Ai tampak keheranan ketika baru saja tiba di kamarnya namun mendengar gemercik air. Seketika ia sadar akan keberadaannya sekarang. Di kamar Ian yang adalah kamarnya juga.
Tatkala hendak bersantai sejenak di sofa, telinganya mendengar suara dua orang yang berbeda dari dalam kamar mandi. Ian sedang bersama siapa?Tatkala ia hendak melangkah untuk mendekat, Ana segera ke luar dari sana dengan handuk yang masih melilit di tubuhnya. Gadis itu benar-benar tidak tahu malu."Ngapain, sih? Mau ngintip, ya? Kepo banget!"Ian mendukung perlakuan Ana, ia malah mendorong istrinya itu untuk menjauh dari mereka. Hati Ai sudah benar-benar teriris sekarang. Ia hendak melangkah pergi yang segera dihentikan oleh Ian."Selangkah saja kamu ke luar dari kamar ini, jangan menyesal jika kita harus bercerai. Aku tidak peduli dengan konsekuensinya," ancam pria itu dengan nada santai.Ai terdiam sekarang. Air matanya masih tersimpan dengan baik.Seperti biasa, Ai melakukan aktivitasnya dengan sangat cekatan. Ia juga selalu sendirian di dapur. Hal itu ternyata baru saja disadari oleh Mario yang hendak menemui istrinya."Di mana dia? Bukankah dia membantumu?" tanyanya."Em ... aku tidak tau di mana, Pa." Ai menjawab dengan singkat sebelum akhirnya segera melanjutkan kegiatannya.Mario memilik duduk sekarang. Ia menanti kapan istrinya akan datang ke sana. Tepat saja dugaannya, wanita itu datang setelah menghitung waktu jika menantunya telah selesai memasak.Prok! Prok! Bertepuk tangan menyambut kedatangan Rainy yang tampak gelagapan sekarang."Kamu dari mana aja, Rainy? Katamu akan jadi istri dan mertua yang baik. Setiap hari bangun pagi tapi bukannya masak malah kelayapan. Dari mana coba? Sekarang berikan alasanmu!"Rainy tercengang sekarang. Ia menggaruk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal.Kecanggungan itu segera terjeda ketika Ai pamit lalu berlari ke kamarnya. Sudah waktunya untuk Ana pulang sekarang."Kamu juga!" bentak
Arzi menghentikan laju mobil Ana ketika gadis itu masih hendak berangkat bekerja. Ia juga masuk dan memerintah gadis itu untuk melaju. Ana tak berkomentar. Ia bahkan dengan sengaja memberikan sedikit sikap yang tidak mengenakkan.Bagaimana tidak, ia bahkan memasang lagu dengan nada yang sangat kencang sehingga membuat pria itu merasa tidak nyaman."Hentikan, Ana," perintahnya yang segera dilakukan oleh Ana.Gadis itu juga mematikan musiknya sekarang. Tak lupa, segera bergegas ke luar dari mobil menyusul Arzi yang sudah ke luar dan tengah duduk menunggunya. Ana masih memasang senyumnya ketika sadar akan keberadaan mereka yang tengah berada di sebuah kafe.Meletakkan tasnya dengan santai, ia juga ikut duduk. "Ada apa, Om? Sepertinya ada hal yang sangat penting yang ingin dibicarakan. Kenapa?"Arzi mengembuskan napasnya dengan kasar. Ia menatap gadis itu dengan perasaan sedikit kecewa."Ana, hentikan. Tolong jangan ganggu adik kamu lagi. Biarkan dia bahagia. Dengan kehidupan kamu yang se
6 bulan telah berlalu dan itu bukan waktu yang singkat untuk Ai. Sudah begitu banyak penderitaan yang harus dia hadapi. Ana muncul tepat di hadapannya dan memberikan penandaan tanggal di kalender di kamar itu."enam bulan," tukasnya.Tak ingin peduli dengan ucapan Ana yang mungkin akan lebih jahat daripada ini, ia memilih untuk segera membersihkan diri. Beberapa saat kemudian, Ian juga datang dengan membawakan makanan. Seperti biasa, keduanya akan melakukan pertunjukan sebagai pasangan paling romantis di hadapan Ai, mungkin itu juga alasan Ai membersihkan dirinya dua kali."Kamu sudah melakukan hubungan dengan Ai, kan?""Ck! Jangan membicarakan hal seperti itu ketika makan!" balas Ian."Sudah atau belum. Aku hanya bertanya, Ian. Apa itu salah?"Ian bergerak untuk menutup acara makannya, ia benar-benar sudah tidak berselera sekarang."Ian, kamu tidak lupa, kan? Ini sudah enam bulan, kita perlu memastikan apakah dia bisa hamil atau tidak. Jika kalian sudah melakukannya dan belum ada ha
