RAFFA menghentikan mobilnya di depan restoran, dia tidak turun demi membukakan pintu untuk seseorang yang sedang menatapnya dengan kesedihan. "Aku ... turun, ya?"
Raffa menggertakkan giginya. "Kalau nggak turun, lo mau terus-terusan di sini emangnya?"
"Kupikir, kamu kangen sama aku," jawaban itu membuat Raffa meradang.
Dia kangen, iya, dia kangen pada Riza. Sayangnya, dia tidak akan mau mengakuinya. Riza sudah punya pacar, tapi entah kenapa dia malah berdekatan dengan Raffa. Bukannya Raffa tidak pernah seperti ini, tapi dia selalu menjaga diri agar tidak mendua begitu dia memilih salah seorang menjadi pacarnya.
Kalaupun dia mau bersama wanita lain, dia akan memutuskan kekasihnya lebih dulu. Dia takkan jalan bersama dua orang wanita secara bersamaan, tidak seperti perempuan di sebelahnya ini. Mereka sangat berkebalikan dan jujur saja, sifat itu tidak dia sukai.
"Entah kangen atau enggak, itu bukan urusan lo. Gue sibuk, Riz, jadi cepet keluar dari sini, gue mau balik ngantor."
"Oke, aku keluar, ya." Bukannya langsung turun, Riza malah memberikan kecupan singkat di pipi Raffa. "Aku kangen kamu yang dulu."
Raffa hanya bisa mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Dirinya yang dulu takkan kembali lagi, dia takkan bisa bersama wanita itu lagi walau setelah semua waktu yang telah mereka lalui.
Dunia mereka berbeda.
Dan tidak akan pernah menjadi sama.
***
Perjodohan ini bukan hanya sekali dua kali, melainkan sudah berulang kali. Raffa harus menahan kesabarannya setelah apa yang ia alami hari ini. Biasanya, dia akan memasang muka santai, tampak tidak peduli, dan pada akhirnya dia akan menolaknya mentah-mentah.
Lagipula, wanita yang selama ini dijodohkan dengannya tidak masuk kriterianya sama sekali. Jelas saja, mereka bukan wanita baik-baik. Raffa takkan tertipu lagi untuk yang kedua kalinya. Cukup sekali ia merasa benar dengan pendapatnya, bahkan sepupunya berpendapat hal yang sama, tapi nyatanya, wanita itu hanyalah serigala berbulu domba.
"Ck!" decakannya mengundang perhatian dari kedua belah pihak keluarga.
Ibunya menatap dia tidak suka, sedang ayahnya menatapnya datar. Sebagai salah satu Gunawan tertua yang tersisa, August memiliki sifat yang hampir sama persis dengan sepupunya. Tidak terlalu banyak berekspresi dan tatapan dingin yang menghunjam tanpa ampun.
Mungkin, dari sejarah yang ada, hanya dia satu-satunya Gunawan yang punya sikap biasa cenderung slengekan, ditambah sifat playboy-nya yang tidak tanggung-tanggung.
Hanya dia ... Julian Raffa Gunawan.
"Kenapa Raff?"
"Iya, kayaknya kita nggak bisa cocok, deh, Ma," ujarnya sembari mengedikkan bahu.
Wanita di hadapannya cantik, menarik jelas, pendidikannya tinggi, latar belakang keluarganya pun pasti. Semua konglomerat pasti senang menjadikan wanita ini sebagai menantunya, tapi sayangnya, Raffa bukan orang yang mau memiliki istri sesempurna itu.
Terutama, dilihat secara sekilas. Selain sudah tidak lagi perawan, wanita ini jelas-jelas memiliki sifat yang bisa memeras Raffa hingga kering. Bukannya dia orang miskin yang tidak sanggup membiayai, dia cuma tidak mau memiliki istri boros yang lebih suka tas branded sekian ratus juta, pakaian belasan juta, dan sekian aksesoris lain yang memiliki angka nol minimal berjumlah enam.
Dia memang menyukai wanita yang memiliki fashion bagus dan glamour, tapi wanita sejenis itu hanya bisa dijadikan piala. Mereka tidak cocok untuk diajak berumah tangga. Apalagi, gajinya sekarang masih belum sampai seratus juta. Benar-benar bisa kering tabungannya kalau sampai memiliki istri sejenis ini.
Iya, keluarganya memang kaya, tapi mau sampai kapan dia menengadahkan tangan dan meminta pada kedua orang tuanya?
