"Assalamualaikum."
"Buat apa kamu bawa dia ke sini, Mas?" Cintya memalingkan muka, melihat sepasang pengantin baru yang amat dibencinya.
"Setidaknya, izinkan kami masuk dulu, Cintya!" mohon Bara lembut.
Cintya langsung meninggalkan mereka, lalu mendaratkan pantatnya di sofa ruang tamu. Bara dan Aisya mengikuti langkah Cintya. Dengan takut, Aisya duduk di dekat Bara. Tanganya memilin baju gamis berwarna merah muda. Jika diperhatikan, Aisya memang gadis yang manis. Kulitnya putih bersih, hidungnya mancung. Pantas saja suaminya bisa tergila-gila. Aisya yang merasa diperhatikan seperti itu, menjadi salah tingkah.
"Cintya, namanya Aisya. Sekarang, dia adik madumu. Aku membawanya ke sini, agar kita bertiga bisa tinggal satu atap."
Cintya langsung mengganti posisi duduknya. Bahkan dia melongo tak percaya, apa yang baru saja suaminya ucapkan.
"Apa kamu sudah kehilangan akal, Mas? Kamu menikah lagi tanpa seizinku, sekarang malah membawanya tinggal di sini. Di mana perasaanmu?"
Dada Cintya naik turun menahan emosi. Dia tidak habis pikir, dengan ide gila suaminya. Baru saja dia merasa tenang, kini suaminya kembali menorehkan luka.
"Dengarkan aku dulu, Tya! Aku ingin kalian bisa akur, dan menggapai jannah bersama," bujuk Bara.
"Jannah macam apa itu Mas?" desis Cintya.
Bara berpindah tempat duduk, mendekati istri pertamanya. Reflek, Cintya menggeser posisinya, ketika Bara hendak menyentuhnya. Kini terciptalah jarak di antara keduanya.
"Jangan sentuh aku, Mas!" tolak Cintya.
Bara menghela nafas pelan. Dia tahu, istrinya sedang marah. Dia tidak memaksa ataupun mencoba merayu Cintya.
"Cintya, aku benar-benar minta maaf, kalau menyakitimu," mohon Bara.
Cintya diam. Dia tidak ingin membuang waktunya hanya untuk berdebat dengan suaminya. Bara terkenal keras kepala, ambisnya besar. Mereka bisa berada di puncak kesuksesan, karena Bara yang tak mudah menyerah.
"Aisya, tolong kamu masuk dulu! Ada hal penting yang harus kami bicarakan."
Aisya mengangguk. Namun dia bingung, hendak ke mana, karena dia orang baru di rumah ini.
"Ah, Mas lupa. Sini, kamu sementara di ruang tamu saja, enggak apa-apa 'kan?" tanya Bara dibarengi senyum menawannya.
"Iya Mas," sahut Aisya lembut.
Mereka berjalan beriringan menuju kamar tamu. Bara menggamit tangan Aisya. Air mata Cintya kembali menetes, melihat sepasang pengantin yang tak punya perasaan sedang menunjukkan kemesraannya.
Cintya lalu beranjak ke kamarnya. Ditatapnya kamar yang selama ini menjadi saksi biksu biduk rumah tangganya. Diusapnya ranjang di mana mereka terbiasa memadu kasih. Hatinya begitu nelangsa. Ingin rasanya dia pergi ke tempat yang jauh, untuk menyembuhkan luka hatinya.
"Cintya."
