"Mau sampai kapan kamu bertahan sama suami pengangguran seperti Yudha, Rahma?"
Rahma tak terima mendengar pernyataan Kakak iparnya itu. "Mas Yudha bukan pengangguran, mbak! Ia ikut kerja di laundry milik Pak Haji Taslim."
"Lho bukan pengangguran gimana? Suamimu kerja serabutan kayak gitu, sama saja dengan pengangguran, kan?" tuding kakak iparnya tak mau kalah.
"Berhenti menghina Mas Yudha, mbak Widya. Setidaknya ia bisa menafkahiku."
"Halah, di mana-mana, orang kerja serabutan itu, ya pengangguran, Rahma. Memangnya berapa sih gaji karyawan laundry sebulan? Nggak mungkin nyampe sepuluh juta kan?! Cakep sih cakep, tapi kalau makan tempe sama ikan asin terus tiap hari, apa tidak bosen kamu? Kalau makan enak aja, kamu harus nunggu ada acara kondangan dulu!"
Rahma mengepal kuat tangannya, ingin rasanya ia merobek dan mencakar mulut yang tidak punya tata karma berbicara itu. Hanya saja, ia menahan diri karena malas berurusan dengan kakak laki-lakinya jika perbuatan bar -bar itu dilakukannya.
"Mbak ngapain datang ke rumahku?" tanya Rahma mencoba mengalihkan pembicaraan.
Sungguh, ia takut jika terlalu lama mendengar mulut racun kakak iparnya itu akan membuat emosinya benar benar tersulut.
"Ah, sampai lupa! Ini, aku mau kasih opor ayam ini untuk kamu. Biar kamu gak cuma makan tempe sama ikan asin mulu," ucap Widya sambil memberikan plastik berisi opor ayam ke tangan Rahma.
Wajah Rahma tampak masam menerima plastik itu dari tangan Widya. Melihat Rahma tak bereaksi, membuat Widya tersenyum mengejek.
Dia tidak tahu saja bahwa Rahma sedang menahan diri agar tidak melempar opor ayam ini ke wajah kakak iparnya itu. Ini semua karena Rahma memiliki sedikit pengetahuan tata cara menghormati orang yang lebih tua, jika tidak ... Ah, Rahma mulai membayangkan bagaimana reaksi Widya jika hal itu dilakukannya.
"Rejeki jangan ditolak Rahma, ajak suamimu juga makan opornya, biar dia tahu bagaimana rasanya mencicipi makanan enak. Dah ya, mbak mau pulang, jangan lupa di makan opornya," lanjut Widya lalu pamit pulang dengan pongahnya.
Rahma memandang Widya dengan penuh kemarahan, sungguh, jika bukan karena wanita itu istri dari kakak laki lakinya. Mungkin ia tidak perlu mengontrol emosinya seperti ini. Tak lama Rahma membalikkan badan, lalu menutup pintu rumahnya.
Rahma memandang bungkusan plastik itu, tanpa dibuka pun ia tahu bahwa opor ayam itu sudah tak layak untuk dimakan.
Sudah sering ia diperlakukan seperti ini. Namun karena malas ribut dan juga tak enak dilihat tetangga jika ada perselisihan keluarga, Rahma selalu mengalah, menerima apapun yang mereka beri. Meski akhirnya makanan itu akan berakhir di tong sampah.
Selain Widya, kakak iparnya, masih ada Nella, kakak perempuannya yang begitu senang mengusik ketenangan rumah tangganya.
Tak hanya itu, Deni, kakak lelakinya yang tak lain adalah suami Widya pun sering meremehkan suaminya. Hanya Eko, suami Nella saja yang masih menghargai mereka.
Rahma sendiri tak mengerti mengapa mereka sibuk mengurusi hidupnya, mempermasalahkan keputusannya menikahi Yudha. Apa karena ia menolak lamaran Arie, anak juragan beras di kampung sebelah hingga membuat sikap keluarganya berubah?
Tak hanya itu, bahkan sering Rahma mendapati beberapa kerabat yang terkesan menjauh dan berpura-pura tidak mengenalnya ketika mereka tak sengaja bertemu atau berpapasan dijalan.
Ah, andai kedua orang tua mereka masih hidup, tentu mereka tak akan bersikap semena-mena seperti ini padanya!
Ketukan pintu perlahan terdengar, membuyarkan lamunan Rahma.
Segera ia berbalik, demi melihat siapa lagi yang hendak bertamu ke rumahnya?
"Mana si Yudha?" Ternyata, Nella kakaknya yang datang.
"Mas Yudha belum pulang. Ada apa, mbak?"
Nella tak segera menjawab, wanita itu lebih memilih melangkahkan kakinya masuk kedalam rumah tanpa melepas sandal yang dipakainya. Menjelajah ke dapurnya.
