BISA dibilang, Riri hampir tidak pernah kemari. Walaupun setiap tahun ia pulang ke Indonesia dan menghubungi kakak tingkatnya itu, tapi ia tidak pernah mendatangi restoran ini. Ini kedatangan perdananya setelah ia pulang beberapa bulan yang lalu.
Dulu, mereka memang dekat, tapi kedekatan mereka tergolong biasa saja. Dia memang adik tingkat Nayla, tapi mereka beda jurusan, beda jam kuliah juga, dan setelah setahun mereka pun berada di belahan dunia yang berbeda. Riri masih harus melanjutkan kuliahnya di benua Amerika, sedangkan Nayla pulang ke Indonesia.
Selama ini, mereka berhubungan lewat email atau telepon ketika Riri pulang ke Indonesia. Dan hanya begitu, tanpa bertemu, karena Riri lebih suka mengurung diri di kamar. Selain jarang keluar, dia juga malas aktif di media jejaring sosial seperti yang sedang trend sekarang.
Dia memang punya akun, tapi hanya sebatas itu. Riri malas menggunakannya.
Riri masuk ke restoran dan mengambil tempat duduk di tengah, tatapannya terarah ke arah pintu dapur yang tertutup rapat, ketika seorang pelayan mendatanginya. Pria itu tersenyum ramah padanya, Riri membalas senyum itu dengan senyuman manis.
"Mau pesan apa, Mbak?" tanya pria itu sopan. Wajahnya tidak terlalu tampan, tapi keramahannya membuat Riri terkesan.
Sayangnya, perempuan itu tidak berminat pacaran, apalagi pacarnya seorang pelayan. Dia tidak akan mau berpacaran dengan pria sejenis itu, karena masa depannya pasti akan suram. Selain tidak akan bisa bertahan lama, pria sekelas pelayan tidak akan bisa diajak membangun masa depan dengan gajinya yang pas-pasan.
Riri tersenyum sopan. "Saya pesannya nanti dulu, deh, Mas, boleh?"
Pria itu mengangguk, masih dengan senyum ramah yang menghiasi wajahnya. Mungkin, dia berpikir bisa memikat Riri dengan senyuman itu? Ceh, jangan berharap lebih!
"Oh, ya, Kak Nayla-nya ada di sini, nggak?"
Dengan dahi mengerut, pria itu menjawab, "Ada, Mbak."
"Tolong dipanggilin, bisa?" pintanya dengan sopan, tak lupa senyum manis yang dibalas anggukan.
Riri melihat-lihat sekitar restoran itu yang masih sepi pengunjung. Memang belum waktunya jam makan siang, jadi ia memakluminya. Interior restoran ini yang pertama kali menarik minatnya, kemudian dia tersadar jika telah menunggu cukup lama.
Dia melirik bagian pelayan. Ada beberapa pelayan yang kini saling berbincang, tak terkecuali pelayan yang tadi menanyainya. Dia mengernyitkan dahi, melihat jam dinding, kemudian kembali menatap pelayan itu lagi.
Gue diabaiin, nih, ceritanya?
Ia menatap pelayan itu sekali lagi, tapi tatapannya terhenti pada seorang pelayan wanita yang kini menatapnya dengan berani. Dari tatapannya, ada sekelumit rasa kesal dan benci yang menguar hingga membuat Riri bergidik.
Siapa sih itu orang? batinnya bertanya, tapi ia tak menemukan jawabannya.
Penyakit pikun dadakannya membuat ia melupakan banyak hal, bahkan di saat yang sangat dibutuhkan seperti sekarang, dia tidak bisa menemukan nama yang tepat untuk pelayan wanita yang kini kembali berbincang dengan rekan-rekannya.
Namun, tidak seperti saat menatapnya. Wanita itu kini terlihat manis, layaknya perempuan lemah dan pemalu pada umumnya, dan hal itu, jujur saja membuat dahi Riri mengernyit.
