"Auh!" teriak Cintya cukup keras. Mela langsung menyeruak masuk. "Kalau sakit, berpegangan sini, Bu," ujar suster, sambil menunjukkan gagang ranjang yang terbuat dari besi. Wajah Cintya memerah, menahan malu, lantaran harus menunjukkan bagian intimnya ke dokter kandungan. "Belum saatnya," ujar dokter, sambil melepas sarung tangan yang ia kenakan."Ini sudah sakit sekali, Dok," rintih Cintya tak terima, dibilang masih lama. Padahal, pinggangnya sudah mau patah. "Anak pertama, belum lancar jalannya." Sang dokter melempar guyonan, agar pasiennya tidak tegang. Suster membantu menutup kaki Cintya dengan selimut, lalu pergi. "Mel, bilangin dokter itu, suruh cepat kasih tindakan. Aku sudah enggak tahan," omel Cintya, membuat Mela ingin tertawa keras. Namun, urung ia lakukan, karena kondisi Cintya yang sudah tak karuan.Berbagai posisi, dari miring, sampai nungging sudah Cintya lakukakan, tapi tetap saja, rasa sakitnya justru semakin bertambah. "Jangan keras-keras, di sebelah juga ada
Cintya terbaring lemah, setelah berjuang antara hidup dan mati, seorang diri. Kini, kehadiran seorang bayi mungil, menjadi penyemangat hidupnya. Air mata haru tak kuasa ia tahan, ketika kulitnya bersentuhan, dengan malaikat kecil, yang kini menjadi bagian dari hidupnya. Bayi merah, yang kini sedang mencari sumber makanannya. Umi Khofsoh tak dapat menyembunyikan kebahagiaan yang begitu memenuhi hatinya. Ingin sekali, ia segera menggendong cucunya, tapi urung. Dokter menyarankan, agar sang bayi menyusu. "Cantik sekali!" seru Mela, yang baru saja masuk.Cintya hanya tersenyum, mendengar pujian dari sahabatnya. Hilang sudah rasa sakitnya, kala mendengar tangisan pertama, dari anaknya. Suster kembali membawa bayi Cintya, untuk dibersihkan. ***Paginya, Cintya sudah dipindahkan ke kamar rawat inap. Mela sengaja memilihkan kamar VIP di rumah sakit ini. Cintya juga sudah berganti pakaian. Kondisinya yang masih lemah, ditambah semalam tidak tidur sama sekali, membuat matanya begitu berat.
"Malu, umi punya anak seperti Kamu!" Bara menunduk dalam. "Keluar Kamu, Mas!" usir Cintya. Andai fisiknya sudah kuat, tentu ia akan mendorong Bara sampai ke depan pintu. "Cintya!""Jangan menyentuhku!" tolak Cintya, saat Bara maju beberapa langkah. "Izinkan aku mengumandangkan adzan untuk pertama kalinya, di telinga anak kita!" mohon Bara lembut. Bayi mungil, yang kini terbaring di samping Cintya, mengalihkan perhatian Bara. Ingin sekali Bara menggendongnya, tapi Cintya terus melarang. "Tak perlu! Dia tidak butuh bapak sepertimu!" "Maafkan aku!" "Jika mema'afkanmu bisa mengubah segalanya, tentu akan kulakukan, tanpa Kau minta." "Aku sudah berusaha pulang cepat, Cintya, tapi di tengah jalan, tiba-tiba pecah ban," terang Bara. Dia mengatakan yang sebenarnya. Di tengah hutan, dia harus berjuang mengganti ban seorang diri. Suasana yang gelap, agak menghambat pekerjaannya. Cintya tersenyum sinis. Dia tak mudah percaya begitu saja. Alasan yang klasik. "Apa aku harus percaya? Buka
