Hermanto beranjak lebih dulu dari ruang tamu dengan ditemani oleh Stephanie. Pasca operasi, tentu, pria tua itu harus melakukan anjuran dari dokter demi kesembuhanya. Menghadiri pesta, bertemu dengan banyak orang. Terlebih, sempat terjadi masalah pula tadi, membuatnya mengeluarkan banyak energi. Oleh karena itu, ia harus segera beristirahat. Setelah memastikan Hermanto telah pergi, Susan segera menatap Vania. "Eh, Vania ..." Panggilan itu membuat Vania menoleh. Begitu pula dengan Aditama. Diikuti oleh yang lainnya. Selagi semua orang tengah kompak menatap ke arahnya, Susan melipat tangan di depan dada.Ia menatap Vania dengan senyuman penuh arti. Dia kemudian berkata. "Bibi curiga padamu ... kamu itu ... sudah tidur dengan Pak Jauhar, ya? Wakil Presdir Gandara corporation ... makanya ... kamu bisa mendapatkan kontrak kerja sama dengan begitu mudah?" Sontak, Vania dan Aditama kompak membelalak. Begitu pula dengan semua orang. Susan ... tengah menuduh Vania?Se
Mendengar komentar-komentar keji itu, perasaan Vania langsung campur aduk tidak karuan.Sedih, sakit hati, kecewa dan marah—menjadi satu. Wanita itu pun tidak tahan untuk tidak menangis. Seketika darah dalam diri Aditama mendidih, kesabarannya habis dan emosinya membuncah. Tentu saja ia tidak terima. Ia pun sudah tidak peduli lagi dengan keluarga Hermanto. Awalnya ia masih memiliki rasa segan dan hormat kepada mereka. Tapi setelah melihat sang istri difitnah dan apalagi sampai membuatnya menangis?Jangan salahkan dirinya jika ia akan bertindak diluar batas dan menjadi tidak terkendali. Aditama refleks bangkit dari duduknya dan langsung melemparkan tatapan mematikan ke arah satu persatu anggota lain keluarga Hermanto. "Jaga mulut-mulut kalian semua! Dengar hal ini baik-baik ... Vania tidak melakukan hal menjijikan seperti apa yang dituduhkan oleh Bibi Susan, Paman Bastian dan Mario!" Aditama menghentikan kalimatnya sejenak. Kemudian, ia mendengus jengkel. "Dia berhasil men
"Aku tidak kaget sama sekali." Jawab Aditama dengan ekspresi wajah datar. Kemudian, ia memicingkan pandangan. "Apalagi hal itu keluar dari mulut-mulut kalian yang tidak bisa dipercaya." "Kalian itu ... pasti sengaja memfitnah Vania yang tidak-tidak karena kalian merasa iri, 'kan? Dengan pencapaian, Vania?" Lanjut Aditama. Mendengar hal itu, senyum sinis di bibir Mario seketika pudar. Sedangkan Bastian dan Susan yang sedang memikirkan Bella tiba-tiba tersadar, kemudian langsung menatap Aditama. Mario pun lalu memaki dalam hati. Pasalnya, Aditama tidak terlihat terpengaruh sama sekali dengan perkataanya. Aditama lanjut berkata. "Kalian pikir ... aku akan terpengaruh dengan fitnah dari kalian semua?!" Ucapan Aditama membuat semua orang terdiam. Bastian, Susan dan Mario saling pandang satu sama lain, seakan tengah menyamakan frequensi. Sepertinya mereka tidak bisa mempengaruhi pikiran Aditama mengingat Aditama sangat mencintai Vania. Tapi Mario tidak menyerah. Ia akan berusaha
Menantu itu sungguh sudah tidak takut lagi dengan anggota keluarga Hermanto.Termasuk dengan salah satu orang yang paling dihormati di keluarga mereka sekali pun. Aditama juga terlihat sudah tidak memiliki rasa segan dan hormat lagi seperti yang dulu selalu dia tunjukan. Mendapati dirinya diperlakukan dengan rendah oleh Aditama, membuat Bastian merasa campur aduk tidak karu-karu an. Ia lalu menggerakan tanganya, berusaha lepas dari cengkraman tangan Aditama. Akan tetapi, hal tersebut sia-sia belaka karena cengkraman tangan Aditama begitu kuat. "Bajingan kau, Aditama!!!" teriak Mario selagi bergegas menghampiri Aditama dan Ayahnya dengan emosi menggebu-gebu.Dia tidak terima Ayahnya diperlakukan seperti itu oleh Aditama. "Berani kau mencengkram tangan Papaku, bangsat?!" Lanjut Mario. Sontak, Aditama menoleh ke arah sumber suara. Tapi tiba-tiba Mario sudah berada di hadapanya. Mario langsung mendorong tubuh Aditama menjauh dari hadapan sang Ayah yang membuat cengkraman pada perg
