"Zaweelku!" Mama menyambut Zaweel di teras, dia langsung memeluk putranya seolah baru saja pulang dari sekolah.
"Kamu kehilangan berapa kilo berat badan?" Mama menilik penampilan anaknya dari atas hingga bawah.
"Jangan bilang karena kamu terlalu memikirkan kasus si janda itu, kamu--"
"Ma, aku mau mandi dulu abis ini makan. Lapar banget, mama masakin apa?" Zaweel sengaja memotong ucapan sang mama, dia tidak ingin mereka berdebat hal tidak penting di teras.
"Ayo, mama sudah masakin banyak makanan kesukaanmu. Kamu mandi dulu, mama hangatkan sebentar."
Zaweel menaiki tangga, dia tidak membenci mamanya yang bersikap berlebihan dan kurang menyukai Haziya padahal belum mengenal perempuan itu secara formal. Mamanya bukan orang jahat, bahkan begitu menyayanginya karena itu Zaweel sangat menghormati perempuan yang telah melahirkannya itu.
Dia mencoba
Zaweel mengecek ponselnya ketika dia merebahkan badan di tempat tidur. Namun, dia merasa aneh dengan pesan yang belum dibalas oleh Haziya. Bahkan sekadar dibaca pun belum.Apakah terjadi sesuatu dengan Haziya?Zaweel mencoba untuk tidak berpikiran buruk, mungkin saja Haziya sedang sibuk menikmati liburannya sehingga tidak sempat membalas pesan."Bang ..."Jarang sekali Miska mengirim chat menggantung seperti itu, biasanya dia selalu langsung to the point jika ada hal penting."Iya, ada apa?" Zaweel segera membalas, perasaannya sedikit deg-degan menunggu pesan lanjutan Miska."Kangen enggak? Wkwk."Miska mengirimkan foto Haziya tersenyum memandang lautan sedang berdiri di tepi pantai yang diambil gambarnya oleh Lidya.Zaweel menghela napas lega setelah melihat Haziya baik-baik saja. 
"Aku pulang ke Jakarta tadi pagi."Saat membaca pesan terakhir dari Zaweel, Haziya merasakan desiran aneh di dada. Bahkan dia tidak langsung membalas, matanya terasa berat oleh genangan embun.Mengapa Haziya mendadak didesak oleh perasaan tak menentu? Hatinya terasa nyeri membaca kalimat itu.Haziya sadar dia hanyalah klien bagi Zaweel, tidak punya hak mengatur kapan lelaki itu kembali ke kotanya lagi. Namun, mengapa tidak ada salam pamitan sejak kemarin? Setidaknya Zaweel memberitahukan soal keberangkatan tadi pagi itu kepadanya, sekadar basa-basi?Seketika Haziya sadar, jika hubungan mereka tidak lebih dari antara klien dan pengacara. Dia tidak punya hak untuk menuntut Zaweel dengan kekecewaan diterimanya kini. Lelaki itu bebas ke mana pun, bahkan jika tidak kembali lagi ke Aceh untuk melanjutkan status seorang pengacara baginya sah-sah saja.Dia tidak tahu al
30*Safia menyapa Zaweel saat melihat bosnya memasuki ruangan kerja. Dia baru saja mengantarkan segelas kopi susu untuk Zaweel."Selamat pagi, Mas Zaweel.""Pagi," balas Zaweel, dia berjalan menuju meja kerja."Setengah jam lagi kita rapat, aku sudah menyiapkan semua berkasnya.""Baik, terima kasih," ucapnya seraya tersenyum simpul. Safia mengangguk kecil, tetapi tidak juga beranjak dari tempatnya berdiri."Ada apa, Safia?" tanya Zaweel melihat tatapan ragu-ragu Safia. "Kamu ingin mengatakan sesuatu? Katakan saja."Zaweel bisa membaca jelas raut wajah merona Safia, perempuan itu memang cantik tapi sayangnya belum mampu menarik hatinya."Aku ... hanya ingin mengingatkan Mas, tentang undangan makan malam nanti di rumah."Safia menggigit bibir merahnya yang ranum, lelaki mana yang tidak tergoda melihat seorang perempuan berpenampilan cantik dan modis seperti Safia kini. Namun, Zaweel sudah biasa melihat pe