Selama ini, Riri tidak punya musuh. Dia selalu menghindari keramaian, dia bahkan jarang berteman. Dengan sifat nyentriknya itu, dia bahkan ragu ada yang mau berteman dengannya. Walaupun pada kenyataannya, dia memiliki beberapa orang teman dan salah satunya pemilik restoran ini.
Riri menatap wanita itu sekali lagi, sebelum mengendikkan bahu tak acuh. "Kalau emang gue pernah bikin salah sama dia, gue pasti bakal ingat, kan, ya?" tanyanya pada dirinya sendiri.
Riri kemudian menoleh ke arah pintu dapur yang tiba-tiba terbuka. Damian keluar dengan pakaian casual yang membuat Riri mengernyit sebelum melambaikan tangan bak orang gila.
"Dami!" panggilnya.
Damian menoleh, dia terlonjak saat melihat Riri berada di sana, lalu kepalanya menggeleng lemah. Damian melangkah mendekati Riri dan duduk di kursi yang berhadapan dengan wanita itu.
"Ngapain lo ke sini?" tanya Damian, nada suaranya tampak tidak bersahabat.
"Kangen sama Kak Nayla," balasnya. Sebelah tangannya terangkat, menutupi sisi mulutnya kemudian berbisik, "Gue mau nanyain, dia udah isi apa belum?"
"Dasar setan!" umpat Damian sembari melotot tajam. "Kalau lo mau nanyain masalah privasi gitu, kenapa malah duduk di sini? Kenapa nggak nyuruh pelayan manggilin Nayla langsung biar masalah lo di sini cepet kelar, ha?"
Riri cemberut, diomeli Damian memang bukan kali pertama, tapi tetap saja rasanya menyebalkan. Jemari tangannya menunjuk ke arah jejeran pelayan yang langsung syok saat Riri menunjuk mereka.
"Noh, lihat! Gue udah minta sama mereka, tapi gue malah dikacangin kayak patung lilin di sini. Mereka nggak tahu apa, gue itu Aryiella Garcia, calon novelis terkenal Indonesia. Mereka malah ngacangin gue kayak gue bukan siapa-siapa."
"Emang sekarang lo siapa?" Damian mendengkus kasar.
Riri nyengir kuda dan hal itu membuat Damian menghela napasnya kasar. Kepala pria itu menoleh ke arah jejeran pelayan yang melirik mereka takut-takut, tapi satu ekspresi aneh ia temukan di antara mereka dan hal itu membuat Damian mengambil kesimpulannya sendiri.
"Langsung masuk aja ke dapur, Nayla lagi sibuk nugas, jangan diganggu yang aneh-aneh!"
"Siap Bos!" Riri memandangi damian sekali lagi. "Terus, lo kenapa nggak bantuin Kak Nayla di dalam?"
"Gue mau keluar," balas Damian, sudah berdiri, tapi Riri juga ikut berdiri.
"Bilang aja mau kencan, ceh! Gue masuk, ya, makasih izinnya!" teriak wanita itu yang langsung melesat menuju pintu dapur, meninggalkan Damian yang diabaikan begitu saja di sana.
Padahal, niatnya ingin meninggalkan Riri lebih dulu, kenyataannya, dia yang malah ditinggalin di situ.
***
Semua koki yang ada di dapur dibuat menoleh, Nando yang memang tahu jika ada manusia sejenis Riri langsung menyeletuk, "Heh, Nayla bisa mati kehabisan napas itu!"
"Eh, iya?" Riri melonggarkan pelukannya dan Nayla bisa menghela napas lega.
Ditatapnya adik tingkatnya itu dengan pelototan tajam. "Tahan dulu omongan lo, gue lagi ngomong di telepon."
Riri cemberut, tangannya bersedekap dada, dengan kepala membuang muka. Nando yang melihat wanita itu hanya bisa nyengir kuda, sedang Nayla melanjutkan panggilan yang sempat tertunda.