Tangan kekar Bara memeluk pinggang ramping Cintya. Cintya tak menolak, tak juga merespon. Hatinya sudah mati rasa. Pandangannya menerawang jauh. Dari jendela kamarnya di lantai dua, nampak menara masjid agung Al Mubarok yang kokoh. Di menara itu, terpasang puluhan toa yang setia mengumandangkan adzan. Dari dulu, Cintya selalu mengagumi menara masjid itu. Bahkan, dia rela memandangi menara itu saat adzan berkumandang. Konyol memang, tapi itu membuat Cintya puas. "Apa aku sangat menyakitimu?" Bara membuyarkan lamunannya. Cintya masih tak merespon. Seperti inilah, kalau Cintya sedang marah, dia akan diam seribu bahasa, sampai hatinya benar-benar sembuh. Bara menggandeng tangan istrinya duduk di tepi ranjang. Cintya hanya menurut tanpa berbicara sepatah katapun."Cintya, aku tahu kamu masih kaget dengan keputusanku. Tolong dengarkan baik-baik. Bukankah poligami itu tuntunan Rasul? Waktu itu, kamu juga setuju bukan, saat aku bilang mengutarakan niatku?" tanya Bara lembut, namun terasa m
Bara meremas rambutnya kasar. "Cintya, tenangkan hatimu dulu!"Kenapa kamu tega mendua, Mas? Kenapa?" raung Cintya kehilangan kendali. Dilemparnya bantal ke arah Bara. Bara tak menangkis, dia tahu istrinya sedang emosional. Dilemparkannya barang yang ada di depan matanya"Cintya, aku sudah izin padamu, dan kamu mengizinkan. Apakah aku salah?" Bara mencari pembelaanMemori Cintya kembali ke masa, saat Bara meminta izin menikah lagi. Bodohnya, Cintya mengiyakan, karena pikirnya Bara hanya bercanda. Ternyata, Bara berpikiran lain. Dia benar-benar mencarikannya madu beracun untukny"Cintya, mulai sekarang, kami akan tinggal di sini. Bertiga, agar kamu ada teman di kala aku tinggal keluar kota," alibinya"Bukankah selama ini, aku selalu sendiri, waktu kamu keluar kota?" sinis Cintya"Apa kamu berani melanggar ketetapan Allah?" tanya Bara sok agamis. Cintya memutar bola mata malas"Aku tidak menyangkal, tapi cara kamu yang salah. Poligami itu harus atas seizin istri pertama," lirih Cintya,
Lagi, Cintya tak memperdulikan Bara. Hingga koper itu penuh, dia masih enggan bicara. "Cintya." Bara seolah mengemis pada Cintya."Kamu pilih aku atau Aisya?" tukas Cintya tajam. Bara meraup wajahnya kasar. Dia tidak bisa memilih salah satunya. Keduanya sangat berarti bagi Bara.Bara langsung mendekap Cintya. Biasanya, Cintya akan luluh saat Bara memperlakukannya dengan manis. Bara tak peduli, meskipun Cintya berontak minta lepas. Justru, Bara semakin menjadi. Didekati wajah istrinya itu, lalu menghujaninya dengan ciuman. "Lepaskan aku!" Cintya mencoba berontak. "Berjanjilah, kamu tidak akan meminta berpisah lagi!" Paksa Bara.Cintya menggeleng. Dia tidak ingin sakit hati terlalu dalam lagi. Baginya, dengan melepas Bara, setidaknya tidak akan menambah sakitnya."Kumohon, lepaskan aku!" Air mata mulai mengalir membasahi pipi putihnya. Dia merasa jijik, ketika Bara menciuminya. Cintya selalu terbayang, Bara sekarang bukan hanya miliknya. Bahkan, baru tadi malam Aisya dan Bara melak