"Kenapa nggak dicoba dulu?" tanya wanita itu disertai senyuman manis yang pasti bisa melelehkan hati pria manapun, kecuali para Gunawan. Tentu saja, senyuman itu terlalu biasa saja di matanya.
"Sori, tapi aku nggak ada waktu buat coba-coba lagi, kalau udah tahu hasilnya nggak pasti."
August berdeham, dia menatap putranya dengan delikan tajam yang sukses membuat Raffa membungkam paksa bibirnya. "Mungkin, sebaiknya kita sudahi dulu pertemuan malam ini. Saya akan bicara kembali dengan putra saya, jika dia berniat mengubah pendapatnya, saya akan menghubungi kalian kembali."
"Saya sangat menunggu jawaban terbaik sari kalian, Aug. Sebagai teman lama, saya berharap bisa berbesan dengan Anda."
Rossaline tersenyum manis dan menggenggam erat tangan wanita yang sejak tadi memasang senyum terbaiknya. "Mama akan berusaha memaksa Raffa agar menerima perjodohan ini."
"Makasih, Ma!"
Raffa memutar bola matanya bosan. Setelahnya mereka pulang dan Rosa memarahinya habis-habisan. "Dia itu suka sama kamu, Raf? Kenapa kamu nggak coba menerima dia saja? Dara itu perempuan baik-baik, dia sangat cocok menjadi istri kamu."
"Please, deh, Ma. Raffa juga bisa menilai mana wanita baik-baik atau enggak. Kalau Raffa udah ketemu sama wanita itu, tanpa nunggu waktu lama, Mama akan menjadi orang pertama yang tahu."
August berdeham. "Kamu sepertinya sudah menemukannya."
Satu-satunya yang ada di kepala Raffa hanyalah gadis yang hampir ia tiduri di malam pernikahan Nayla dan Ethan. Wanita itu memang berkata telah memiliki calon suami, lalu menolaknya mentah-mentah. Namun, dia tahu wanita itu adalah wanita yang baik.
Jika bukan karena khilaf, dia takkan berakhir di tempat itu, apalagi alasannya sampai sana karena Raffa yang telah menggodanya dengan godaan maut dan menyeretnya memasuki salah satu kamar di lantai atas. Namun, bukan hal itu yang membuat Raffa tetap bisa memikirkannya terus menerus.
Wanita itu punya pengendalian diri yang tinggi. Satu-satunya hal yang tak ia miliki. Dan juga ... dia memiliki kesetiaan. Satu-satunya hal yang mungkin tersisa secuil di hati Raffa yang sekarang.
"Hm, kalau aku bisa merampasnya dari calon suaminya."
"GILA KAMU MAU JADI PEBINOR!" komentar ibunya langsung, sedangkan ayahnya mengangkat bahu tak peduli.
Baginya, asalkan Raffa bahagia dengan pilihannya, dia akan menyetujuinya, walau anaknya harus mengambil calon istri orang lain.
"Kan masih calon, Ma. Masih bisa jadi milik bersama, nah, kalau udah nikah, ya udah, Raffa nyerah."
"Mama nggak tahu, deh, harus nasihatin kamu kayak gimana lagi! Terserah kamu, Raffa! Terserah!" Rosa menatap Raffa tajam. "Tapi cepat bawa kami menemui orang tuanya."
Raffa hanya bisa memasang senyum miring. Kenal saja belum, jadian apalagi, sudah disuruh membawa kedua orang tuanya bertemu dengan orang tua wanita yang bahkan tidak ia kenal siapa namanya.
____
Pasrah daku denganmu, Raffa!
