Sekarang kami berpisah kamar, Muzammil di lantai dua dan aku di bawah, sederetan dengan kamar pembantu. Pukul 03.00, seperti biasa aku bangun untuk sholat Tahajud. Karena aku tidak bisa berjalan jauh, aku melakukannya di kamar.
"Zhee!" panggil Muzammil sambil membuka pintu kamarku.
Saat itu aku sedang sholat, sehingga aku tidak merespon panggilannya. Aku mendengar dia menutup kembali pintu kamarku.
Setelah sholat tahajjud, seperti biasanya Muzammil membaca dan menghafal Al-Qur'an. Perlahan aku menghampirinya sambil membawakan secangkir kopi.
"Terima kasih, Sayang," ucapnya setelah aku menaruh kopi di depannya.
"Tidak perlu berterima kasih, Kak Zammil," jawabku.
"Bagaimana keadaanmu, Zhee?" tanya Muzammil.
"Aku sudah baik-baik saja," jawabku.
"Duduklah, Zhee!" perintah Muzammil.
"Tidak Kak Zammil, aku takut Putri Hema dan permaisuri bangun, aku kembali ke kamar saja," jawabku.
Dengan tertatih-tatih
Aku segera menutup teleponnya dan menyembunyikan ponselku. Hema berjalan menghampiriku. "Jangan banyak berdrama, pura-pura sakit segala," Hema mengolok. "Putri Hema, saya benar sakit. Kalau sehat saya tidak mau tiduran di kamar," jawabku pelan. "Alah, alasan saja!" bentaknya. "Ingat kamu hanya selir dan tidak akan pernah bisa menggantikan posisiku, jangan belagu kamu!" Hema terus mengumpat. "Hema, apa yang kamu lakukan di sini?" tiba-tiba permaisuri muncul di depan pintu. "Tidak ada apa-apa, Permaisuri. Saya cuma melihat apa benar Zhee masih sakit," ujar Hema kemudian pergi. Permaisuri memandangku sekejap kemudian mengikuti Hema pergi. Aku kembali mengambil ponselku, ternyata telepon masih terhubung dengan Muzammil. "Maaf Pangeran, aku tidak tahu kalau teleponnya belum mati. Aku tidak bermaksud ...," ujarku terputus. "Tidak apa-apa, Zhee. Kamu yang sabar ya, kamu teristimewa dalam hatiku," ujar Muzammil mulai mera
Tak lama setelah berbicara dengan Iqbal, aku merasa lega, rinduku telah terobati. Akhirnya Iqbal harus kembali ke kelas. "Kita ke apartemen, Fattah," perintah Muzammil. "Baik, Pangeran," jawabnya. Dan mobil pun melaju kencang menuju apartemen Muzammil. "Fattah, aku tidak mau diganggu! Tolong kamu tidur di hotel ya. Jangan pulang ke rumah, aku tidak mau mamaku dan Hema mendesak menanyai kamu," pesan Muzammil. "Siap, Pangeran! Nanti kalau sudah siap untuk pulang tolong kabarin saya," pesan Fattah. "Iya." Butuh waktu tiga puluh menit untuk sampai ke apartemen Muzammil. Kini aku sudah sampai di apartemen. Baru bebrapa langkah kakiku masuk semua bayangan tentang masa lalu datang menghantuiku. Di sini Faruq dengan tanpa ampun memburuku dan menodaiku sampai aku hamil. Muzammil menggandengku masuk ke dalam, semakin eratnya genggaman tanganku membuat Muzammil sadar dengan ketakutanku. Dia menghentikan langkahnya kemudianl menata
Aku serasa berbulan madu di apartemen, tanpa seorang pun mengganggu. Segala aktifitas kita lakukan di dalam. Kita sudah menahannya semenjak kehadiran permaisuri dan Putri Hema di istana, kita tidak bisa saling berdekatan dengan bebas. Aku, Muzammil dan Fattah sepakat off ponsel agar tidak bisa dihubungi oleh mereka. Pagi, sehabis kita menikmati sarapan Muzammil mencumbuku di ruang tengah, dimana Faruq pernah melakukan pelecehan di sini. Semula ini sangat menyiksaku, tapi dengan cara ini dia bisa menyembuhkan traumaku. "Aku semakin mencintaimu, Zhee. Aku berjanji akan membantumu mengembalikan kepercayaan dirimu," bisiknya di telingaku. "Terima kasih, Pangeran." Dia semakin gencar melancarkan kecupan-kecupan nakalnya ke daerah sensitifku. Dengan tatapan mataku yang tidak pernah lepas dari suamiku, aku semakin fokus menikmatinya. Ini cara efektif menyembuhkan trauma mendalamanku karena kekerasan seksual yang sudah sepuluh tahun lebih aku rasakan.
