Evan menepati janjinya pada anak dan istrinya. Saat musim semi tiba, mereka pergi ke pantai bersama-sama.Semenjak Elizabeth datang ke Berlin beberapa tahun yang lalu, ia belum pernah pergi ke pantai. Dan salah satu mimpi Elizabeth adalah dapat menikmati indahnya pantai bersama orang yang dia sayangi. Seperti saat ini, Elizabeth berdiri terkagum-kagum melihat hamparan lautan biru yang indah, dan pasir putih yang dia pijak terasa begitu lembut. "Pantainya sangat cantik," ujar wanita itu tersenyum. "Heem, ayo ke sana," ajak Evan menggenggam tangan istrinya. Sementara Exel dan Pauline berjalan di depan mereka. Anak-anak juga sangat menikmati momen ini. "Papa, itu tempat apa?" tanya Pauline menunjuk ke arah sebuah restoran yang berada di atas laut dan jembatan kayu sebagai jalannya. "Itu restoran, Sayang. Pauline mau ke sana?" tawar Evan pada si kecil. "Tidak mau, Pa. Pauline mau main air," jawabnya menunjuk ke arah air laut dengan ombak yang tenang. "Exel juga!" seru Exel dengan
Beberapa Tahun Kemudian..."Kakek sudah tua, Exel. Segeralah menikah dengan gadis pilihan Kakek, dan gantikan posisi Kakek di perusahaan." Ungkapan itu begitu mudahnya terucap dari bibir Arshen. Laki-laki tua itu menatap pemuda tampan berbalut tuxedo hitam yang duduk menyilangkan kedua kakinya sembari membuka-buka berkas. Exel Vallen Collin, kini telah menjadi seorang laki-laki muda yang tampan, menawan, berkarisma, dan sukses. Tak kalah dari Papanya, dia sangat ahli dalam bidang bisnis hingga namanya cukup dikenal di kalangan para pebisnis di kota Berlin. Tapi, kini rupanya sang Kakek mencoba mengusik ketenangannya. "Exel..." Arshen kembali memanggilnya. "Aku sudah punya kekasih, Kek. Tidak perlu menjodohkan aku dengan gadis manapun," jawab Exel tenang. "Apa kau yakin dengan bibit dan bobot kekasihmu itu? Pastikan kalau dia gadis yang baik, Exel!" seru Arshen dengan lekat menatap Cucunya. Exel mendengus pelan, pemuda itu meletakkan sebuah berkas ke atas meja dengan sedikit kas
Usai mengantarkan Pauline ke kampusnya, Exel pun bergegas ke kantor perusahaan milik Papanya, dan tempat di mana ia bekerja. Menjadi tangan kanan Papanya, tidak luput dari segala tanggung jawab besar yang setiap hari dilakukan oleh Exel. Termasuk harus patuh meeting dalam jam-jam tertentu. Setibanya di kantor, Exel pun bergegas masuk ke dalam ruangannya di lantai sepuluh. Laki-laki itu melepaskan mentel hangatnya dan berjalan dengan tegas. "Selamat pagi, Tuan Exel," sapa Jericho mengangkat tangannya pada Exel. "Heem, Papa belum datang kan, Paman?" tanya Exel. "Papa tidak datang dalam meeting hari ini, Tuan. Kan, Opa Arshen sedang berkunjung ke sini. Jadi, Tuan Exel yang harus ikut meeting menggantikan Tuan Evan," jawab Jericho menjelaskan. Exel berdecak kesal. "Aku sudah menduganya." "Oh ya, Tuan Muda ... beberapa menit yang lalu ada tamu yang mencari Tuan dan ingin mengatakan sesuatu. Katanya, beliau kenal dekat dengan Tuan, mungkin teman Tuan. Jadi saya meminta penjaga mengiz
