Aku menghembuskan napas dengan kasar, memijit pangkal hidung dengan gelisah. Kakiku melangkah keluar dari gerbang, berdiri sendiri di tepi jalan. Menunggu taksi ternyata kelewat lama. Kakiku pegal, ditambah sinar matahari semakin terik dan panas.
Aku putuskan untuk meneduh di cafe yang tak jauh dari sini, hanya berjalan beberapa menit sampai di sana. Di sana lebih gampang mendapatkan taksi.
Sinar suminar matahari seakan menghantam kepalaku, aku terus berjalan sepanjang jalan, mendongak ke atas langit, mataku sedikit menyipit dengan silaunya cahaya sang surya. Akhirnya aku sampai di depan cafe, aku berdiri di sana. Lumayan. Cahaya matahari tidak mengenai kepalaku.
“Hati-hati, Kak!” teriak seseorang.
Tadi tubuhku sedikit oleng dan hampir roboh. Untung suara teriakan membuat kesadaranku kembali dan mampu menahan tubuhku yang lemas namun tak kuasa aku hampir roboh.
Wanita yang tadi berteriak mengh
Aku ingin sekali menghampiri, namun kaki terasa sangat berat untuk masuk ke cafe tersebut. Aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan di dalam, mungkin hanya mengobrol biasa, tapi ... sakit untuk diliat.Cukup lama aku diam di tempat memperhatikan kedua orang di dalam. Batinku teriris-iris hingga aku menarik sudut bibir dengan paksa, menahan air mata agar tidak tumpah.Amarah, kesedihan dan rasa sakit, aku pendam. Entah kapan aku akan sejauh ini untuk lebih menahan lagi. Kedua orang yang aku sayangi terlihat menyedihkan. Mereka tahu aku sudah menikah dengan Drey. Mereka sedang mengobrol akrab, sedangkan aku tersenyum pahit.Aku putuskan untuk menelfon Drey, dengan tangan gemetaran memainkan layar ponsel lalu mencoba menghubungi Drey. Mataku sambil mengamati kedua orang di dalam cafe.Tut ... cukup lama panggilan itu, namun aku melihat Drey sama sekali tidak melirik ponselnya yang di atas meja, sebelah kirinya. H
“Apa Kak Anna sedang bersama Drey?” tanyaku dengan suara sangat pelan.Jantungku mulai berdetak keras menunggu jawaban dari Anna. Mungkinkah Anna akan menjawab? Atau tidak mengatakan yang sebenarnya?Cukup lama Anna terdiam membuat jeda yang tercipta beberapa saat.“Iya, Ryn. Kakak sedang bersama Drey.”Mendengar itu, hati aku semakin tertusuk layaknya busur panah menatap dalam hatiku. Sakit sekali. Demi Tuhan. Pengakuan bersama Drey terucap dari bibir Anna.Ada jeda beberapa menit. Aku tarik napas dalam-dalam, menenangkan diriku. “Kenapa kakak bersama Drey?” tanyaku agak dingin. “Apa ada sesuatu yang penting?”Terdengar helaian napas darinya. “Iya, Ryn. Kami sedang membicarakan pekerjaan. Tidak ada hal lain,” jelasnya. “Dan aku meminta bantuan dari Drey.”Aku tersenyum kecut. Haruskah membicarakan pekerjaan di cafe? Berduaan? Haha. Lucu sekali. Aku ingin tertawa h
“Tidak apa-apa, Pak,” jawabku parau.“Pak, tolong antarkan ke alamat ini, ya.” Aku menyodorkan kertas berisi rumah mama Katerina.“Okay, Nona.”Sang pengemudi sepertinya tahu aku sedang tidak ingin ditanya banyak hal. Ketika sudah sampai di rumah mama Katerina, aku tidak langsung turun dari mobil. Masuk ke dalam rumah. Mama Katerina menyambut dengan hangat.“Lho, Ryn? Kamu lagi sakit ya? Kok mukanya pucat banget.”Aku menggeleng lemah. “Aku baik-baik saja, Ma. Aku ke kamar dulu, ya.” Kepalaku semakin berputar-putar, tubuh lemas dan aku ingin tidur. Rasanya pusing dan pening di kepala.“Nanti mama buatkan sesuatu untukmu, sesuatu yang lezet pastinya. Istirahatlah, sayang,” kata Mama sedikit berteriak.Aku tersenyum dibalik wajah pucat pasi, aku semakin sadar, aku benar-benar menjadi lakon yang pintar sekali menyembunyikan apa yang aku rasakan.