Mobil hitam dengan plat AG Kediri, terparkir rapi di halaman rumah Cintya. Sepasang suami istri turun, diikuti umi yang sedang menggendong bayi. Hari ini, Bara menepati janjinya kepada Cintya, untuk mengembalikan kepada orang tuanya. Dulu dia meminta baik-baik. Sekarang, dia dengan langkah terpaksa, mengembalikan tanggung jawab Cintya kepada bapaknya. Bukan Bara tak ingin mempertahankan rumah tangganya, tapi kebahagiaan Cintya jauh lebih penting. Dia sadar, bahwa dengan berpisah, istrinya, yang sebentar lagi akan menjadi orang lain, akan lebih bahagia. Sudah cukup dia membuat Cintya menderita, karena ulahnya. Berbeda dengan Bara, umi Khofsoh sedari tadi sudah meneteskan air mata. Dia masih belum rela, harus dipisahkan dengan anal menantu dan cucunya. Lagi-lagi, dia tak bisa berbuat banyak, karena keputusan Cintya sudah bulat. Mereka bertiga, berjalan beriringan. Pintu rumah yang terbuka, menandakan kalau bapak sedang di rumah. "Assalamualaikum," ucap Bara. Cintya yang merasa ini
Cintya memalingkan muka, seolah tak sanggup mendengar ucapan Bara. Di hadapannya, umi tak berhenti mengeluarkan air mata. Antara sedih dan ingin marah, terus menguasai hatinya. "Apa tidak bisa dibicarakan lagi?" Bapak menghela nafas berat. Disandarkannya punggung ke sofa. Semua yang berada di ruang tamu terdiam. Mereka sibuk menyelami pikiran masing-masing. "Kami sudah sepakat, Pak." Akhirnya Cintya angkat bicara, setelah beberapa saat mereka terdiam. Helaan nafas berat, keluar dari mulut bapak. Beliau memijit pelipis yang terasa berdenyut nyeri. "Coba kalian pikirkan ulang. Kasihan Arka!" Umi yang dari tadi diam, kini ikut menyumbang suara. Cintya dan Bara sontak memandangi anak mereka. Anak yang kehadirannya ditunggu, tapi di waktu yang kurang tepat. "Kami sudah memikirkan semuanya, Mi," sahut Cintya cepat, takut pikirannya kembali goyah. Dia yakin, hak asuh sepenuhnya diberikan padanya. Dia juga yakin, mampu membesarkan anaknya seorang diri. Bara masih diam. Dia cukup sada
"Cintya," gumam Bara dengan perasaan tak karuan. Setelah lima tahun tak bertemu, kini mereka dipertemukan lagi, tapi dengan status yang berbeda. Ya, mereka benar-benar resmi bercerai. Setelah tiga bulan mereka saling berpisah, berharap bisa bersama kembali. Namun, Cintya tak berubah pikiran. Dia tetap menginginkan perceraian. Bara yang memang merasa salah, hanya bisa pasrah. Kini, jarak antara dirinya dan Cintya semakin dekat. Hatinya bagai orang kasmaran, ketika melihat perubahan pada mantan istrinya. Kecantikan Cintya semakin terpancar, meski sudah tak muda lagi. Bara sungguh tak sabar untuk segera menemui Cintya. Namun, lagi-lagi hatinya ragu. "Mama, keren 'kan?" seru seorang bocah. sambil berlari membawa sebuah robot, mendekati Cintya yang tengah sibuk dengan ponselnya. Mendadak, wanita itu menyimpan ponselnya ke dalam tas kecilnya. "Arka mau ini?" tanya Cintya dengan mata berbinar, sembari memperhatikan mainan yang dipegang anaknya. Deg!Terasa ada yang menghantam dadanya. A
"Arka kenapa keluar duluan?" tanya Cintya, saat sudah menghampiri dua laki-laki beda generasi tersebut. Nafasnya agak tersengal, karena berusaha berjalan agak cepat. "Maaf, Ma," jawabnya polos. Cintya kembali mengatur nafasnya. Arka tak sepenuhnya salah. Dialah yang kurang fokus, hingga lalai menjaga Arka. "Lain kali izin mama dulu, kalau mau pergi!' imbuhnya lagi. Arka kecil hanya mengangguk patuh. Terlihat, ia begitu ingin segera memainkan robot barunya. "Arka lapar, kan? Yuk kita makan sama-sama!" Ajakan Bara disambut antusias oleh Arka. Sejauh ini, Arka belum tahu, kalau Bara adalah papanya. "Boleh, Ma?" Lagi-lagi, ia meminta izin mamanya. Cintya memang mewanti-wanti, agar Arka tak mudah percaya pada orang asing. Dan baginya, Bara adalah orang asing, karena ini pertama kali ia bertemu. Namun, sikap lembut Bara, mampu membuat Arka langsung betah bersamanya. Belum sempat Cintya menjawab, Bara sudah membawa Arka memasuki resto makanan cepat saji. Lagi-lagi, Cintya hanya membun