Exel kembali ke rumahnya, pemuda itu benar-benar meninggalkan meeting pagi ini dan ia meminta Jericho untuk menggantikannya. Sesampainya di rumah, Exel sudah disambut oleh tatapan Evan lengkap dengan amarahnya. "Kenapa pulang?! Meetingnya bagaimana, Exel?!" pekik Evan pada putranya. "Di mana Opa?" tanya Exel dengan nada dinginnya. "Opa ada di kamarnya! Sekarang jelaskan pada Papa, kenapa kau pulang?!" Evan menarik lengan Exel. Exel tidak menjawab, ia meloloskan lengannya hingga benar-benar terlepas dari cekalan sang Papa.Benar-benar Evan tidak mengerti cara berpikir Exel. Laki-laki itu mengusap wajahnya lelah. "Anak itu ... ada-ada saja!" geram Evan menggeleng-gelengkan kepalanya. Exel melangkah ke sebuah kamar di mana Arshen berada saat ini. Saat Exel membuka pintu kamar itu, nampak Arshen menatapnya dengan tatapan yang tidak kaget lagi. "Mau apa?" tanya Arshen dengan wajah malas. "Opa, ada yang ingin aku bicarakan," ujar Exel menunduk di hadapan sang Opa. Arshen menaikka
Seorang gadis cantik berambut panjang sepunggung nampak tengah menangis di dalam sebuah kamar. Gadis berkulit putih bermata sipit itu menenagis memeluk tubuhnya sendiri saat merasakan ngilu di kening dan sudut bibirnya yang kini telah lebam. "Ingat! Aku menikahimu itu hanya jaminan hutang! Tapi kau jual mahal seolah tidak mau sentuh! Dirimu itu murah, hanya dua ratus juta setara hutang Papamu yang tidak bisa kau bayar!" Teriakan keras menggema di dalam kamar itu. Seorang laki-laki yang notabenenya menjadi suami selama baru dua minggu itu, sudah berani bermain tangan berkali-kali dalam satu mingguan ini. Hauri menyeka darah di sudut bibirnya. "Aku sudah bilang padamu, kan? Aku akan mengganti uang itu, Robert!" pekik Hauri. "Halahh ... omong kosong!" Robert mendongakkan kepalanya dan tertawa. Laki-laki itu kembali mendekati Hauri dan menarik dagunya dengan sangat erat. "Aku ini suamimu, Hauri! Kau jangan jual mahal padaku, aku hanya ingin kau melayaniku, tapi kau sel
Paris-Prancis, Exel sudah sampai di negara itu pagi tadi. Ditemani oleh Jasper, yang sengaja diperintah oleh Evan untuk menemani Exel setiap waktu di Prancis.Exel melepaskan mantel hangatnya berwarna cokelat dan meletakkan di sofa, saat Bibi Alviz menyambut kedatangannya. "Tuan Exel, tidak terasa entah berapa tahun lamanya kita tidak bertemu, sekarang Tuan sudah dewasa dan sangat tampan," ujar Bibi Alviz memuji Exel. Exel hanya tersenyum kecil, pemuda itu melangkah membuka gorden ruang keluarga dan menatap ke pekarangan rumah sebelah di mana rumah Hauri berada. "Apa dia masih di sana, Bi?" tanya Exel dengan nada datar. Bibi Alviz mendekati Exel dan menggelengkan kepalanya. "Tidak Tuan. Hauri pindah setelah rumah itu diambil alih oleh pihak bank, Mamanya pergi entah ke mana meninggalkan hutang dua ratus juta, hingga Hauri diminta menikah dengan anak orang yang dihutangi Mamanya. Dan ... Hauri—""Di mana dia sekarang tinggal, Bi?" tanya Exel tanpa basa-basi. "Anu Tuan, setahu say
"Ka-kau Hauri?!" Exel mencekal lengan gadis itu. Namun, Hauri yang terkejut dan ketakutan, dia menarik lengannya cepat dan berusaha berdiri. Hauri mengenali wajah tampan di depannya ini, mereka sama-sama mengenali. Namun gadis itu melepaskan tangan Exel begitu saja, berusaha terus membuang muka. "A-aku harus pergi..." Hauri hendak pergi, namun Exel menarik lengannya saat itu juga hingga gadis itu terhuyung ke arahnya. Semakin gemetar tubuh Hauri saat ini, dia berusaha tertunduk dan menyembunyikan wajahnya. Sementara Exel tidak melepaskan cengkeramannya. "Hauri, kau adalah Hauri ... ini aku, aku Exel!" pekik laki-laki itu mencoba membuat Hauri untuk menatapnya. "Aku—" Hauri menatapnya ragu dan menggeleng-gelengkan kepalanya. "Aku Exel, kekasihmu!" Exel kali ini berteriak, dia mencekal kedua pundak Hauri dengan cengkeraman erat. Sampai akhirnya Hauri mengangkat wajahnya dan kedua matanya berkaca-kaca buram menatap laki-laki di depannya itu. Exel tercengang melihat wajah Hauri
