Enam bulan telah berlalu, membawa perubahan besar dalam dinamika kehidupan Aezar. Hari itu, di sekolah, momen pembagian rapor kedua menjadi penentu kenaikan kelas. Ruangan penuh dengan para orang tua yang antusias, menunggu dengan sabar untuk mengetahui hasil anak-anak mereka.
Ayah dan ibu Aether duduk di kursi depan, wajah mereka penuh dengan kebanggaan. Ketika giliran mereka tiba, ayahnya bertanya kepada guru wali kelas dengan penuh semangat, "Jadi, Aether ranking berapa?" Guru wali kelas itu tersenyum cerah. "Selamat, ya! Aether mendapatkan ranking pertama!" Senyuman di wajah ayah dan ibu Aether langsung merekah. Kebanggaan terpancar jelas dari raut wajah mereka. "Itu anak kita!" ucap ayahnya dengan penuh rasa puas. "Daddy tahu kamu pasti bisa!" Aether, yang berdiri di samping mereka, tersenyum lebar. "Mommy, Daddy, aku kan anak pintar!" katanya penuh percaya diri. Namun, suasana berubah saat guru wali kelLima tahun berlalu dalam keheningan yang menyakitkan. Selama itu, Aezar menjalankan tugasnya dengan patuh, memastikan dirinya selalu berada di posisi kedua seperti yang diminta. Ia tak pernah mengeluh, tak pernah menunjukkan rasa keberatan. Sementara itu, Aether terus bersinar, menjadi kebanggaan keluarga dengan predikat juara satu yang seakan ditakdirkan untuknya.Hari kelulusan pun tiba. Aula sekolah dipenuhi riuh tepuk tangan dan sorak-sorai kebahagiaan. Namun, di sudut ruangan, tersembunyi dari sorotan lampu dan perhatian siapa pun, berdirilah Aezar. Ia tidak mengenakan toga atau jas yang terlihat mencolok. Bajunya sederhana, senyumnya dipaksakan, dan tatapannya kosong. Ia tidak mengharapkan pujian, tidak mendambakan perhatian. Hari itu adalah milik Aether, seperti hari-hari lainnya dalam hidup mereka.Aether melangkah ke panggung dengan penuh percaya diri, menerima penghargaan kelulusan sambil tersenyum lebar. Tepuk tangan membahana memenuhi aula, terutama dar
Aezar hampir tidak tidur selama sebulan penuh. Matanya terus terpaku pada layar, menonton setiap video Ara, mencatat setiap detail yang ia bisa tangkap. Bukan untuk menikmati kontennya—tidak ada waktu untuk itu—tetapi untuk memahami gadis itu lebih dalam daripada siapa pun.Apa yang disukai Ara? Apa yang dibencinya? Apa yang membuatnya bersemangat hingga matanya berbinar? Apa yang membuatnya kesal hingga nadanya meninggi?Aezar menganalisis semuanya, dari cara Ara berbicara hingga ekspresi wajahnya setiap kali dia membahas suatu game. Dan akhirnya, setelah ribuan catatan dan malam-malam yang dihabiskan dalam kelelahan, Aezar menemukan jawabannya.Ara menyukai game otome, tetapi ia juga menyukai aksi.Itulah yang membuat Aezar akhirnya mengajukan ide yang telah ia pikirkan matang-matang.---Pagi itu, di ruang kerja Aether, Aezar berdiri di hadapannya dengan tubuh yang hampir limbung karena kelelahan. Matanya sembab, lingkaran hit
Seolah sudah ditakdirkan sejak awal, lima pria yang menjadi model karakter dalam Love and Zombie kini berkumpul dalam satu ruangan.Udara di dalamnya terasa tegang, seakan menyadari bahwa sesuatu yang besar—dan berbahaya—akan segera dimulai.Setiap orang membawa aura yang berbeda. Ada ambisi yang membara. Ada ketidakpedulian yang berusaha ditutupi. Ada keraguan yang mulai menggerogoti. Dan di tengah itu semua, ada kecemburuan yang meracuni segalanya.Aether berdiri di depan mereka, ekspresi wajahnya penuh semangat, seperti seorang komandan yang hendak mengirim pasukannya ke medan perang."Baiklah," katanya, suaranya bergema di ruangan. "Kita akan menjalankan ini sesuai rencana."Kaelen, pria berambut biru tua yang bersandar di dinding dengan tangan terlipat, menghela napas panjang. Raut wajahnya jelas menunjukkan ketidakrelaan."Ugh... Aku tidak mau ikut-ikutan dalam masalah ini... Tidak bisakah aku tidak ikutan?"Nada s
