TIDAK sampai lima belas menit, Riri sudah mengganti pakaian bahkan menggunakan make up sederhana. Raffa yang menunggu di pintu masuk hanya dibuat terperangah melihat kecepatan Riri membenahi diri.
"Ayo, nanti Evan kelamaan nunggu!"
Riri bahkan berani menarik tangan Raffa, mengabaikan amarahnya yang sempat memuncak pada Raffa sebelum ini. Pria itu menghela napas kasar, dia membiarkan tubuhnya ditarik-tarik oleh perempuan yang tampak cantik, tapi tidak berlebihan di depannya ini.
Dengan rambut digerai, kaus putih, dan celana jin hitam, Riri terlihat sangat menakjubkan. Lalu, tatapannya beralih pada pakaiannya sendiri. Jas hitam khas pegawai kantor, ditambah kemeja, tak lupa dasi yang benar-benar membuatnya terlihat membosankan.
"Ayo, Raffa! Lama banget sih jalannya?"
"Bentar, lo nggak mau pamitan?"
Riri berhenti, Raffa berdiri di sampingnya. Mereka saling tatap sebentar, se
BUKANNYA senang, Evan terus mengatupkan mulut sejak bergabung dengan Raffa. Awalnya, Evan menyambut Riri dengan senyum semringah, tapi ketika Riri membawanya pada Raffa, entah kenapa senyumannya menguap ke udara."Jadi, calon istrinya Om Raffa itu Tante?" tanyanya, sewaktu ia dan Riri duduk berdua di kursi belakang."Siapa yang bilang?""Daddy, Om Raffa juga bilang mau jemput Evan bareng sama calon istriya."Raffa melirik melalui kaca spion, ekspresi keponakannya benar-benar mengusik. Apa Evan tidak suka Riri dan dirinya menikah?"Hm." Riri memegangi dagunya seraya mendongak, ekspresi berpikir yang sukses membuat Raffa menatapnya dengan tatapan aneh. "Gimana bilangnya, ya?"Evan menatap penuh tuntutan, dia ingin mendengarnya secara langsung, atau dia akan membenci om-nya mulai sekarang."Tante dilamar, sih, tapi Tante belum bilang iya, jadi, status Tante s
"EVAN Sayang!" teriak Riri begitu Evan dan Nayla kembali, di tangan mereka ada kantung plastik yang ia yakini berisi es krim. Riri hafal betul apa kesukaan bocah laki-laki itu."Tante udah balik?"Riri mengernyitkan dahinya tak mengerti, dia menatap Nayla yang juga tengah menatapnya penasaran. "Emang Tante abis dari mana?""Katanya mau kencan?" Evan melengos, dia mengabaikan Riri dan hal itu berhasil membuat dada wanita itu sesak bukan main."Siapa juga yang kencan, orang nggak jadi, tadi Om kamu itu langsung balik kanan maju jalan.""Apaan deh, Ri, kayak tentara aja bahasa lo." Nayla menggeleng-geleng, sebelum kembali menatap putranya. "Mommy kerja dulu, ya? Kalau kamu mau apa-apa, panggil Mommy, atau minta tolong aja sama Tante Riri, lo nggak ke mana-mana, kan, Ri?"Riri menggeleng. "Gue laper, Kak, bikinin apa gitu. Si Raffa nggak jadi ngajakin makan, gue kelaperan ini belum
MALAM paling haram untuk para kaum jomlo seperti dirinya. Hanya bisa diam di rumah dan memejamkan mata, berharap bisa lebih cepat tidur dan esok segera menyapa, nyatanya tidak bisa.Riri bangun dari posisi rebahan dan mulai mendekati laptop. Daripada pusing mikirin malam minggu penuh kejomloan, lebih baik dia pergi berkencan dengan kekasih dari dunia lainnya.Ah ... para kekasihnya yang tampan.Layar menyala, jari siap mengetik kelanjutan cerita, saat ponselnya berdering. Nomor tak dikenal membuatnya curiga kalau itu nomor Raffa, daripada mengangkat, dia lebih suka mengabaikan.Sudah cukup hari-harinya dikelilingi Raffa terus menerus. Belum genap satu minggu, dia sudah terbiasa dengan lelaki playboy satu itu, karena Raffa terus mencari cara agar mereka bertemu, bersama, berdua, entah ngobrol apa saja bahkan nyari masalah hingga mereka bertengkar."Ck, si Kadal ini apa nggak bisa