“Jangan-jangan kamu ....”“....”“Ryn?”Kepalaku memutar ke ambang pintu, Drey berdiri di sana, memandangiku dengan tatapan yang membuat aku ingin menangis. Kenapa dia baru datang? Saking asiknya berbicara dengan Anna?Mama melihat Drey datang, Mama berdiri dan mengecup keningku, kemudian pergi dari kamar seolah membiarkan kami berduaan di dalam kamar ini.Drey menghampiriku.Dia mengusap lembut dahiku oleh tangan besarnya. Posisi Drey sedang berjongkok di lantai. Aku hanya memandang dia tanpa ekspresi, Drey meraih tanganku dan menggenggam erat.“Maafkan aku. Lagi lagi aku menyakitimu lagi, Ryn.”Drey memandang lekat wajahku dengan tatapan rasa bersalah. Aku juga tahu, bukan diriku yang sakit hati di sini, tapi Drey pun merasakan hal yang sama. Aku sakit melihat suamiku bersama wanita lain.“Aku masih mencintainya, Ryn.
Aku terbangun, jam dinding menunjukkan jam 3 pagi. Aku menuju ke kamar mandi selagi Drey masih tidur. Dengan tangan gemetaran aku menadah air kencing dalam gelas plastik. Entah kenapa aku gemetaran, mungkin aku takut akan mengandung anak Drey dan akan lebih sulit untuk berpisah. Aku sudah muak dengan hubungan Drey dan Anna. Demi cinta mereka rela bermain di belakangku. Ya, berpisah lebih baik. Atau Drey akan memperbaiki semuanya?Aku sedikit mengejan agar air kencing keluar dengan baik, tapi sulit sekali keluar. Aku sampai harus menarik napas dalam-dalam. Argh, ini merepotkan sekali! Aku juga harus menadah kencing di dalam gelas itu. Tanganku sampai basah. Huft! Lebih susah dari dugaanku.Tanganku gemetaran saat mencelupkan alat tes pemberian dari mama, test pack. Menurut aturan harus sampai batas yang ditentukan. Lalu tunggu kurang lebih 5 detik, kemudian angkat test pack. Satu garis merah muncul di indikator alat itu dan ada satu garis lagi.
[Author POV]Di dalam taksi Anna memejamkan mata sebentar, mengingat kejadian beberapa hari lalu, waktu berada di cafe. Anna merasa bersalah ketika Auryn menelfonnya saat bersama dengan Drey. Suara Auryn terdengar berbeda di telinga Anna. Anna menyadari bahwa selama ini dia tidak pernah memikirkan perasaan Auryn. Hanya ada rasa kemenangan diri sendiri dan keegoisan merebut Drey dari Auryn. Sekarang dalam posisi, tidak bisa berkata apa-apa.Pada akhirnya Anna hanya bisa mengigit bibir bawahnya saat berkata lirih, “Maafin Kakak selama ini, Ryn.” Nada lirih terdengar penuh rasa bersalah.“Kamu baik-baik saja, Nona?"Anna agak kaget saat suara bariton itu sejenak terdengar mengisi hening dalam taksi, taksi yang terus melaju memecahkan jalanan. Iris Anna melirik pada lelaki tua di balik kemudi yang bertanya hangat. Anna membalas agak ragu, "Maaf? Maksudnya?" tanyanya, sebab Anna merasa baik-baik saja.Lelaki tua itu tertawa agak canggung. "Maaf jika pe