Jam sudah menunjukkan pukul enam petang, Zaweel masih di meja kerja. Dia masih berkutit dengan berkas-berkas dan dokumen penting lainnya.Sesuai rencananya, dia ingin segera membereskan kekacauan di kantor supaya bisa segera kembali ke Serambi Mekkah untuk menjadi pengacara bagi Haziya. Menuntaskan janjinya pada Miska untuk menolong sahabat saudaranya itu. Dan, tentu saja agar bisa makan masakan Haziya.Zaweel bahkan sudah tidak menerima tawaran kasus apa pun, meskipun diiming-imingi dengan banyak fee. Karena jika dia mengambil satu kasus saja, bakal menghabiskan beberapa hari."Kamu langsung pulang saja, besok lanjutkan lagi. Jangan lupa nanti malam makan malam di rumah Safia."Papanya mengingatkan ketika rapat usai tadi siang. Namun, Zaweel tidak menghiraukan karena dia lebih mementingkan untuk menyelesaikan pekerjaannya dibanding harus bersiap-siap berjam-jam demi makan malam yang membosankan. Apalagi jika dia pasangan orang tua akan
Zaweel menunggu balasan dari Haziya, dia menanyakan bagaimana keadaan perempuan itu sekarang. Namun, sejak usai magrib tadi dia mengirimkan pesan belum juga kunjung dibalas."Makin tampan saja, Nak Zaweel," puji mama Safia menyambut kedatangan mereka bertiga.Safia juga menyapa mereka, dia sangat senang karena Zaweel menyempatkan diri untuk hadir dan memenuhi undangan makan malam ini.Zaweel hanya tersenyum getir, meski raganya di rumah Safia, tetapi jiwa dan pikirannya melayang ke Haziya."Makasih, Mas, mau hadir.""Ayo, masuk!" Mama Safia mempersilakan semuanya memasuki ruang tamu, lalu diajak ke ruang makan karena sudah waktu makan malam."Langsung ke ruang makan saja, ya, sudah waktu makan malam. Yuk!" Sekar menuntun Monika untuk duduk di kursi."Safia, ayo duduk di sini!" Sekar menunjuk kursi di sebelah Zaweel. Se
Zaweel langsung meminta izin kepada Safia untuk mengangkat panggilan dari Haziya. Sejak petang tadi perasaannya begitu gelisah dan resah. Haziya sangat jarang mengirimkan pesan lebih dulu apalagi menghubunginya. Tentu saja dia langsung mengangkat karena penting."Assalamualaikum," sapa Zaweel memberi salam. "Gimana, Ziya? Kamu baik-baik saja?" tanyanya langsung tanpa menunggu penelepon menjawab salam."Waalaikumsalam, Bang, maaf ini Lidya. Sebentar ya, aku kasih ke Kakak. Sengaja aku hubungi Abang soalnya Kak Ziya mah mana berani telpon langsung.""Iya, boleh Dek. Abang juga ingin bicara sesuatu sama Kak Ziya."Meski bukan Haziya yang menghubunginya, tetapi Lidya memakai nomor Haziya seperti alasan yang dikemukakan barusan, tetap saja Zaweel senang. Setidaknya, dia bisa mendengar langsung Haziya bicara kepadanya."Ayo Kak, Abang Zaweel mau bicara juga katanya. Nih!'