Seluruh anggota keluarga Hermanto telah pulang. Begitu pula dengan Bastian, Susan dan Mario. Sebelum beranjak, mereka bertiga menantang Aditama. Dengan mengatakan jika tidak takut dengan ancaman Aditama yang akan melaporkan mereka bertiga ke polisi. Mendengar hal itu, Aditama jadi semakin bersemangat untuk segera melalukan hal tersebut. Ia akan membuktikan jika ancamanya itu tidak main-main. Setelah semua orang pergi, Aditama dan Vania lalu berjalan masuk ke dalam hendak menemui Hermanto dan Stephanie untuk mengucapkan terima kasih atas restu yang telah diberikan. Di dalam kamar kepala keluarga Hermanto, pria tua itu sedang menyenderkan punggung di tepi tempat tidur. Sudah bersiap hendak tidur.Melihat kedatangan mereka berdua, membuat Hermanto mengurungkan niat. Vania duduk di samping sang kakek. Sedangkan Aditama berdiri di sebelah sang istri. "Kakek ... hanya menuruti permintaanmu saja, Van." Ucap Hermanto setelah terdiam sebentar, menatap Vania dengan lekat. Mende
Aditama dan Vania kompak terdiam untuk beberapa saat. Detik berikutnya, Aditama mengulas senyum seraya mengangguk—membenarkan pertanyaan ibu mertua. Mata Stephanie melebar!Mencerna dalam sepersekian detik, lalu tercengang. Walau ia sudah tahu hal itu dari Vania, tapi tetap saja kaget. Mendapat uang warisan sebanyak 1 triliun? Itu sangat lah banyak! Pasti, Aditama akan langsung diterima dikeluarga Hermanto jika mereka mengetahuinya. Namun tiba-tiba Stephanie tersadar dan buru-buru menguasai diri.Kemudian, ia kembali menatap Aditama, pandangannya memicing. "Apakah ... sebenarnya kamu itu membeli kalung seharga 31 miliar ... bukan hasil meminjam uang dari Ricard? Melainkan menggunakan uangmu sendiri, Tam?" tanya Stephanie lagi dengan suara tercekat, tertinggal di tenggorokan. Hendak memastikan hal itu. Aditama mengangguk lagi. Sontak, Stephanie mengerjap sebelum kemudian tercengang lagi. Walau sebenarnya ia juga sudah menebak hal itu, tapi tetap saja kaget saat menge
Di dalam kamar, tampak seorang dokter wanita sedang memeriksa Vania. Sesekali Vania menjelaskan keluhan yang ia rasakan kepada sang dokter. Setelah selesai memeriksa, sang dokter terlihat berpikir. Akhirnya, setelah terdiam beberapa saat, ia mendongak dan menatap Vania untuk beberapa saat. "Anda sedang tidak masuk angin, Nona Vania. Bukan pula sedang sakit." Kata dokter itu. Sudut bibirnya lalu terangkat dan membentuk senyuman penuh arti.Mendengar hal itu, Vania mengerjap. Di saat ini, ia langsung teringat dengan dugaanya tadi. Kala memikirkan hal itu, jantungnya seketika berdetak kencang. Mendadak, ia berharap jika dugaanya itu seratus persen benar. Pasalnya, dalam lubuk hatinya yang paling dalam, ia sudah sangat ingin hamil. Namun tiba-tiba Vania tersadar dan langsung menatap sang dokter. "Lalu, jika saya tidak sakit apa-apa ... apa yang terjadi dengan saya, Dok?" tanya Vania hati-hati. Kemudian, ia menelan ludah. "Atau ... jangan-jangan ... sa ... saya hamil, Dok?"
Begitu pintu terbuka, Vania langsung dihadapkan pada sosok Bella yang berdiri di depan pintu unit apartemenya. Kepergian Bella karena diusir oleh keluarganya, tentu membuat Vania dan Aditama bersimpati. Mereka berdua mengkhawatirkan kakak sepupunya itu. Terlebih Bella sangat baik kepada mereka berdua. Maka, mereka berdua pun mencoba menghubungi Bella untuk mengetahui kabar terbaru darinya. Mereka berdua cukup lega setelah mengetahui jika Bella tidur di rumah temanya. Vania merasa kasihan dengan Bella. Maka, ia pun membicarakanya dengan Aditama supaya Bella tinggal bersama mereka berdua saja untuk sementara waktu. Aditama pun memperbolehkanya. Akan tetapi, Vania belum memberitahukan perihal hal itu kepada Bella. Ia hanya menyuruh kakak sepupunya itu untuk datang ke unit apartemenya saja dulu. "Kak Bella," panggil Vania. Kemudian, mata Vania tertutup. Ia begitu lega melihat kakak sepupunya dalam keadaan baik-baik saja dan sungguh atang ke unit apartemenya. Setidakny