Aezar berdiri di ambang pintu, tubuhnya menegang saat pandangannya menangkap pemandangan yang menghancurkan hatinya. Ara terduduk di lantai, tubuh mungilnya bergetar hebat, tangisnya pecah tanpa kendali, memenuhi ruangan dengan suara kepedihan yang menggema. Luka-luka menganga di kakinya, darah segar mengalir, membentuk jejak keputusasaan di lantai yang dingin.Napas Aezar tercekat. Ara—gadis yang selalu tersenyum, selalu membawa cahaya dalam hidupnya—kini hancur, terguncang, jatuh dalam penderitaan yang bahkan tak mampu ia bayangkan. Matanya yang dulu bersinar penuh kehangatan kini meredup dalam kabut kesakitan. Semua ini… karena Aether.Di hadapan Ara yang tersungkur lemah, seorang pemuda berlutut, kedua tangannya berusaha menghentikan aliran darah yang terus merembes dari tubuh gadis itu. Wajahnya terlihat panik, namun di balik kepanikan itu, ada sesuatu yang lebih mengerikan—sesuatu yang membuat kemarahan Aezar membuncah seketika."Ara, aku minta maaf… Aku sungguh minta maaf… Berh
Aezar dan Aether kini berdiri saling berhadapan di bawah langit malam yang dipenuhi awan kelam. Angin bertiup kencang, membawa aroma tanah basah dan darah yang masih mengering di tubuh mereka. Kedua lelaki itu tak saling mengalihkan pandangan, masing-masing bersiap untuk mengakhiri pertarungan ini dengan cara mereka sendiri. Tanpa peringatan, Aether melesat dengan kecepatan luar biasa, tubuhnya bagai bayangan yang bergerak tanpa suara. Tinju mautnya meluncur langsung ke wajah Aezar dengan kekuatan penuh.Namun, Aezar lebih cepat. Dengan lincah, ia memiringkan tubuhnya, menghindari pukulan itu hanya dalam hitungan detik. Mata merahnya menyala tajam, mengikuti setiap gerakan Aether yang terus menyerangnya tanpa henti. Udara bergetar di sekitar mereka, menciptakan tekanan yang mencekam. Serangan Aether begitu cepat, secepat angin yang mengamuk, tetapi Aezar menghindarinya dengan kelincahan yang tak kalah mengerikan.Lelah bertahan, Aezar akhirnya menangkap tangan Aether di tengah serang
Aezar berlutut di sisi tempat tidur, perlahan mengangkat tubuh Ara ke dalam pelukannya. Dia begitu ringan, begitu lemah, dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Aezar merasa takut—takut kehilangannya. Dengan penuh kelembutan, ia mulai membalut luka di kaki Ara, memastikan tidak ada lagi darah yang terus mengalir. "Maafkan aku, Ara..." bisiknya lirih, hampir seperti doa. "Aku tidak akan pernah meninggalkanmu lagi. Aku akan merawatmu."Tangan Ara sedikit bergetar saat ia mengangkatnya, jemarinya menyentuh lengan Aezar dengan lembut. "Papa..." gumamnya lemah, nyaris tak terdengar. Air mata jatuh dari matanya, membasahi pipinya yang sudah pucat. "Aku tidak tahu Papa ada di mana... Apa yang terjadi dengannya..."Aezar menatapnya dengan lembut, meskipun ada luka di hatinya yang sulit dijelaskan. Ia mengusap rambut Ara dengan hati-hati, memastikan gadis itu tetap merasa aman dalam pelukannya. "Kita akan mencarinya," ucapnya, suaranya penuh keyakinan. "Sebelum itu, berja