SETELAH berdebat dengan ibunya, Raffa menyelinap keluar dan kembali ke rumah Ethan serta Nayla. Ia menyukai pekerjaan barunya merawat Evan untuk sementara. Ia merasa bisa melupakan masalah jodoh-menjodohkan untuk sejenak saat bersama keponakannya itu.Ketika sampai di sana, ia melihat Ethan serta Nayla duduk sembari melihat-lihat album. Dia yang penasaran pun menyelinap di belakangnya dan ikut mengintip—mengganggu kebersamaan— pasangan suami istri itu."Riri ikut fotonya cuma sekali doang, dih!" gerutuan Nayla membuat Raffa mengernyitkan dahi. "Mana fotonya sambil sok mesra sama kamu lagi," ujarnya dengan nada cemburu yang kentara.Raffa melongok dan memperhatikan seorang wanita yang bergelayut manja di lengan sepupunya. Dahinya mengernyit saat mengamati wajah wanita itu lekat-lekat.Wajah ayunya dipoles make-up tebal, gaun biru gelapnya tampak kontras dengan kulitnya yang putih, lalu kalung bint
MIMPI dikejar-kejar setan ternyata lebih horor daripada mimpi dikejar-kejar mantan. Kalau mantan masih bisa disentuh, diajak rundingan, atau apa aja, tapi kalau setan, baru lihat juga langsung lari tunggang langgang.Riri menghela napas kasar sembari menguap lebar. Dia menggaruk-garuk rambut lurusnya hingga berantakan sebelum melesat ke kamar mandi untuk mencuci muka di wastafel. Penampilan mukanya—sebelum mencuci muka—yang putih pucat dengan noda-noda hitam sialan, ditambah kantung matanya yang semakin menghitam nyaris membuatnya menjerit."Muka gue kayaknya perlu perawatan, nih," gumamnya.Riri melangkah keluar, mengambil ponsel dan mulai menjalankan aplikasi mobile banking. Penampakan saldo ATM-nya yang pas-pasan, sukses membuat ia nelangsa bukan main."Gimana caranya gue dapat duit lebih biar bisa beli skincare yang bagus coba? Atau gue minta aja sama Mama kali, ya?"Sepertiny
"NAMA lengkapnya Aryiella Garcia, umurnya sekitar 22 tahun, status jomlo, masih perawan, anak rumahan yang hampir nggak pernah keluar rumah kalau nggak ada kepentingan."Raffa mengernyit sambil memandangi kertas yang disodorkan Nayla padanya. Di situ tertuliskan alamat Riri lengkap beserta nomor teleponnya. Raffa memandangi Nayla sekali lagi, lalu mengulangi kata-kata wanita itu barusan padanya."Aryiella Garcia?"Nayla mengangguk. "Namanya cakep, sih, tapi orangnya kelihatan biasa aja." Nayla mengangkat bahunya tak acuh. "Itu menurut pengelihatan gue, kalau aslinya, ya, gue nggak tahu. Apalagi sifatnya yang agak absurd, lo serius mau ngelamar dia? Ini lamaran, lho, Raf, jangan lo ajak dia buat main-main doang!"Raffa mendengkus. "Padahal, lo sebelumnya ngedukung gue banget buat ngelamar dia, Nay."Nayla menghela napas kasar. "Iya, sih, daripada dia ngejomlo sampai kiamat, kasihan juga a
SARAPAN seperti biasa. Tidak ada suara, bahkan bunyi sendok yang beradu dengan piring tak diizinkan untuk berbunyi ketika anggota keluarga sedang makan. August menyelesaikan acara makannya pertama kali, disusul Raffa yang kemudian bangkit hendak pergi ke kantor. Seperti biasa, lalu kenapa Rosa menyuruhnya pulang kemarin?"Kamu mau ke mana?" Suara itu membuat langkah Raffa terhenti. "Kita akan pergi bersama sekarang.""Eh? Emang mau ke mana?" Raffa mengernyitkan dahinya tidak mengerti.Jangan bilang mau melamar Riri? Mana mungkin! Dia baru menghubungi ibunya kemarin, jadi tidak mungkin mereka bisa melamar Riri hari ini?Mereka pasti butuh waktu untuk meneliti latar belakang keluarga Riri dulu, paling tidak satu minggu, mereka baru bisa melamar Riri untuknya. Iya, kan?"Melamar Aryiella untuk kamu."Raffa menatap ibunya dengan delikan. "Kalian nggak lagi bohongin R