'Luka lebam yang terdapat pada pasien adalah bekas luka pukul. Dan ada cidera di kepalanya bagian belakang. Pasien harus benar-benar diperhatikan kondisinya, karena kemungkinan besar dapat merusak salah satu sarafnya.' Penjelasan dokter beberapa menit yang lalu membuat kepala Exel seperti kosong. Laki-laki itu berdiri membawa kertas hasil pemeriksaan di tangannya. Exel terdiam, tercengang, dan merasa bersalah. "Harusnya aku segera ke sini jauh-jauh hari. Kenapa? Kenapa aku membiarkan hal ini terjadi padamu, Hau..." Rasa sedih, penyesalan yang mendalam terasa oleh Exel. Pasti kekasihnya itu menyembunyikan hal besar dari Exel, dan Hauri sengaja tidak memberitahukan padanya tentang semua ini. Exel berjalan meninggalkan ruangan dokter. Langkahnya mengantarkan ia menuju ke ruangan di mana Hauri dirawat. Perlahan, Exel membuka pintu kaca di depannya dan melangkahkan kakinya masuk ke dalam sana. "Hauri..." Suara Exel bergetar saat menatap wajah Hauri yang ternyata memiliki beberapa l
Pernikahan yang dinanti-nantikan sekaligus tak pernah dibayangkan oleh Pauline pun kini terjadi. Menjadi istri seorang Xander Spencer adalah hal yang tak jauh berbeda dengan sebuah mimpi. Dulu, Pauline tidak berani hanya sekedar untuk membayangkannya saja. Tetapi, takdir berkata lain. Hari ini, Pauline dan Xander sudah resmi menjadi sepasang suami istri. Pauline resmi menjadi istri dari seorang Xander Spencer setelah acara pernikahan mereka diselenggarakan di gedung hotel milik Keluarga Collin pagi ini. Semua keluarga mengucapkan selamat pada mereka, termasuk Exel dan juga Hauri yang turut ikut merasa senang di hari bahagia adik mereka. "Selamat ya, Sayang ... akhirnya kau membuka lembaran baru dengan seseorang yang kau cintai dan yang mencintaimu," ujar Exel memeluk Pauline. "Berjanjilah untuk hidup bahagia dengan Xander." Pauline mengeratkan pelukannya pada sang Kakak dan ia mengangguk kecil. "Iya, Kak. Terima kasih..." Pelukan mereka pun terlepas, Pauline menatap Hauri yang
Pauline tidak pernah memikirkan yang namanya pernikahan sebelumnya. Ia hanya ingin hidup berdua dan membesarkan Alicia. Itulah harapannya awal mula. Namun, ternyata takdir berkata lain. Pauline justru akan menikah dengan laki-laki yang dulu pernah ia tinggalkan karena sakit hati, dan terlebih lagi laki-laki itu begitu lapang dada menerima Alicia dan mengakui sebagai anaknya sendiri. "Hei, kenapa melamun?" Suara Xander membuat Pauline tersentak pelan. Gadis itu menoleh pada Xander yang kini berdiri di sampingnya. Xander langsung memeluk Pauline dari belakang dan menyandarkan kepalanya di pundak gadis itu. "Kenapa?" Pauline mendongak menatapnya dengan senyuman tipis. "Katanya aku harus duduk diam, kau sendiri yang mau memilihkan gaun pernikahan kita," ujar Pauline. "Heem, tunggu sebentar. Tante Helen masih memilihkan yang pas untukmu," jawab Xander, seraya melepaskan pelukannya. Laki-laki itu pun berpindah duduk di samping Pauline. Saat ini, mereka berada di butik milik salah sat
