Bara tak menjawab. Cintya wanita yang berwatak tegas. Sekali membuat keputusan, dia tak akan membatalkannya. Bara berpikir keras, ke mana akan membawa istri mudanya. Sebenarnya ada satu rumah di daerah Nalu, namun kondisinya sudah tidak layak huni, karena lama ditinggalkan. Tanpa disadari, Cintya sudah meninggalkan dirinya yang tengah merenung. "Mas." Suara Aisya mengagetkannya. Aisya nampak gusar, begitupun dirinya. "Kenapa di sini sendiri?" "Mau minum. Kamu mau ngapain?" tanya Bara. Aisya menggeser kursi di depan Bara. Dia benar-benar gusar memikirkan nasibnya sekarang. Dia enggan meninggalkan rumah mewah ini, tapi Cintya sudah membuat keputusan bulat. "Mas sudah dapat rumahnya?" tanya Aisya hati-hati. "Untuk sementara, tinggal di rumah ibu dulu saja iya? Mas mau renovasi rumah yang di Nalu dulu," jelas Bara. Aisya mengangguk saja. "Apa Mas? Renovasi rumah?"Cintya tiba-tiba berdiri di belakangnya. Bara tak kalah terkejut. Cintya hendak mengambil dompet yang tertinggal di
Cintya tersenyum penuh kemenangan. Dia berjalan ke kamarnya untuk meletakkan dompet. Pagi ini, dia berencana membersihkan taman samping rumah. Biasanya ada mbah Yah yang membantu, tapi sejak beliau pulang kampung, taman itu hanya dibersihkan ala kadarnya. Cintya mengganti baju santai. Dia lalu mengambil gunting besar yang terletak di gudang. Tak lupa, topi pantai ia kenakan. Diperhatikan dengan seksama bunganya yang mulai tak terawat. Sepasang angsa kesayangannya juga mulai kusam. Catnya sudah banyak yang mengelupas. Rencananya, dia akan meminta pak Udin untuk membantu mengecat ulang. Tangan Cintya mulai gesit memotong dahan bunga yang tumbuh tak beraturan. Air kolam yang mulai keruh juga ia ganti. Peluh mulai bercucuran karena matahari mulai tinggi. Cintya lalu duduk di ayunan. Lagi-lagi hatinya mencelos, ketika melihat tempat di sampingnya kosong. Biasanya dia dan Bara akan bercanda setelah sama-sama membersihkan taman. "Bu Cintya ... assalamualaikum."Suara salam di belakangnya
Tak lama, muncul seseorang dari kamar tamu dengan mengenakan mukena Bali bermotif bunga. Dia langsung duduk di salah satu kursi yang kosong."Beli di mana, Mas?" tanya Aisya membuat mbah Yah semakin bingung.Kenapa wanita ini memanggil Bara dengan sebutan itu? Bahkan terlalu mesra kalau hanya sebatas saudara. Dia juga belum pernah melihat wanita ini sebelumnya. "Temannya Bu?" tanya mbah Yah memberanikan diri. Cintya sengaja tak menjawab. Biarlah Bara yang memberi tahu."Dia istri saya, Mbah," ujar Bara sambil menatap wajah manis Aisya. Aisya yang dipandang seperti itu menjadi malu. "Astaghfirullah." Mbah Yah membatin dalam hati sambil memegang dadanya karena kaget. Dipandangnya raut wajah Cintya yang terlihat datar. "Ini mbah Yah, Sayang. Orang yang biasanya bantu-bantu di rumah ini," ujar Bara kembali mengejutkan mbah Yah. Bahkan Bara kini berani memanggil 'Sayang' ke orang lain di depan istrinya. "Saya Aisya, Mbah." Aisya memperkenalkan diri sambil menjabat tangan mbah Yah. Mb
Cintya merasa agak tenang, karena nasihat mbah Yah. Sesekali Cintya masih menenangis, kala menceritakan pedihnya hatinya. Mbah Yah hanya bisa menghibur dengan nasihat-nasihat. "Setiap manusia pasti punya cobaan, Bu. Allah tidak akan memberikan cobaan melampau batas. InsyaAllah ibu kuat," nasihatnya. Cintya mengangguk. Dia mulai menata hati. Mencoba ikhlas dalam setiap langkah kakinya. "Mbah Yah mau langsung pulang?" tanya Cintya. Dia tidak enak kalau mengganggu waktu istirahatnya. Mbah Yah berpikir sejenak. Sebenarnya dia lelah, tapi karena majikannya masih membutuhkan dukungan, akhirnya dia memilih menemani Cintya. "Mau dimasakin Bu?" tanya mbah Yah hati-hati. Selama ini dia memilih untuk memasak sendiri, karena ingin melayani Bara sepenuh hati. Mbah Yah hanya bertugas menyiapkan bahan masakan. "Boleh Mbah. Kita belanja dulu saja, karena di kulkas sudah mulai kosong!" ajak Cintya. Mereka berdua lalu menuju lantai bawah, setelah Cintya mengganti bajunya. Mbah Yah mengambil tas