[Auryn POV]“Kak Anna?”Aku mematung. Terpaku di tempat, membeku tidak bergerak. Aku mengerjabkan sepasang mata sekali. Suasana kaku dan canggung. Kenapa canggung? Entah, mungkin aku sedang tak ingin melihat wajah Kak Anna dan aku sedikit tak suka dia di sini.“Iya, Ryn. Ini Kakak.” Anna tersenyum kecil."Kenapa Kakak kemari? Ada perlu apa datang menginjakkan kaki di rumah ini?"Aku sadar dengan perkataanku yang agak sarkasme. Untuk sepersekian detik di sana, Anna terbungkam. Matanya terlihat memerah setelah mendengar kata sarkasme."Aku datang kemari ingin bertemu denganmu, Ryn," jawab Anna lembut. “Ada yang ingin kakak bicarakan denganmu.”“Bicara apa?” Aku tersenyum getir.“Tentang kita dan Drey.”Matanya menatapku dengan lekat. Aku menelan saliva dan dibuat mengerjab saja rasa sakit yang mendadak menyerang.Aku terdiam cukup lama di sana dan beberapa menit aku mempersilahkan Anna masuk. Bodoh! Kenapa aku tak usir s
Ini tidak mungkin! Tidak mungkin Anna mengandung anak Drey, sedangkan aku juga mengandung anaknya Drey juga. Ku gigit bibir bawahku dan bergumam, "Bagaimana ini?" Aku menjadi resah.Matakuturun ke permukaan perut Anna, tangankuyang gemeteran dituntun olehnyauntuk mengelus-elus lembut seakan menyapa janin di rahimnya. Detik ke limaakumenarik tanganku. Pada saat telapak tanganku menyentuh perut Anna, sungguh demi apapunaku tak sudi. MEMUAKKAN! Hubungan Anna dan Drey ternyata begitu, melebihi batas.Aku ingin menjerit! Melemparkan barang apapun itu yang ada di dekatku. Aku ingin memukul dada bidang Drey dengan keras dan menyumpahi Drey dan Anna. Persetan dengan dua orang ini, dua orang yang sangat aku percayai dan sayangi, ternyata bermain menjijikkan di belakangku.Sekarang, aku butuh Mama Katerina.Hatikuseakan tersayat oleh pedang tajam hingga mengiris menimbulkan luka hati tak berdarah. Di sana ... di rahim Anna&
Air mata Drey terus mengalir dan tiada henti. Penyesalan yang ada didalamnya semakin Dreyrasakan. Sejak tadi Drey tidak mampu membaca guratan tinta Auryn, tapi dia membaca hingga selesai. Dengan tangan gemetaran, Dreymemeluk buku diary tersebut dengan isak tangis.Di sini yangtersisa hanyalah barang-barangAuryn, termasuk novel yang seringAurynbaca. Semua masih tertinggal di sini. Sang pemiliklah yang menghilang.Bukan Aurynyang jahat di sini telah meninggalkan Drey, namun Drey yang jahat. Dreymengakui dirinya. Kepergian Aurynbukan membuatnya bahagia, namun hanya menyakitinya. Bukan menenangkannya, namun malah menaruh dirinya dalam jurang kesepian.Dengan mata berair, Dreymeletakkan kembali buku Diary milik Auryn.***[Auryn POV]Di antara keputusan. Inilah keputusan paling terberat yang aku buat. Ini memang keputusan yang paling gila. Bagaimana tidak gila? Ak
Untuk Drey,Drey … maafkan keputusanku yang mengerikan ini. Sepertinya aku membutuhkan waktu. Aku pergi, aku meninggalkanmu. Maaf … ini yang aku inginkan walaupun sangat berat. Maaf juga, waktu itu. Aku melakukan percobaan mengakhiri hidup di bak mandi. Saat itu aku sangat putus asa. Aku benar-benar kecewa. Aku seakan merasa tidak ingin di dunia ini. Keberadaanku yang tak aku inginkan. Aku tidak ingin benar-benar tertekan dengan pernikahan kita.Terima kasih … terima kasih telah menyelamatkanku waktu. Aku pergi, Drey. Aku tidak berpamitan padamu karena saat melihatmu, kekecewaan yang aku rasakan memuncak. Aku ingin pergi tanpa ada rasa bersalah padaku.Perpisahan ini memang harus. Aku harap kamu menjadi lebih baik ketika aku pergi. Biarkan aku pergi, jangan mencariku. Oh, ya. Tentang perceraian. Aku sudah menyiapkan surat cerai kita. Kamu jangan khawatir. Kamu bisa menikah dengan Anna. Kalian bisa hidup bahagia. Kalian bisa bersatu.J