Safia tidak langsung menjawab, dia melirik Zaweel yang sejak tadi tidak membantah apa pun apalagi mengiyakan. Apakah lelaki itu menyetujui rencana pertunangan ini?"Nak, kamu ditanya lho," bisik Sekar.Sekar selalu berdoa untuk kebahagiaan Safia, apa pun yang terbaik untuk putrinya dia akan berusaha untuk memberikan itu. Termasuk, jika harus menjadi besan Monika. Namun, melihat respon Zaweel yang tidak menaruh ketertarikan kepada Safia sejak dulu membuatnya sedikit kecewa dan sedih.Safia sangat berharga baginya. Selain jadi Putri tercantik di matanya, Safia juga selalu membanggakan di bidang prestasi sejak sekolah.Meski Sekar sempat meminta Safia untuk tidak begitu menaruh harap kepada Zaweel, dan meminta untuk membuka hati kepada lelaki lain saja karena banyak yang mengejarnya. Namun, karena Safia gigih mendapatkan hati Zaweel dia ingin mendukung
Haziya sudah berulang kali menyakinkan adiknya kalau dia bisa pulang sendirian saja, tetapi masih tidak diperbolehkan. Lidya bahkan menghubungi kedua orang tua mereka untuk menceritakan masalah Shabir kemarin.Bu Laela tidak pikir panjang mengatakan akan menjemput Haziya ke Lhokseumawe sekarang juga bersama suaminya."Mak, enggak usah. Adik gimana?""Dia biar sama Wawak yang jagain. Sekalian mamak dan ayah mau jalan-jalan juga, kan?"Haziya khawatir jika ibu dan ayahnya harus melakukan perjalanan yang jauh. Namun, jika dia memilih Lidya yang mengantarkannya pulang nanti sang adik harus balik sendiri ke kota ini untuk menuntut ilmu. Serba salah.Haziya merasa selalu menyusahkan orang lain, padahal usianya sudah dewasa. Karena alasan inilah dia tidak mau memberitahukan dulu kepada ibu dan ayah soal Shabir supaya mereka tidak terlalu cemas, apalagi sampai berencana menje
Miska menyiapkan segala keperluan untuk acara syukuran nanti malam di rumahnya. Sebagai seorang sahabat, dia senang akhirnya Haziya secara resmi berpisah dengan Shabir. Bahkan dia berencana untuk memperkenalkan Haziya dengan temannya yang masih single, nanti jika Haziya sudah terlihat lebih baik dan mulai membuka hati kembali.Namun, sebenarnya dia lebih suka jika Zaweel yang menjadi lelaki hebat untuk Haziya. Meskipun sikap Zaweel terkesan suka humoris, tetapi dia yakin jika Zaweel bisa melindungi sahabatnya dari gangguan mantan suami Haziya, apalagi dari tekanan Bu Karni, dan lain-lain.Miska sedikit tahu tentang perjodohan Zaweel dengan Safia, walaupun belum ada keputusan lebih lanjut. Monika pasti akan merencanakan perjodohan itu berjalan sesuai harapan mereka. Sekar dan Monika sudah bersahabat dan saling mengenal, serta keluarga mereka juga menjalin bisnis. Tentu saja bersatunya Zaweel dan Safia akan semakin meningkatkan hubungan persahabatan mereka.&n
Miska akan menginap di rumah Haziya malam ini, karena dia ingin menemani sahabatnya, serta akan ikut ke pengadilan besok. Sedangkan Zaweel sudah berpamitan sejak memasuki waktu ashar, dia shalat berjamaah di masjid terdekat bersama ayah Haziya. "Makasih ya Nak, kamu mau membantu putriku." "Sama-sama, Pak. Insya Allah besok kita pasti bisa menyudahi semua perkara ini." "Aamiin." "Kamu bakal balik ke Jakarta lagi setelah ini?" tanya Ayah Haziya ketika mereka menuju parkiran Masjid. "Iya, Pak, masih ada kerjaan di Jakarta," jawab Zaweel, dia juga enggan cepat balik ke kota karena merasa nyaman di sini. Namun, statusnya masih sebagai pengacara, dia harus profesional dan kembali melanjutkan profesinya. Ditambah perusahaan papanya yang juga membutuhkan dirinya. Meskipun dia tidak lagi bekerja di bidang pembela klien, Monika tidak akan membiarkannya menetap di Aceh. Zaweel harus menjadi penerus sang papa. "Semoga saja