"YAKIN enggak mau ganti baju dulu?" tanya Raffa sewaktu Riri masuk ke mobilnya."Ngapain?"Raffa mendesah kasar, entah hanya perasaannya saja atau memang Riri sedang berusaha mengabaikannya. "Baju lo tipis, Ri, celananya juga pendek.""Namanya juga baju tidur, ya, gini.""Baju tidur juga ada yang panjang, kan?"Riri mendelik. "Gue lebih suka yang kayak gini." Padahal dalam hati, dia tidak bisa membeli pakaian yang lebih bagus daripada pakaian yang sedang ia pakai sekarang.Dia bisa saja meminta uang pada kedua orang tuanya, tapi sekali lagi, dia merasa gengsi bukan main. Riri anak yang mandiri sejak ia kuliah, semua uang yang ia pakai, dia dapat dari hasil kerja kerasnya menulis. Walau tidak banyak, tapi semuanya sudah cukup untuknya.Raffa mendesah kasar, dia mulai menjalankan mobilnya menuju bandara sesuai yang dikatakan Riri sebelumnya. Mereka ha
SETELAH Verga turun, entah kenapa Riri bisa menghela napas lega. Jantungnya terasa tidak keruan setiap kali berada di sekitar pria itu. Verga juga tidak banyak berubah, kecuali fisiknya yang semakin ... hot.Pipi perempuan itu memerah, membayangkan tubuh atletis Verga yang sering dilihatnya dulu, kini menjadi semakin indah. Dia jadi tidak sabar, ingin melihat Verga berenang seperti dulu.Raffa yang melirik perempuan itu dari samping dibuat penasaran bukan main. Pipinya yang memerah jelas-jelas menandakan kebalikan dari sifatnya pada Verga sebelum ini.Tunggu dulu, sepertinya Raffa telah melupakan sesuatu ...."Gila, gue penasaran, lo ngerayu dia pakai cara apa sampai dia bilang kalau udah punya calon suami?" Nayla berkata, lalu kembali terbahak-bahak. "Padahal, selama ini gebetannya aja dikacangi, tapi berani bilang sama playboy kayak lo aja kalau udah punya calon suami." Nayla tertawa lagi. "Gue penas
RIRI baru ingat, kalau semalam ia memakai jaket Raffa dan lupa mengembalikannya. Dia terlalu senang mendapat pinjaman jaket malam itu, karena, untuk pertama kalinya ada seorang laki-laki yang bersikap manis padanya.Pipinya sontak bersemu. Mengingat kejadian semalam sungguh membuatnya senang, tapi sayangnya, mengapa harus Raffa yang melakukannya? Kenapa harus pria itu? Kenapa bukan lelaki lain, misal Verga, mungkin?Riri menghela napas kasar, dia baru saja mandi dan mengenakan pakaian rumahnya yang kurang bahan. Kaus kekecilan dan celana pendek memperlihatkan paha. Tolong maklum, karena Riri memang missqueen.Dia sudah bersiap membuka laptop dan mulai menghibur diri sambil bekerja, saat pintu kamarnya terbuka begitu saja."Ri, gambar di pintu lo ini nggak bisa diganti sama gambar gue aja gitu?"Riri menoleh cepat, kepala dan wajah Raffa di hadapannya sukses membuat ide yang
JUJUR saja, Raffa sudah terbiasa memasuki mal bersama kekasihnya atau perempuan yang sedang ia kencani. Dia tidak akan kaget begitu mereka mengambil tas, baju, sepatu branded yang bisa menguras isi kantongnya.Raffa tidak pernah keberatan akan hal itu, karena akhir dari ceritanya pasti berada di atas ranjang. Uang-uang yang ia keluarkan pun hanya beberapa persen dari tabungannya sendiri untuk masa depan.Raffa bukan pria boros, juga bukan tipe pria yang suka mencari pelacur setiap malam. Dia hanya pria biasa yang suka berfoya-foya dengan sedikit hartanya, tak lupa membawa serta perempuan-perempuannya dan meniduri mereka like a bastard. Namun, Riri sedikit berbeda ... benar-benar berbeda."Ri, keranjangnya udah hampir penuh ini, bisa berhenti, nggak?"Riri berhenti, dia mendelik ke arah Raffa yang kini tampak lelah mengikutinya belanja. "Nggak boleh beli banyak-banyak emangnya?"