Ana terlihat sangat terkejut ketika mendapati keadaan ayahnya yang sangat buruk sekarang. Wajahnya penuh lebam. Dengan perasaan panik, ia segera menanyai Noah.Pria itu tak segera menjawab. Ia hanya tengah menatap wajah putrinya yang tampak kurang tidur."Sebenarnya apa yang kamu lakukan di luaran sana? Apa kamu benar-benar tinggal di apartemen atau malah tidur dengan suami orang lain?""Papa, apa-apaan, sih? Aku baru pulang juga. Yang paling penting sekarang adalah kenapa keadaan Papa seperti ini? Apa telah terjadi sesuatu?""Kalau tidak terjadi sesuatu, bagaimana bisa papa seperti ini? Gimana sih kamu, Ana?"Ana terhenyak. Ia bingung dengan sikap ayahnya pagi itu."Papa menjadi korban rampokan tadi malam. Jadi, begini keadaannya. Untung saja, sopir pribadi papa lumayan kuat dan keren. Papa juga sudah kasih dia wewenang untuk jagain kamu mulai sekarang. Ya, bagaimana pun juga, keadaan kamu yang paling penting untuk papa."Ke
Ian terus berusaha untuk mendapatkan perhatian dari Ana. Dua jam sudah ia berada di depan apartemen gadis itu sambil sesekali memencet bel, berharap Ana akan ke luar dan memberikan kata maaf untuknya.Tunggu demi tunggu, tidak ada perkembangan. Kepalanya juga semakin pusing ketika mengingat pertanyaan Arzi, masih terngiang-ngiang hingga saat ini.'Siapa yang selingkuh, kamu atau Ai?'Kali ini, setelah beberapa detik matanya masih menatap ke arah pintu Ana yang masih tidak ada pergerakan, langkah kakinya membawa ia ke luar. Ia juga melajukan mobilnya dengan kencang.Di sebuah bar, tempat ia berhenti dan berlabuh sekarang. Tatapannya tertuju pada keramaian pengisi tempat itu. Ia baru sadar jika dalam enam bulan terakhir, ia bahkan tidak punya waktu untuk diri sendiri. Iya, waktu dan segala sesuatu di hidupnya hanya tentang Ana dan kebahagiaannya, seketika pikirannya menjadi kacau kembali. Tak ingin moodnya semakin rusak, ia memilih bergabu
Terbangun dari tidurnya, Ian tersenyum simpul ketika mendapati Ana yang sudah berada di sisinya. Namun, hal itu tidak berselang lama, sebab ingatannya sedikit terlintas akan kejadian kemarin malam.Untuk pertama kalinya, ia menggeser tubuh Ana dengan sengaja, menjauhkan dari posisinya. Hal itu membuat gadis itu terbangun dan segera bermanja pada Ian sekarang."Apa yang kamu lakukan ketika aku menunggumu di depan apartemen? Apa kamu menganggapku gukguk yang terus menggonggong demi bisa mendapatkan makanan darimu?"Ana sadar jika Ian tengah menaruh rasa kesal padanya. Ia memutar otaknya untuk memberikan alasan yang terasa masuk di akal pria itu."Aku ketiduran, Ian. Akhir-akhir ini banyak sekali pekerjaan yang memberatkan aku. Kamu tau sendiri, kan, semuanya aku yang handle sekarang."Ian terdiam. Ia memang tidak bisa percaya begitu saja."Tadi malam, siapa yang jemput aku? Kamu atau dia?"Pertanyaan itu membuat Ana bingun