Entah kenapa malam ini aku begitu gelisah, teringat Muzammil membopong Hema ke kamarnya. Bahkan setelah itu dia tidak keluar lagi. Tidak sekejap pun mataku mampu terpejam, bayangan Muzammil mencumbu Hema sama seperti saat dia mencumbuku sangatlah menyakitkan.Dret ... dret ... dret! Ponselku di atas nakas bergetar. Bergegas aku mengambilnya. Dari layar ponsel tampak foto profil Iqbal. Dengan ragu aku mengangkatnya."Assalamualaikum Sayang," sapaku ragu."Waalaikum salam, Sayangku Fahim," ternyata Faruq yang menjawab."Tuan muda? Kenapa malam-malam meneleponku pakai nomer Iqbal lagi?" tanyaku kesal."Ternyata selama ini kalian sembunyi-sembunyi di belakangku ya? Apakah kamu hanya merindukan Iqbal, kamu tidak merindukan aku juga, Fahim? Aku sangat tersiksa rindu padamu, Fahim," gumam Faruq lirih."Tuan muda kan tahu aku sudah punya suami, tolong hentikan semua ini! Aku sudah bahagia dengan suamiku, Tuan muda," pintaku memohon."Aku tida
Aku masih tertegun, hati terasa seperti diremas hingga sulit bernapas. Wajah Faruq bagai pinang dibelah dua dengan anak semata wayangku. Andaikan saja dia bukanlah monster yang kelainan sex mungkin aku akan mencintainya begitu besar. Mungkin aku tidak akan lari dari pernikahan saat itu. Tak sadar air mataku meleleh, aku harus datang ke Faruq untuk bisa memiki Iqbal. Sementara Muzammil sang pahlawanku pun tidak bisa kumiliki seutuhnya karena ada Hema di dalam hidupnya. Tiba-tiba aku terlelap tak ingat lagi. Seperti mimpi indah tangan kekar Muzammil membelai rambutku kemudian mencium keningku. "Yuk kita sholat Tahajjud!" bisiknya di telingaku. Sontak mataku terbuka lebar, aku terkesiap. Tepat di depan wajahku Muzammil yang tersenyum tampan. "Pangeran?" panggilku lirih. "Tumben tidak bisa bangun, kenapa?" tanya Muzammil. "Aku malam sekali baru tidur, Pangeran," jawabku. "Kenapa, tidak bisa tidur ya?" tanya Muzammil menggod
"Oh ini dia penjahat kelaminnya!" teriak permaisuri. "Aku jadi jijik melihat Zhee setelah tahu peringai kamu, Faruq! Ternyata pangeran kebanggaan kami hanya mendapatkan sisa dari penjahat kelamin kayak kamu. Begitu masih berani-beraninya berselingkuh di belakang Muzammil," olok permaisuri. "Fahim, apa yang dikatakan mereka? Siapa yang berselingkuh?" tanya Faruq keras. "Pura-pura, ya kamulah yang selingkuh! Di belakang pangeran kalian berdua masih berhubungan kan?" sahut Hema. "Apa kalian semua bodoh? Buka mata kalian, seandainya Fahim sejak awal mau denganku, dia tidak akan pernah mengenal Muzammil. Aku dan Fahim bisa kapan saja menikah dan hidup bahagia. Sayangnya sejak awal dia sudah menolakku, dia tidak mencintaiku. Sebesar apapun aku berusaha mendapatkannya selalu sia-sia. Baik dulu maupun sampai detik sekarang kita berdiri di depan kalian!" ungkap Faruq emosi. "Zammil, apakah kamu juga meragukan Fahim? Kamu tidak akan pernah bisa mencintai bahkan
Muzammil membawaku pulang ke rumah setelah semua baik-baik saja. Saat mobil sampai di halaman Muzammil bergegas membukakan pintu. Dia membopong tubuhku yang masih lemas lunglai. Tanpa menggubris Hema dan permaisuri sedang ada di ruang tengah, Muzammil membawa aku naik ke lantai atas menuju kamarnya. "Kok dibawa naik? Jangan bilang kamu akan membawanya ke kamarmu, Pangeran?" ketus Hema berteriak. "Dia sedang sakit, lagian dia sedang hamil anakku. Aku ingin merawatnya sendiri," jawab Muzammil dingin. "Permaisuri, lihat pangeran! Begitu tidak adilnya dia kepadaku. Bagaimana kalau papaku tahu kamu memperlakukan aku seperti ini, dia akan marah besar tau!" hardiknya emosi. "Sudahlah, Putri Hema, jangan khawatir nanti mama akan bicara kepadanya," permaisuri menenangkan. "Aku juga kecewa kepada permaisuri, kelihatannya permaisuri mulai luluh," ketus Hema. Dengan kakinya Muzammil menendang pintu agar pintunya kembali menutup. Perlahan Muzammil
