Evan dan Elizabeth pergi ke luar kota sejak petang. Mereka berdua meninggalkan Pauline di rumah dengan Exel dan Hauri. Pauline sudah bangun sejak pukul lima, tepatnya sejak Mama dan Papanya pergi. Hingga kini, gadis itu duduk di dalam rumah, diam melamun mengusap perutnya sembari menatap suasana pagi yang berkabut. "Aku ingin memakan sesuatu yang manis," ucap Aleena menatap perutnya dan mengelusnya pelan. "Kau ingin makan dengan apa, Nak? Kenapa Mama ingin makan yang manis-manis?" Pauline tersenyum. "Emm ... jam segini di mana ada orang menjual cupcake rasa stroberi? Ingin sekali rasanya..." Pauline yang tengah sibuk mengusap perutnya, tiba-tiba ia melihat cahaya lampu mobil yang menyala dan sebuah mobil berwarna hitam berhenti di depan rumahnya. Bila penjaga depan mengizinkan orang itu masuk ke pekarangan rumah, berarti orang itu adalah orang terdekat keluarganya. Gadis itu beranjak seketika. "Siapa?" gumamnya. Pauline berjalan membuka pintu rumahnya, udara dingin dan kabut pu
Xander tidak pernah main-main dengan ucapannya. Malam ini, laki-laki itu mengunjungi kediaman Evan, tepat pukul setengah tujuh malam. Kedatangannya dibukakan pintu oleh Pauline, lagi-lagi. Gadis itu mendongak menatap Xander yang tersenyum padanya. "Ka-Kak Xander kenapa ke sini? Kak Exel sudah pulang dan—""Aku ingin bertemu dengan Adiknya Exel," jawab laki-laki itu membungkukkan badannya tepat di hadapan wajah Pauline. Kedua pipi Pauline bersemu. Gadis itu mundur satu langkah dan mengulurkan tangannya meminta Xander masuk. Tak lama kemudian, tampak Evan keluar dari dalam ruangan kerjanya. Dia tersenyum saat melihat sosok Xander masuk ke dalam rumah dan diikuti Pauline di belakangnya. "Ternyata ada tamu," ujar Evan tersenyum. "Iya, Om." "Kau sudah membuat janji dengan Exel? Apa kalian sengaja ketemuan di sini?" tanya Evan kini duduk di hadapan Xander. Dari belakang muncul Elizabeth. "Mungkin Exel sebentar lagi juga ke sini." Xander terkekeh. "Tidak Om, Tante. Saya tidak membua
Usai lelah berjalan-jalan ke sana dan kemari, Xander mengajak Pauline duduk di sebuah bangku kayu di sebuah taman yang masih menjadi satu kawasan dengan pasar malam. Pauline menatap beberapa barang yang ia beli. Wajahnya sangat antusias dan ceria, hingga membuat Xander juga merasa senang. "Kau tidak lelah?" tanya Xander sambil menyilakkan rambut panjang Pauline ke belakang telinga. "Tidak, Kak." Pauline menatap lampu hias di tangannya dan sebuah jepit mutiara yang Xander belikan untuknya. "Aku akan memakai jepit ini besok, saat pergi ke rumah sakit." Xander menatapnya dengan senyuman tipis. "Ke rumah sakit?" "Heem, besok ada jadwal cek kandunganku. Tapi aku akan meminta antar Paman Jericho saja ke sana, nanti aku masuk sendiri..." Pauline memasang wajah pias. "Rasanya aneh, kadang juga nelangsa ... saat semua orang datang bersama suami mereka. Tapi..." Gadis itu menyentuh perutnya di balik dress panjang berwarna kuning cerah itu. "Anakku tidak punya seorang Papa ... bahkan aku
"Tuan, sebentar lagi ada jadwal untuk bertemu dengan Tuan Wister pukul sepu—""Batalkan!" Xander menyela cepat. "Aku ada acara penting pagi ini." Julius yang berjalan di belakangnya pun langsung mencoret jadwal yang ditolak oleh Xander. Decakan kesal terdengar lagi dari bubur Xander. Laki-laki itu menatap jam di pergelangan tangannya yang sudah menunjukkan pukul setengah sembilan pagi. "Aku harus pergi sekarang juga," ujar Xander menatap ajudannya tersebut. "Tuan mau ke mana?" Alih-alih menjawab, Xander justru bergegas pergi saat itu juga meninggalkan Julius di lorong kantor. Xander keluar dari dalam kantornya, ia segera masuk ke dalam mobilnya dan melajukannya dengan kecepatan penuh sambil mengumpat-umpat. "Bagaimana bisa meeting ini memakan waktu lebih lama dari dugaanku!" geramnya. "Gadis itu, pasti sendiri!" **Sementara di suatu tempat, Pauline duduk seorang diri di sebuah bangku tunggu di dalam rumah sakit. Gadis itu menunggu antrean namanya dipanggil di dalam poli kand