“Sekarang biarkan dia pergi, Nak,“ kata Mama Davina.Wanita itu melepaskan pelukannya dan menepuk pundak Drey berkali-kali.Drey menatap sendu cincin yang berada di tangannya, digenggam erat dengan air mata sudah bercucuran. Cincin itu belum genap satu tahun melingkar di jari Auryn, namun kini cincin itu sudah kembali pada DreyDalam tangisan disertai derasnya air mata.Drey sempat berpikir. Apakah perpisahan ini akan membuat Aurynbahagia? Lalu bagaimana dengan dirinya? Drey bisa mati tanpa Auryn. Dreyberada dipihak tersakitisetelah ditinggalkan oleh Auryn.Mama Davina ikut meneteskan air mata melihat anaknyamenangis—batin seorang Ibu ikut merasa sakit.Dreymenangis dalam penyesalan atas perbuatan bodoh selama ini. Sungguh ini begitu menyakitkan. Penyesalan yang sulit sekali di maafkan. “Pasti Auryn nggak akan maafin aku, Ma. Dia sangat membenciku! Tapi Aku mencintainya,” isak Dre
[Author POV]Jantung Drey berdebar. Dia berteriak frustasi di depan Mama Davina. Dia hancur saat Mamanya memberi tahu bahwa Auryn pergi, Drey marah kepada Mama Davina. Lelaki itu menatap Mama dengan sorot mata redup.“Kenapa Mama membiarkan dia, Ma?!” Drey berteriak kepada Mama, seharusnya Mama Davina tidak membiarkan Auryn pergi, itu yang ada dipikiran Drey. “Kenapa, Ma?” Drey menuntut.Mama Davina hanya bisa menunduk setelah melihat kemarahan dari Drey.“Jawab, Ma!” Getar hati Drey sangat luar biasa. Dia kecewa dan malu pada dirinya sendiri.Kepala Mama Davina mendongak. “Maaf,” kata Mama Davina.Drey mengacak-acak rambut hingga berantakan. SIAL. Kenapa menjadi seperti ini. Auryn benar-benar meninggalkan Drey tanpa berpamitan lebih dahulu. “Aku mencintai dia, Ma. Aku telah menyesali semuanya … tapi aku terlambat menyadari.”“Mencintai Ryn?” Mama tersenyum
[Author POV]Esok harinya aku kembali ke rumah Drey. Mama Davina yang menyuruhku, awalnya aku di rumah Mama Katerina untuk beberapa hari.Sekarang akumenatap kosong ke arah jendela kamaryang menyajikan keindahan halaman rumah Dreyyangdijadikan sebagai tamanbunga. Bunga-bunga yang aku tanam dan dia rawat sudah mekar dan tumbuh cantik.Apa yang telah terjadi beberapa hariterus berputar dalam benakku.Kalimat yangakubenci telah terucap dari bibirku sendiri. Akuingin menceraikanDrey, tapi Dreymenolak dengan tegas. Akusudah pernah memohon agar Dreymenceraikan diriku, Drey menolak dan menahanku.Bukankah aku pernahmeminta satu permintaan?SeharusnyaDreytidak menahan kembali permintaanku, seharusnya dia mengabulkan?Akutau, perceraian adalah perkara hal yang tidak gampang. Kedua pihak harus sama-sama menyetujui. Pilihan yang terbaikkah j
