditanya tentang perjalanan cinta mereka, Juliana kontan berubah."Manis sekali. Sepertinya, Joseph memperlakukanmu dengan sangat baik, ya?" tanya Ariana lagi yang langsung diangguki oleh Juliana."Dia pria baik dan sopan. Mungkin itulah alasanku tertarik padanya," ungkap Juliana kembali mengenang.Ariana menghela napas panjang. "Ya, Joseph memang sedang ada di Italia untuk perjalanan bisnis sebelum kecelakaan ini terjadi."Wajah Juliana yang sebelumnya berse
"Kami akan berusaha semaksimal mungkin untuk mencari Tuan Joseph, Nyonya. Kami akan segera menghubungi Anda atau Nyonya Ariana, jika ada kabar tentang Tuan Joseph."Ucapan diplomatis itu membuat Juliana terdiam. Itu tandanya, pihak kepolisian juga tidak tahu dan tak berani berasumsi.Setelah polisi itu pergi, tangis Juliana pecah. Dia bahkan hampir terduduk di tanah kalau saja Reina dan Ariana tidak menahannya."Sabar, Kak. Jangan seperti ini! Kamu harus kuat. Ingat kita masih punya harapan. Bisa saja Joseph diselamatkan oleh orang lain," ucap Reina berusaha menenangkan Juliana.Ariana yang sedari tadi berdiri pun merasa sedih melihat menantunya yang terpuruk seperti ini. Sungguh dia bisa melihat ketulusan dan rasa sayang Juliana pada anak tirinya. Wanita paruh baya itu pun langsung memeluk Juliana. Dia mengusap punggung menantunya agar bisa tenang."Ibu tahu apa yang kamu rasakan saat ini, tetapi ingatlah kalau kamu harus tegar. Kita berdoa saja semoga Joseph selamat."Mendengar perk
Ariana tidak langsung menjawab. Dia berpikir sejenak, karena di sini ada Juliana dan Reina. Namun, Lena kembali memohon. Dia sangat ingin menginap karena merindukan tempat ini."Baiklah, Lena. Menginaplah satu hari di sini, kalau itu bisa membuat suasana hatimu membaik," ujar Ariana pada akhirnya setuju.Bagaimanapun, Ariana masih menganggap Lena sebagai anak sendiri. Itu karena Lena sudah cukup lama menjalin hubungan dengan Joseph.Dulu, Ariana kira Lena akan menjadi menantunya. Akan tetapi, keputusan Lena yang memilih pergi ke Eropa membuat harapan Ariana hanya menjadi asa kosong. Sekarang semua sudah berlalu. Ariana tidak bisa ikut campur dalam kehidupan Joseph. Apa pun yang terbaik untuk anak tirinya itu, Ariana akan mendukungnya."Kalau begitu aku tinggal. Masih ada pekerjaan."Lena pun mengangguk dan membiarkan Ariana pergi. Sementara dirinya pun langsung masuk ke mansion megah yang penuh kenangan itu.Lena menyusuri setiap sudut mansion ini. Dia seolah melihat bayangan dan ki
Sementara itu, di rumahnya, Juliana masih menatap layar ponselnya setelah membaca pesan terakhir dari Jennifer. "Aku tidak akan mengatakan apa pun. untuk sekarang, tapi kau harus memikirkan ini baik-baik, Juliana. Kau tidak bisa lari selamanya." Juliana menggigit bibirnya, hatinya terasa semakin gelisah. Ia tahu Jennifer benar. Cepat atau lambat, Joseph akan menemukan mereka, tapi ia tidak bisa membayangkan hidupnya tanpa anak-anaknya. Mereka adalah dunianya, satu-satunya alasan ia bertahan setelah semua yang terjadi di masa lalu. Ia berjalan ke kamar anak-anaknya dan melihat mereka sedang tidur nyenyak di tempat tidur kecil mereka. Alya meringkuk dengan boneka beruang kesayangannya, sementara adiknya tidur dengan damai di sampingnya. Juliana duduk di tepi tempat tidur dan mengusap rambut Alya dengan lembut. "Ibu akan selalu melindungi kalian," bisiknya. Ia tidak akan membiarkan siapa pun, termasuk Joseph, mengambil mereka darinya. *** Keesokan harinya, Joseph kembali ke kantor
Sinar matahari memantul di atas helm keselamatan yang dikenakan Joseph. Pria itu berdiri tegak di atas hamparan tanah luas yang sedang dipersiapkan untuk proyek pembangunan pusat perbelanjaan baru di Miami. Sekelilingnya, suara alat berat bergemuruh, para pekerja sibuk dengan tugas masing-masing, dan tim arsitek berdiri tak jauh darinya, membahas temuan terbaru mereka. Jennifer, asistennya yang selalu sigap, berdiri di sisinya dengan tablet di tangan, siap mencatat setiap instruksi yang diberikan Joseph. "Jadi, apa kendala yang kita hadapi sekarang?" tanya Joseph dengan nada tegas, menatap kepala tim arsitek yang tampak sedikit ragu. Seorang pria berkacamata, Michael Carter, melangkah maju dengan lembaran peta dan blueprint proyek. "Mr. Reign, setelah melakukan survei lebih lanjut, kami menemukan bahwa struktur tanah di beberapa titik tidak cukup stabil untuk menopang beban bangunan sesuai rencana awal. Jika dipaksakan, ada risiko pergeseran pondasi dalam beberapa tahun ke depan."
