"Aku tahu kau yang membuatnya ditahan," balas Ariana. "Andrian hanya lah pengacara yang membantuku." Nicholas berdiri dan berjalan mendekati Ariana, matanya memancarkan amarah yang teredam. "Kau telah membuat masalah besar dengan kabur dariku. Aku bisa membuat hidupmu sangat sulit jika kau menentangku." Ariana merasa ketakutan, namun dia berusaha tetap teguh. "Kau tidak bisa mengancamku." Nicholas tertawa pelan, seolah menertawakan kepolosan Ariana. "Aku bisa. Kau berdiri di hadapanku sekarang." Mata cokelat Ariana menyelidik Nicholas, mencari jawaban di wajah suaminya yang begitu tenang. “Apa yang kau inginkan?” tanyanya. Nicholas memperhatikan Ariana dengan tatapan yang sulit diartikan. "Kau tahu apa yang kuinginkan darimu," jawabnya dengan tenang, langkahnya maju perlahan, mendekati istrinya yang mulai mundur. Ariana merasakan hatinya berdebar-debar. Dia tahu, dia tidak bisa membiarkan perasaannya goyah lagi. Sekali lagi dia menguatkan hatinya bahwa Nicholas tidak memili
Di dalam rumah mewah keluarga Oliver Bahri, suasana tenang dan rapi mengisi setiap sudut. Taman yang mengelilingi rumah ini tampak terawat dengan baik, tetapi di dalam kamar Katrina, rasa tenang itu kontras dengan gejolak emosinya. Katrina duduk di atas tempat tidurnya, mengusap kakinya yang konon masih sakit. Pandangannya tertuju pada jendela besar yang memamerkan pemandangan taman, namun pikirannya jauh melayang. Dia tidak akan menyerah, meskipun Nicholas sudah menikah dan mencintai wanita lain. Obsesi terhadap Nicholas Nathan telah menyelimuti pikirannya untuk merencanakan cara agar pria itu sepenuhnya jatuh ke dalam pelukannya. Ketukan keras di pintu kamarnya mengalihkan perhatiannya. Katrina berusaha tampak tidak terganggu saat dia membiarkan ayahnya, Oliver Bahri, masuk. "Kenapa kau masih berpura-pura belum bisa berjalan dengan baik?" tanya Oliver tanpa basa-basi. "Dokter sudah mengatakan kau bisa berjalan normal lagi." Katrina mendesah pelan, berusaha terlihat tenang. "
Setelah ujian selesai, Zeyn tidak berhenti mengganggu. Dia mengikuti Ariana keluar dari kelas, langkahnya cepat dan penuh semangat. "Bu, saya rasa jawaban saya banyak yang salah. Bagaimana kalau kita diskusikan lebih lanjut?" katanya dengan nada manis. Ariana berhenti sejenak dan menatap Zeyn dengan heran. "Zeyn, kita akan tahu setelah saya memeriksanya," jawabnya dengan tenang. Namun, Zeyn tidak menyerah. "Bu, bagaimana kalau Ibu periksa sekarang saja? Kalau menunggu besok, saya tidak bisa tidur karena penasaran," desaknya lagi, dengan senyum yang mencoba meluluhkan hati Ariana. Ariana menghela napas, mencoba tetap profesional berkata, "saya akan mengirimkan hasilnya siang ini juga.” Berharap Zeyn mengerti. "Bagaimana kalau jawaban saya salah semua? Apakah ada ujian ulang, Bu?" tanyanya dengan nada memelas. "Kita akan lihat nanti," jawab Ariana singkat, mencoba untuk tidak terlalu lama menghadapi mahasiswa yang teridentifikasi aneh. Zeyn terus mengikuti Ariana hingga di
Ariana merasa aneh dengan kalimat Zeyn sebelum menghilang di balik pintu. "Apa maksudnya ‘hati-hati di jalan’? Apakah itu peringatan?" gumamnya. Pikiran tentang ucapan Zeyn terus mengganggu sepanjang perjalanan pulang. Apalagi sekarang ini banyak tindakan kriminal yang dilakukan murid kepada gurunya. Saat pintu gerbang rumah Nicholas terbuka, Ariana terkejut melihat Nicholas sudah berdiri di depan pintu rumah, seperti sedang menunggunya. Ariana turun dari mobil dengan hati-hati, tatapannya tetap waspada pada Nicholas. "Naiklah!" perintah Nicholas. Tangannya memberi isyarat agar Ariana masuk ke dalam mobilnya. "Mau ke mana?" tanya Ariana, menahan dirinya untuk tidak mengikuti perintah Nicholas. "Ke rumah kakek," jawab Nicholas singkat. Mendengar kata ‘kakek’, mau tidak mau Ariana menurut dan masuk ke dalam mobil Nicholas. Dia belum meminta maaf kepada keluarga Nicholas secara resmi, terutama ibunya Nicholas. Saat berhasil kabur, dia ingin menunjukkan taringnya. Tetapi ke