Sepulang dari rumah sakit, Xander mengajak Pauline makan siang bersama di sebuah rumah makan mewah, yang berada di hotel bintang lima. Xander membebaskan Pauline untuk memilih makanan apapun yang diinginkan gadis itu. "Makan yang banyak, kalau ada yang ingin tambah bilang saja," ujar Xander menatapnya. "Emmm ... aku tadi tidak salah pilih menu kan, Kak?" tanyanya tiba-tiba. Ia menatap menu makanannya dan menatap lagi menu makanan milik Xander. Laki-laki itu paham, ia langsung menggeser piringnya ke hadapan Pauline. Barulah gadis itu tersenyum padanya. "Tidak marah, kan?" "Tidak, Pauline..." Xander mengusap pucuk kepala Pauline dengan lembut dan penuh kasih sayang. Gadis itu memakannya dengan lahap, Xander merasa lega melihat Pauline yang sangat bersemangat seperti ini. "Pauline, aku boleh bertanya sesuatu padamu...." Gadis itu mengangguk. "Tanya apa?" Xander tersenyum tipis, ia mengulurkan tangannya menyilakan rambut Pauline lagi ke belakang telinganya. "Kalau misalkan kau
Tiga jam lebih Pauline tertidur dengan menjadikan lengan kanan Xander sebagai sandarannya. Pegal dan kebas Xander rasakan, tapi tak sedikitpun laki-laki itu mengeluh atau mengalihkan kepala Pauline yang bersandar padanya.Hingga tak lama kemudian, sebuah mobil masuk ke dalam pekarangan rumah itu. "Di depan ada mobilnya Xander, tapi kenapa sepi sekali..." Suara Exel terdengar, diikuti derap langkah kaki. "Pauline juga tidak ada, Sayang." Suara Hauri menyahuti. Sampai akhirnya Exel menoleh ke arah ruang keluarga. Di sana tampak Xander melambai-lambai tangan padanya. "Itu mereka di sana," ujar Hauri. Hauri dan Exel melihat Pauline yang tertidur dalam pelukan Xander. "Loh, kenapa dia bisa tidur di sini?" tanya Exel menatap adiknya. "Iya. Aku menemaninya, dia di rumah sendirian. Aku baru saja mengantarkannya ke rumah sakit, dia mengeluh perutnya terasa sesak," jelas Xander dengan suara berbisik. Perlahan-lahan, Exel menarik lengan adiknya. Namun kegiatannya justru membuat Pauline
"Seharian ini nanti, aku tidak akan bertemu dengan Kak Xander. Semoga perjalanannya ke luar kota berjalan dengan lancar." Pauline tersenyum manis duduk di taman kota mendongak menatap langit.Gadis itu kini sering pergi seorang diri tanpa pengawasan siapapun dan semuanya aman-aman saja. Di rumah terus menerus membuat Pauline merasa jenuh dan bosan. Pauline tertunduk mengusap perutnya dengan lembut. "Sayang, jangan sedih, ya ... orang yang biasanya suka menggodamu sekarang sedang pergi," ujarnya. "Dia tidak akan pergi lama-lama." Tak sekali dua kali Pauline selalu berbincang-bincang dengan bayi dalam kandungannya, karena ia yakin anaknya pasti akan mendengarkannya. "Om Xander memberikan nama Alicia untukmu, Sayang," ujar Pauline. "Alicia Bernadette?" Memikirkan hal itu membuat Pauline terkekeh gemas. Nama yang disiapkan oleh Xander untuk anak Pauline ternyata sangat lucu. Alicia adalah nama menggemaskan untuk anak perempuan. Pauline tidak sabar, ia ingin segera bertemu dengan a