"HEI!" Raffa berhenti melangkah, dia menatap Riri dengan ekspresi datar. Riri pun balas menatapnya dingin."Gue tahu, lo nggak suka dengan perjodohan ini.""Siapa yang bilang?""Gue."Raffa memejamkan mata. "Kenapa lo bisa mikir gitu?""Karena lo punya segalanya, lo ganteng, kaya, sempurna, lo pasti bisa nyari wanita yang lo suka sendiri, bukannya dijodohin kayak gini."Raffa mendengkus. "Nyari cewek yang baik nggak semudah nyari cewek murahan."Riri gantian mendengkus. "Lo kurang gaul, kalau nggak pernah ketemu sama cewek baik-baik.""Cewek yang kelihatannya baik, belum tentu hatinya juga baik." Raffa menatap wanita itu tajam, kakinya membawanya mendekati wanita yang pernah meninggalkannya di atas ranjang.Apa Riri sama sekali tidak mengingatnya? Apa dia tidak ingat pernah bersinggungan dengan
RAFFA kembali ke ruang tamu dengan wajah cerah yang mencurigakan, sedang Riri menyusul di belakangnya dengan wajah pucat pasi dan seperti baru kehilangan tiga per empat nyawanya.Rosa sampai mendelik, bahkan August menghunjamkan tatapan mematikan untuk putra semata wayangnya. "Kamu apain dia, Raffa?" bisik Rosa sewaktu Raffa duduk di sampingnya.Raffa melirik Riri yang matanya tidak punya fokus. Wajahnya yang pucat serta tatapannya kosong entah mengapa malah membuat senyumnya timbul."Nggak apa-apa, kok, dia mau nikah sama Raffa." Riri sontak melotot ke arah Raffa yang malah tersenyum puas. "Iya, kan? Kita udah sepakat untuk menikah, kan?""Eng—""Baguslah kalau begitu," potong Arya tanpa membiarkan Riri membuka suara. "Kalian bisa pendekatan dulu sampai bulan depan, dua bulan lagi kalian akan menikah."Arlin tersenyum cerah. "Nak Raffa nggak keberatan menikah dua bulan l
PENDEKATAN itu memang perlu untuk sebuah hubungan. Raffa tidak menyangkal, karena dia juga membutuhkan waktu untuk mengenal Riri dengan lebih baik lagi dan juga sebaliknya, Riri perlu mengenalnya sebelum mereka menikah dua bulan lagi.Padahal, niat awal Raffa meminta dijodohkan dengan perempuan itu hanya karena harga diri, tapi entah mengapa ia setuju dengan rencana kedua orang tuanya kali ini. Ia ingin perempuan itu menjadi miliknya, rasa baru yang mungkin pertanda baik untuk hubungan mereka ke depannya."Raf, lo nanti mau jemput Evan, kan?""Hm." Raffa memakan sarapannya seperti biasa, di hadapannya ada Ethan dan Nayla, juga putra mereka Evan.Dia memang biasa menginap di sana sebagai baby sitter keponakannya, kadang juga ia akan pulang ke rumah orang tuanya seperti kemarin-kemarin. Padahal, dia punya apartemen pribadi yang kini kosong melompong tidak berpenghuni. Apartemen yang beberapa tahun terakhi
SEKSI. Entah pikiran itu datang dari mana, tapi Riri terlihat seksi di matanya. Terutama saat ia berdiri, memamerkan kaki jenjangnya dengan lekuk tubuh sempurna. Raffa tersenyum di dalam hati, ternyata Tuhan sangat adil padanya.Ketika ia berpikir untuk melepas Riza lantaran wanita itu sudah punya kekasih, Raffa hampir tidak rela, tapi ia mencoba ikhlas. Jujur saja, dia memang menyukai Riza, sebagai playboy dia takkan keberatan menjadi orang ketiga, tapi entah kenapa dia tidak bisa berjuang untuk wanita itu.Setelah hari yang mereka lewati, setelah waktu yang mereka habiskan, dan setelah apa yang telah terjadi. Raffa tahu seperti apa sosok Riza yang sebenarnya, tapi rasa suka itu nyaris membuatnya buta. Namun dia berhasil melepaskannya, mengikhlaskan dia untuk kekasihnya, dan kini, Raffa mendapat pengganti seorang perempuan yang benar-benar sempurna di matanya.Cantik, tanpa polesan make up, Riri terlihat cantik, kulit
Perusahaan keluarga nyaris bangkrut, keuangan menipis lantaran terbiasa hidup hedonis.Lilya harus menerima takdir Kenanga yang menolak dijodohkan dengan Pak Tua Mesum dari keluarga Gunawan yang terkenal. Demi keluarga dia rela berkorban, dia rela digadaikan, dinikahkan dengan Pak Tua Mesum Gunawan yang terkenal kaya raya.Namun, Pak Tua itu tidak mau menunjukkan dirinya sebelum hari pernikahan mereka tiba. Sosoknya yang misterius dan selalu bersembunyi di balik kamera, akhirnya terungkap saat ia menikahi Lilya dengan cara terhormat."K-kamu ... masih muda?" tanya Lilya dengan polosnya."Kamu kira saya sudah tua?"Lilya menggeleng panik. "Tapi, kata Kak Kenanga, kamu orang tua mesum dari keluarga Gunawan yang terkenal."Laki-laki bernama Evan itu mendengkus keras. "Itu hanya rumor palsu tentang saya, jangan percaya rumor sebelum kamu melihat sendiri buktinya."Apakah Lilya yang selalu menderita bisa hidup bahagia dengan suaminya Evan? Ataukah Kenanga akan menjadi duri dalam daging di p