Aku akhirnya membuang susu itu ke dalam kloset. Dan mengunci kamarku agar Muzammil tidak mendatangiku malam ini. Permaisuri sudah memutuskan kalau Muzammil harus datang ke kamar Hema. Tok ... tok ... tok! Terdengar pintu kamarku diketuk. "Zhee?" suara Muzammil memanggil. "Datanglah ke kamar Putri Hema, Pangeran! Jangan buat masalah semakin rumit, jangan sampai ada kecemburuan di hati Putri Hema!" pesanku. "Baik, Zhee tapi bukalah pintumu sebentar saja aku ingin memastikan kamu baik-baik saja," desak Muzammil. Aku tidak mau berdebat lagi, rasanya tidak tega melihat Muzammil berdiri di depan pintu kamar berlama-lama. Aku beranjak bangun dan membuka pintu kamarku. Tiba-tiba tangan kekarnya meraih tubuhku dan membopong keluar kamar menuju ke kamarnya. "Apa yang kamu lakukan, Pangeran?" tanyaku tidak enak hati karena aku melihat permaisuri dan Putri Hema sedang duduk santai di ruang tengah. "Aku akan datang ke kamar Putri Hema, tapi
Ternyata orang yang sangat kucintai menusukku dari belakang. Diam-diam dia akan mengambil Erkan dariku. Pandainya dia bersandiwara seolah dia adalah pahlawanku, pelindungku juga anak-anak. Ternyata dia ular yang berbisa. Semenjak aku mendengar telepon dari Hema itu aku harus lebih hati-hati kepada Muzammil."Faruq, berikan Erkan kepadaku!" pinta Muzammil kepada Faruq.Dengan suka hati Faruq memberikannya kepada Muzammil. Aku menatapnya dengan kecewa, "harusnya kamu menjaganya, Pangeran, bukannya malah akan menculiknya," batinku."Aku akan menyuapinya, Pangeran," kataku."Suapi saja biar kugendong," usul Muzammil.Tanpa berontak terpaksa aku menyuapi Erkan yang dalam gendongan Muzammil. Sambil bergurau riang menghibur Erkan agar mudah makan. Aku melihat Faruq terpaku menatapku, perasaan canggung mulai menghinggapiku."Assalamualaikum ...?" sapa Marwa yang tiba-tiba muncul di depan kami."Waalaikum salam," jawab kami bersamaan."Marwa?" panggil Faruq terkejut."Nyonya Marwa?" panggilku
Muzammil terkejut ternyata yang menelepon pengawal istana dan mengabarkan hasil penyelidikannya. Ternyata benar wanita yang aku curigai itu adalah Marwa. Berarti Marwa ada di Indonesia? Apa yang dilakukan di negaraku? Apa karena Faruq dan Iqbal belum pulang ke Inagara? Apakah Marwa sudah tahu kalau Faruq sedang sakit? Kalau benar dia sudah tahu tapi kenapa masih mengejar-ngejar Faruq? Apa itu artinya cinta Marwa tulus kepada Faruq? Faruq tidak boleh menyia-nyiakan ketulusan hati seorang istri. Aku tahu Marwa begitu membenciku karena rasa cemburunya yang begitu buta karena takut kehilangan Faruq. Tapi kalau ternyata dia belum mengetahui kalau Faruq sedang sakit, apa yang akan terjadi bila akhirnya dia tahu? Apakah dia akan meninggalkannya?"Awasi terus jangan sampai kehilangan jejak!" perintah Muzammil kepada pengawal istana kemudian menutup teleponnya."Ternyata feeling kamu benar, dia adalah Marwa," gumam Muzammil."Aku takut, Pangeran!" ujarku lirih.Muzammil segera memelukku, hang
