Aezar hampir tidak tidur selama sebulan penuh. Matanya terus terpaku pada layar, menonton setiap video Ara, mencatat setiap detail yang ia bisa tangkap. Bukan untuk menikmati kontennya—tidak ada waktu untuk itu—tetapi untuk memahami gadis itu lebih dalam daripada siapa pun.
Apa yang disukai Ara? Apa yang dibencinya? Apa yang membuatnya bersemangat hingga matanya berbinar? Apa yang membuatnya kesal hingga nadanya meninggi?Aezar menganalisis semuanya, dari cara Ara berbicara hingga ekspresi wajahnya setiap kali dia membahas suatu game. Dan akhirnya, setelah ribuan catatan dan malam-malam yang dihabiskan dalam kelelahan, Aezar menemukan jawabannya.Ara menyukai game otome, tetapi ia juga menyukai aksi.Itulah yang membuat Aezar akhirnya mengajukan ide yang telah ia pikirkan matang-matang.---Pagi itu, di ruang kerja Aether, Aezar berdiri di hadapannya dengan tubuh yang hampir limbung karena kelelahan. Matanya sembab, lingkaran hitDi sebuah jalanan yang penuh sesak dengan makhluk hijau pucat, tubuh mereka berlumuran darah segar yang mengering di setiap inci kulitnya. Para Zombie menggeram ganas, memadati jalanan seperti gelombang maut yang tak terelakkan. Di tengah kekacauan itu, berdiri sepasang manusia—pria tampan, gagah dengan rambut pendek berwarna silver berponi yang tertiup angin, dan seorang wanita cantik, imut, nan anggun dengan rambut panjang tergerai bak sutra, melawan badai kehancuran. Mereka saling membelakangi, punggung mereka bersatu menjadi perisai dalam pertempuran hidup dan mati. Tangan mereka mantap, penuh fokus, membidik para Zombie yang semakin mendekat. Dor! Dor! Dor! Dentuman tembakan membelah udara, bergema di tengah hiruk-pikuk jeritan dan geraman. Satu per satu Zombie tumbang dengan akurasi yang mengerikan, namun kekacauan ini belum berakhir. Hingga... "Aaaahhh!" Jeritan melengking itu memecah konsentrasi. Wanita itu tersentak, menggigit bibir menahan rasa sakit yang luar biasa.
Ara, yang tidak ingin menjadi bagian dari "perkumpulan Zombie penggigit leher manusia," langsung berbalik arah dan berlari sekuat tenaga. Kakinya bergerak cepat, sementara napasnya memburu. Angin dingin yang menusuk seolah tidak cukup untuk meredakan ketegangan di tubuhnya.Di belakang, Zombie itu tidak tinggal diam. Dengan langkah pincang tapi penuh kekuatan, ia mengejar sambil terus mengeluarkan suara mengerikan, "Rrraww! Rrraww! Rrraaaaww!" Suara itu menggema, membuat setiap helai rambut di tubuh Ara berdiri.Setelah berlari tanpa henti, Ara akhirnya sampai di depan rumahnya. Dengan gerakan tergesa, ia membuka pintu dan masuk. Begitu tubuhnya melewati ambang pintu, ia langsung menguncinya rapat."Huft... Aku selamat," gumam Ara pelan, mencoba mengatur napas yang tersengal-sengal. Punggungnya bersandar di pintu, tubuhnya yang lelah perlahan merosot hingga ia terduduk di lantai. Kakinya terasa lemah, seperti tak mampu menahan tubuhnya lebih lama.Namun, ketenangan itu hanya bertahan
Tanpa pikir panjang, Ara berlari menuju gerbang sekolah. Tangannya gemetar saat ia berusaha menutup pagar sekolah dengan tergesa-gesa, berharap itu cukup untuk menghentikan para Zombie yang mengejarnya. Suara derit pagar yang tertutup terdengar memekakkan telinga, tapi itu tidak menenangkan hatinya. Napasnya terputus-putus, dan tubuhnya bergetar karena ketegangan. Namun, ketakutannya semakin memuncak ketika ia melihat apa yang terjadi di balik pagar. Para Zombie, meskipun tampak tanpa akal, mulai menunjukkan tekad yang luar biasa. Mereka saling tumpuk, memanjat tubuh satu sama lain, berlomba-lomba menjadi yang pertama melewati pagar. "Mereka ini dibilang bodoh, tapi pintar!" gumam Ara dengan wajah penuh kekhawatiran. Tanpa membuang waktu lagi, ia melanjutkan larinya ke dalam gedung sekolah. Suara langkah kakinya menggema di koridor yang sunyi. Ara membuka pintu salah satu kelas dan segera menutupnya rapat-rapat. Jendela kelas juga ia kunci dengan tangan yang gemetar. Setelah