KEPALANYA terasa pusing, padahal Syila hanya perlu kembali pada teman-temannya dan mengatakan, kalau dia sudah menyelesaikan tantangannya untuk mencium orang pertama yang ia lihat ketika keluar dari toilet.Benar sekali, mereka sedang memainkan permainan terkenal "Truth or Dare" di mana Syila lebih memilih dare daripada dia harus berkata jujur pada teman-teman barunya.Syila menyenderkan tubuhnya ke tembok. Alkohol yang ia minum cukup banyak dan membuatnya mabuk, itu mengapa dia menerima tantangan gila itu tanpa protes apa pun."Hei!"Syila menoleh, dengan mata menyipit, mencoba mengenali sosok yang menghampirinya. Ternyata pria itu yang mendatanginya, Syila kira siapa."Kenapa?" Syila mengedip berulang kali.Awalnya, Syila pikir pria ini seorang perempuan, jadi ia sama sekali tak merasa ragu saat menciumnya. Apalagi dia sedang memakai hoodie hitam yang menutupi kepala, jadi identitasnya terasa samar-samar."Lo mabuk?""Hm, nggak apa-apa," gumam Syila seraya berjalan dengan menggunakan
TIDAK ada hal yang lebih mendebarkan daripada menunggu kelahiran anak pertama. Apalagi, baik Riri maupun Raffa sama-sama tidak mau mengetahui jenis kelamin anak mereka. Yang mereka mau dengar setiap kali memeriksakan kandungan adalah kesehatan bayi mereka di perut Riri yang kini sudah menginjak usia sembilan bulan.Raffa mendekatkan wajahnya ke perut buncit istrinya. "Kak, kamu beneran nggak mau apa-apa di dalam perut mamamu?"Riri terkikik melihatnya, ini bukan kali pertama Raffa berbicara pada anak mereka, tapi entah mengapa dia selalu ingin tertawa setiap kali melihatnya.Dulu, saat pertama kali Raffa berbicara pada anak mereka, dia memanggilnya dengan sapaan 'Dek' yang kemudian Riri lerai, "Memangnya kamu nggak mau punya anak lagi setelah ini?"Dan setelahnya Raffa jadi bersemangat untuk menyapa anak mereka setiap malam dengan panggilan 'Kakak'.Raffa memandangi istrin
RAFFA sedang bekerja. Punya asisten merangkap sekretaris seperti Allen membuat Raffa tidak bisa berbuat apa-apa selain duduk patuh di balik laptop dan mengerjakan semua tugasnya.Allen seperti memaksa Raffa membuang semua sifat malas yang ia punya. Dan pria itu berhasil, Raffa benar-benar ingin pekerjaannya segera selesai agar ia bisa pulang dan menemui istrinya, daripada harus menghadapi si Robot Allen terus-menerus.Ponsel Raffa tiba-tiba saja berbunyi. Dia meraih ponselnya dan mulai membuka akun sosmed yang barusan berbunyi.Dari Instagram Revan. Tampak, sahabatnya itu sedang memeluk seorang wanita dengan tangan kanannya.Raffa tersenyum manis, dia pikir Revan telah menemukan wanita pujaan hatinya, tapi begitu melihat wajah wanita itu, Raffa jadi ingin membunuh seseorang sekarang."Kalau jodoh nggak akan ke mana." Tulis Revan di caption Instagramnya yang membua
RIRI tidak boleh stres, tidak boleh banyak pikiran apalagi memikirkan kapan dia punya anak. Dia harus rileks, santai, dan biasa saja. Riri juga harus mengenali kapan dia berada di fase lagi tanggal subur atau tidak dan berusaha meminimalisir hubungan seksual yang keras atau aneh-aneh.Nasihat dari Revan sudah nancap di otak. Riri berharap bisa hamil cepat, bulan depan paling tidak dia sudah isi. Ini hanya rencana dan Riri tidak boleh terlalu berharap, karena kembali lagi, apakah Tuhan akan merestui niat dan keinginannya?"Raffa!"Raffa menoleh, dia mengernyitkan dahi saat Riri menghambur memeluk tubuhnya yang sedang duduk di ranjang sambil memangku laptop kerjanya."Maaf buat yang tadi siang, ya?"Raffa mengangguk singkat, kemudian mencium kening istrinya. "Maaf juga, karena kamu harus menerima karma dari perbuatanku di masa lalu. Maafin, aku, ya, Ri?"Riri menggeleng pelan. "Kamu nggak salah, seenggaknya sekarang kamu udah berubah. Kita bel