Ian merasa sangat bangga dan senang sekarang ini. Diandalkan dan dapat menolong Elvina merupakan satu hal yang patut disyukuri menurutnya.Padahal, wanita itu tak memberi respon yang sama. Elvina malah hanya memilih diam sambil sesekali melirik ke arah pria itu. Ia tampak penasaran akan sesuatu namun tidak ada keberanian untuk bertanya."Kamu maunya kita ke mana dulu?" tanyanya dengan nada lembut sekarang.Elvina tampak diam, ia merasa jijik dengan sikap playboy yang ditunjukkan oleh pria itu. Ia bahkan tau jelas jika mereka bahkan berangkat dari rumah mertuanya sendiri.Dalam diamnya, Elvina akhirnya menyadari sesuatu. Ia baru teringat dengan foto yang terpajang di dinding rumah Arzi. Jadi, wanita itu adalah putrinya? Ai bahkan telah menikah?Ah, sungguh kenyataan ini begitu pahit baginya. Entah sudah berapa lama sejak ia meninggalkan wanita itu. Air matanya menetes dan banjir sekarang. Ia terisak hingga sesenggukan."Eh, ada ap
Sudah dua malam, Ana tidak tidur bersama Ian. Ia memilih untuk tinggal di apartemennya untuk sementara waktu. Rasa marah dan kesalnya tergantikan dengan kehadiran beberapa pria untuk menyenangkannya di ranjang.Hal itu ternyata sudah diketahui oleh Ian. Dengan itu, ia juga memilih untuk sibuk dengan dunia barunya yang diwarnai dengan kehadiran Elvina sekarang."Kurang ajar! Tega dia ngebiarin aku begini, ya?" geram Ana yang segera melajukan mobilnya menuju bar di mana Ian bersantai selama beberapa hari ini.Ia menunjukkan kekuasaan penuhnya atas Ian. Hanya dengan sentuhan dan pelukan dengan kelembutan yang diberikan, pria itu segera luluh. Tak peduli dengan panggilan teman-temannya, Ian hanya menurut dan kembali bermanja dengan Ana.Elvina hanya bisa melihat dari kejauhan. Ia tidak bisa mengejar kepergian pria itu sebab rasanya juga bingung, statusnya di hidup Ian pun, hanyalah sekadar penghibur."Kamu di sini?" tanya Ian yang sudah tidur
Ai mendapatkan kebahagiaannya sekarang. “Ada kalanya keluarga menjadi bagian terpenting dalam hidup. Namun, ada kalanya rasa iri menghancurkan segalanya tanpa mementingkan kepentingan kekeluargaan.”Ucapan itu terdengar nyaring membuat Ian mendongak. Ia sadar akan perbuatannya selama ini. Jika saja, ia tak menyakiti Ai dengan sengaja, mungkin hidupnya tak akan berakhir seperti ini.Wanita itu terlihat sangat menawan. Ia seolah jatuh cinta untuk kedua kalinya. Namun, kali ini berbeda. Rasa cinta itu tumbuh karena sikap dan sifat baik wanita itu.Danny juga mendekat sekarang. Walau ada rasa sesak di hati masing-masing. Namun, umur tua menambah tuntutan agar bersikap lebih dewasa dan mulai belajar untuk saling mengikhlaskan.“Kamu lihat, kan? Istriku cantik sekali. Wih, dia benar-benar membuatku jatuh cinta.”“Sudahlah, Dan. Akhiri omong kosongmu. Aku tau, kamu datang ke sini hanya untuk meledekku. Kamu ingin aku merasa sakit hati dengan apa yang kamu punya saat ini. No, hatiku sudah be
Dua tahun kemudian, Danny dan Ai pertama kalinya mengunjungi rumah keluarga Mario yang kini terlihat baik-baik saja. Namun, terasa sangat sepi. Hal itu membuat mereka merasa penasaran."Ian sudah lama tidak tinggal di sini, semenjak istrinya menikah. Dia tinggal di perbatasan kota, di sana kan sepi," terang Rainy yang tengah menjamu tamunya."Dia tidak pernah pulang, Ma?" balas Ai yang tengah membantu mantan mertuanya itu."Ya, tidak pernah memang, Nak. Kami yang sering mengunjungi dia ke sana. Dia benar-benar belum ada niat untuk punya pengganti Ana juga sepertinya. Sampai sekarang belum juga ada kabar tuh tentang wanita yang dia dekati."Arzi yang baru ke luar dari toilet dan mendengar percakapan itu pun segera meluncur untuk bergabung. Berbeda dengan Danny dan Mario yang malah mengajak bermain sang anak."Keeano Halburt, kamu tampan sekali, Nak?" Rainy yang sudah tidak tahan ingin bicara dengan anak kecil itu pun segera berlari heboh kemudian menggendongnya. Semua orang ikut tersen