Pria itu, yang kini dipastikan adalah Aezar, tampak terkejut namun tetap tersenyum lembut. Ia mengulurkan tangannya untuk menyentuh bahu Ara, mencoba menenangkan kegelisahannya. "I- iya, sayang. Ini aku, Aezar," suaranya tegas namun lembut. Tatapannya penuh perhatian, seolah melihat dunia hanya melalui mata Ara. "Apa kau baik-baik saja? Istriku..." Kalimat itu membuat Ara semakin terguncang. "Istriku?" pikirnya. Tubuhnya membeku, seluruh pikirannya kacau balau, mencoba merangkai semua potongan puzzle yang belum masuk akal baginya. Mata Ara membelalak, jantungnya berdebar kencang. Dia tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Istri? Pria asing ini, dengan suara berat dan wajah sempurna, memanggilnya istri. Ara menelan ludah, pikirannya penuh dengan kebingungan. Pria itu... terlalu familiar. Terlalu mirip dengan Aezar, karakter favoritnya di game. "A-apa maksudmu berkata begitu, Pak?" tanya Ara dengan nada penuh kepanikan. Suaranya gemetar, seakan mencari pegangan di teng
"Omong-omong... Apa lukamu sudah tidak sakit lagi?" tanya Aezar dengan nada khawatir, tatapannya tertuju pada perban putih yang melilit kepala Ara. Kekhawatiran itu terlihat jelas di wajahnya, meski nada bicaranya tetap tenang.Ara tersentak mendengar pertanyaan itu. Sejujurnya, rasa nyeri di kepalanya masih sangat terasa, menusuk hingga membuatnya sulit berpikir jernih. Namun, ia mencoba menyembunyikannya dengan mengalihkan perhatian. "Apa? Oh, aku..." Ara tergagap, namun rasa ingin tahu menguasainya. Ia menyentuh bagian perban di kepalanya, tepat di atas luka. "Tunggu! Jangan disentuh!" suara Aezar menggema di ruangan. Dalam hitungan detik, ia meraih tangan Ara dengan cekatan, mencegah gadis itu menyentuh area yang belum sembuh sepenuhnya. Gerakan itu membuat jarak mereka semakin dekat. Mata mereka bertemu, hanya beberapa sentimeter memisahkan wajah keduanya. Tatapan Aezar yang dalam dan serius seperti mengunci pandangan Ara. Untuk sesaat, dunia terasa hening. Ara buru-buru mena
Aezar kini berdiri di dalam garasi yang gelap, hanya diterangi cahaya redup dari lampu gantung. Langkahnya mantap, tak tergesa, namun penuh keyakinan, menuju sebuah sepeda motor sport berwarna hitam legam. Motor itu terlihat seperti seekor binatang buas yang siap menerkam, dengan bodi aerodinamis dan kilauan metaliknya yang gagah. Ia mengusap joknya sebentar, seolah memberi salam pada kuda besinya, sebelum melangkah ke sisi motor dan mengenakan helm hitam pekat. Setelah memutar kunci, mesin motor menggeram, menggetarkan udara dengan suara brutal. "Bruuum!" Raungan knalpot memenuhi ruang garasi, seakan mengumumkan keberangkatan sang pemilik. Dengan satu gerakan gesit, Aezar melajukan motornya keluar garasi, menembus jalanan yang sunyi dan kelam. Udara dingin malam menerpa wajahnya, tapi tatapan Aezar tetap tajam, mengawasi setiap sudut jalan dengan kewaspadaan seorang pemburu. Tak lama, dari kejauhan, ia melihat sosok yang tak asing lagi baginya—seorang zombie dengan gerakan cepat