"HABIS ini, kita mau ke mana, Raffa?" Riri menoleh, matanya yang berbinar-binar membuat Raffa ingin menciumnya, terlebih bibirnya benar-benar terlihat menggoda baginya."Lo pengin ke mana?" tanya Raffa balik."Hm, ke mana, ya?" Perempuan itu tampak berpikir sejenak. "Kalau nonton gimana?""Mau nonton film apa?"Raffa mendesah kasar. Satu-satunya hiburan yang tidak bisa ia nikmati adalah menonton film. Dia sendiri tidak tahu alasannya, tapi setiap kali menonton film, Raffa pasti tertidur, jika dia menonton dengan cewek-ceweknya, pria itu akan berusaha menahan kantuk dan menanggapi semuanya dengan balasan singkat.Kalau perempuannya bertanya kenapa atau marah padanya, Raffa hanya tinggal membungkam bibirnya dengan ciuman.
Perusahaan keluarga nyaris bangkrut, keuangan menipis lantaran terbiasa hidup hedonis.Lilya harus menerima takdir Kenanga yang menolak dijodohkan dengan Pak Tua Mesum dari keluarga Gunawan yang terkenal. Demi keluarga dia rela berkorban, dia rela digadaikan, dinikahkan dengan Pak Tua Mesum Gunawan yang terkenal kaya raya.Namun, Pak Tua itu tidak mau menunjukkan dirinya sebelum hari pernikahan mereka tiba. Sosoknya yang misterius dan selalu bersembunyi di balik kamera, akhirnya terungkap saat ia menikahi Lilya dengan cara terhormat."K-kamu ... masih muda?" tanya Lilya dengan polosnya."Kamu kira saya sudah tua?"Lilya menggeleng panik. "Tapi, kata Kak Kenanga, kamu orang tua mesum dari keluarga Gunawan yang terkenal."Laki-laki bernama Evan itu mendengkus keras. "Itu hanya rumor palsu tentang saya, jangan percaya rumor sebelum kamu melihat sendiri buktinya."Apakah Lilya yang selalu menderita bisa hidup bahagia dengan suaminya Evan? Ataukah Kenanga akan menjadi duri dalam daging di p
KEPALANYA terasa pusing, padahal Syila hanya perlu kembali pada teman-temannya dan mengatakan, kalau dia sudah menyelesaikan tantangannya untuk mencium orang pertama yang ia lihat ketika keluar dari toilet.Benar sekali, mereka sedang memainkan permainan terkenal "Truth or Dare" di mana Syila lebih memilih dare daripada dia harus berkata jujur pada teman-teman barunya.Syila menyenderkan tubuhnya ke tembok. Alkohol yang ia minum cukup banyak dan membuatnya mabuk, itu mengapa dia menerima tantangan gila itu tanpa protes apa pun."Hei!"Syila menoleh, dengan mata menyipit, mencoba mengenali sosok yang menghampirinya. Ternyata pria itu yang mendatanginya, Syila kira siapa."Kenapa?" Syila mengedip berulang kali.Awalnya, Syila pikir pria ini seorang perempuan, jadi ia sama sekali tak merasa ragu saat menciumnya. Apalagi dia sedang memakai hoodie hitam yang menutupi kepala, jadi identitasnya terasa samar-samar."Lo mabuk?""Hm, nggak apa-apa," gumam Syila seraya berjalan dengan menggunakan