Reflek Cintya menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Entah kenapa, ia merasa gugup. Padahal yang bertanya hanya anak kecil, tapi sukses membuat jantungnya berdegup kencang. "Arka bermain dulu, ya. Mama sama Papa mau bicara dulu!" pinta Cintya, sambil menunjuk arena bermain, yang tersedia. Secara tidak sadar, dia juga memanggil Bara dengan sebutan papa. Hal itu berhasil membuat lengkungan di bibir Bara. Arka mengangguk antusias. Cintya lantas mengantar Arka hingga ke arena bermain, yang tidak terlalu ramai. Setelah menitipkan kepada salah satu penjaga, ia kembali menghampiri mejanya. Canggung. Itulah yang kini mereka berdua rasakan. Jika ada Arka, mereka tak kehabisan bahan bicara. "Kamu apa kabar?" Kalimat itu meluncur begitu saja dari mulut Bara. Konyol memang. Sedari tadi mereka sudah bertemu, tapi baru kini menanyakan kabar. "Aku dan Arka baik-baik saja. Kamu?" tanyanya gugup, seolah mereka remaja yang baru kasmaran. Bukannya menjawab, Bara justru terdiam. Ia terus memperhatika
"Aku benci Mama."Kalimat itu terus terngiang di kepala Cintya. Dia tak pernah menyangka, anaknya bisa berbicara seperti itu. Selama ini, Arka tak pernah menunjukkan sikap tidak sopan kepadanya maupun orang lain. Pendidikan yang ia terapkan, lebih mengutamakan adab dan akhlak. Ia tak pernah menuntut kesempurnaan. Namun, hanya karena satu kalimat, hati Cintya benar-benar hancur. Bahkan, saat dirinya berpisah dengan Bara, hatinya tak serapuh seperti sekarang ini. Hari berikutnya, Arka masih saja murung. Dia yang biasanya ceria, tampak tak bersemangat. Bahkan, di hari ketiga setelah pertemuannya dengan Bara, Arka mendadak demam. "Arka minum obat dulu, ya!" Cintya sengaja izin dari tugasnya, hanya demi bisa menemani buah hatinya. Di tangan kanannya, sudah tersedia sendok yang berisi cairan sirup pereda panas. Arka hanya menurut. Setelah sirup berhasil ia telan, kembali matanya terpejam. "Pusing?" tanya Cintya, hanya dijawab anggukan. "Arka bobok saja kalau pusing!" imbuhnya lagi. Ra
Bara mengelus punggung anaknya. Dia tahu, kini Arka sedang bersedih. Buktinya, ia tak mau berceloteh lagi. "Arka pulang sama mama dulu, ya!" Bara mendudukkan Arka ke kursi depan, setelah Cintya membukakan pintu mobilnya. Arka kecil hanya mengangguk. "Nanti Papa temani bobok, ya!" mohonnya. Bara hanya mengangguk. Entah kapan, dia bisa mewujudkan keinginan anaknya. "Dadah Papa!" Arka melambaikan tangannya, saat Cintya mulai melajukan roda empat tersebut. Tak ada pamitan perpisahan di antara keduanya. Cintya langsung pergi begitu saja. Sepanjang jalan, Arka lebih banyak diam. Bahkan, ketika Cintya mencoba mengajaknya bicara, dia hanya membalasnya singkat. Tak butuh waktu lama, Arka sudah terlelap. Wajah yang lelah dan gurat kecewa, tercetak jelas. Cintya hanya mampu menghela nafas melihat tingkah anaknya. Sesekali, diliriknya Arka. Jika diperhatikan seksama, wajahnya begitu mirip Bara saat kecil. Yang membedakan hanya mata dan hidungnya. Jika Bara berhidung mancung, lain halnya de