"Lo bawa Evan ke sini aja. Gue emang sibuk, tapi gue masih bisa ngurus dia sambil ngawasin dapur. Oh, ya, sekalian aja ambil album fotonya sekarang, kalau lo mau sibuk-sibukan. Riza juga lagi nggak ada kerjaan di luar."
Riri mengernyitkan dahi. Evan akan kemari? Evan, bocah berusia lima tahun dengan ekspresi datar yang menurut Riri sangat menggemaskan. Dia ikhlas jadi babby sitter anak itu kalau Nayla mengizinkannya.
"Good, gue tungguin lo di sini. Bawa anak gue-nya hati-hati! Inget, kalau sampai kenapa-kenapa sama Evan, elo gue cincang ntar malam!"
Nayla memutus sambungan telepon dan menatap Riri yang memasang ekspresi ceria. "Kenapa ke sini dan nyariin gue sampai mau bunuh gue segala?"
"Astaga, yang tadi enggak sengaja." Riri nyengir kuda. "Evan mau ke sini, Kak?"
"Iya, dia biasanya di sini. Nanti mungkin main sendiri. Gue lagi sibuk, Ri, sibuk banget. Damian mau izin, belum lagi resto lagi rame-ramenya gini!"
"Di luar masih sepi, tuh!"
"Kan nanti, Sayangku!"
"Iya, iya, ya udah, si Evan biar main sama gue aja entar, ya? Gini-gini juga, gue pengin rasain gimana rasanya punya anak."
Nando yang sejak tadi menyimak ikut menyeletuk. "Ya udah, bikin anak aja sana!"
"Enak aja mulut lo kalau ngomong, Om!"
Nayla tersenyum miring. "Nan, mana mungkin Riri bisa punya anak coba? Dia lepas perawan aja kagak mau!"
"Idih, emang apa enaknya lepas perawan? Enakan juga jadi perawan tua, single selamanya, nggak perlu ngurus rumah tangga, nggak ada yang bakal ngelarang macam-macam, bisa gebetin semua cowok tampan tanpa ada yang cemburu—"
"Ehem!"
Dehaman itu membuat Riri menoleh. Seorang pria dewasa dengan kemeja panjang yang dilipat sampai lengan berwarna putih, dasi bergaris-garis merah hitam, dan celana bahan berwarna hitam. Di sebelahnya ada bocah laki-laki yang kini berlari menghampiri Nayla dan memeluk kaki kakak tingkatnya itu dengan erat.
Tanpa sadar, senyum di bibirnya merekah. Dia menarik tangan bocah itu hingga berhadapan dengannya yang sudah duduk bertumpu di atas lantai, lalu berkata, "Hai Ganteng, masih ingat Tante, nggak?"
Evan memiringkan kepala dan dengan polosnya bertanya, "Siapa, ya?"
Riri cemberut, sedang Nayla menahan tawa. Bahkan Nando sudah terbahak di tempatnya.
"Evan jahat, dih, masa Tante udah dilupain!" rajuknya sambil membuang muka.
"Tante ngambekan, dih, kayak anak kecil. Jangan ngambek dong, Tante, nanti Evan nangis, lho!" bujuk Evan sembari menarik kepala Riri agar kembali menatap wajahnya.
Sedangkan Raffa hanya menatap interaksi mereka berdua dengan penasaran. Wanita di hadapan Evan membuatnya teringat akan seseorang, tapi ia tidak bisa mengingatnya dengan baik.
Pakaian santai dengan kaus pendek, gelang rajut di tangan kiri, celana jin hitam panjang, dan rambut lurus sepunggung berwarna hitam membuat keningnya berkerut.
Penampilannya biasa saja, tapi kenapa gue ngerasa nggak asing sama dia?
"Tumben cepet banget?" pertanyaan itu membuat Raffa menatap Nayla.