Ariana dan Rachel, benar-benar memasak di dapur rumah kakek Henry, menyiapkan makan malam untuk menyambut Zeyn. Dua orang pelayan turut membantu mereka. Setelah makanan siap dan para pelayan mulai membereskan dapur, Ariana dan Rachel pun pergi membersihkan diri mereka. Rachel menyeka tangannya dengan handuk, dan Ariana dengan hati-hati memulai percakapan yang sudah lama dipendamnya setelah hanya ada mereka berdua. "Maaf, Bu," katanya dengan suara pelan namun masih jelas didengar. Rachel melirik Ariana sekilas, mengangkat alisnya. "Apa yang membuatmu berani menentangku untuk tetap bercerai?" tanyanya datar. Ariana menelan ludah, mencoba mengumpulkan keberaniannya. "Ibu, maaf jika Ariana bersikap egois." Rachel diam, membiarkan kenangan tujuh tahun lalu melintas di benaknya. Saat itu, dia mendapat kabar putranya tidak sadarkan diri di rumah sakit. Sesampainya di rumah sakit, Rachel menemukan Katrina, teman sekelas Nicholas, yang terlihat sangat khawatir. Rachel menghela napa
Kakek berdehem, “Rachel, jangan membuat Zeyn tidak nyaman,” tegur Kakek Nicholas. “Maaf, Pi.” balas Rachel. Dia kembali melihat Zeyn, “Zeyn makanlah yang banyak, ini semua Tante yang masak.” Zeyn mengangguk hormat. Melihat Zeyn yang tidak nyaman dengan rentetan pertanyaan, Richard mengambil ahli obrolan dengan membahas politik di negara mereka yang tidak akan ada penyelesaiannya. Setelah makan malam selesai, Kakek Henry dengan ramah meminta Zeyn dan ibunya, Saraswati, untuk menginap. Meskipun merasa sedikit tidak nyaman, Saraswati menyetujui permintaan tersebut karena merasa segan menolak keramahan keluarga besar suaminya. Kakek dan Nenek dengan senang hati menunjukkan kamar yang telah disiapkan untuk Zeyn dan Saraswati, memastikan mereka suka dengan kamarnya sebelum kembali ke ruang keluarga. "Kalian juga istirahatlah," ujar Kakek Henry kepada Richard dan keluarganya. Nenek pun mengangguk dan menambahkan, “Kalian juga akan menginap, kan?" “Tidak, Mom. Kami akan pulang seb
Mobil yang membawa meraka akhirnya tiba dan berhenti di halaman rumah mereka. Nicholas mematikan layar tabletnya dan menoleh ke arah Ariana. “Apakah kau cukup dekat dengan semua mahasiswamu? apakah semua mahasiswa dengan begitu bebas bisa chattingan denganmu?” tanyanya dengan ngegas. “Aku tidak perlu menjelaskannya kepadamu,” jawab Ariana singkat. Tidak mendapatkan jawaban dari Ariana, Nicholas mengancam, “aku tidak akan bertanya, jika kau hanya berdiam diri di rumah. Perlukah seperti itu?” Ancaman itu berhasil membuat Ariana menjawab dengan benar. “Hanya sebatas masalah akademik, aku tidak melayani obrolan lain.” Ariana membuka pintu mobil dan bersiap turun. Namun, dia berhenti sejenak dan menoleh ke arah Nicholas yang masih duduk dengan santai di dalam mobil. Apakah dia akan pergi lagi? “Kau tidak turun?” tanya Ariana. “Aku bisa mengartikan pertanyaanmu sebagai ajakan tidur,” balasnya dengan nada menggoda. ‘Hah? Mengapa dari tadi selalu salah tanya?’ Pikir Ariana. “Ak
Duduk di kursi meja dapur, Ariana kembali melihat ponselnya. Pesannya tadi malam belum dibalas oleh Nicholas. Dengan perasaan gelisah, dia bertanya kepada Bibi Helen yang sedang merapikan meja. “Bibi, apakah Nicholas tadi malam pulang?” Bibi Helen menjawab sambil mengangguk, "Iya, Nyonya. Tuan pulang sekitar jam tiga pagi." Ariana mengangguk, memutuskan untuk menunggu Nicholas turun ke dapur. Dia ingin membicarakan sesuatu. Tetapi Nicholas tidak kunjung turun, tidak biasanya pria itu bangun kesiangan. Setelah menunggu beberapa lama, dia jadi penasaran. Ariana memutuskan untuk pergi ke kamar Nicholas. Dengan hati-hati, dia mengetuk pintu, dan membuka pintu perlahan. Dia mendengar suara napas berat dari dalam, dan melihat Nicholas masih berbaring di ranjang, wajahnya tampak pucat dan berkeringat. Napasnya terdengar tidak beraturan. "Nick?" Ariana memanggil dengan cemas sambil mendekati ranjang. Dia meletakkan punggung tangannya di kening Nicholas dan merasakan panas. "Dia de