Decakan sebal terdengar dari bibir Xander. Laki-laki itu menyergah napasnya panjang menatap layar ponselnya, sebelum ia menyugar rambut cokelatnya dengan kasar. "Kenapa dia tidak membalas semua pesanku sejak pagi," gerutu Xander bingung. "Tak biasanya Pauline mengabaikan pesanku." Laki-laki itu memijit pelipisnya dan duduk di dalam sebuah ruangan di kantor milik Kakeknya malam ini. Ditemani oleh Julius yang masih sibuk dengan beberapa berkas di hadapannya. Berbeda dengan Xander yang sejak tadi bingung dengan kabar Pauline. "Kenapa, Tuan? Sepertinya cemas sekali..." Julius menatap Xander. "Pauline tidak membalas satupun pesanku," jawab Xander. "Entah kenapa ... aku kepikiran dengannya." "Kenapa tidak coba Tuan hubungi saja?"Xander menghela napasnya pelan. Ia melirik ke arah jarum jam yang sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Menghubungi Pauline di jam malam seperti ini? Apa ia tidak mengganggu jam tidurnya?Apa boleh buat, rindu di hatinya tidak akan hilang bila ia hanya diam
Di hadapan Evan dan Elizabeth saat ini, Xander tampak tenang dan terlihat jelas wajah antusiasnya ingin mengajak Pauline pergi bersamanya. Evan tahu kalau Xander bukanlah pemuda yang suka macam-macam. Hingga ia tidak keberatan mengizinkan Pauline pergi dengannya. "Om titip Pauline padamu, Xander. Jaga putriku baik-baik," ujar Evan pada Xander. "Iya, Om. Jangan khawatir ... Pauline sangat patuh pada saya," ujarnya terkekeh.Mendengar hal itu, Pauline hanya diam dan berdiri di samping Xander sebelum laki-laki itu merangkul pundaknya. Ekspresi antusias di wajah Xander membuat Pauline terheran-heran. Semakin ia menjauhi Xander maka semakin pula Xander mendekatinya. "Ayo, kita berangkat sekarang," ajak Xander."Iya," jawab Pauline mengangguk. Gadis itu menatap Mama dan Papanya. Elizabeth hanya tersenyum seolah memberikan semangat pada Pauline. Mereka berdua pun bergegas pergi. Xander mengajak Pauline masuk ke dalam mobilnya. Laki-laki itu mengemudikan mobil miliknya dan sesekali mel
Xander merasa sedikit patah hati setelah mengetahui kondisi Pauline. Gadis itu kehilangan keceriaan di wajahnya dan membuat Xander kepikiran. Apalagi saat gadis itu untuk kesekian kalinya mengatakan kalau Xander adalah laki-laki yang tidak pantas untuk Pauline karena kekurangan yang Pauline miliki. "Hahhh ... menyebalkan sekali laki-laki bernama Arthur Rowand itu! Seperti apa wajah bajingan itu!" seru Xander sembari meletakkan dengan kasar gelas berisi wine di tangannya. "Arthur Rowand itu cucu angkat dari keluarga Rowand, Tuan. Dia hanya boneka yang diperalat Keluarga Rowand untuk balas dendam, entah kesalahan apa yang pernah dilakukan Tuan Evan pada Keluarga Rowand, sampai Arthur melakukan hal itu pada Nona Pauline." Julius yang berdiri di sampingnya pun menjelaskan. Ekor matanya melirik Xander. "Tuan jangan minum banyak-banyak, Tuan sudah mabuk..." "Kepalaku pening, Pauline kembali ragu padaku!" Xander tertunduk mengusap wajahnya. "Tuan bisa kembali meyakinkan Nona Pauline. M
Ditemani oleh Xander sejak pagi, Pauline merasa jauh lebih tenang. Apalagi Xander sangat sabar menjaganya, dan mencoba mengalihkan kesedihan di hati Pauline. Gadis itu kini tengah berbaring di atas ranjang, demamnya masih belum turun sejak semalam. Xander duduk di samping Pauline dan menggenggam erat tangannya. "Kau tidak boleh demam lama-lama," bisik Xander mengecup punggung tangan Pauline. "Aku pulang untukmu..." Pauline menatap wajah tampan itu dengan tatapan sayu. "Kenapa pulang cepat? Kakak meninggalkan pekerjaan Kakak di sana?" tanya gadis itu. "Tidak. Aku pulang karena aku sangat merindukan kalian," jawab Xander. "Aku sangat merindukanmu, dan anak cantikku," bisik Xander mengusap lembut perut Pauline. Hal itu membuat Pauline merasa senang, sekaligus sedih. Bayangan kemarin masih jelas di depan matanya sosok Arthur yang muncul dengan wajah dingin tanpa rasa bersalahnya. Aleena mencekal tangan Xander yang menyentuh perutnya. Gadis itu menatap nanar langit-langit kamarnya.