TIDAK ada hal yang lebih mendebarkan daripada menunggu kelahiran anak pertama. Apalagi, baik Riri maupun Raffa sama-sama tidak mau mengetahui jenis kelamin anak mereka. Yang mereka mau dengar setiap kali memeriksakan kandungan adalah kesehatan bayi mereka di perut Riri yang kini sudah menginjak usia sembilan bulan.Raffa mendekatkan wajahnya ke perut buncit istrinya. "Kak, kamu beneran nggak mau apa-apa di dalam perut mamamu?"Riri terkikik melihatnya, ini bukan kali pertama Raffa berbicara pada anak mereka, tapi entah mengapa dia selalu ingin tertawa setiap kali melihatnya.Dulu, saat pertama kali Raffa berbicara pada anak mereka, dia memanggilnya dengan sapaan 'Dek' yang kemudian Riri lerai, "Memangnya kamu nggak mau punya anak lagi setelah ini?"Dan setelahnya Raffa jadi bersemangat untuk menyapa anak mereka setiap malam dengan panggilan 'Kakak'.Raffa memandangi istrin
RAFFA sedang bekerja. Punya asisten merangkap sekretaris seperti Allen membuat Raffa tidak bisa berbuat apa-apa selain duduk patuh di balik laptop dan mengerjakan semua tugasnya.Allen seperti memaksa Raffa membuang semua sifat malas yang ia punya. Dan pria itu berhasil, Raffa benar-benar ingin pekerjaannya segera selesai agar ia bisa pulang dan menemui istrinya, daripada harus menghadapi si Robot Allen terus-menerus.Ponsel Raffa tiba-tiba saja berbunyi. Dia meraih ponselnya dan mulai membuka akun sosmed yang barusan berbunyi.Dari Instagram Revan. Tampak, sahabatnya itu sedang memeluk seorang wanita dengan tangan kanannya.Raffa tersenyum manis, dia pikir Revan telah menemukan wanita pujaan hatinya, tapi begitu melihat wajah wanita itu, Raffa jadi ingin membunuh seseorang sekarang."Kalau jodoh nggak akan ke mana." Tulis Revan di caption Instagramnya yang membua
RIRI tidak boleh stres, tidak boleh banyak pikiran apalagi memikirkan kapan dia punya anak. Dia harus rileks, santai, dan biasa saja. Riri juga harus mengenali kapan dia berada di fase lagi tanggal subur atau tidak dan berusaha meminimalisir hubungan seksual yang keras atau aneh-aneh.Nasihat dari Revan sudah nancap di otak. Riri berharap bisa hamil cepat, bulan depan paling tidak dia sudah isi. Ini hanya rencana dan Riri tidak boleh terlalu berharap, karena kembali lagi, apakah Tuhan akan merestui niat dan keinginannya?"Raffa!"Raffa menoleh, dia mengernyitkan dahi saat Riri menghambur memeluk tubuhnya yang sedang duduk di ranjang sambil memangku laptop kerjanya."Maaf buat yang tadi siang, ya?"Raffa mengangguk singkat, kemudian mencium kening istrinya. "Maaf juga, karena kamu harus menerima karma dari perbuatanku di masa lalu. Maafin, aku, ya, Ri?"Riri menggeleng pelan. "Kamu nggak salah, seenggaknya sekarang kamu udah berubah. Kita bel
"GIMANA hasilnya?" tanya Raffa yang menunggu di depan pintu sambil menatap istrinya dengan harapan besar.Riri menyodorkan sebuah tes pack kepada Raffa dengan muka cemberut. "Negatif, aku nggak hamil."Raffa mendesah kecewa. Mereka merasa sudah membuat anak seperti biasa, tapi kenyataannya, Tuhan belum menitipkan seorang bayi pun pada mereka."Ya udah, deh, sabar dulu aja."Riri mendengkus. Raffa tahu pasti, kalau istrinya sedang kesal. Riri ingin punya anak secepatnya, tapi mereka belum dikaruniai juga. Namun, mau bagaimana lagi?"Aku sabar, kok, kamu juga yang sabar karena siap puasa lagi seminggu."Dan Raffa ingin segera punya anak, supaya dia tidak terkena lampu merah ketika ingin memiliki istrinya. Walau sembilan bulan kemudian dia akan merengut lantaran perhatian Riri terbagi, tapi setidaknya, Riri senang karena sudah punya baby, dan Raffa juga tidak akan