"Gue ada rapat bentar lagi."
"Ya udah, sana pergi!"
Raffa berdecak, dia diusir, padahal dia yang menjemput Evan dan mengantarnya kemari. Raffa melangkah pergi, tapi ia menoleh ke belakang, melihat siluet wanita yang tampak tak asing dalam ingatannya.
Apa gue pernah ketemu sama dia? Tapi di mana ... dan kenapa dia kayak nggak pernah ketemu sama gue sebelumnya?
____
Duo pikun dan mesum akhirnya ketemu lagi. Wakakakakak
RAFFA menghentikan mobilnya di depan restoran, dia tidak turun demi membukakan pintu untuk seseorang yang sedang menatapnya dengan kesedihan. "Aku ... turun, ya?"Raffa menggertakkan giginya. "Kalau nggak turun, lo mau terus-terusan di sini emangnya?""Kupikir, kamu kangen sama aku," jawaban itu membuat Raffa meradang.Dia kangen, iya, dia kangen pada Riza. Sayangnya, dia tidak akan mau mengakuinya. Riza sudah punya pacar, tapi entah kenapa dia malah berdekatan dengan Raffa. Bukannya Raffa tidak pernah seperti ini, tapi dia selalu menjaga diri agar tidak mendua begitu dia memilih salah seorang menjadi pacarnya.Kalaupun dia mau bersama wanita lain, dia akan memutuskan kekasihnya lebih dulu. Dia takkan jalan bersama dua orang wanita secara bersamaan, tidak seperti perempuan di sebelahnya ini. Mereka sangat berkebalikan dan jujur saja, sifat itu tidak dia sukai."Entah kangen atau
SETELAH berdebat dengan ibunya, Raffa menyelinap keluar dan kembali ke rumah Ethan serta Nayla. Ia menyukai pekerjaan barunya merawat Evan untuk sementara. Ia merasa bisa melupakan masalah jodoh-menjodohkan untuk sejenak saat bersama keponakannya itu.Ketika sampai di sana, ia melihat Ethan serta Nayla duduk sembari melihat-lihat album. Dia yang penasaran pun menyelinap di belakangnya dan ikut mengintip—mengganggu kebersamaan— pasangan suami istri itu."Riri ikut fotonya cuma sekali doang, dih!" gerutuan Nayla membuat Raffa mengernyitkan dahi. "Mana fotonya sambil sok mesra sama kamu lagi," ujarnya dengan nada cemburu yang kentara.Raffa melongok dan memperhatikan seorang wanita yang bergelayut manja di lengan sepupunya. Dahinya mengernyit saat mengamati wajah wanita itu lekat-lekat.Wajah ayunya dipoles make-up tebal, gaun biru gelapnya tampak kontras dengan kulitnya yang putih, lalu kalung bint
MIMPI dikejar-kejar setan ternyata lebih horor daripada mimpi dikejar-kejar mantan. Kalau mantan masih bisa disentuh, diajak rundingan, atau apa aja, tapi kalau setan, baru lihat juga langsung lari tunggang langgang.Riri menghela napas kasar sembari menguap lebar. Dia menggaruk-garuk rambut lurusnya hingga berantakan sebelum melesat ke kamar mandi untuk mencuci muka di wastafel. Penampilan mukanya—sebelum mencuci muka—yang putih pucat dengan noda-noda hitam sialan, ditambah kantung matanya yang semakin menghitam nyaris membuatnya menjerit."Muka gue kayaknya perlu perawatan, nih," gumamnya.Riri melangkah keluar, mengambil ponsel dan mulai menjalankan aplikasi mobile banking. Penampakan saldo ATM-nya yang pas-pasan, sukses membuat ia nelangsa bukan main."Gimana caranya gue dapat duit lebih biar bisa beli skincare yang bagus coba? Atau gue minta aja sama Mama kali, ya?"Sepertiny