Decakan sebal terdengar dari bibir Xander. Laki-laki itu menyergah napasnya panjang menatap layar ponselnya, sebelum ia menyugar rambut cokelatnya dengan kasar. "Kenapa dia tidak membalas semua pesanku sejak pagi," gerutu Xander bingung. "Tak biasanya Pauline mengabaikan pesanku." Laki-laki itu memijit pelipisnya dan duduk di dalam sebuah ruangan di kantor milik Kakeknya malam ini. Ditemani oleh Julius yang masih sibuk dengan beberapa berkas di hadapannya. Berbeda dengan Xander yang sejak tadi bingung dengan kabar Pauline. "Kenapa, Tuan? Sepertinya cemas sekali..." Julius menatap Xander. "Pauline tidak membalas satupun pesanku," jawab Xander. "Entah kenapa ... aku kepikiran dengannya." "Kenapa tidak coba Tuan hubungi saja?"Xander menghela napasnya pelan. Ia melirik ke arah jarum jam yang sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Menghubungi Pauline di jam malam seperti ini? Apa ia tidak mengganggu jam tidurnya?Apa boleh buat, rindu di hatinya tidak akan hilang bila ia hanya diam
"Seharian ini nanti, aku tidak akan bertemu dengan Kak Xander. Semoga perjalanannya ke luar kota berjalan dengan lancar." Pauline tersenyum manis duduk di taman kota mendongak menatap langit.Gadis itu kini sering pergi seorang diri tanpa pengawasan siapapun dan semuanya aman-aman saja. Di rumah terus menerus membuat Pauline merasa jenuh dan bosan. Pauline tertunduk mengusap perutnya dengan lembut. "Sayang, jangan sedih, ya ... orang yang biasanya suka menggodamu sekarang sedang pergi," ujarnya. "Dia tidak akan pergi lama-lama." Tak sekali dua kali Pauline selalu berbincang-bincang dengan bayi dalam kandungannya, karena ia yakin anaknya pasti akan mendengarkannya. "Om Xander memberikan nama Alicia untukmu, Sayang," ujar Pauline. "Alicia Bernadette?" Memikirkan hal itu membuat Pauline terkekeh gemas. Nama yang disiapkan oleh Xander untuk anak Pauline ternyata sangat lucu. Alicia adalah nama menggemaskan untuk anak perempuan. Pauline tidak sabar, ia ingin segera bertemu dengan a
Tiga jam lebih Pauline tertidur dengan menjadikan lengan kanan Xander sebagai sandarannya. Pegal dan kebas Xander rasakan, tapi tak sedikitpun laki-laki itu mengeluh atau mengalihkan kepala Pauline yang bersandar padanya.Hingga tak lama kemudian, sebuah mobil masuk ke dalam pekarangan rumah itu. "Di depan ada mobilnya Xander, tapi kenapa sepi sekali..." Suara Exel terdengar, diikuti derap langkah kaki. "Pauline juga tidak ada, Sayang." Suara Hauri menyahuti. Sampai akhirnya Exel menoleh ke arah ruang keluarga. Di sana tampak Xander melambai-lambai tangan padanya. "Itu mereka di sana," ujar Hauri. Hauri dan Exel melihat Pauline yang tertidur dalam pelukan Xander. "Loh, kenapa dia bisa tidur di sini?" tanya Exel menatap adiknya. "Iya. Aku menemaninya, dia di rumah sendirian. Aku baru saja mengantarkannya ke rumah sakit, dia mengeluh perutnya terasa sesak," jelas Xander dengan suara berbisik. Perlahan-lahan, Exel menarik lengan adiknya. Namun kegiatannya justru membuat Pauline