Keesokan paginya, Lena memastikan bahwa Joseph sibuk dengan urusan pekerjaannya sebelum ia berangkat ke sekolah Clarie. Ia mengenakan kacamata hitam dan mantel panjang, berusaha agar tidak menarik perhatian siapa pun.Setibanya di sekolah, ia tidak langsung masuk ke gedung utama, tetapi menunggu di tempat yang lebih sepi hingga bel istirahat berbunyi.Beberapa saat kemudian, ia melihat sosok yang dicarinya.Juliana.Wanita itu masih terlihat seperti dulu. Rambut panjangnya tergerai indah, dan wajahnya tetap lembut seperti yang Lena ingat. Namun, ada ekspresi ketenangan di wajahnya yang tidak ia miliki dulu.Lena menarik napas, lalu melangkah mendekat."Juliana," panggilnya pelan.Juliana yang sedang membaca sesuatu di tablet-nya langsung menoleh. Begitu ia melihat Lena, matanya membelalak. "Lena?"Ada keheningan di antara mereka selama beberapa detik. Juliana tampak terkejut sekaligus waspada."Apa yang kau lakukan di sini?" Juliana akhirnya bertanya, suaranya terdengar datar tetapi t
Suasana di dalam kamar Clarie terasa begitu nyaman. Dindingnya dihiasi wallpaper berwarna pastel dengan motif bintang-bintang kecil. Di salah satu sudut ruangan, boneka-boneka tersusun rapi di rak kayu, sementara di atas tempat tidur, selimut merah muda dengan gambar kelinci menjadi favorit Clarie.Lena duduk di tepi tempat tidur, menatap putrinya yang sedang asyik menggambar dengan krayon warna-warni di sebuah buku gambar besar. Clarie terlihat begitu ceria, jemarinya lincah menggoreskan warna biru ke langit gambarnya."Apa yang Clarie gambar?" tanya Lena dengan suara lembut, mencoba mengalihkan perhatiannya dari kelelahan yang menggantung di pikirannya sejak pertemuan dengan Ariana tadi.Clarie tersenyum lebar dan menunjukkan gambarnya. "Ini aku, Mama, dan Papa!" katanya riang, menunjuk tiga sosok sederhana yang digambarnya dengan kepala bundar dan tangan serta kaki seperti lidi.Lena tersenyum kecil. "Itu gambar yang bagus, Sayang."Tiba-tiba, Clarie menambahkan sesuatu di samping
Langit senja mulai meredup saat mobil Ariana berhenti di depan rumah megahnya. Clarie, yang sejak tadi tidak berhenti berceloteh tentang sekolah, langsung berseru kegirangan begitu melihat sosok yang berdiri di ambang pintu."Mama!"Lena, yang baru saja pulang, tersenyum tipis saat Clarie berlari menghampirinya. Ia berjongkok, membuka kedua lengannya, lalu memeluk putrinya erat."Kau sudah pulang, Sayang," ucap Lena sambil mengecup puncak kepala Clarie sekilas.Clarie mengangguk bersemangat. "Hari ini menyenangkan sekali! Aku belajar tentang harimau, aku menggambar, dan—"Lena mengelus rambut putrinya dengan lembut, tetapi matanya tidak benar-benar fokus. Ada ekspresi lelah di wajahnya, seolah pikirannya berada di tempat lain.Ariana mengamati pemandangan itu dalam diam. Clarie terlihat begitu bahagia, tetapi Lena, ia tampak jauh seperti seseorang yang hanya menjalankan perannya sebagai ibu tanpa benar-benar terlibat di dalamnya.Ariana menghela napas pelan sebelum berkata, "Clarie,
Ariana menutup ponselnya setelah membaca pesan dari sopir yang sedang menunggu di depan rumah. Hari ini, ia akan menjemput Clarie di sekolah—sesuatu yang sudah lama tidak ia lakukan sendiri. Biasanya, tugas itu diserahkan kepada pengasuh atau asistennya. Namun, sejak Clarie tidak henti-hentinya membicarakan guru barunya, seorang wanita bernama Juliana."Aku suka Bu Guru Juliana!" ujar Clarie suatu hari dengan mata berbinar. "Dia baik sekali, dan dia suka cerita sama aku!"Ariana awalnya tidak terlalu memikirkan hal itu. Baginya, Clarie memang selalu akrab dengan orang-orang di sekitarnya. Namun, entah mengapa, ketika Clarie menyebut nama Juliana, hatinya terasa sedikit tidak nyaman.Sekarang, sambil duduk di dalam mobil yang bergerak menuju sekolah Clarie, Ariana tidak bisa mengabaikan perasaan aneh itu. Apakah mungkin guru yang disebutkan Clarie itu... Juliana yang dulu? Tidak mungkin, kan?Mobil berhenti di depan sekolah, dan Ariana turun dengan anggun. Para orang tua lain yang juga