"Mbak?!" panggil Rahma yang tidak nyaman dengan sikap kakak perempuannya.
"Hanya mie instan saja yang ada di dapurmu ya? Coba kalau kamu nikah sama si Aryo, hidup kamu nggak kayak gelandangan seperti ini Rahma. Sudah nganggur, nggak bisa kerja berat, nggak tahu siapa dan dimana keluarganya, bisanya cuma nyusahin kamu saja," ejek Nella tanpa merasa sungkan.
"Tinggal juga dikontrakkan kecil dan kumuh seperti ini," lanjut Nella mengejek.
"Mbak ke sini cuma mau menghina Mas Yudha saja? Jika iya, mending mbak Nella pergi saja deh, lagipula sebentar lagi Mas Yudha pulang, aku nggak mau dia mendengar semua kata kata hinaan mbak untuknya," usir Rahma ketus.
"Kau benar-benar adik yang tidak tahu diuntung, aku kesini cuma mau kasih ini, lumayan buat ganti, lagipula ini lebih bagus dari gamis lusuh yang kau pakai itu," hina Nella sambil melempar plastik berisi pakaian bekas miliknya ke atas kursi kayu usang di dekat pintu.
"Dah lah aku mau pulang, terlalu lama disini, bisa bisa aku ketularan susah kayak kamu, Rahma," cibir Nella lalu sengaja menghentakkan sandal yang dipakainya seakan ingin memamerkannya.
Rahma mendengkus kesal, melihat sikap kakak perempuannya itu, ia tak mengerti mengapa perlakuan semua saudaranya begitu berbeda padanya, hanya karena hidupnya tak semampu mereka? Entahlah, yang Rahma tahu bahwa dirinya bahagia meski hidupnya masih kekurangan materi.
Lagipula bukankah rejeki itu datangnya dari Tuhan?
Lelaki yang sedari tadi mereka bicarakan adalah Yudha, lelaki yang menikahinya setahun yang lalu, lelaki yang hanya memberinya mahar satu gram cincin emas saat meminangnya. Lelaki yang membuat Rahma begitu jatuh hati padanya karena sikapnya yang begitu sopan.
Yudha memang bukanlah pemuda kaya, lelaki berkulit putih dan berwajah oriental itu adalah seorang mualaf yang dikenalnya tiga bulan sebelum mereka menikah.
Tentunya, tak banyak yang Rahma ketahui tentang latar belakang Yudha.
Wanita itu hanya tahu jika keluarga Yudha menolak keputusannya berpindah keyakinan, menyebabkan Yudha diusir dari rumah dan tidak dianggap sebagai anggota keluarga lagi.
Hal itulah yang menyebabkan Rahma hingga sekarang belum pernah bertemu dengan keluarga suaminya. Dan, menjadi bahan ejekan keluarga besarnya.
"Assalamualaikum! Kok melamun di sini?"
Sebuah tepukan lembut di pundaknya menyadarkan Rahma. Di lihatnya wajah tampan suaminya kini sedang tersenyum padanya.
"Mas, kau sudah pulang?"
"Tak baik melamun, ayo masuk!" ajak Yudha pada istrinya.
Rahma mengangguk lalu mengikuti langkah Yudha, mereka hendak berjalan menuju dapur sederhana dibelakang, namun sebelum itu mata Yudha melirik plastik di atas kursi kayu usang didekat pintu.
"Itu plastik apa?" tanya Yudha.
"Oh itu, tadi Mbak Nella kesini, isinya paling gamis dan daster bekas miliknya."
"Apa dia menghinamu lagi?" tebak Yudha.
Rahma mengangguk. "Iya mas," jawabnya pelan lalu menunduk.
"Mbak Widya juga tadi kemari, sama seperti mbak Nella, ia juga mengejek dan menghinamu, mas. Aku kesal." Rahma lanjut melapor.
Yudha tersenyum lalu memandang istrinya.
"Kau menyesal menikah dengan mas?" tanya Yudha.
Rahma menggeleng lalu tersenyum. "Rejeki itu ditangan tuhan, aku yakin pilihan dan keputusanku tidak salah."
"Alhamdulillah, mas senang mendengarnya. Bersabarlah sebentar karena tak lama lagi, mas akan membawamu pergi dari rumah ini," ucap Yudha yang membuat kening Rahma seketika berkerut.