[Author POV]Raut sedih di wajah Dreynampak saatZanymembuka pintu rumahnya. Zanymenggunakan baju rumah, diaterlihatbaru saja mandi karena rambut terlihat basah. Dia terkejut dengan kedatangan Dreysecara tiba-tiba. Mata Dreyterlihat begitu sembab, bibirnya pucat dan sorotan mata ingin menangis. Tergambar jelas kesedihan cukup mendalam dari sorot matanya.“Astaga. Kamu kenapa, Drey. Masuk dulu,” perintah Zanytidak tega melihat Drey datang-datang seperti orang yang baru mengalami kejadian menyedihkandan seperti mayat hidup.Drey berjalan dengan tertatih mendekat Zany yang menatapnya sendu penuh rasa khawatir melihatnya. Keadaan benar-benar menyedihkan, satu kalimat yang Zany sematkan di mulutnya karena melihatnya seperti ini, “Are you ok, Drey?”“Zany ...” panggil Drey lirih. “Ucapkan kalimat untukku,” pinta Drey dengan pasrah.“
Aku melepaskan dengan kasar genggaman dari Drey. Melihat Dreydihadapanku dengan raut berbedamembuat hatikusemakin teriris, sakit tentunya. Dreytelah bermain di belakangkudankenyataan Anna hamil harus aku telan bulat-bulat, dijajal dengan paksa.“Kenapa kamu tidak mengatakan jujur kepadaku?” Aku bertanya dengan menuntut penjelasan Drey, perihal Anna hamil. “Aku dibuat bingung dengan masalah ini.” Aku terkekeh dibuat-buat. “Semua membingungkan. Aku tidak mengerti mengapa. Apa Aku bukan istri yang kamu harapkan?” Pandanganku melihat ke arah Drey dan Mama Katerina.Mama Katerinamembelai pipiku, dia seperti memberikan kekuatan agar aku sabar menghadapi semua ini.“Maafkan, Aku. Aku telah menyakitimu lagi. Ini semua salahku.” KepalaDreymenunduk dalam-dalam di pangkuanku. Air matanya menetes mengenai tangankudan membasahiselimut“Akumohon,
Akuterbangun dari tidur, badanku terasa agak panas. Ah, mungkin aku masuk angin. Tubuhku masih gemetaran. Kepalaku berdengung. Dadaku lebih sesak daripada saat di dalam air tadi. Di saat merasa badan tidak enak, tangan seseorang membelai dahiku dengan sangat lembut. Mama, aku melihat Mama di sampingku. Memperhatikan dengan sorot mata yang redup. Mata Mama terlihat memerah dan sepertinya baru saja menangis.“Mama … kenapa menangis?”Mama mengusap pipi dan di sudut matanya untuk menghapus bekas air mata. Mama menyembunyikan dariku, tapi aku tidak bisa dibohongi. Ya, aku yakin Mama baru saja menangis.Mama tersenyum. “Tidak, sayang. Mama nggak habis nangis kok.”Bohong. Aku tahu mama berbohong. Kuputar kepala untuk melihat jam dinding yang menunjukan pukul 9 pagi dan aku sama sekali melihat keberadaan Drey.Di mana dia?“Drey udah pergi ke kampus, baru aja,” kata Mama seperti membaca pikiranku. &
Aku mati?Apakah ini akan berakhir? Apakah ini terakhirku untuk hidup.Cara ini akan berhasil. Aku menang. Aku akan membawa mati anak Drey. Aku sudah ikhlas dan aku yakin ini yang terbaik untuk semuanya. Mataku sudah tidak bisa melihat apa-apa selain kegelapan.Arrgh, kepalaku terasa sakit sekali hingga ujung kakiku. Dadaku sesak sekali, hidungku sudah teramat perih kemasukan air. Tubuhku membutuhkan udara, tapi aku semakin lemah di dalam bak mandi. Aku tak ingin keluar dari sana. Aku mencoba untuk mengakhiri hidup. Aku tak ingin cara ini sia-sia.Biarkan aku mengakhiri penderitaan.“Maafkan aku. Aku membunuh anak kita, Drey, “ batinku berkata.Rasa sakit sudah tidak bisa aku tahan. Rasa sakit yang membuat aku kehilangan segalanya dan semuanya lenyap.***Sesuatu menabrak keras di kepalaku. Aku merasa ada sesuatu yang menyentuh bibirku. Aku bernapas. Terbatuk-batuk dan memuntahkan apa saja yang mengganjal di tenggor