Matahari pagi menghangatkan halaman sekolah, sinarnya jatuh lembut di antara pohon-pohon rindang yang berjajar di sepanjang pagar. Anak-anak kecil berlarian riang menuju kelas masing-masing, sementara para guru berdiri di depan pintu menyambut mereka dengan senyum hangat. Juliana berdiri di depan kelasnya, memperhatikan murid-murid yang mulai masuk dan ia sudah menyiapkan banyak kegiatan menyenangkan. Namun, saat sepasang mata cokelat berbinar menatapnya dengan senyum ceria, Juliana merasa dunianya berputar sejenak. "Bu guru Juliana!" suara kecil itu menyapanya riang. Juliana tersenyum. "Selamat pagi, Clarie! Apa kabar?" "Aku baik. Aku nggak sabar belajar sama Bu guru," jawab Clarie sambil menepuk-nepuk tas kecilnya yang berwarna merah muda. Juliana mengusap kepala gadis kecil itu dengan lembut. Clarie adalah murid yang cerdas, penuh semangat, dan selalu membawa kehangatan ke dalam kelasnya. Awalnya, Juliana tidak pernah menyangka. Ia hanya menganggap Clarie sebagai salah satu
Joseph masih duduk di kursinya, menatap pemandangan kota yang terbentang luas dari balik dinding kaca kantornya. Pikirannya terusik, bukan oleh masalah bisnis, melainkan oleh kehidupan pribadinya yang terasa semakin kosong.Ia seharusnya bahagia. Ia memiliki segalanya. Perusahaan yang berkembang pesat, harta melimpah, dan kekuasaan yang diidamkan banyak orang. Namun, di balik kemegahan itu, ada perasaan hampa yang selalu menghantuinya.Pernikahannya dengan Lena sudah lama menjadi sekadar formalitas. Awalnya ia berpikir, mungkin waktu akan membuatnya terbiasa, tetapi ternyata tidak. Hubungan mereka tetap dingin, seperti dua orang asing yang hanya berbagi rumah.Sebuah ketukan di pintu mengalihkan pikirannya."Masuk!" ujarnya, kembali mengenakan ekspresi datarnya.Seorang pria bertubuh tegap masuk. William, kepala manajer divisi properti, membawa sebuah berkas tebal."Tuan, ini laporan terbaru mengenai proyek hotel bintang lima di Los Angeles," katanya, menyerahkan dokumen itu ke meja J
Keesokan paginya, Juliana bangun lebih awal dari biasanya. Ia ingin menikmati sedikit waktu sendiri sebelum hari yang panjang dimulai. Setelah memastikan Alya dan Malcom masih tertidur pulas, ia melangkah ke dapur dan mulai menyiapkan sarapan.Saat aroma kopi memenuhi ruangan, Juliana duduk di meja makan dengan koran yang belum sempat ia baca selama beberapa hari terakhir. Namun, pikirannya masih belum lepas dari kejadian kemarin.Clarie.Juliana menghela napas, mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa ini hanya kebetulan. Ia tidak akan membiarkan hal ini mengusik hidupnya.Tak lama, langkah kaki kecil terdengar."Mommy!"Juliana menoleh dan mendapati Alya berdiri di ambang pintu dapur dengan mata yang masih sedikit mengantuk."Selamat pagi, Sayang!" ucap Juliana lembut, menarik Alya ke pangkuannya."Mommy, kenapa bangun pagi sekali?" tanya Alya sambil menyandarkan kepalanya di dada Juliana."Mommy hanya ingin menyiapkan sarapan untuk kalian."Tak lama, Malcom muncul dengan wajah meng