Aku sudah kembali ke rumah, betapa bahagianya melihat Iqbal dan Erkan serta adik barunya bermain dengan rukunnya.. Gadis yang manis itu akan aku adopsi dengan nama Naura. Sepertinya itu nama yang cantik dan cocok buat dia. Aku dan Muzammil menemani mereka bermain di teras rumah."Iqbal suka punya adik cantik dan manis seperti dia?" tanyaku kepada Iqbal."Suka, Umi," jawab Iqbal. "Aku senang tinggal di sini, Umi, rasanya tidak ingin kembali ke Inagara," gumamnya."Kasihan abi juga opa dan oma, Sayang," hiburku."Nanti Iqbal akan semakin sering bertemu dengan mereka, jangan khawatir!" Muzammil juga menghiburnya."Iqbal sayang kan sama adik-adik?" tanyaku."Iya Umi, aku sayang banget sama adik-adikku, mereka imut," sahut Iqbal. "Sekarang adikku ada dua iya kan, Abi?" lanjutnya bertanya Muzammil."Iya, ada dua, kamu mau nambah lagi?" kelakar Muzammil."Ih apaan sih, Pangeran, mereka masih kecil-kecil repot tahu?" selaku berbisik sambil mencubit lengan Muzammil."Auh sakit, Zhee!" tawa Muz
Aku segera membacanya, betapa terkejutnya hatiku membaca isinya. Ibu menginginkan aku menikah dan bahagia dengan Faruq. Karena di depan matanya Faruq banyak melakukan pengorbanan dan selalu melindungiku. Ibuku menyaksikan sendiri betapa besar cinta Faruq untukku. Sementara dengan Muzammil dia belum pernah bertemu. Meskipun Muzammil seorang sultan dari Kerajaan Tukasha ternyata tidak membuat ibuku silau dengan pangkat dan derajat."Apa isinya, Zhee?" tanya Muzammil yang ikut mengamati surat itu."Bukan apa, Pangeran," jawabku. "Untung kamu tidak mengerti bahasanya," pikirku dalam hati."Kita lihat ibuku, kamu belum pernah melihat ibu kan?" kataku sambil menggandeng tangan Muzammil mencari jenazah ibu di baringkan.Dengan penasaran dia mengikutiku menuju ruang tengah. Aku melihat jenazah ibu sudah dimasukkan keranda. Akhirnya paman dan beberapa orang membantu membuka keranda itu agar aku bisa melihatnya untuk terakhir kalinya."Jangan menangis, Fahim, jangan sampai air matamu menetes di
Entah apa yang sedang kupikirkan, tiba-tiba saja aku balik kanan dan berlari sambil menggendong Erkan. Tanpa berpikir lagi Muzammil sedang di sisiku. Juga hampir lupa bahwa Erkan sedang dalam gendonganku. "Zhee!" teriak Muzammil memanggilku. Aku tidak menggubrisnya lagi, yang ada di otakku wajah Faruq yang melemah dan butuh dukungan orang yang dicintainya. Tanpa terasa aku sudah berdiri di depan pintu ruang dokter spesialis kanker atau Dokter Onkologi. Tanpa ragu aku menerobos masuk. "Nyonya, ada apa ini?" hardik perawat spontan. Aku tidak peduli, aku terus masuk hingga akhirnya menerobos ruang periksa dokter. "Siapa dia, Tuan?" tanya dokter dalam bahasa Inggris. "Dokter, bagaimana keadaannya?" sahutku panik. "Apa dia istrimu, Tuan?" tanya dokter lagi. "Saya keluarganya, Dok," jawabku. "Kebetulan, Nyonya, silakan duduk!" perintah dokter. "Hanya dukungan keluarga yang paling dibutuhkan. Satu-satunya jalan dia harus kemoterapi, Nyonya, tapi Tuan Faruq menolaknya," ujar dokter
Aku dan Faruq terbelalak kaget tidak mengira Muzammil tiba-tiba muncul. Dan kami tidak siap jawaban dengan pertanyaan itu. Aku dan Faruq saling berpandangan. Ada rasa tidak nyaman dengan kehadiran Muzammil terpancar di wajah Faruq."Ada apa kalian? Kenapa kelihatan tegang seperti itu?" tanya Muzammil sok polos."Penyusup itu, dia ... dia ... meninggal," ujarku pelan dan terbata-bata."Bagaimana bisa? Bukankah sebelumnya dia baik-baik saja?" tanya Muzammil heran. "Bagaimana bisa dengan tiba-tiba dia meninggal?" lanjutnya."Pura-pura!" sahut Faruq menggumam lirih."Maksudmu?" bentak Muzammil heran.Sontak mataku memberi isyarat agar Faruq bisa menahan diri. Belum saatnya kita membongkar kejahatan ini karena bukti belum jelas. Akhirnya Faruq pun menahan diri. Muzammil hendak membuka pintu ruang penyusup itu dirawat tapi perawat lebih dulu membuka pintu dan keluar membawa jenazah pindah ke kamar mayat."Mana mungkin? Dia satu-satunya harapan kita untuk mengungkapkan misteri kejahatan ini?