Aezar merawat Ara dengan sangat telaten, memastikan setiap luka di tubuh gadis itu sembuh secepat mungkin. Sama seperti saat awal pertemuan mereka—bedanya, kali ini tidak ada kebohongan, tidak ada niat tersembunyi. Ia melakukannya dengan tulus, bukan karena mengharapkan kebebasan atau keuntungan apa pun, tetapi karena Ara adalah satu-satunya orang yang ingin ia jaga dengan segenap hatinya.Ara menatap Aezar yang dengan sabar menyuapinya makanan. Meski tubuhnya masih lemah, pikirannya sudah mulai jernih, dan ada terlalu banyak pertanyaan yang ingin ia tanyakan. "Boleh aku tahu apa yang sebenarnya terjadi di sini?"Aezar terdiam sejenak. Tangannya yang memegang sendok berhenti di udara, dan ia menunduk. Ada keraguan di matanya, seakan otaknya sedang berusaha memilah kata-kata yang tepat untuk mengungkapkan kebenaran. Namun ia tahu, ia tidak boleh terus melarikan diri dari pertanyaan ini. Ara berhak tahu segalanya.Ia menarik napas panjang sebelum akhirnya mulai berbicara. "Jadi... Ini s
"Suami?"Ara menatap Aezar dengan ekspresi kesal, kedua alisnya bertaut, bibirnya sedikit mengerucut. "Kau serius mengatakan itu sekarang?"Aezar semakin menunduk, merasa salah tingkah. Jemarinya dengan canggung menggaruk kepalanya sendiri yang jelas-jelas tidak terasa gatal. "Maksudku..." suaranya terdengar lemah, nyaris tidak terdengar.Namun, bukannya marah, Ara justru terkekeh kecil. Nada suaranya ringan, penuh keisengan. "Bukankah papa sudah bilang kalau pernikahan kita tidak sah? Kita masih harus meminta restu papaku dan menggelar pernikahan secara resmi. Baru setelah itu aku boleh menganggapmu sebagai suamiku."Aezar menatapnya dengan mata berbinar. Ada cahaya harapan di sana, sesuatu yang membuatnya terlihat lebih hidup. "Apa itu berarti... kau mau jadi istriku, Ara? Istri sungguhan, secara sah?"Ara mengangguk tanpa ragu. Namun sebelum Aezar bisa bereaksi lebih jauh, Ara mengangkat satu jari, ekspresi usilnya kembali muncul. "Tap
"Di mana Mama dan adik-adikku?!"Suara Ara menggema di seluruh ruangan, memenuhi udara dengan kemarahan yang tak terbendung. Sorot matanya membara, penuh dengan amarah dan tekad. Ia menatap tajam ke arah Darius, tubuhnya menegang dalam ketidakberdayaan. "Lepaskan Papa dan kembalikan keluargaku!"Darius menanggapinya dengan seringai lebar. Dalam kegelapan ruangan, perlahan telinga serigala mulai muncul di kepalanya, mencuat di antara helaian rambutnya yang cokelat tua. Sebuah ekor berbulu lebat menembus bagian belakang celananya, bergerak dengan liar seiring dengan geliat tubuhnya yang berubah."Kalau aku tidak mau, apa yang ingin kau lakukan, gadis kecil?" suaranya rendah, parau, penuh ejekan.Tiba-tiba, Darius menghilang dari tempatnya berdiri. Hanya dalam sekejap, dia telah melesat ke arah Ara, begitu cepat hingga nyaris tak kasat mata. Udara bergemuruh saat tubuhnya melayang, cakarnya yang tajam melesat dengan kecepatan mematikan, siap mencabik tubuh Ara."Ara!!"Teriakan Dharma me
Setelah seminggu penuh Aezar merawatnya dengan sabar, akhirnya tubuh Ara mulai pulih. Meski langkahnya masih sedikit tertatih dan belum sepenuhnya normal, rasa sakit yang dulu mencengkeram setiap inci tubuhnya kini mulai berkurang. Tenaganya sudah kembali, dan semangatnya menyala lebih terang dari sebelumnya.Ara menatap Aezar dengan mata berbinar, penuh harapan. "Sekarang, kita bisa menyelamatkan Papa, Mama, dan adik-adikku!" serunya, tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya.Namun, alih-alih ikut bersemangat, Aezar justru menatapnya dengan ekspresi penuh kekhawatiran. Kedua alisnya bertaut, dan matanya yang merah menyala memancarkan keraguan yang dalam. "Apa kau yakin akan baik-baik saja?" tanyanya pelan. "Aku takut sesuatu yang buruk akan terjadi padamu lagi. Bagaimana jika kau menunggu di sini saja?"Ara terdiam. Ia tidak ingin ditinggalkan sendirian. Tidak lagi. Pikirannya berputar cepat, mencari alasan yang cukup masuk akal agar Aezar tidak bersikeras meninggalkannya. Lalu, sebe