Haziya bersiap untuk ke rumah bimbingan belajar, dia akan mulai mengajar lagi hari ini. Miska menghubunginya ketika dia hendak ke Sigli."Assalamualaikum, kamu baik-baik saja, kan?" Miska terdengar khawatir di seberang. "Kenapa baru aktif nomornya?""Waalaikumsalam, Alhamdulillah baik-baik saja Miska. Maaf semalam lupa aktifkan ponsel," jawab Haziya jujur."Ada apa? Dia mencoba menghubungi kamu lagi makanya kamu harus matiin HP?"Tebakan Miska tepat sasaran, Haziya membenarkan karena dia tidak akan bisa membohongi sahabatnya yang sudah terlalu pandai membaca dirinya."Lelaki pecundang. Dia pasti mencoba menggelabui kamu lagi, pura-pura menyesal dan minta balikan padahal sudah punya istri baru. Ckck!" gerutu Miska kesal dengan sikap tak berpendirian Shabir."Masih banyak lelaki lain, jangan sampai kamu masuk ke lubang yang sama. Biarkan dia bersama Tante itu, nanti yang ada kamu malah dituduh sama Tante itu merebut sua
Bu Laela berdiri di depan kompor, suasana hatinya berubah tidak karuan disebabkan kedatangan tamu tadi. Bahkan tadi dia sangat bersemangat untuk memasak rebung kala merah."Bu, biar aku saja yang masak. Ibu istirahat saja ke kamar!" saran Haziya meminta Bu Laela untuk tidak memaksakan diri memasak dalam keadaan tidak konsentrasi."Enggak apa-apa, Ibu bisa lanjutin. Kamu datang?" tanya Bu Laela seraya membuka penutup panci, memasukkan bumbu yang sudah dihaluskan untuk merebus ayam."Sekarang aku kembali harus dapat izin dari ayah dan ibu kalau mau ke mana saja, Bu. Jadi, aku bakal patuhi semua kata Ibu. Ibu jangan resah, aku enggak bakal datang tanpa izin dari kalian." Haziya tersenyum hangat memberikan ketenangan pada perempuan yang begitu disayanginya itu."Assalamualaikum, Bu!" Ayah Haziya masuk tergesa-gesa setelah mengucapkan salam. Dia langsung menuju dapur karena mencium aroma harum dari masakan yang sedang dimasak."Waalaikumsala
Bu Karni memandang mereka dengan senyum menyeringai, begitu juga dengan Vina di sebelahnya.Mengapa mereka datang ke sini?Suami Bu Laela sedang di luar, sedangkan Adil masih kecil tidak mungkin bisa kuat mengusir keduanya dari rumah. Bu Laela sendiri tidak mau membuat keributan yang menarik perhatian dari tetangga jika dia mengusir mereka."Ada apa?" ketus Bu Laela di tempatnya."Bu, kita duduk dulu yuk!" ajak Haziya. Dia bisa memahami ketidaksukaan Ibunya pada kehadiran Bu Karni, mantan besannya setelah perlakuan mereka terhadap Haziya selama ini. Namun, bagaimanapun mereka harus menghormati dan menghargai tamu."Ibu, sebentar ya aku ambilkan minum," tawar Haziya seraya membuat air untuk Bu Karni juga Vina. Sebagai tuan rumah dia harus menyajikan setidaknya minuman pada mereka, meskipun tamu tak diundang.&nbs