Reflek Cintya menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Entah kenapa, ia merasa gugup. Padahal yang bertanya hanya anak kecil, tapi sukses membuat jantungnya berdegup kencang. "Arka bermain dulu, ya. Mama sama Papa mau bicara dulu!" pinta Cintya, sambil menunjuk arena bermain, yang tersedia. Secara tidak sadar, dia juga memanggil Bara dengan sebutan papa. Hal itu berhasil membuat lengkungan di bibir Bara. Arka mengangguk antusias. Cintya lantas mengantar Arka hingga ke arena bermain, yang tidak terlalu ramai. Setelah menitipkan kepada salah satu penjaga, ia kembali menghampiri mejanya. Canggung. Itulah yang kini mereka berdua rasakan. Jika ada Arka, mereka tak kehabisan bahan bicara. "Kamu apa kabar?" Kalimat itu meluncur begitu saja dari mulut Bara. Konyol memang. Sedari tadi mereka sudah bertemu, tapi baru kini menanyakan kabar. "Aku dan Arka baik-baik saja. Kamu?" tanyanya gugup, seolah mereka remaja yang baru kasmaran. Bukannya menjawab, Bara justru terdiam. Ia terus memperhatika
"Arka kenapa keluar duluan?" tanya Cintya, saat sudah menghampiri dua laki-laki beda generasi tersebut. Nafasnya agak tersengal, karena berusaha berjalan agak cepat. "Maaf, Ma," jawabnya polos. Cintya kembali mengatur nafasnya. Arka tak sepenuhnya salah. Dialah yang kurang fokus, hingga lalai menjaga Arka. "Lain kali izin mama dulu, kalau mau pergi!' imbuhnya lagi. Arka kecil hanya mengangguk patuh. Terlihat, ia begitu ingin segera memainkan robot barunya. "Arka lapar, kan? Yuk kita makan sama-sama!" Ajakan Bara disambut antusias oleh Arka. Sejauh ini, Arka belum tahu, kalau Bara adalah papanya. "Boleh, Ma?" Lagi-lagi, ia meminta izin mamanya. Cintya memang mewanti-wanti, agar Arka tak mudah percaya pada orang asing. Dan baginya, Bara adalah orang asing, karena ini pertama kali ia bertemu. Namun, sikap lembut Bara, mampu membuat Arka langsung betah bersamanya. Belum sempat Cintya menjawab, Bara sudah membawa Arka memasuki resto makanan cepat saji. Lagi-lagi, Cintya hanya membun
"Cintya," gumam Bara dengan perasaan tak karuan. Setelah lima tahun tak bertemu, kini mereka dipertemukan lagi, tapi dengan status yang berbeda. Ya, mereka benar-benar resmi bercerai. Setelah tiga bulan mereka saling berpisah, berharap bisa bersama kembali. Namun, Cintya tak berubah pikiran. Dia tetap menginginkan perceraian. Bara yang memang merasa salah, hanya bisa pasrah. Kini, jarak antara dirinya dan Cintya semakin dekat. Hatinya bagai orang kasmaran, ketika melihat perubahan pada mantan istrinya. Kecantikan Cintya semakin terpancar, meski sudah tak muda lagi. Bara sungguh tak sabar untuk segera menemui Cintya. Namun, lagi-lagi hatinya ragu. "Mama, keren 'kan?" seru seorang bocah. sambil berlari membawa sebuah robot, mendekati Cintya yang tengah sibuk dengan ponselnya. Mendadak, wanita itu menyimpan ponselnya ke dalam tas kecilnya. "Arka mau ini?" tanya Cintya dengan mata berbinar, sembari memperhatikan mainan yang dipegang anaknya. Deg!Terasa ada yang menghantam dadanya. A
Cintya memalingkan muka, seolah tak sanggup mendengar ucapan Bara. Di hadapannya, umi tak berhenti mengeluarkan air mata. Antara sedih dan ingin marah, terus menguasai hatinya. "Apa tidak bisa dibicarakan lagi?" Bapak menghela nafas berat. Disandarkannya punggung ke sofa. Semua yang berada di ruang tamu terdiam. Mereka sibuk menyelami pikiran masing-masing. "Kami sudah sepakat, Pak." Akhirnya Cintya angkat bicara, setelah beberapa saat mereka terdiam. Helaan nafas berat, keluar dari mulut bapak. Beliau memijit pelipis yang terasa berdenyut nyeri. "Coba kalian pikirkan ulang. Kasihan Arka!" Umi yang dari tadi diam, kini ikut menyumbang suara. Cintya dan Bara sontak memandangi anak mereka. Anak yang kehadirannya ditunggu, tapi di waktu yang kurang tepat. "Kami sudah memikirkan semuanya, Mi," sahut Cintya cepat, takut pikirannya kembali goyah. Dia yakin, hak asuh sepenuhnya diberikan padanya. Dia juga yakin, mampu membesarkan anaknya seorang diri. Bara masih diam. Dia cukup sada