Bara terbangun dari tidur lelapnya. Dikenakannya baju yang tadi berserakan, lalu langsung berjalan ke kamar mandi. Diputarnya knop, namun pintu terkunci dari dalam."Cintya, masih lama?" teriak Bara. Bara berjalan ke arah balkon, sambil menunggu Cintya keluar kamar mandi. Dia teringat, kalau ada Aisyah di kamar tamu. Bergegas ia turun, mencari istri mudanya. Dengan setengah berlari, dia menuruni anak tangga. Pikirannya berkecamuk karena telah meninggalkan Aisya cukup lama. KrietPintu kamar utama dibuka. Disapunya penjuru kamar, namun tak menemukan Aisya."Aisya," panggil Bara.Tak ada sahutan. Bara mengecek di kamar mandi yang terletak di kamar, tapi nihil. "Ke mana kamu, Aisya?" gumam Bara sambil melangkah keluar. Dilewatinya ruang tamu, lalu menuju ke ruang tengah. Bara kembali ke kamarnya, untuk mengambil baju. Dia ingin segera mandi. "Cintya, belum selesai?" teriak Bara di depan pintu. Sudah tidak ada gemericik air, tapi Cintya tak kunjung keluar. Kandung kemihnya sudah pe
"Aisya, tolong buatkan teh panas, dan bawa ke kamar atas!" perintah Bara. Tanpa menunggu persetujuan Aisya, Bara kembali berlari menaiki anak tangga. Sementara Aisya langsung menuang air panas dari dispenser, lalu melakukan apa yang Bara perintahkan.Bara membetulkan selimut tebal yang membungkus Cintya. Telapak kakinya dibalur minyak kayu putih cukup banyak. Setelah dirasa cukup, Bara kembali menutup selimut. Dengan tergesa, Aisya menaiki tangga. Tangan kanannya memegang gelas berisi teh panas. PrangBunyi benda jatuh mengagetkan Bara maupun Cintya. Aisya tak sengaja menjatuhkan gelas yang dipegangnya. Pemandangan di depan matanya sungguh menyakitkan. Bara tengah memeluk Cintya. "Aisya," panggil Bara. Bara langsung melepas pelukan pada Cintya. "Maaf." Aisya berkata lirih. Netranya berkabut. Detik itu juga, cairan bening lolos dari mata indahnya. Bara langsung menghampiri Aisya yang berjongkok membersihkan pecahan beling. Tangannya kepanasan, terkena air teh. Tak sengaja, jarin
"Baiklah, kita bicarakan saja di bawah. Oh iya, aku minta tolong buatkan kami teh hangat!" perintah Cintya seraya meninggalkan mereka berdua. Antara sedih dan bingung, Aisya akhirnya pergi. Bara meraup muka kasar. Dia bingung, siapa yang harus ditemani sekarang. Mau menemani Cintya, pasti Aisya cemburu. Dia tahu, pasti Aisya sedang menahan luka yang dibuat Cintya. Dia kembali meremas rambutnya kuat. Kepalanya pusing. Poligami yang menurutnya jalan terbaik, justru membuat kepalanya serasa pecah. Cintya melangkah keluar kamar mengenakan jaket tebal, yang dibelinya saat jalan-jalan ke kota Batu, Jawa Timur. Jaket ini hadiah ulang tahun pernikahannya yang ke lima. Cintya menuruni tangga tanpa menggubris Bara. Seolah suaminya tak ada di situ. Bara tahu, istrinya masih kesal, makanya dia tidak mencoba merayunya. Cintya langsung duduk di sofabed yang menghadap televisi berukuran cukup besar. Meskipun televisi itu jarang di tonton, karena kesibukan masing-masing. Bara yang sibuk denga
Cintya tak percaya, suaminya bisa semarah itu. Sementara Aisya, menunduk ketakutan melihat suaminya sangat marah. Selama ini, Bara tak pernah marah kepadanya. Cintya mendadak diam. Dia begitu terkejut melihat Bara semurka ini. Namun, bukan Cintya namanya, kalau mengalah begitu saja. Baginya, Bara yang salah. "Aku kepala rumah tangga di sini, tolong hargai aku!" Bara tak semarah tadi. Dia sadar telah melakukan kesalahan besar dengan membentak Cintya. Padahal Cintya paling tidak bisa dibentak. Cintya enggan menjawab. Hatinya terlanjur sakit. "Cintya, aku menikahi Aisya bukan semata karena nafsu. Aku ingin menolongnya." Bara masih berusaha memberi pengertian ke Cintya. Cintya mengambil gelas berisi cairan teh beraroma Melati, lalu menyesapnya perlahan. Dia tak lantas meletakkan kembali, meskipun sudah selesai. Diremasnya cangkir bermotif bunga teratai dengan kuat. "Aku tak mungkin menyakiti hatimu, Cintya. Bukankah kita menginginkan hadirnya anak? Aku yakin, Aisya jalan keluar dari