Muzammil menarik tanganku dan mengajak ke ruang keamanan. Aku hanya pasrah dan mengikutinya bahkan Faruq pun mengikuti kami berdua. "Jaga kamar anak-anakku, Burhan, jangan sampai kecolongan lagi!" pesan Muzammil sambil mempercepat langkahnya menyempatkan menghubungi bodyguard yang menjaga kamar Iqbaal dan Erkan. "Aku takut anak-anak dalam masalah, Pangeran!" sahutku. "Atau biar aku yang menunggu mereka, Zammil?" usul Faruq. "Iya, Faruq, tolong!" jawab Muzammil. Akhirnya Faruq berhenti sejenak karena terlalu lemah fisiknya, dan kami pun juga berhenti mengikuti Faruq. "Kamu baik-baik saja, Faruq?" tanya Muzammil. "Aku hanya capek," jawabnya singkat dibalik napasnya yang berpacu. "Pangeran, bolehkah aku mengantar Tuan muda ke kamarnya? Kasihan dia pucat sekali," pintaku dengan pelan agar pangeran tidak cemburu. Aku melihat dia sedang berpikir, aku tidak tahu apa yang ada dalam otaknya.Tapi aku lebih kasihan melihatnya tampak kesakitan dan melemah. "Tidak perlu, Fahim, aku tidak
Kita bertiga mendatangi kamar dimana penyusup itu dirawat. Dia masih belum sadarkan diri. Di depan pintu masuk ada empat bodyguard sedang berjaga."Dia sepertinya orang Indonesia, Fahim," gumam Faruq lirih. "Betul, Tuan muda," jawabku setuju dengan pendapat Faruq. "Tapi untuk siapa dia bekerja, apa salahku?" lanjutku meruntuk. "Kita tidak mengenalnya, bahkan aku dan ibu tidak punya musuh di sini," lanjutku sambil mengingat-ingat.Tiba-tiba dokter datang bersama perawat untuk memeriksa pasien."Pak Faruq, kenapa bapak tidak istirahat malah jalan-jalan kemari," tanya dokter begitu bertemu Faruq sedang berada di kamar pasien lain."Iya Dokter, sebentar lagi saya kembali ke kamar," jawab Faruq."Dokter Farid yang menangani anda adalah dokter terkenal di Indonesia, semoga bisa membantu masalah anda, Pak Faruq," kata dokter Bagus."Amiin," sahut Faruq dan Muzammil bersamaan."Bagaimana keadaan pasien ini, Dok?" tanya Muzammi."Keadaannya sudah stabil, dia akan segera sadar," kata dokter op
Tiba-tiba dokter dan perawat gadungan itu keluar dari kamar sambil menggendong paksa Erkan. Dia menconcongkan pistol ke kepala Erkan mengancam kalau kita mengadakan perlawanan maka peluru itu akan menebus kepala Erkan. "Apa yang kalian inginkan sebenarnya? Kenapa harus menghukum bayi yang tidak berdosa? Kalau urusan kalian kepadaku atau pangeran ayo kita selesaikan kita bicara," usulku. Dua orang penjahat itu tidak merespon justru semakin kelihatan garang. Mereka semakin lari menjauh mencari jalan keluar. Yang membuat aku penasaran apa yang mereka inginkan. Kenapa selalu ingin menculik Erkan? Aku ingin lari mengikutinya, tapi sontak Muzammil menarik tanganku dan menghentikanku. "Tenangkan hatimu, Zhee!" pinta Muzammil. "Bagaimana bisa tenang, anakku dalam bahaya? Setelah hilang beberapa hari kini harus diculik lagi," tangisku menggerutu. "Dia sudah mulai berjalan keluar rumah sakit, awasi dan ikuti terus jangan sampai kehilangan jejak!" perinta Muzammil lewat telepon kepada sese