Bersambung
"Pergi dari rumah ini, apa maksudnya mas? Apa mas ada masalah dengan orang hingga kita harus pindah dari sini?" tanya Rahma tak mengerti."Tidak, mas tidak memiliki masalah dengan siapapun," jawab Yudha."Lalu?""Kejutan, nanti kamu akan tahu sendiri. Sebelum itu mas minta kamu persiapkan diri saja, karena nantinya semua orang akan mencarimu. Ah ... Sudahlah, mas lapar, kamu masak apa hari ini dek?""Aku cuma bikin bacem tempe sama sambel terasi mas," jawab Rahma menunduk. "Sambel terasi ya, wah bakalan nambah nanti, ayo temani mas makan dulu," ajak Yudha sambil melangkah menuju ke dapur yang hanya bersekat dinding dengan kamar mandi di belakang."Iya, mas." Ujar Rahma sambil meraih plastik berisi opor ayam yang diberikan Widya padanya tadi.Melihat sikap Rahma, sontak Yudha langsung memperhatikan plastik yang dipegang Rahma. Dengan tatapan mata penuh tanya, lelaki itu menghentikan langkah lalu memandang istrinya."Ini opor ayam, tadi diberi sama mbak Widya, mau aku buang. Paling jug
Matahari sudah naik ke singgasananya, kerumunan anak anak sekolah pun kini mulai ramai melintas, ketika suara penjaja sayuran keliling terdengar di depan rumah kontrakannya, dari balik jendela, Rahma melihat sang penjaja sayuran itu sudah berhenti tepat didepan rumahnya dan segera di kerubungi para tetangganya yang akan berbelanja.Sebenarnya Rahma sedikit malas keluar jika sudah seperti ini, tak ayal kerumunan Ibu ibu yang berbelanja akan mulai saling bergosip. Samar Rahma mendengar jika kali ini mereka sedang membicarakan tentang rumah tangga salah seorang tetangganya yang hendak bercerai, membuat Rahma akhirnya memilih untuk menunggu hingga kerumunan itu sepi.Hampir setengah jam berlalu, diliriknya suaminya yang keluar dari kamar mandi, tanda ia telah selesai membersihkan diri. Rahma gusar karena sebentar lagi Yudha akan berangkat kerja, dan itu artinya ia harus bergegas untuk memasak bekal yang akan dibawa suaminya nanti.Dari balik jendela, Rahma melihat hanya tinggal dua orang
Selepas kepergian Yudha, Rahma duduk termenung di kursi usang ruang tamunya. Suara para pelakon drama yang berasal dari televisi tabung di hadapannya tak dipedulikannya, Rahma begitu sibuk dengan pikirannya sendiri.Helaan nafas berat terdengar dari bibirnya, suara pembicaraan suaminya tadi kini samar terngiang kembali di telinganya, entah mengapa, Rahma yakin jika telepon itu berasal dari keluarganya. Sebenarnya, hampir saja tadi ia ingin bertanya, namun diurungkannya, karena setelah selesai menjawab panggilan telepon, Yudha tampak terburu buru, untung saja bekalnya sudah di siapkan."Siapa kau sebenarnya, mas?" Lirih Rahma berucap.Kembali Rahma menghela nafas panjang, namun kali ini ia melangkah ke kamar, membuka lemari dan mencari buku nikah mereka, entah mengapa ada sesuatu yang mengganjal hati wanita itu. Di amatinya nama suaminya yang tertulis dalam buku nikah itu, tak ada yang salah, namun memang, nama itu sedikit berbeda dari nama pria biasa di kampungnya.Darren Prayudha W
"Mas kau yakin kita akan datang?" tanya Rahma, ada keraguan di hati wanita itu."Iya, bukankah tak baik menolak, lagipula kita diundang ke acara itu, benar kan?""Lalu kita akan datang ke acara yang mana? akad nikah atau resepsinya mas? Acara akad nikahnya di gelar di rumah, sedang resepsinya di Hotel Venus." Kembali, Rahma bertanya."Undangannya bagaimana?" "Dua duanya mas, aku bahkan sudah diberi seragam oleh Nia," tutur Rahma mende$ah."Ya berarti, kita akan hadir di acara akad nikah dan juga resepsinya, lumayan kan kita bisa makan enak, dan jalan jalan ke hotel bagus," gurau Yudha menggoda istrinya. Membuat wajah Rahma cemberut."Keenakan dong Mbak Widya nanti mengejekku, mas," Rahma mengeluh, sungguh dirinya malas bertemu dengan wanita menyebalkan itu, seringkali Rahma mengump4t Deni, kakak sulungnya yang bisa- bisanya memiliki istri seperti Widya."Aku hanya tak ingin mendengar mereka menghinamu lagi mas, apalagi di tempat ramai, membuatku kesal dan marah saja," ujar Rahma menu