Dengan satu-satunya senjata yang ia miliki, tongkat baseball di tangan, Aezar menggertakkan giginya, menahan rahang zombie yang nyaris menggigitnya. Giginya yang kotor dan berlumuran darah hanya beberapa inci dari wajahnya. "Arrgh... tidak secepat itu, sobat!" seru Aezar sambil mendorong kepala zombie dengan tongkatnya, membuat makhluk itu menggeram ganas. Namun, tiba-tiba, ia merasakan hawa dingin di tengkuknya. Sebuah insting tajam menyerangnya. Ada sesuatu—atau seseorang—di belakangnya. Aezar segera menoleh. Benar saja, seorang zombie lain berada tepat di belakangnya, mulutnya menganga lebar, siap merobek tenggorokannya. Waktu seakan melambat saat ia menyadari kematian sudah di depan mata. Dor! Tanpa peringatan, kepala zombie itu meledak seperti balon yang pecah. Darah segar muncrat deras, menyembur ke udara sebelum tubuhnya tumbang dengan suara berdebum. Aezar terdiam sejenak
"Aezar! Itu barbel, bukan tombak!" teriak Ara dengan suara lantang dari atas balkon. Ia berdiri dengan tegak sambil memegang erat teropong jarak jauh di tangannya, ekspresinya penuh kekesalan bercampur cemas. "Apa dia pikir barbel itu ringan?!" gumam Ara sambil terus mengawasi gerak-gerik Aezar. Ia memicingkan mata, mencoba menilai situasi. Sambil terus memantau, Ara mulai berbicara pada dirinya sendiri, seperti seseorang yang tengah mencoba mencari logika di tengah kekacauan. "Barbel itu... Hmm, kelihatannya sekitar dua puluh kilogram. Yah, mungkin bagi dia itu tidak berat. Aku saja kuat mengangkat dua tabung gas tiga kilogram sekaligus!" Ia mengangguk-angguk, merasa teori konspirasi kecilnya masuk akal. Namun, perhatian Ara segera teralihkan. Ia melihat sesuatu yang membuatnya terkejut melalui teropong. "Eh, tunggu! Itu kan..." Tanpa membuang waktu, Ara meletakkan teropongnya di samping, mengambil senapan, dan kembali ke
Aezar hampir tidak tidur selama sebulan penuh. Matanya terus terpaku pada layar, menonton setiap video Ara, mencatat setiap detail yang ia bisa tangkap. Bukan untuk menikmati kontennya—tidak ada waktu untuk itu—tetapi untuk memahami gadis itu lebih dalam daripada siapa pun.Apa yang disukai Ara? Apa yang dibencinya? Apa yang membuatnya bersemangat hingga matanya berbinar? Apa yang membuatnya kesal hingga nadanya meninggi?Aezar menganalisis semuanya, dari cara Ara berbicara hingga ekspresi wajahnya setiap kali dia membahas suatu game. Dan akhirnya, setelah ribuan catatan dan malam-malam yang dihabiskan dalam kelelahan, Aezar menemukan jawabannya.Ara menyukai game otome, tetapi ia juga menyukai aksi.Itulah yang membuat Aezar akhirnya mengajukan ide yang telah ia pikirkan matang-matang.---Pagi itu, di ruang kerja Aether, Aezar berdiri di hadapannya dengan tubuh yang hampir limbung karena kelelahan. Matanya sembab, lingkaran hit
Lima tahun berlalu dalam keheningan yang menyakitkan. Selama itu, Aezar menjalankan tugasnya dengan patuh, memastikan dirinya selalu berada di posisi kedua seperti yang diminta. Ia tak pernah mengeluh, tak pernah menunjukkan rasa keberatan. Sementara itu, Aether terus bersinar, menjadi kebanggaan keluarga dengan predikat juara satu yang seakan ditakdirkan untuknya.Hari kelulusan pun tiba. Aula sekolah dipenuhi riuh tepuk tangan dan sorak-sorai kebahagiaan. Namun, di sudut ruangan, tersembunyi dari sorotan lampu dan perhatian siapa pun, berdirilah Aezar. Ia tidak mengenakan toga atau jas yang terlihat mencolok. Bajunya sederhana, senyumnya dipaksakan, dan tatapannya kosong. Ia tidak mengharapkan pujian, tidak mendambakan perhatian. Hari itu adalah milik Aether, seperti hari-hari lainnya dalam hidup mereka.Aether melangkah ke panggung dengan penuh percaya diri, menerima penghargaan kelulusan sambil tersenyum lebar. Tepuk tangan membahana memenuhi aula, terutama dar