Lidya terpaksa harus kembali ke Lhokseumawe lagi sehari setelahnya. Haziya tidak ingin adiknya ketinggalan mata kuliah. Dia juga tidak mempermasalahkan jika Lidya tidak bisa hadir di persidangan keputusan nanti."Doakan saja Kakak, Dik. Kamu belajar yang rajin di sana, ya," pesan Haziya sebelum Lidya berangkat ke Lhokseumawe."Iya, Kak. Kabarin aku ya perkembangannya. Semoga dimudahkan dan Kakak bisa memulai hidup bahagia dengan baik.""Aamiin."Haziya memasukkan baju-baju ke dalam lemari setelah menyetrikanya. Dia berniat untuk istirahat sebentar sebelum masuk waktu shalat ashar.Namun, baru saja dia memejamkan mata, ponsel di atas nakas berdering yang menunjukkan nomor tak dikenal. Dia ragu mengangkatnya, karena khawatir jika panggilan tersebut dari Shabir, atau Vina.Haziya tidak mengangkatnya, tetapi penelepon tidak putus asa meskipun telah diabaikan hingga ke dua kali. Pada panggilan ke tiga
Lidya membelok sepeda motor mereka ke salah satu warung di pinggir jalan ketika langit mendung pekat terlihat, bahkan rintik-rintik hujan mulai bertandang. Jika dipaksakan melanjutkan perjalanan maka mereka akan kebasahan, meskipun membawa mantel, tetap saja perjalanan masih jauh akan berbahaya karena jalanan licin. "Kak mau pesan cane durian?" tanya Lidya setelah duduk di salah satu kursi, mereka duduk bersebelahan sedangkan Hanif duduk di meja seberang. Salah satu kuliner di Kota Bireuen terkenal dengan makanan manis bernama cane durian. Warung kopi berjejeran di simpang. "Teh hangat saja," ujar Haziya menyebutkan nama minuman. "Baik. Abang Hanif mau pesan apa?" "Abang samaan saja dengan kalian, biar Abang yang pesanin, kamu duduk saja," kata Hanif memberi isyarat untuk Lidya tidak bangun dari kursi. "Baik, Bang." Haziya bersyukur selama perjalanan tadi tidak ada gangguan dari Shabir. Dia berdoa dalam hati semo
Zaweel membawa pulang kue kesukaan mamanya. Dia tahu kalau Monika masih kecewa karena penolakan pertunangan semalam. Bahkan mamanya tidak menyapanya tadi pagi di meja makan."Assalamualaikum, Mama!" salam Zaweel memasuki rumah lalu berjalan mendekati sang mama yang sedang menyiapkan makan malam."Waalaikumsalam," jawab mama tanpa menoleh pada putranya."Ma, ini aku beli kue kesukaan mama." Zaweel menyodorkan sekotak kue terang bulan isi keju dan cokelat manis."Letak di sana saja, meja sudah penuh," titah Monika seraya menunjuk pantry. Biasanya Monika akan tersenyum senang menerima pemberian Zaweel, tetapi karena masih marah dia menyembunyikan kegembiraannya."Mama masih marah ya? Kalau aku beli sekalian gerobaknya mama mau enggak maafin Zaweel?"Dengan wajah polos dan dipasang sendu, Zaweel menatap mamanya lekat.
Haziya sudah berulang kali menyakinkan adiknya kalau dia bisa pulang sendirian saja, tetapi masih tidak diperbolehkan. Lidya bahkan menghubungi kedua orang tua mereka untuk menceritakan masalah Shabir kemarin.Bu Laela tidak pikir panjang mengatakan akan menjemput Haziya ke Lhokseumawe sekarang juga bersama suaminya."Mak, enggak usah. Adik gimana?""Dia biar sama Wawak yang jagain. Sekalian mamak dan ayah mau jalan-jalan juga, kan?"Haziya khawatir jika ibu dan ayahnya harus melakukan perjalanan yang jauh. Namun, jika dia memilih Lidya yang mengantarkannya pulang nanti sang adik harus balik sendiri ke kota ini untuk menuntut ilmu. Serba salah.Haziya merasa selalu menyusahkan orang lain, padahal usianya sudah dewasa. Karena alasan inilah dia tidak mau memberitahukan dulu kepada ibu dan ayah soal Shabir supaya mereka tidak terlalu cemas, apalagi sampai berencana menje