"GIMANA hasilnya?" tanya Raffa yang menunggu di depan pintu sambil menatap istrinya dengan harapan besar.Riri menyodorkan sebuah tes pack kepada Raffa dengan muka cemberut. "Negatif, aku nggak hamil."Raffa mendesah kecewa. Mereka merasa sudah membuat anak seperti biasa, tapi kenyataannya, Tuhan belum menitipkan seorang bayi pun pada mereka."Ya udah, deh, sabar dulu aja."Riri mendengkus. Raffa tahu pasti, kalau istrinya sedang kesal. Riri ingin punya anak secepatnya, tapi mereka belum dikaruniai juga. Namun, mau bagaimana lagi?"Aku sabar, kok, kamu juga yang sabar karena siap puasa lagi seminggu."Dan Raffa ingin segera punya anak, supaya dia tidak terkena lampu merah ketika ingin memiliki istrinya. Walau sembilan bulan kemudian dia akan merengut lantaran perhatian Riri terbagi, tapi setidaknya, Riri senang karena sudah punya baby, dan Raffa juga tidak akan
RAFFA tidak mendapat jawaban apa pun soal pembicaraan Riri dengan Diva. Dua perempuan itu sepakat untuk menutupi hasil pembicaraan mereka tempo hari darinya.Raffa tidak masalah. Apalagi Riri dan Diva tidak terlihat sedang bermusuhan, malah terkesan biasa saja. Hari ini Diva resmi pindah, karena Raffa telah mendapatkan sekretaris sekaligus asisten pribadinya yang baru.Namanya Allen, orangnya dingin, tidak banyak bicara, tapi lebih banyak bertindak. Benar-benar mirip dengan Ethan jika serius, sayangnya Allen lebih seperti robot tak punya perasaan daripada sepupunya yang terlampau baik itu.Raffa mendesah kasar seraya melonggarkan ikatan dasinya yang terasa mencekik leher. Punya asisten satu, bukannya membantunya rileks, malah membuatnya semakin stres.Apa karena Raffa belum dijatah oleh istrinya, ya?Raffa menghela napas kasar, matanya terpejam erat. Masa hukumannya tinggal seh
MELIHAT Riri keliling apartemen pakai kaus polos atau piama panjangnya saja, Raffa bisa terangsang. Apalagi, Riri sampai buka baju dan memamerkan perabotannya yang masih tertutupi bra dan celana dalam itu?Astaga!"Tidur, Ri!" pinta Raffa mati-matian menahan hasratnya sendiri.Namun, Riri tidak mau tidur, dia terus menggelayuti tubuh Raffa dan berulang kali mengecup sudut bibir atau area leher Raffa yang membuat pria itu mengerang keras.Antara dia harus meladeni istrinya atau dia harus menahan hasratnya.Jika hari ini bukan hari hukumannya, Raffa akan dengan senang hati meladeni ciuman panas Riri di sekujur tubuhnya. Bahkan perempuan itu dengan berani melucuti pakaian yang Raffa gunakan. Ikat pinggangnya bahkan sudah dilepaskan dan celana bahannya mulai ditarik-tarik ke bawah."Riri!" teriaknya frustrasi.Kalau dia meniduri Riri malam ini, bagai
UNTUK mengatasi rasa hausnya tentang masalah Raffa tempo hari, Riri menghubungi Nayla, berharap jika suami kakak tingkatnya itu bisa mendapatkan rekaman CCTV di ruangan Raffa saat itu.Namun, Ethan tidak memberinya jawaban. Dia tidak memberikan apa yang Riri inginkan dan hal itu ,membuat Riri kecewa. Padahal, dia sangat penasaran tentang apa yang terjadi sebenarnya.Kalau benar-benar Raffa berniat main belakang, Riri sudah siap-siap mengasah pisau dapurnya."Cemberut mulu."Raffa bergabung dengan Riri yang duduk di atas kasur mereka seraya memainkan laptop. Riri sepertinya sedang bekerja, tapi kenyataannya dia sedang mencari-cari cara agar dia bisa meretas CCTV di ruangan Raffa."Nih!" Raffa menyodorkan sebuah flashdisk yang membuat Riri mengernyitkan dahi."Apa ini?""Rekaman CCTV kantor. Ethan bilang kamu minta dilihatin, kan?"