Cintya mulai beraktivitas seperti biasa. Meskipun separuh jiwanya ada yang hilang, namun tak mempengaruhi kinerjanya sebagai dosen sekaligus wanita karir. Kini dia sengaja lebih menyibukkan diri di luar. Bahkan, di hari libur pun dia sengaja keluar bersama teman-temannya, untuk mengurangi rasa penat. Seperti sekarang ini, dia sengaja ke villa tanpa mengajak Bara. Di akhir pekan, biasanya villanya selalu ramai pengunjung. Tak sampai setengah jam, mobilnya sudah terparkir rapi di pelataran The Citra vila. Vila yang dia rintis dengan Bara kini sudah mulai ramai pengunjung. Deburan ombak disertai angin sepoi-sepoi menerbangkan ujung pasminanya. Sejenak, Cintya memejamkan mata, karena di dalam otaknya kembali terlintas peristiwa pahit kala itu. Cintya menghela nafas pelan.Cintya melangkah, melewati halaman yang sudah dipenuhi pasir pantai. Dulu, dia dan Bara selalu menghabiskan akhir pekan di sini. Hatinya kembali sakit, saat mengingatnya. Cintya memejamkan mata, mencoba berdamai dengan
"Aku benci Mama."Kalimat itu terus terngiang di kepala Cintya. Dia tak pernah menyangka, anaknya bisa berbicara seperti itu. Selama ini, Arka tak pernah menunjukkan sikap tidak sopan kepadanya maupun orang lain. Pendidikan yang ia terapkan, lebih mengutamakan adab dan akhlak. Ia tak pernah menuntut kesempurnaan. Namun, hanya karena satu kalimat, hati Cintya benar-benar hancur. Bahkan, saat dirinya berpisah dengan Bara, hatinya tak serapuh seperti sekarang ini. Hari berikutnya, Arka masih saja murung. Dia yang biasanya ceria, tampak tak bersemangat. Bahkan, di hari ketiga setelah pertemuannya dengan Bara, Arka mendadak demam. "Arka minum obat dulu, ya!" Cintya sengaja izin dari tugasnya, hanya demi bisa menemani buah hatinya. Di tangan kanannya, sudah tersedia sendok yang berisi cairan sirup pereda panas. Arka hanya menurut. Setelah sirup berhasil ia telan, kembali matanya terpejam. "Pusing?" tanya Cintya, hanya dijawab anggukan. "Arka bobok saja kalau pusing!" imbuhnya lagi. Ra
Bara mengelus punggung anaknya. Dia tahu, kini Arka sedang bersedih. Buktinya, ia tak mau berceloteh lagi. "Arka pulang sama mama dulu, ya!" Bara mendudukkan Arka ke kursi depan, setelah Cintya membukakan pintu mobilnya. Arka kecil hanya mengangguk. "Nanti Papa temani bobok, ya!" mohonnya. Bara hanya mengangguk. Entah kapan, dia bisa mewujudkan keinginan anaknya. "Dadah Papa!" Arka melambaikan tangannya, saat Cintya mulai melajukan roda empat tersebut. Tak ada pamitan perpisahan di antara keduanya. Cintya langsung pergi begitu saja. Sepanjang jalan, Arka lebih banyak diam. Bahkan, ketika Cintya mencoba mengajaknya bicara, dia hanya membalasnya singkat. Tak butuh waktu lama, Arka sudah terlelap. Wajah yang lelah dan gurat kecewa, tercetak jelas. Cintya hanya mampu menghela nafas melihat tingkah anaknya. Sesekali, diliriknya Arka. Jika diperhatikan seksama, wajahnya begitu mirip Bara saat kecil. Yang membedakan hanya mata dan hidungnya. Jika Bara berhidung mancung, lain halnya de