Tiffany mengintip dari jauh, tentang apa yang sedang dilakukan oleh Rald sekarang. Pria itu terlihat sangat sibuk di dekat mobil keluarganya.Beberapa saat kemudian, ketika sang sopir sudah datang, ia buru-buru menjauh dari sana.Tiffany yang tau kelakuan pria itu pun segera mendekat."Loh, kok bannya bisa bocor begini, ya? Sepertinya ada yang sengaja, nih." Keluhan sang sopir yang tentu saja segera ditepis oleh Rald."Jangan banyak menuduh dan berpikiran buruk, Om. Tidak baik untuk kesehatan dan sekitar.""Tidak, Nak. Ini memang benar, tadi saya tinggal masih baik-baik saja, kok.""Ini minumannya, aku pulang duluan, ya?" ujar Tiffany yang tentu saja membuat Rald kaget.Ia punya firasat buruk tentang kelakuannya yang mungkin sudah disaksikan oleh gadis itu."Om, aku pulang duluan, ya. Om perbaiki mobil saja dulu, nanti jemput di rumah Bang Danny!"Ia juga segera berlari untuk mengejar Tiffany yang sudah pergi jauh meninggalkannya."Tiff, kamu lihat semuanya, ya?""Apanya yang aku liha
Sebulan telah berlalu, naluri seorang ayah terhadap putrinya tidak akan bisa terpatahkan begitu saja. Hal itulah yang sedang dirasakan oleh Ian sekarang. Ia membawa begitu banyak pakaian anak-anak bersama kedatangannya ke sana.Masih dengan jarak yang jauh, namun Ai sudah dapat melihat kedatangan pria itu. Ia yang memang masih merasakan trauma mendalam yang entah kapan sembuhnya pun segera menutup semua akses untuk kedatangan pria itu.Ai yang memang hanya tinggal bersama pembantunya tak dapat berbuat apa-apa selain menghindar. Tampak jika Ian tengah membuat penawaran sekarang. Bagaimana tidak, ia sangat takut jika tidak diberi kesempatan."Sudah, Bi. Suruh saja dia pergi. Aku tidak mau kalau dia datang ke sini, tidak suka." Perintah Ai yang dikirimkan lewat pesan wa itu membuat Ian semakin sedih. Ia segera berlutut sekarang."Ai, tolong beri aku kesempatan untuk melihat wajah putraku. Aku tidak mau dihantui rasa bersalah ini terus-terusan. Hidupku terasa sangat menderita, jadi tolon
Danny buru-buru pindah ke rumah Arzi. Ia memang sengaja mengalah dalam hal itu agar lebih dekat dengan istri dan anaknya. Bagaimana pun, saat ini yang paling ia utamakan adalah kebahagiaan sang istri.Arzi tersenyum lebar ketika melihat kedekatan antara anak dan menantunya itu. Ia juga tidak terlalu mempermasalahkan apapun yang menjadi pilihan pasangan itu."Yah, ini Keeano tidak mau diam dan tenang. Sepertinya harus mandikan bundanya dulu." Pria itu segera memberikan anaknya kepada Arzi. "Aku bantu Ai mandi sebentar ya, Yah.""Iya, tenang saja. Serahkan pada ayah." Arzi segera bergerak ke luar dari ruangan keluarga kemudian mendekati sang istri yang tengah tersenyum menunggunya sekarang. Ia terpaku menatap arah dada istrinya yang cukup besar sebab mengalami pembengkakan."Hei, apa yang kamu lihat? Aku tidak suka pria genit ya, Dan.""No. Bukan itu masalahnya, Ai. Kenapa ukurannya malah semakin membesar? Ada masalah kah, kita periksakan ke dokter, yuk?"Ai menggeleng sambil tersenyum