Mobil hitam dengan plat AG Kediri, terparkir rapi di halaman rumah Cintya. Sepasang suami istri turun, diikuti umi yang sedang menggendong bayi. Hari ini, Bara menepati janjinya kepada Cintya, untuk mengembalikan kepada orang tuanya. Dulu dia meminta baik-baik. Sekarang, dia dengan langkah terpaksa, mengembalikan tanggung jawab Cintya kepada bapaknya. Bukan Bara tak ingin mempertahankan rumah tangganya, tapi kebahagiaan Cintya jauh lebih penting. Dia sadar, bahwa dengan berpisah, istrinya, yang sebentar lagi akan menjadi orang lain, akan lebih bahagia. Sudah cukup dia membuat Cintya menderita, karena ulahnya. Berbeda dengan Bara, umi Khofsoh sedari tadi sudah meneteskan air mata. Dia masih belum rela, harus dipisahkan dengan anal menantu dan cucunya. Lagi-lagi, dia tak bisa berbuat banyak, karena keputusan Cintya sudah bulat. Mereka bertiga, berjalan beriringan. Pintu rumah yang terbuka, menandakan kalau bapak sedang di rumah. "Assalamualaikum," ucap Bara. Cintya yang merasa ini
"Malu, umi punya anak seperti Kamu!" Bara menunduk dalam. "Keluar Kamu, Mas!" usir Cintya. Andai fisiknya sudah kuat, tentu ia akan mendorong Bara sampai ke depan pintu. "Cintya!""Jangan menyentuhku!" tolak Cintya, saat Bara maju beberapa langkah. "Izinkan aku mengumandangkan adzan untuk pertama kalinya, di telinga anak kita!" mohon Bara lembut. Bayi mungil, yang kini terbaring di samping Cintya, mengalihkan perhatian Bara. Ingin sekali Bara menggendongnya, tapi Cintya terus melarang. "Tak perlu! Dia tidak butuh bapak sepertimu!" "Maafkan aku!" "Jika mema'afkanmu bisa mengubah segalanya, tentu akan kulakukan, tanpa Kau minta." "Aku sudah berusaha pulang cepat, Cintya, tapi di tengah jalan, tiba-tiba pecah ban," terang Bara. Dia mengatakan yang sebenarnya. Di tengah hutan, dia harus berjuang mengganti ban seorang diri. Suasana yang gelap, agak menghambat pekerjaannya. Cintya tersenyum sinis. Dia tak mudah percaya begitu saja. Alasan yang klasik. "Apa aku harus percaya? Buka
Cintya terbaring lemah, setelah berjuang antara hidup dan mati, seorang diri. Kini, kehadiran seorang bayi mungil, menjadi penyemangat hidupnya. Air mata haru tak kuasa ia tahan, ketika kulitnya bersentuhan, dengan malaikat kecil, yang kini menjadi bagian dari hidupnya. Bayi merah, yang kini sedang mencari sumber makanannya. Umi Khofsoh tak dapat menyembunyikan kebahagiaan yang begitu memenuhi hatinya. Ingin sekali, ia segera menggendong cucunya, tapi urung. Dokter menyarankan, agar sang bayi menyusu. "Cantik sekali!" seru Mela, yang baru saja masuk.Cintya hanya tersenyum, mendengar pujian dari sahabatnya. Hilang sudah rasa sakitnya, kala mendengar tangisan pertama, dari anaknya. Suster kembali membawa bayi Cintya, untuk dibersihkan. ***Paginya, Cintya sudah dipindahkan ke kamar rawat inap. Mela sengaja memilihkan kamar VIP di rumah sakit ini. Cintya juga sudah berganti pakaian. Kondisinya yang masih lemah, ditambah semalam tidak tidur sama sekali, membuat matanya begitu berat.