"NAMA lengkapnya Aryiella Garcia, umurnya sekitar 22 tahun, status jomlo, masih perawan, anak rumahan yang hampir nggak pernah keluar rumah kalau nggak ada kepentingan."Raffa mengernyit sambil memandangi kertas yang disodorkan Nayla padanya. Di situ tertuliskan alamat Riri lengkap beserta nomor teleponnya. Raffa memandangi Nayla sekali lagi, lalu mengulangi kata-kata wanita itu barusan padanya."Aryiella Garcia?"Nayla mengangguk. "Namanya cakep, sih, tapi orangnya kelihatan biasa aja." Nayla mengangkat bahunya tak acuh. "Itu menurut pengelihatan gue, kalau aslinya, ya, gue nggak tahu. Apalagi sifatnya yang agak absurd, lo serius mau ngelamar dia? Ini lamaran, lho, Raf, jangan lo ajak dia buat main-main doang!"Raffa mendengkus. "Padahal, lo sebelumnya ngedukung gue banget buat ngelamar dia, Nay."Nayla menghela napas kasar. "Iya, sih, daripada dia ngejomlo sampai kiamat, kasihan juga a
SARAPAN seperti biasa. Tidak ada suara, bahkan bunyi sendok yang beradu dengan piring tak diizinkan untuk berbunyi ketika anggota keluarga sedang makan. August menyelesaikan acara makannya pertama kali, disusul Raffa yang kemudian bangkit hendak pergi ke kantor. Seperti biasa, lalu kenapa Rosa menyuruhnya pulang kemarin?"Kamu mau ke mana?" Suara itu membuat langkah Raffa terhenti. "Kita akan pergi bersama sekarang.""Eh? Emang mau ke mana?" Raffa mengernyitkan dahinya tidak mengerti.Jangan bilang mau melamar Riri? Mana mungkin! Dia baru menghubungi ibunya kemarin, jadi tidak mungkin mereka bisa melamar Riri hari ini?Mereka pasti butuh waktu untuk meneliti latar belakang keluarga Riri dulu, paling tidak satu minggu, mereka baru bisa melamar Riri untuknya. Iya, kan?"Melamar Aryiella untuk kamu."Raffa menatap ibunya dengan delikan. "Kalian nggak lagi bohongin R
"HEI!" Raffa berhenti melangkah, dia menatap Riri dengan ekspresi datar. Riri pun balas menatapnya dingin."Gue tahu, lo nggak suka dengan perjodohan ini.""Siapa yang bilang?""Gue."Raffa memejamkan mata. "Kenapa lo bisa mikir gitu?""Karena lo punya segalanya, lo ganteng, kaya, sempurna, lo pasti bisa nyari wanita yang lo suka sendiri, bukannya dijodohin kayak gini."Raffa mendengkus. "Nyari cewek yang baik nggak semudah nyari cewek murahan."Riri gantian mendengkus. "Lo kurang gaul, kalau nggak pernah ketemu sama cewek baik-baik.""Cewek yang kelihatannya baik, belum tentu hatinya juga baik." Raffa menatap wanita itu tajam, kakinya membawanya mendekati wanita yang pernah meninggalkannya di atas ranjang.Apa Riri sama sekali tidak mengingatnya? Apa dia tidak ingat pernah bersinggungan dengan
RAFFA kembali ke ruang tamu dengan wajah cerah yang mencurigakan, sedang Riri menyusul di belakangnya dengan wajah pucat pasi dan seperti baru kehilangan tiga per empat nyawanya.Rosa sampai mendelik, bahkan August menghunjamkan tatapan mematikan untuk putra semata wayangnya. "Kamu apain dia, Raffa?" bisik Rosa sewaktu Raffa duduk di sampingnya.Raffa melirik Riri yang matanya tidak punya fokus. Wajahnya yang pucat serta tatapannya kosong entah mengapa malah membuat senyumnya timbul."Nggak apa-apa, kok, dia mau nikah sama Raffa." Riri sontak melotot ke arah Raffa yang malah tersenyum puas. "Iya, kan? Kita udah sepakat untuk menikah, kan?""Eng—""Baguslah kalau begitu," potong Arya tanpa membiarkan Riri membuka suara. "Kalian bisa pendekatan dulu sampai bulan depan, dua bulan lagi kalian akan menikah."Arlin tersenyum cerah. "Nak Raffa nggak keberatan menikah dua bulan l