Sepulang dari rumah sakit, Xander mengajak Pauline makan siang bersama di sebuah rumah makan mewah, yang berada di hotel bintang lima. Xander membebaskan Pauline untuk memilih makanan apapun yang diinginkan gadis itu. "Makan yang banyak, kalau ada yang ingin tambah bilang saja," ujar Xander menatapnya. "Emmm ... aku tadi tidak salah pilih menu kan, Kak?" tanyanya tiba-tiba. Ia menatap menu makanannya dan menatap lagi menu makanan milik Xander. Laki-laki itu paham, ia langsung menggeser piringnya ke hadapan Pauline. Barulah gadis itu tersenyum padanya. "Tidak marah, kan?" "Tidak, Pauline..." Xander mengusap pucuk kepala Pauline dengan lembut dan penuh kasih sayang. Gadis itu memakannya dengan lahap, Xander merasa lega melihat Pauline yang sangat bersemangat seperti ini. "Pauline, aku boleh bertanya sesuatu padamu...." Gadis itu mengangguk. "Tanya apa?" Xander tersenyum tipis, ia mengulurkan tangannya menyilakan rambut Pauline lagi ke belakang telinganya. "Kalau misalkan kau
"Tuan, sebentar lagi ada jadwal untuk bertemu dengan Tuan Wister pukul sepu—""Batalkan!" Xander menyela cepat. "Aku ada acara penting pagi ini." Julius yang berjalan di belakangnya pun langsung mencoret jadwal yang ditolak oleh Xander. Decakan kesal terdengar lagi dari bubur Xander. Laki-laki itu menatap jam di pergelangan tangannya yang sudah menunjukkan pukul setengah sembilan pagi. "Aku harus pergi sekarang juga," ujar Xander menatap ajudannya tersebut. "Tuan mau ke mana?" Alih-alih menjawab, Xander justru bergegas pergi saat itu juga meninggalkan Julius di lorong kantor. Xander keluar dari dalam kantornya, ia segera masuk ke dalam mobilnya dan melajukannya dengan kecepatan penuh sambil mengumpat-umpat. "Bagaimana bisa meeting ini memakan waktu lebih lama dari dugaanku!" geramnya. "Gadis itu, pasti sendiri!" **Sementara di suatu tempat, Pauline duduk seorang diri di sebuah bangku tunggu di dalam rumah sakit. Gadis itu menunggu antrean namanya dipanggil di dalam poli kand
Usai lelah berjalan-jalan ke sana dan kemari, Xander mengajak Pauline duduk di sebuah bangku kayu di sebuah taman yang masih menjadi satu kawasan dengan pasar malam. Pauline menatap beberapa barang yang ia beli. Wajahnya sangat antusias dan ceria, hingga membuat Xander juga merasa senang. "Kau tidak lelah?" tanya Xander sambil menyilakkan rambut panjang Pauline ke belakang telinga. "Tidak, Kak." Pauline menatap lampu hias di tangannya dan sebuah jepit mutiara yang Xander belikan untuknya. "Aku akan memakai jepit ini besok, saat pergi ke rumah sakit." Xander menatapnya dengan senyuman tipis. "Ke rumah sakit?" "Heem, besok ada jadwal cek kandunganku. Tapi aku akan meminta antar Paman Jericho saja ke sana, nanti aku masuk sendiri..." Pauline memasang wajah pias. "Rasanya aneh, kadang juga nelangsa ... saat semua orang datang bersama suami mereka. Tapi..." Gadis itu menyentuh perutnya di balik dress panjang berwarna kuning cerah itu. "Anakku tidak punya seorang Papa ... bahkan aku