Reflek Cintya menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Entah kenapa, ia merasa gugup. Padahal yang bertanya hanya anak kecil, tapi sukses membuat jantungnya berdegup kencang. "Arka bermain dulu, ya. Mama sama Papa mau bicara dulu!" pinta Cintya, sambil menunjuk arena bermain, yang tersedia. Secara tidak sadar, dia juga memanggil Bara dengan sebutan papa. Hal itu berhasil membuat lengkungan di bibir Bara. Arka mengangguk antusias. Cintya lantas mengantar Arka hingga ke arena bermain, yang tidak terlalu ramai. Setelah menitipkan kepada salah satu penjaga, ia kembali menghampiri mejanya. Canggung. Itulah yang kini mereka berdua rasakan. Jika ada Arka, mereka tak kehabisan bahan bicara. "Kamu apa kabar?" Kalimat itu meluncur begitu saja dari mulut Bara. Konyol memang. Sedari tadi mereka sudah bertemu, tapi baru kini menanyakan kabar. "Aku dan Arka baik-baik saja. Kamu?" tanyanya gugup, seolah mereka remaja yang baru kasmaran. Bukannya menjawab, Bara justru terdiam. Ia terus memperhatika
"Arka kenapa keluar duluan?" tanya Cintya, saat sudah menghampiri dua laki-laki beda generasi tersebut. Nafasnya agak tersengal, karena berusaha berjalan agak cepat. "Maaf, Ma," jawabnya polos. Cintya kembali mengatur nafasnya. Arka tak sepenuhnya salah. Dialah yang kurang fokus, hingga lalai menjaga Arka. "Lain kali izin mama dulu, kalau mau pergi!' imbuhnya lagi. Arka kecil hanya mengangguk patuh. Terlihat, ia begitu ingin segera memainkan robot barunya. "Arka lapar, kan? Yuk kita makan sama-sama!" Ajakan Bara disambut antusias oleh Arka. Sejauh ini, Arka belum tahu, kalau Bara adalah papanya. "Boleh, Ma?" Lagi-lagi, ia meminta izin mamanya. Cintya memang mewanti-wanti, agar Arka tak mudah percaya pada orang asing. Dan baginya, Bara adalah orang asing, karena ini pertama kali ia bertemu. Namun, sikap lembut Bara, mampu membuat Arka langsung betah bersamanya. Belum sempat Cintya menjawab, Bara sudah membawa Arka memasuki resto makanan cepat saji. Lagi-lagi, Cintya hanya membun
"Cintya," gumam Bara dengan perasaan tak karuan. Setelah lima tahun tak bertemu, kini mereka dipertemukan lagi, tapi dengan status yang berbeda. Ya, mereka benar-benar resmi bercerai. Setelah tiga bulan mereka saling berpisah, berharap bisa bersama kembali. Namun, Cintya tak berubah pikiran. Dia tetap menginginkan perceraian. Bara yang memang merasa salah, hanya bisa pasrah. Kini, jarak antara dirinya dan Cintya semakin dekat. Hatinya bagai orang kasmaran, ketika melihat perubahan pada mantan istrinya. Kecantikan Cintya semakin terpancar, meski sudah tak muda lagi. Bara sungguh tak sabar untuk segera menemui Cintya. Namun, lagi-lagi hatinya ragu. "Mama, keren 'kan?" seru seorang bocah. sambil berlari membawa sebuah robot, mendekati Cintya yang tengah sibuk dengan ponselnya. Mendadak, wanita itu menyimpan ponselnya ke dalam tas kecilnya. "Arka mau ini?" tanya Cintya dengan mata berbinar, sembari memperhatikan mainan yang dipegang anaknya. Deg!Terasa ada yang menghantam dadanya. A
Cintya memalingkan muka, seolah tak sanggup mendengar ucapan Bara. Di hadapannya, umi tak berhenti mengeluarkan air mata. Antara sedih dan ingin marah, terus menguasai hatinya. "Apa tidak bisa dibicarakan lagi?" Bapak menghela nafas berat. Disandarkannya punggung ke sofa. Semua yang berada di ruang tamu terdiam. Mereka sibuk menyelami pikiran masing-masing. "Kami sudah sepakat, Pak." Akhirnya Cintya angkat bicara, setelah beberapa saat mereka terdiam. Helaan nafas berat, keluar dari mulut bapak. Beliau memijit pelipis yang terasa berdenyut nyeri. "Coba kalian pikirkan ulang. Kasihan Arka!" Umi yang dari tadi diam, kini ikut menyumbang suara. Cintya dan Bara sontak memandangi anak mereka. Anak yang kehadirannya ditunggu, tapi di waktu yang kurang tepat. "Kami sudah memikirkan semuanya, Mi," sahut Cintya cepat, takut pikirannya kembali goyah. Dia yakin, hak asuh sepenuhnya diberikan padanya. Dia juga yakin, mampu membesarkan anaknya seorang diri. Bara masih diam. Dia cukup sada