PENDEKATAN itu memang perlu untuk sebuah hubungan. Raffa tidak menyangkal, karena dia juga membutuhkan waktu untuk mengenal Riri dengan lebih baik lagi dan juga sebaliknya, Riri perlu mengenalnya sebelum mereka menikah dua bulan lagi.Padahal, niat awal Raffa meminta dijodohkan dengan perempuan itu hanya karena harga diri, tapi entah mengapa ia setuju dengan rencana kedua orang tuanya kali ini. Ia ingin perempuan itu menjadi miliknya, rasa baru yang mungkin pertanda baik untuk hubungan mereka ke depannya."Raf, lo nanti mau jemput Evan, kan?""Hm." Raffa memakan sarapannya seperti biasa, di hadapannya ada Ethan dan Nayla, juga putra mereka Evan.Dia memang biasa menginap di sana sebagai baby sitter keponakannya, kadang juga ia akan pulang ke rumah orang tuanya seperti kemarin-kemarin. Padahal, dia punya apartemen pribadi yang kini kosong melompong tidak berpenghuni. Apartemen yang beberapa tahun terakhi
Perusahaan keluarga nyaris bangkrut, keuangan menipis lantaran terbiasa hidup hedonis.Lilya harus menerima takdir Kenanga yang menolak dijodohkan dengan Pak Tua Mesum dari keluarga Gunawan yang terkenal. Demi keluarga dia rela berkorban, dia rela digadaikan, dinikahkan dengan Pak Tua Mesum Gunawan yang terkenal kaya raya.Namun, Pak Tua itu tidak mau menunjukkan dirinya sebelum hari pernikahan mereka tiba. Sosoknya yang misterius dan selalu bersembunyi di balik kamera, akhirnya terungkap saat ia menikahi Lilya dengan cara terhormat."K-kamu ... masih muda?" tanya Lilya dengan polosnya."Kamu kira saya sudah tua?"Lilya menggeleng panik. "Tapi, kata Kak Kenanga, kamu orang tua mesum dari keluarga Gunawan yang terkenal."Laki-laki bernama Evan itu mendengkus keras. "Itu hanya rumor palsu tentang saya, jangan percaya rumor sebelum kamu melihat sendiri buktinya."Apakah Lilya yang selalu menderita bisa hidup bahagia dengan suaminya Evan? Ataukah Kenanga akan menjadi duri dalam daging di p
KEPALANYA terasa pusing, padahal Syila hanya perlu kembali pada teman-temannya dan mengatakan, kalau dia sudah menyelesaikan tantangannya untuk mencium orang pertama yang ia lihat ketika keluar dari toilet.Benar sekali, mereka sedang memainkan permainan terkenal "Truth or Dare" di mana Syila lebih memilih dare daripada dia harus berkata jujur pada teman-teman barunya.Syila menyenderkan tubuhnya ke tembok. Alkohol yang ia minum cukup banyak dan membuatnya mabuk, itu mengapa dia menerima tantangan gila itu tanpa protes apa pun."Hei!"Syila menoleh, dengan mata menyipit, mencoba mengenali sosok yang menghampirinya. Ternyata pria itu yang mendatanginya, Syila kira siapa."Kenapa?" Syila mengedip berulang kali.Awalnya, Syila pikir pria ini seorang perempuan, jadi ia sama sekali tak merasa ragu saat menciumnya. Apalagi dia sedang memakai hoodie hitam yang menutupi kepala, jadi identitasnya terasa samar-samar."Lo mabuk?""Hm, nggak apa-apa," gumam Syila seraya berjalan dengan menggunakan