Xander mengantarkan Pauline pulang, kedatangannya disambut oleh Evan dan Elizabeth. Mereka tampak cemas dan was-was, pasalnya selama bertahun-tahun ini Pauline tidak pernah berhubungan dengan laki-laki manapun. Meskipun Evan merestui hubungan mereka, tapi tentu saja ia panik dan cemas bila putrinya tidak pulang-pulang. Kini mereka bertiga baru saja pulang, tampak Alicia bersemangat dan kesenangan dalam gendongan Xander. "Opaa...!" Anak perempuan itu mengulurkan tangannya dan berlari ke arah Evan dengan wajah berseri-seri. Evan dan Elizabeth pun tersenyum. "Aduh, kenapa Cucu Opa tidak pulang-pulang!" seru Evan, saat cucunya turun dari gendongan Xander dan berlari ke arahnya. Alicia langsung memeluk Evan, sedangkan Pauline dan Xander kini duduk di sofa. Mereka duduk berjajar dan Pauline tampak menundukkan kepalanya. "Maaf ya, Pa. Aku tidak bisa pulang kemarin. Pauline tidur pulas, aku ... aku juga sama," ujar Pauline merasa bersalah. Evan mengangguk. "Tidak apa-apa, asal kau ber
"Pauline, Sayang bangun ... pindahlah tidur di kamar. Jangan tidur di sini. Alicia sudah tidur di kamar atas." Xander menepuk pipi Pauline dengan sangat lembut sampai gadis itu terbangun dan terkejut saat ia menyadari tertidur di rumah Xander. "Kak..." Laki-laki itu tersenyum. "Pindah ke kamar, tidurlah di sana temani Alicia. Aku akan melanjutkan pekerjaanku dulu." Pauline langsung bangun dan ia menoleh ke arah jam dinding yang sudah menunjukkan pukul setengah dua belas malam. Gadis itu tertunduk. "Bagaimana bisa aku ketiduran sampai jam segini?" lirih Pauline. "Bagaimana aku pulangnya?" "Kan aku sudah bilang, tidurlah di sini. Biar aku yang telfon Papa. Di luar juga udara sangat dingin, kasihan Alicia, Sayang." Xander mengusap lengan kecil Pauline. Gadis itu mengangguk patuh dan ia beranjak dari duduknya. Kedua mata mengantuknya pun tertuju lagi pada Xander. "Janji ya, Kak, teflon Papa," ujarnya. "Iya, Sayang." Barulah Pauline tersenyum tipis. "Baiklah, kalau begitu aku ke
"Ma ... Alicia boleh tidak, tinggal di sini sama Mama dan Papa?" Anak perempuan dengan rambut cokelat dikuncir dua itu berdiri di samping sang Mama. Alicia yang menggemaskan tampak mendongak menatap wajah sang Mama. Pauline yang tengah membuatkan kopi untuk Xander di dapur rumah laki-laki itu, ia pun lantas menoleh dan tersenyum pada Alicia yang murung dan mengeluh di sampingnya. "Kita punya rumah sendiri, Sayang." Bibir Alicia cemberut, anak itu menarik-narik ujung blouse yang Pauline pakai. "Tapi Ma, Alicia mau seperti Kak Varo dan Kak Vano, mereka tinggal dengan Tante Mama dan Papa Exel. Masak Alicia hanya tinggal sama Mama, terus Oma dan Opa? Papa tinggal sendirian, kasihan Papa, Ma..." Alicia memprotes sang Mama. Dari arah ruang tengah, Xander yang mendengar perbincangan Alicia dan Pauline, ia tersenyum. Anak kecil mungil itu memang sangat menyayanginya selayaknya Papanya sendiri. Dengan jelas ia mendengar Alicia merengek pada sang Mama dan ia ingin tinggal bersamanya. Per
Setelah pergi jalan-jalan, Xander mengajak Pauline dan Alicia ke rumahnya. Pauline pikir Xander tetap tinggal di rumah lamanya, tapi ternyata ia salah, Xander telah memiliki rumah sendiri yang jauh lebih megah. Kini, Pauline melangkah masuk ke dalam rumah. Ia berjalan di belakang Xander yang melangkah di depannya sembari menggendong Alicia yang terlelap dalam dekapannya. "Kak, tidurkan di sofa saja, tidak apa-apa," ujar Pauline tidak enak hati. "Kenapa harus di sofa? Di lantai satu banyak kamar, lantai dua juga ada," jawab Xander sambil berjalan menaiki anak tangga. "Tapi kan—""Anggap saja rumah ini rumahmu sendiri, Sayang," sela Xander. Panggilan Sayang yang Xander lontarkan membuat Pauline terdiam. Ia teringat saat beberapa tahun lalu, Xander memanggilnya dengan panggilan itu dan terdengar sangat romantis. Sampai akhirnya Pauline kembali melangkah naik mengikuti Xander. Mereka masuk ke dalam sebuah kamar. Kamar bernuansa abu-abu dan putih, memiliki ranjang king size di teng