Sementara Ai, ia mengeluhkan rasa sakit yang teramat. Entah kenapa, pikirannya terus terbayang pada ibunya yang sekarang tak lagi bersama dengannya.Ia kemudian meminta sang ayah untuk menghubungi ibunya sebab bagaimana pun, wanita itu akan tetap menjadi orang yang paling berarti baginya sebab telah melahirkannya ke dunia ini."Ada kami di sini-""Om, please lakukan saja. Kita tidak tau bagaimana wanita menahan rasa sakit yang teramat ketika akan melahirkan. Aku bisa menjamin seratus persen kalau semuanya akan segera baik-baik saja setelah Ai mendengar suara Tante Elvina."Menyerah dan tidak ingin berdebat lebih panjang, Arzi pun melakukan hal itu. Dokter dan perawat yang menanganinya pun ikut bersuara. Mereka berbincang sekarang dan dalam hitungan menit, anak itu lahir ke dunia."Selamat, Bapak dan Ibu, anak kalian laki-laki. Dia sangat tampan," puji sang dokter membuat Ai merasa sangat penasaran."Kenapa jadi mirip sama kamu sih, Dan?" tanyanya sebelum akhirnya tak sadarkan diri.Se
Ai menatap ke arah pintu kamarnya yang tengah terbuka sejak tadi namun tidak ada yang masuk. Pada akhirnya, ia ke luar sekarang. Mencoba menelusuri seluruh sudut rumah dan masih tidak mendapati siapa-siapa di sana.Pada akhirnya, ia turun ke lantai bawah dengan maksud untuk mencari sang ayah. Langkahnya tertatih sebab perutnya yang sudah semakin besar sekarang.Bayi dalam kandungannya pun begitu aktif memberikan tendangan untuknya sehingga ia harus menahan rasa sakit esktra."Sayang, tunggu sebentar, ya. Kita cari papa kamu dulu," gumam wanita itu sambil terus melangkah hingga akhirnya ia tidak sengaja mendengar percakapan antara ayah dan orang-orang yang entah siapa mereka."Jadi, kecelakaan Ai waktu itu adalah rencana Ian?" tanya Arzi dengan nada kencang.Ia masih tak percaya hingga sekarang.Beberapa saat kemudian, Ana datang. Ia membenarkan kabar itu sebab rekaman suara itu didapat dari ponsel milik Ian sendiri. Ia memang telah melewati batas dengan memeriksa ponsel pria itu, namu
"Sekarang juga kamu harus menikah dengan Ana," gertak Mario penuh amarah tatkala putranya siuman dari tidur panjangnya.Pria itu memang sudah tidak sadarkan diri selama dua bulan lamanya. Mungkin karena benturan hebat di otaknya. Semua orang seolah memberi tekanan yang membuatnya merasa tidak dihargai, seolah segala sesuatunya menjadi sulit.Sementara Ai, ia menjadi lebih tenang sekarang sebab kandungannya sebentar lagi akan segera ke luar ke dunia. Ia juga tak lagi bekerja di luar rumah.Traumanya jauh lebih besar dari keinginan untuk bisa bekerja selayaknya harapannya dari jauh-jauh hari."Apa yang dia lakukan tanpaku?" tanyanya pada Ana yang segera memberikan tamparan di wajahnya sekarang."Perutku sudah semakin besar dan kamu masih memikirkan wanita lain? Sialan kamu, Ian. Aku tidak mau tau, kamu harus segera menikahi aku!"Kecaman itu segera membuat Ian sadar jika ia memang telah melakukan hal itu pada Ana. Ia sendiri juga yang telah berjanji jika akan segera menikahi wanita itu,
Ai merasakan sakit yang teramat di perutnya. Ia segera memperhatikan arah kakinya, rasanya cukup lega sebab tidak ada darah yang ke luar.Namun, rasa sakit itu masih tak berhenti. Ia berteriak hingga akhirnya mendengar suaranya sendiri yang bergema. Tau jika dirinya tengah disekap di ruangan itu, ia mulai mencari jalan ke luar untuk segera ke luar dari sana."Ya Tuhan, aku sangat ketakutan," gumamnya.Suara langkah kaki menyadarkan ia jika seseorang telah datang, mungkin untuk memastikan keadaannya. Ia masih berpura-pura tidak sadarkan hingga sebuah tangan menyentuh dagunya."Bangunlah, jangan berpura-pura lagi," ujar Ian yang membuat Ai sungguh tidak menyangka.Rasa takutnya kembali memuncak dan menjadi lebih agresif sekarang. Pria yang hendak menyentuhnya itu segera ia hantam kepalanya. Ia juga mendorong pria itu dan menggigit tangannya sekuat tenaga."Aw," pekik Ian merasa geram menahan sakit. "Kamu jangan bertindak di luar batas, ya. Aku bisa saja membunuhmu sekarang. Aku sudah cu