Rahma mendengkus kesal, nafasnya terlihat naik turun. Rahangnya mengeras menahan emosi yang seakan siap meledak kapan saja.Ingin rasanya Rahma memaki dan menyumpahi saudara laki-lakinya itu. Namun, diurungkannya karena ia masih menjaga harga diri kakaknya dihadapan suaminya. Bagaimanapun, Deni adalah saudara kandungnya, Rahma tidak ingin membuat emosi Yudha terpancing saat melihatnya bertengkar.Deni memilih memalingkan wajahnya, tak berani membalas tatapan mata Rahma yang begitu menghujam, lelaki itu masih tampak gelisah terlihat dari beberapa kali ia mengganti posisi duduknya."Katakan mas! Kau belum menjawab pertanyaanku, apa kau ingin menjaminkan tanah warisan milikku ini demi memenuhi gaya hidup istrimu yang hedonis itu?" ulang Rahma setengah berteriak."Iya! Widya meminta padaku untuk mengganti mobil lama kami dengan yang baru, Rahma." Deni menjawabnya cepat, membuat hati Rahma seketika terhempas. "Kebetulan ada salah satu temannya ingin menjual mobilnya, dan Widya memintaku m
"Pindah? Tapi, pindah ke mana, mas?" tanya Rahma tak mengerti, wajah wanita itu terlihat bingung."Tentu saja ke rumah kita, dek." Yudha menjawab santai pertanyaan istrinya."Rumah kita? Kau membuatku bingung saja, mas!?" lanjut Rahma bertanya."Nanti kau akan mengerti, lebih baik pikirkan apa rencanamu selanjutnya?""Rencana? Tentu saja mengambil sertifikat tanah itu dari tangan Mas Deni, dia mencoba memaksaku menandatangani surat persetujuan jaminan, tanpa memberitahuku apa pun tentang tanah yang sebenarnya adalah milikku." Sahut Rahma geram."Setelah kematian bapak, bertahun tahun Mas Deni menyimpan sertifikat tanah itu dan membohongiku. Tapi sekarang tidak lagi, aku akan mengambilnya, mas," lanjut Rahma dengan kilatan mata penuh amarah.Rahma terpaku sesaat dengan tangan yang mengepal erat, ia tak menyangka jika Deni bisa setega itu pada dirinya. Adik kandungnya sendiri."Mas Deni memang licik, ia memintaku menandatangani surat persetujuan jaminan, Tanpa memperlihatkan sertifikat
"Mana sertifikat tanah milikku?" tanya Rahma tanpa basa-basi saat mendatangi rumah Deni dan Widya, keesokan sorenya."Apa apaan kau Rahma? Sertifikat apa?" ketus Widya."Tentu saja sertifikat tanah warisan milikku dari bapak," balas Rahma tak kalah ketus."Tidak ada, lagipula aku tidak mengerti, tanah warisan yang mana?" teriak Widya tidak ingin kalah."Tanyakan pada suamimu itu," tunjuk Rahma pada Deni, kakak sulungnya.Rahma mendengkus kesal. Dilihatnya Widya yang berkacak pinggang, memandangnya dengan sorot mata tajam dan sinis. Membuat Rahma seakan ingin mencongkel manik mata itu keluar.Rahma tidak datang sendiri, ia mendatangi rumah kakak lelakinya itu ditemani Yudha dan Juga Syarief, seseorang yang dituakan dalam keluarga mereka, saudara laki-laki tertua bapaknya."Serahkan sertifikat itu pada Rahma, Deni! Itu bukan milikmu! Aku yang menjadi saksi bahwa tanah itu diwariskan bapak kalian untuk Rahma." Lelaki berusia enam puluh tahunan itu mulai bicara.Deni tampak bergeming, ras
Mendengar ucapan Rahma, senyum Yudha langsung mengembang, wajah polos istrinya yang tanpa makeup itu, terlihat sangat cantik dan menggemaskan di matanya Yudha menghela nafas panjang, pertanyaan itu sebenarnya wajar untuk ditanyakan, hanya saja, Yudha masih membutuhkan waktu untuk menjelaskan yang sebenarnya terjadi pada Rahma, termasuk identitasnya. Yudha takut, Rahma tak mempercayainya dan menganggapnya sebagai pembohong karena selama ini tidak jujur padanya.Tangan Yudha kini membelai lembut pucuk kepala Rahma, sebuah kecup4n kecil ia tinggalkan disana, entah mengapa rasanya hatinya merasa senang ketika melihat wajah Rahma yang polos dan sederhana itu sedang menatapnya tanpa berkedip."Apa yang ingin kau ketahui, sayang?""Semuanya. Aku ingin tahu semuanya tentang dirimu,mas! Termasuk hal sekecil apapun," Rahma mendesak."Selama ini aku hanya tahu bahwa mas di usir dari rumah karena berpindah keyakinan. Tapi, mas belum menceritakan apapun tentang keluarga mas padaku, kecuali saat m