Pauline terus merenung setelah ia mendapatkan nasihat dari sang Papa. Diamnya membuat Xander yang kini bersamanya pun tampak tak biasa. Laki-laki itu memperhatikannya dan ikut merasakan ada yang lain dengan Pauline. "Kenapa diam saja?" tanya Xander menatapnya dan menarik lengan Pauline sambil memangku Alicia. Pauline menoleh cepat dan menggelengkan kepalanya. "Tidak apa-apa. Emm ... hanya berpikir cuacanya semakin dingin." "Ya, tapi Alicia tidak mau pulang," jawab Xander menahan Alicia yang ada di pangkuannya dan tampak masih ingin bermain lagi di taman. Anak kecil perempuan itu mendongak dan menggelengkan kepalanya. "Ma, Alicia masih mau main sama Papa, nanti kalau Papa pulang, biar Alicia tidak menangis lagi," ujar anak itu. Pauline tersenyum dan mengangguk. "Iya, Sayang. Main sepuasnya di taman, ditemani Papa. Mama akan di sini memperhatikan kalian." Jawaban yang Pauline berikan membuat Xander terdiam dan menatapnya dengan dalam. Rasanya seperti tidak biasa melihat ekspres
Suara gema tangisan Alicia menggelegar di dalam rumah Evan. Alicia marah saat ia bangun tidur, Xander tidak ada di sana, hingga membuat anak itu menangis mencari sosok yang ia panggil 'Papa' tersebut. Tangisannya membuat semua orang heboh pagi ini. Sampai Evan dan Elizabeth ikut berusaha menenangkannya cucu kesayangannya. "Sayang, sudah jangan menangis ... nanti Papa Xander akan ke sini, kok," bujuk Elizabeth menggendong Cucunya. "Huwaa ... maunya sekarang, Oma! Alicia maunya sekarang! Huwaa ... Papamu di mana?!" jerit Alicia menangis. Sedangkan Pauline kini berada di lantai dua, gadis itu tengah mencoba menghubungi Xander. Namun hingga berkali-kali panggilannya tidak dijawab oleh Xander meskipun terhubung. Pauline sampai mondar-mandir dengan kepala pening. Sejak petang dia menggendong Alicia yang rewel mencari Xander. "Mama!" pekik Alicia dari lantai satu. "Huwaa ... Mama!" Gegas Pauline turun ke lantai satu dan segera mendekati putrinya yang kini berjalan ke arahnya sambil me
Pauline dan Xander sampai di wahana akuarium raksasa. Di sana, Alicia terlihat sangat senang. Bahkan anak itu tidak mau turun dari gendongan Xander sejak mereka sampai. Tak hanya diam, Pauline pun sesekali mengambil momen dengan membuat video tentang Alicia yang digendong oleh Xander. "Wahh ... Papa! Itu ikannya besar!" pekik anak perempuan itu menunjuk seekor ikan di dalam akuarium raksasa. "Itu ikan apa, Papa?" "Itu ikan paus, Sayang," jawab Xander. "Ikan paus juga punya Mama dan Papa, juga?" tanyanya dengan polos. "Tentu saja punya," jawab Xander terkekeh. Pauline berdiri di samping Xander dan wanita itu menunjukkan gerombolan ikan-ikan cantik di sana. "Itu bagus ya," ujarnya. "Hm." Xander mengangguk. "Apa kau tidak pernah jalan-jalan saat Prancis?" "Tidak pernah. Alicia sangat nakal. Aku pernah mengajaknya ke taman bermain saat itu, hanya berdua, tapi aku awalnya ingin membiarkannya mendapatkan teman, tapi baru beberapa menit, belum ada satu jam sudah jat