Mobil hitam dengan plat AG Kediri, terparkir rapi di halaman rumah Cintya. Sepasang suami istri turun, diikuti umi yang sedang menggendong bayi. Hari ini, Bara menepati janjinya kepada Cintya, untuk mengembalikan kepada orang tuanya. Dulu dia meminta baik-baik. Sekarang, dia dengan langkah terpaksa, mengembalikan tanggung jawab Cintya kepada bapaknya. Bukan Bara tak ingin mempertahankan rumah tangganya, tapi kebahagiaan Cintya jauh lebih penting. Dia sadar, bahwa dengan berpisah, istrinya, yang sebentar lagi akan menjadi orang lain, akan lebih bahagia. Sudah cukup dia membuat Cintya menderita, karena ulahnya. Berbeda dengan Bara, umi Khofsoh sedari tadi sudah meneteskan air mata. Dia masih belum rela, harus dipisahkan dengan anal menantu dan cucunya. Lagi-lagi, dia tak bisa berbuat banyak, karena keputusan Cintya sudah bulat. Mereka bertiga, berjalan beriringan. Pintu rumah yang terbuka, menandakan kalau bapak sedang di rumah. "Assalamualaikum," ucap Bara. Cintya yang merasa ini
"Malu, umi punya anak seperti Kamu!" Bara menunduk dalam. "Keluar Kamu, Mas!" usir Cintya. Andai fisiknya sudah kuat, tentu ia akan mendorong Bara sampai ke depan pintu. "Cintya!""Jangan menyentuhku!" tolak Cintya, saat Bara maju beberapa langkah. "Izinkan aku mengumandangkan adzan untuk pertama kalinya, di telinga anak kita!" mohon Bara lembut. Bayi mungil, yang kini terbaring di samping Cintya, mengalihkan perhatian Bara. Ingin sekali Bara menggendongnya, tapi Cintya terus melarang. "Tak perlu! Dia tidak butuh bapak sepertimu!" "Maafkan aku!" "Jika mema'afkanmu bisa mengubah segalanya, tentu akan kulakukan, tanpa Kau minta." "Aku sudah berusaha pulang cepat, Cintya, tapi di tengah jalan, tiba-tiba pecah ban," terang Bara. Dia mengatakan yang sebenarnya. Di tengah hutan, dia harus berjuang mengganti ban seorang diri. Suasana yang gelap, agak menghambat pekerjaannya. Cintya tersenyum sinis. Dia tak mudah percaya begitu saja. Alasan yang klasik. "Apa aku harus percaya? Buka
Cintya terbaring lemah, setelah berjuang antara hidup dan mati, seorang diri. Kini, kehadiran seorang bayi mungil, menjadi penyemangat hidupnya. Air mata haru tak kuasa ia tahan, ketika kulitnya bersentuhan, dengan malaikat kecil, yang kini menjadi bagian dari hidupnya. Bayi merah, yang kini sedang mencari sumber makanannya. Umi Khofsoh tak dapat menyembunyikan kebahagiaan yang begitu memenuhi hatinya. Ingin sekali, ia segera menggendong cucunya, tapi urung. Dokter menyarankan, agar sang bayi menyusu. "Cantik sekali!" seru Mela, yang baru saja masuk.Cintya hanya tersenyum, mendengar pujian dari sahabatnya. Hilang sudah rasa sakitnya, kala mendengar tangisan pertama, dari anaknya. Suster kembali membawa bayi Cintya, untuk dibersihkan. ***Paginya, Cintya sudah dipindahkan ke kamar rawat inap. Mela sengaja memilihkan kamar VIP di rumah sakit ini. Cintya juga sudah berganti pakaian. Kondisinya yang masih lemah, ditambah semalam tidak tidur sama sekali, membuat matanya begitu berat.