TIDAK ada hal yang lebih mendebarkan daripada menunggu kelahiran anak pertama. Apalagi, baik Riri maupun Raffa sama-sama tidak mau mengetahui jenis kelamin anak mereka. Yang mereka mau dengar setiap kali memeriksakan kandungan adalah kesehatan bayi mereka di perut Riri yang kini sudah menginjak usia sembilan bulan.Raffa mendekatkan wajahnya ke perut buncit istrinya. "Kak, kamu beneran nggak mau apa-apa di dalam perut mamamu?"Riri terkikik melihatnya, ini bukan kali pertama Raffa berbicara pada anak mereka, tapi entah mengapa dia selalu ingin tertawa setiap kali melihatnya.Dulu, saat pertama kali Raffa berbicara pada anak mereka, dia memanggilnya dengan sapaan 'Dek' yang kemudian Riri lerai, "Memangnya kamu nggak mau punya anak lagi setelah ini?"Dan setelahnya Raffa jadi bersemangat untuk menyapa anak mereka setiap malam dengan panggilan 'Kakak'.Raffa memandangi istrin
RAFFA sedang bekerja. Punya asisten merangkap sekretaris seperti Allen membuat Raffa tidak bisa berbuat apa-apa selain duduk patuh di balik laptop dan mengerjakan semua tugasnya.Allen seperti memaksa Raffa membuang semua sifat malas yang ia punya. Dan pria itu berhasil, Raffa benar-benar ingin pekerjaannya segera selesai agar ia bisa pulang dan menemui istrinya, daripada harus menghadapi si Robot Allen terus-menerus.Ponsel Raffa tiba-tiba saja berbunyi. Dia meraih ponselnya dan mulai membuka akun sosmed yang barusan berbunyi.Dari Instagram Revan. Tampak, sahabatnya itu sedang memeluk seorang wanita dengan tangan kanannya.Raffa tersenyum manis, dia pikir Revan telah menemukan wanita pujaan hatinya, tapi begitu melihat wajah wanita itu, Raffa jadi ingin membunuh seseorang sekarang."Kalau jodoh nggak akan ke mana." Tulis Revan di caption Instagramnya yang membua
RIRI tidak boleh stres, tidak boleh banyak pikiran apalagi memikirkan kapan dia punya anak. Dia harus rileks, santai, dan biasa saja. Riri juga harus mengenali kapan dia berada di fase lagi tanggal subur atau tidak dan berusaha meminimalisir hubungan seksual yang keras atau aneh-aneh.Nasihat dari Revan sudah nancap di otak. Riri berharap bisa hamil cepat, bulan depan paling tidak dia sudah isi. Ini hanya rencana dan Riri tidak boleh terlalu berharap, karena kembali lagi, apakah Tuhan akan merestui niat dan keinginannya?"Raffa!"Raffa menoleh, dia mengernyitkan dahi saat Riri menghambur memeluk tubuhnya yang sedang duduk di ranjang sambil memangku laptop kerjanya."Maaf buat yang tadi siang, ya?"Raffa mengangguk singkat, kemudian mencium kening istrinya. "Maaf juga, karena kamu harus menerima karma dari perbuatanku di masa lalu. Maafin, aku, ya, Ri?"Riri menggeleng pelan. "Kamu nggak salah, seenggaknya sekarang kamu udah berubah. Kita bel