"Werewolf?"Mata Ara membulat seketika, nyaris tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.Aezar mengangguk tegas, ekspresinya serius. "Benar. Darius adalah werewolf."Ara menunduk, tangannya menopang dagu, mencoba mencerna semua informasi yang telah ia terima. "Jadi... kau adalah vampir, Aether adalah alien, Kaelen adalah merman, dan Darius adalah werewolf."Ia mengangkat kepalanya dan menatap Aezar tajam. "Lalu bagaimana dengan Eryas?"Aezar menatapnya sejenak sebelum akhirnya menjawab dengan nada lebih tenang. "Eryas… dia manusia. Sama sepertimu."Ara menghela napas panjang sebelum akhirnya membanting tubuhnya ke kasur dengan kesal. Kepalanya terasa berat, pikirannya berputar tanpa kendali. "Apa-apaan ini? Aku kira makhluk seperti kalian hanya ada di cerita fantasi!"Aezar terkekeh pelan sebelum menjawab. "Tapi nyatanya kami memang ada. Hanya saja, kami berusaha sebisa mungkin untuk tidak terlihat mencolok dan berbaur semirip mungkin dengan manusia."Ara mengernyit. "Kenap
"Suami?"Ara menatap Aezar dengan ekspresi kesal, kedua alisnya bertaut, bibirnya sedikit mengerucut. "Kau serius mengatakan itu sekarang?"Aezar semakin menunduk, merasa salah tingkah. Jemarinya dengan canggung menggaruk kepalanya sendiri yang jelas-jelas tidak terasa gatal. "Maksudku..." suaranya terdengar lemah, nyaris tidak terdengar.Namun, bukannya marah, Ara justru terkekeh kecil. Nada suaranya ringan, penuh keisengan. "Bukankah papa sudah bilang kalau pernikahan kita tidak sah? Kita masih harus meminta restu papaku dan menggelar pernikahan secara resmi. Baru setelah itu aku boleh menganggapmu sebagai suamiku."Aezar menatapnya dengan mata berbinar. Ada cahaya harapan di sana, sesuatu yang membuatnya terlihat lebih hidup. "Apa itu berarti... kau mau jadi istriku, Ara? Istri sungguhan, secara sah?"Ara mengangguk tanpa ragu. Namun sebelum Aezar bisa bereaksi lebih jauh, Ara mengangkat satu jari, ekspresi usilnya kembali muncul. "Tap
Aezar merawat Ara dengan sangat telaten, memastikan setiap luka di tubuh gadis itu sembuh secepat mungkin. Sama seperti saat awal pertemuan mereka—bedanya, kali ini tidak ada kebohongan, tidak ada niat tersembunyi. Ia melakukannya dengan tulus, bukan karena mengharapkan kebebasan atau keuntungan apa pun, tetapi karena Ara adalah satu-satunya orang yang ingin ia jaga dengan segenap hatinya.Ara menatap Aezar yang dengan sabar menyuapinya makanan. Meski tubuhnya masih lemah, pikirannya sudah mulai jernih, dan ada terlalu banyak pertanyaan yang ingin ia tanyakan. "Boleh aku tahu apa yang sebenarnya terjadi di sini?"Aezar terdiam sejenak. Tangannya yang memegang sendok berhenti di udara, dan ia menunduk. Ada keraguan di matanya, seakan otaknya sedang berusaha memilah kata-kata yang tepat untuk mengungkapkan kebenaran. Namun ia tahu, ia tidak boleh terus melarikan diri dari pertanyaan ini. Ara berhak tahu segalanya.Ia menarik napas panjang sebelum akhirnya mulai berbicara. "Jadi... Ini s