RAFFA tidak mendapat jawaban apa pun soal pembicaraan Riri dengan Diva. Dua perempuan itu sepakat untuk menutupi hasil pembicaraan mereka tempo hari darinya.Raffa tidak masalah. Apalagi Riri dan Diva tidak terlihat sedang bermusuhan, malah terkesan biasa saja. Hari ini Diva resmi pindah, karena Raffa telah mendapatkan sekretaris sekaligus asisten pribadinya yang baru.Namanya Allen, orangnya dingin, tidak banyak bicara, tapi lebih banyak bertindak. Benar-benar mirip dengan Ethan jika serius, sayangnya Allen lebih seperti robot tak punya perasaan daripada sepupunya yang terlampau baik itu.Raffa mendesah kasar seraya melonggarkan ikatan dasinya yang terasa mencekik leher. Punya asisten satu, bukannya membantunya rileks, malah membuatnya semakin stres.Apa karena Raffa belum dijatah oleh istrinya, ya?Raffa menghela napas kasar, matanya terpejam erat. Masa hukumannya tinggal seh
MELIHAT Riri keliling apartemen pakai kaus polos atau piama panjangnya saja, Raffa bisa terangsang. Apalagi, Riri sampai buka baju dan memamerkan perabotannya yang masih tertutupi bra dan celana dalam itu?Astaga!"Tidur, Ri!" pinta Raffa mati-matian menahan hasratnya sendiri.Namun, Riri tidak mau tidur, dia terus menggelayuti tubuh Raffa dan berulang kali mengecup sudut bibir atau area leher Raffa yang membuat pria itu mengerang keras.Antara dia harus meladeni istrinya atau dia harus menahan hasratnya.Jika hari ini bukan hari hukumannya, Raffa akan dengan senang hati meladeni ciuman panas Riri di sekujur tubuhnya. Bahkan perempuan itu dengan berani melucuti pakaian yang Raffa gunakan. Ikat pinggangnya bahkan sudah dilepaskan dan celana bahannya mulai ditarik-tarik ke bawah."Riri!" teriaknya frustrasi.Kalau dia meniduri Riri malam ini, bagai
UNTUK mengatasi rasa hausnya tentang masalah Raffa tempo hari, Riri menghubungi Nayla, berharap jika suami kakak tingkatnya itu bisa mendapatkan rekaman CCTV di ruangan Raffa saat itu.Namun, Ethan tidak memberinya jawaban. Dia tidak memberikan apa yang Riri inginkan dan hal itu ,membuat Riri kecewa. Padahal, dia sangat penasaran tentang apa yang terjadi sebenarnya.Kalau benar-benar Raffa berniat main belakang, Riri sudah siap-siap mengasah pisau dapurnya."Cemberut mulu."Raffa bergabung dengan Riri yang duduk di atas kasur mereka seraya memainkan laptop. Riri sepertinya sedang bekerja, tapi kenyataannya dia sedang mencari-cari cara agar dia bisa meretas CCTV di ruangan Raffa."Nih!" Raffa menyodorkan sebuah flashdisk yang membuat Riri mengernyitkan dahi."Apa ini?""Rekaman CCTV kantor. Ethan bilang kamu minta dilihatin, kan?"