"GIMANA hasilnya?" tanya Raffa yang menunggu di depan pintu sambil menatap istrinya dengan harapan besar.Riri menyodorkan sebuah tes pack kepada Raffa dengan muka cemberut. "Negatif, aku nggak hamil."Raffa mendesah kecewa. Mereka merasa sudah membuat anak seperti biasa, tapi kenyataannya, Tuhan belum menitipkan seorang bayi pun pada mereka."Ya udah, deh, sabar dulu aja."Riri mendengkus. Raffa tahu pasti, kalau istrinya sedang kesal. Riri ingin punya anak secepatnya, tapi mereka belum dikaruniai juga. Namun, mau bagaimana lagi?"Aku sabar, kok, kamu juga yang sabar karena siap puasa lagi seminggu."Dan Raffa ingin segera punya anak, supaya dia tidak terkena lampu merah ketika ingin memiliki istrinya. Walau sembilan bulan kemudian dia akan merengut lantaran perhatian Riri terbagi, tapi setidaknya, Riri senang karena sudah punya baby, dan Raffa juga tidak akan
RAFFA tidak mendapat jawaban apa pun soal pembicaraan Riri dengan Diva. Dua perempuan itu sepakat untuk menutupi hasil pembicaraan mereka tempo hari darinya.Raffa tidak masalah. Apalagi Riri dan Diva tidak terlihat sedang bermusuhan, malah terkesan biasa saja. Hari ini Diva resmi pindah, karena Raffa telah mendapatkan sekretaris sekaligus asisten pribadinya yang baru.Namanya Allen, orangnya dingin, tidak banyak bicara, tapi lebih banyak bertindak. Benar-benar mirip dengan Ethan jika serius, sayangnya Allen lebih seperti robot tak punya perasaan daripada sepupunya yang terlampau baik itu.Raffa mendesah kasar seraya melonggarkan ikatan dasinya yang terasa mencekik leher. Punya asisten satu, bukannya membantunya rileks, malah membuatnya semakin stres.Apa karena Raffa belum dijatah oleh istrinya, ya?Raffa menghela napas kasar, matanya terpejam erat. Masa hukumannya tinggal seh
MELIHAT Riri keliling apartemen pakai kaus polos atau piama panjangnya saja, Raffa bisa terangsang. Apalagi, Riri sampai buka baju dan memamerkan perabotannya yang masih tertutupi bra dan celana dalam itu?Astaga!"Tidur, Ri!" pinta Raffa mati-matian menahan hasratnya sendiri.Namun, Riri tidak mau tidur, dia terus menggelayuti tubuh Raffa dan berulang kali mengecup sudut bibir atau area leher Raffa yang membuat pria itu mengerang keras.Antara dia harus meladeni istrinya atau dia harus menahan hasratnya.Jika hari ini bukan hari hukumannya, Raffa akan dengan senang hati meladeni ciuman panas Riri di sekujur tubuhnya. Bahkan perempuan itu dengan berani melucuti pakaian yang Raffa gunakan. Ikat pinggangnya bahkan sudah dilepaskan dan celana bahannya mulai ditarik-tarik ke bawah."Riri!" teriaknya frustrasi.Kalau dia meniduri Riri malam ini, bagai
UNTUK mengatasi rasa hausnya tentang masalah Raffa tempo hari, Riri menghubungi Nayla, berharap jika suami kakak tingkatnya itu bisa mendapatkan rekaman CCTV di ruangan Raffa saat itu.Namun, Ethan tidak memberinya jawaban. Dia tidak memberikan apa yang Riri inginkan dan hal itu ,membuat Riri kecewa. Padahal, dia sangat penasaran tentang apa yang terjadi sebenarnya.Kalau benar-benar Raffa berniat main belakang, Riri sudah siap-siap mengasah pisau dapurnya."Cemberut mulu."Raffa bergabung dengan Riri yang duduk di atas kasur mereka seraya memainkan laptop. Riri sepertinya sedang bekerja, tapi kenyataannya dia sedang mencari-cari cara agar dia bisa meretas CCTV di ruangan Raffa."Nih!" Raffa menyodorkan sebuah flashdisk yang membuat Riri mengernyitkan dahi."Apa ini?""Rekaman CCTV kantor. Ethan bilang kamu minta dilihatin, kan?"