Enam bulan telah berlalu, membawa perubahan besar dalam dinamika kehidupan Aezar. Hari itu, di sekolah, momen pembagian rapor kedua menjadi penentu kenaikan kelas. Ruangan penuh dengan para orang tua yang antusias, menunggu dengan sabar untuk mengetahui hasil anak-anak mereka. Ayah dan ibu Aether duduk di kursi depan, wajah mereka penuh dengan kebanggaan. Ketika giliran mereka tiba, ayahnya bertanya kepada guru wali kelas dengan penuh semangat, "Jadi, Aether ranking berapa?" Guru wali kelas itu tersenyum cerah. "Selamat, ya! Aether mendapatkan ranking pertama!" Senyuman di wajah ayah dan ibu Aether langsung merekah. Kebanggaan terpancar jelas dari raut wajah mereka. "Itu anak kita!" ucap ayahnya dengan penuh rasa puas. "Daddy tahu kamu pasti bisa!" Aether, yang berdiri di samping mereka, tersenyum lebar. "Mommy, Daddy, aku kan anak pintar!" katanya penuh percaya diri. Namun, suasana berubah saat guru wali kel
Malam itu, di kamar yang sunyi, Aezar duduk di meja belajar kecil miliknya, mencoba menyelesaikan PR yang diberikan di sekolah. Dengan serius ia menuliskan jawaban di atas kertas. Hanya suara gesekan pensil dengan kertas yang menemani malamnya. Tapi, kedamaian itu tak bertahan lama. BRAK! Buku tulis Aezar terlempar dari meja, mendarat di lantai dengan halaman-halaman yang terbuka. Pensil yang ia pegang terlepas dari jemarinya dan jatuh, patah menjadi dua. Aezar menoleh perlahan. Di depannya, berdiri Aether dengan tangan menyilang, wajahnya dipenuhi ekspresi kesal yang berlebihan. "Aku tidak mengerti! Kerjakan PR-ku!" serunya dengan nada penuh tuntutan, seolah itu adalah perintah yang tidak bisa dibantah. Tanpa menunggu jawaban, Aether berjalan menuju sofa, lalu duduk santai sambil menyalakan televisi. Tawa ceria dari kartun yang ia tonton terdengar memenuhi ruangan, kontras dengan suasana hati Aezar yang mendadak gelap.
Beberapa tahun telah berlalu. Waktu berjalan cepat, seperti bayangan yang terus melaju tanpa henti. Kini, Aether sudah menginjak usia enam tahun, sementara Aezar, kakak angkatnya, berusia sebelas tahun.Rumah megah itu dipenuhi keriuhan pagi ini. "Daddy! Usia Aether sudah genap enam tahun!" seru sang ibu dengan penuh semangat, matanya berbinar-binar seperti anak kecil yang mendapatkan hadiah.Ayahnya, yang sedang duduk di ruang tamu dengan koran di tangannya, tersenyum lebar. "Kita harus memasukkannya ke sekolah terbaik!" ujarnya dengan nada penuh keyakinan.Aether kecil melompat-lompat kegirangan di tengah ruangan, rambut silvernya yang halus berkilauan di bawah sinar matahari pagi yang masuk melalui jendela besar. "Aku mau sekolah! Aku mau sekolah!" serunya tanpa henti, ekspresi antusias itu begitu murni.Sementara itu, tidak jauh dari sana, Aezar sedang sibuk di sudut ruangan, tangannya memegang sebuah vacuum cleaner. Dia membungkuk, menyedot debu yang menumpuk di karpet dengan ger