Aezar berlutut di sisi tempat tidur, perlahan mengangkat tubuh Ara ke dalam pelukannya. Dia begitu ringan, begitu lemah, dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Aezar merasa takut—takut kehilangannya. Dengan penuh kelembutan, ia mulai membalut luka di kaki Ara, memastikan tidak ada lagi darah yang terus mengalir. "Maafkan aku, Ara..." bisiknya lirih, hampir seperti doa. "Aku tidak akan pernah meninggalkanmu lagi. Aku akan merawatmu."Tangan Ara sedikit bergetar saat ia mengangkatnya, jemarinya menyentuh lengan Aezar dengan lembut. "Papa..." gumamnya lemah, nyaris tak terdengar. Air mata jatuh dari matanya, membasahi pipinya yang sudah pucat. "Aku tidak tahu Papa ada di mana... Apa yang terjadi dengannya..."Aezar menatapnya dengan lembut, meskipun ada luka di hatinya yang sulit dijelaskan. Ia mengusap rambut Ara dengan hati-hati, memastikan gadis itu tetap merasa aman dalam pelukannya. "Kita akan mencarinya," ucapnya, suaranya penuh keyakinan. "Sebelum itu, berja
Aezar dan Aether kini berdiri saling berhadapan di bawah langit malam yang dipenuhi awan kelam. Angin bertiup kencang, membawa aroma tanah basah dan darah yang masih mengering di tubuh mereka. Kedua lelaki itu tak saling mengalihkan pandangan, masing-masing bersiap untuk mengakhiri pertarungan ini dengan cara mereka sendiri. Tanpa peringatan, Aether melesat dengan kecepatan luar biasa, tubuhnya bagai bayangan yang bergerak tanpa suara. Tinju mautnya meluncur langsung ke wajah Aezar dengan kekuatan penuh.Namun, Aezar lebih cepat. Dengan lincah, ia memiringkan tubuhnya, menghindari pukulan itu hanya dalam hitungan detik. Mata merahnya menyala tajam, mengikuti setiap gerakan Aether yang terus menyerangnya tanpa henti. Udara bergetar di sekitar mereka, menciptakan tekanan yang mencekam. Serangan Aether begitu cepat, secepat angin yang mengamuk, tetapi Aezar menghindarinya dengan kelincahan yang tak kalah mengerikan.Lelah bertahan, Aezar akhirnya menangkap tangan Aether di tengah serang
Aezar berdiri di ambang pintu, tubuhnya menegang saat pandangannya menangkap pemandangan yang menghancurkan hatinya. Ara terduduk di lantai, tubuh mungilnya bergetar hebat, tangisnya pecah tanpa kendali, memenuhi ruangan dengan suara kepedihan yang menggema. Luka-luka menganga di kakinya, darah segar mengalir, membentuk jejak keputusasaan di lantai yang dingin.Napas Aezar tercekat. Ara—gadis yang selalu tersenyum, selalu membawa cahaya dalam hidupnya—kini hancur, terguncang, jatuh dalam penderitaan yang bahkan tak mampu ia bayangkan. Matanya yang dulu bersinar penuh kehangatan kini meredup dalam kabut kesakitan. Semua ini… karena Aether.Di hadapan Ara yang tersungkur lemah, seorang pemuda berlutut, kedua tangannya berusaha menghentikan aliran darah yang terus merembes dari tubuh gadis itu. Wajahnya terlihat panik, namun di balik kepanikan itu, ada sesuatu yang lebih mengerikan—sesuatu yang membuat kemarahan Aezar membuncah seketika."Ara, aku minta maaf… Aku sungguh minta maaf… Berh
Seolah sudah ditakdirkan sejak awal, lima pria yang menjadi model karakter dalam Love and Zombie kini berkumpul dalam satu ruangan.Udara di dalamnya terasa tegang, seakan menyadari bahwa sesuatu yang besar—dan berbahaya—akan segera dimulai.Setiap orang membawa aura yang berbeda. Ada ambisi yang membara. Ada ketidakpedulian yang berusaha ditutupi. Ada keraguan yang mulai menggerogoti. Dan di tengah itu semua, ada kecemburuan yang meracuni segalanya.Aether berdiri di depan mereka, ekspresi wajahnya penuh semangat, seperti seorang komandan yang hendak mengirim pasukannya ke medan perang."Baiklah," katanya, suaranya bergema di ruangan. "Kita akan menjalankan ini sesuai rencana."Kaelen, pria berambut biru tua yang bersandar di dinding dengan tangan terlipat, menghela napas panjang. Raut wajahnya jelas menunjukkan ketidakrelaan."Ugh... Aku tidak mau ikut-ikutan dalam masalah ini... Tidak bisakah aku tidak ikutan?"Nada s