Bara mulai melajukan mobilnya meninggalkan rumah. Hening. Tak ada yang membuka obrolan. "Mau belanja di mana?" tanya Bara memecah keheningan. "Ke pasar dulu baru ke swalayan," jawab Cintya lalu kembali diam. Mbah Yah benar-benar merasa canggung. Biasanya keluarga ini selalu ceria dan harmonis. Bara yang biasanya humoris kini lebih banyak diam. Cintya juga begitu, wanita yang selalu ceria, kini berubah sejak dirinya datang."Sekalian jalan-jalan, yuk!" usul Bara."Ayo Mas, mumpung hari Minggu!" seru Aisya dengan binar bahagia. Cintya tak tertarik sama sekali. Dia tak menolak tapi tak meng-iyakan juga. "Mbah Yah mau 'kan?" tanya Bara membuatnya salah tingkah. "Saya terserah bapak saja. Penumpang mah ikut ke mana sopirnya pergi," jawab mbah Yah mengambil jalan tengah. Mobil berhenti di lampu merah. Ada seorang lelaki paruh baya tengah duduk di atas kursi roda. Di pangkuannya terdapat kaleng kue bekas, untuk menerima sedekah dari orang berhati dermawan. Bara kembali melajukan mobi
Mbah Yah sibuk mengatur belanjaan. Dia tidak mau terlibat terlalu jauh urusan majikannya. "Ayo Aisya!" ajak Bara meninggalkan Cintya. Bara menggandeng tangan Aisya agar tak lepas darinya. Aisya hanya menurut. Sesekali, dia mengangkat gamisnya karena jalanan agak becek. "Mas suka bubur Manado?" tanya Aisya untuk menenangkan hati suaminya. "Apapun yang kamu masak, aku suka," jawab Bara menyenangkan hati istri mudanya. Aisya berhenti di depan tukang sayur. Dipilihnya labu, bayam, jagung muda, dan kangkung. Bara hanya memperhatikan karena dia tidak tahu bahan apa saja untuk membuat bubur Manado. "Sudah?" tanya Bara saat penjual menotal belanjaan istrinya."Sudah Mas, tinggal rempah-rempahnya saja," jawab Aisya bersemangat, karena dia akan membuat menu spesial untuk Bara. Bara membawakan satu kantong penuh sayuran. Setelah dirasa cukup, mereka menyudahi aktivitas belanjanya. Tangan Bara sudab penuh dengan belanjaan istri mudanya. Aisya juga membeli sebasung sagu. Dia ingin membuat K
Bara segera menyusul istrinya yang merajuk, sambil kebingungan membawa belanjaannya. Setelah Bara pergi, Cintya dan mbah Yah kompak tertawa cekikikan. Sementara penjual es campur yang bernama Eko menggaruk kepalanya bingung. Kenapa pembelinya kali ini begitu aneh. "Ini Mas uangnya. Pas ya, untuk empat gelas." Cintya meletakkan lembar dua puluh ribuan di samping toples berisi cairan santan. Diambilnya dua gelas milik Bara, karena suaminya sudah terlanjur sibuk mengejar istri mudanya. "Dia bukan pembantu kami, Mas. Lain kali jangan bilang begitu lagi di depan mereka!" nasihat Cintya membuat Eko kebingungan. "Maaf saya tidak tahu," sesal Eko. Cintya menjawab dengan senyum, lantas menyusul Bara yang sudah lebih dulu naik ke mobil. Cintya masih saja menahan tawa. "Ini es kalian." Cintya memberikan dua gelas es kepada Bara. Bara menerimanya lalu memberikan satu kepada Aisya. "Sudahlah Aisya, lagipula penjual tadi enggak tahu kamu istriku. Statusmu tetap istriku meskipun orang lain t
Di dalam kamar, Aisya melepas jilbabnya kasar lalu melemparnya sembarang. Dia masih begitu kesal. KlekPintu terbuka. Bara dengan wajah lelahnya langsung berbaring di kasur. Aisya tak berbicara sepatahpun.Tak lama, dengkur halus mulai terdengar. Rupanya Bara tertidur, membuat Aisya semakin kesal. Panggilan sholat Dhuhur mulai berkumandang dari toa masjid Agung Al-Mubarok. Aisya membangunkan Bara yang baru beberapa menit tertidur. Meskipun sedang marah, Aisya tetap mengingatkan Bara akan kewajibannya sebagai muslim. Aisya lantas mengambil wudhu. Dibentangkannya sajadah bergambar Ka'bah. Mukena putih pemberian Bara ia kenakan. "Mas, sudah adzan. Nanti terlambat sholat," ujar Aisya sambil mengguncang pelan bahu Bara. Bara menggeliat, melemaskan ototnya yang terasa kaku. Lantas dia bangun, lalu pergi ke kamar mandi.Aroma parfum menguar di seluruh kamar. Bara dengan wajah segar, memakai baju koko putih tampak lebih gagah. Tak lupa, songkok ia k