Aezar berdiri di tepi gedung tinggi, tubuhnya mematung dalam bayang sinar bulan yang dingin. Matanya yang merah menyala menatap jalanan di bawah yang dipenuhi mayat zombie berserakan, seperti pemandangan kelam yang menjadi saksi kehancuran. Angin malam berhembus, membawa bau busuk kematian, tetapi Aezar tidak menunjukkan ekspresi apa pun. Hanya satu kalimat lirih yang keluar dari bibirnya, “Aku bebas sekarang.”Dia berbalik, dan tanpa ragu, melompat dari satu atap ke atap lainnya, tubuhnya bergerak lincah seperti bayangan di tengah malam. Langkahnya ringan, namun penuh semangat yang membara. “Bebas!” serunya, suaranya menggema di antara gedung-gedung kosong yang sunyi. “Tidak ada lagi yang mengaturku! Tidak ada lagi yang bisa menghentikanku! Aku bisa menjalani hidup seperti yang aku inginkan!”Namun, setiap lompatan membawa kenangan yang kembali menghantui. Dalam kegembiraannya, ada bayangan kelam yang menyelimuti hati. Senyumnya perlahan memudar, tergantikan oleh sorot mata penuh luk
Ara terkekeh sinis, meski hatinya terasa sesak oleh amarah dan ketakutan yang bercampur menjadi satu. Matanya menatap Aether dengan penuh kebencian, bahkan bibirnya yang mulai gemetar tetap melontarkan kata-kata pedas. "Sekarang apa maumu? Memaksaku menjadi mainanmu?" tantangnya, suaranya bergetar namun tegas."Bukan!" jawab Aether dengan nada yang tajam dan tegas, seperti dentuman guntur yang memenuhi ruangan. Tatapannya dingin namun membara. Dia perlahan naik ke atas ranjang, lututnya menyentuh matras dengan gerakan yang terlihat begitu penuh kendali, seperti predator yang baru saja mengepung mangsanya. "Aku ingin..." kata Aether, suaranya menurun, terdengar seperti bisikan mengancam. Wajahnya semakin dekat, napasnya terasa di wajah Ara. "Membuatmu jadi milikku."Tanpa aba-aba, Aether menarik kepala Ara dengan gerakan cepat, membuat jarak di antara mereka menjadi hampir tidak ada. Bibirnya mendekat dengan ancaman yang jelas. Namun sebelum ia sempat menyentuh Ara,
Aether perlahan melepaskan cengkeramannya dari dagu Ara, membuat gadis itu langsung memegangi rahangnya yang terasa nyeri. Tatapan Ara menusuk tajam, penuh amarah dan rasa muak, namun Aether hanya membalasnya dengan senyum tipis yang hampir menyeramkan. Ia mulai berjalan santai mengitari ranjang, seperti pemangsa yang menikmati momen bermain-main dengan buruannya."Jadi ini rasanya..." gumam Aether, dengan suara rendah yang dipenuhi keasyikan. "Berhadapan langsung dengan seseorang yang selama ini hanya aku saksikan lewat layar. Kau lebih menarik di dunia nyata, Ara."Ara mendengus kesal, matanya mengikuti gerakan pria itu dengan waspada. "Hentikan omong kosongmu. Kau pikir aku akan terkesan dengan pengakuan murahan seperti itu?"Namun Aether tidak menggubris kata-kata tajam Ara. Senyumnya perlahan melebar, matanya bersinar dengan sesuatu yang sulit ditebak. "Aku memang penggemarmu, Ara," katanya akhirnya, suaranya hampir berbisik. "Kemampuanmu bermain game benar-benar memukau. Aku tak
Ara merebahkan tubuhnya di atas ranjang dengan lelah. Tubuhnya yang masih lemah terasa begitu berat, seolah setiap helaan napas menjadi perjuangan tersendiri. Dia menopang dagunya dengan tangan, menatap ke dinding kosong di hadapannya, pikirannya berkecamuk tanpa arah."Aku sangat bingung dengan semua ini..." gumamnya dengan suara pelan, hampir seperti berbisik pada dirinya sendiri. Tatapannya kosong, melayang-layang di antara fakta-fakta yang baru saja ia ketahui.Dia berguling perlahan hingga tubuhnya telentang, pandangannya mengarah ke langit-langit kamar yang megah namun terasa begitu dingin. Tangannya menyentuh permukaan kasur yang lembut, mencoba mencari kehangatan yang tak kunjung ia temukan di dalam hatinya. "Virus zombie ini ternyata virus buatan... Diciptakan oleh Eryas," bisiknya. "Dokter muda yang terkenal, yang menjadi model karakter di game Love and Zombie. Sifatnya... Sangat dingin. Itu pasti mencerminkan sifat aslinya, bukan hanya karakter game."Suara Ara terdengar ge