"Apakah dia sudah tidur?" tanya Stevan kaku.
"Ya. Dia kelelahan setelah bermain dan membantuku membersihkan rumah Bunny. Sekarang, pulanglah ke rumah Erika." Aku mengusir Stevan yang telah menemani Awan bermain dan membantu mengangkatnya yang tertidur di sofa.
"Apa kau mengusirku?" tanya Stevan lagi seperti enggan kembali ke rumah Erika. Terlihat sekali bahwa ada hal yang ingin dia katakan padaku.
"Tidak baik seorang laki-laki berada di rumah seorang perempuan bersuami yang suaminya sedang tidak ada di rumah!"
"Kita belum pernah bercerai."
Tak mau membangunkan Awan yang terlelap, aku mengajak Stevan untuk keluar kamar. "Pergilah. Aku tak mau Erika berpikir macam-macam," kataku sambil membuka pintu. Aku tak mau ia terlalu lama di sini. Hal itu hanya ingin membuatku marah atas apa yang terjadi di masa lalu. Aku b
"Dia pasti kelelahan." James mengusap dahi Awan yang sudah tertidur pulas. Setelah makan siang tadi ia bermain dengan Bunny di halaman belakang."James ....""Hmmmm?""Aku ingin bicara."Kami pun berjalan keluar kamar agar tidak membangunkan Awan. "Apa kau mau teh?" tawarku ketika kami di dapur.Ia menggeleng. "Duduklah." James menepuk-nepuk kursi agar aku duduk di sebelahnya. "Apa yang ingin kau bicarakan?" lanjutnya lagi sambil menatap ke arahku yang terus menunduk. "Bicaralah, Key," ucapnya halus. Digenggamnya tanganku dengan hangat."Steve ... aaad," jawabku terbata. Aku tak yakin apakah harus menceritakan hal yang sebenarnya padanya atau tidak. Ia lalu bangkit dari kursinya kemudian memelukku. Dan untuk bertama kalinya aku sedekat itu dengannya. Mendengar detak jantung serta hembusan napasnya.
Sebelum menandatangani surat cerai, Stevan memberi beberapa persyaratan. Aku dan Awan harus tinggal di rumahnya selama satu minggu dan setelah bercerai dia boleh menemui Awan kapan saja. Aku mengiyakan karena aku juga tidak ingin terlalu alot saat bernegoisiasi. Aku ingin pernikahanku dengan James berjalan dengan lancar dan tanpa hambatan yang berarti.Meskipun tadinya Mama tidak setuju, setelah dibujuk James akhirnya Mama tak bisa menolak lagi. Entah apa yang James katakan pada Mama. Karena, jarang sekali ia mau menurut dengan usul orang lain."Mbak Key!" teriak bibi sambil berlari ketika melihatku turun dari mobil. Kami berpelukan sesaat sebelum air mata kami sama-sama tertumpah. Bibi adalah salah satu orang yang aku rindukan ketika berada di Quebec. Masakannya, tawanya yang renyah, dan perhatiannya yang hangat."Mbak Key. Selamat datang kembali," ucap Bapak denga
Kami sedang makan malam bersama dan Bibi lah yang membantuku memasak. Sementara Awan selalu mengikuti Bapak ke mana pun dia pergi. Bapak mencabut rumput Awan ikut menirukan. Bapak memotong tangkai-tangkai mawar, Awan juga tak mau kalah dan bapak memakaikan sarung tangan pada Awan agar tidak terluka. Biasanya, Awan hanya tahu cara bermain tetapi. Tetapi, sejak di sini lain cerita. Dia melihat Bapak melakukan banyak hal yang belum pernah ia ketahui sebelumnya."Kamu suka ini, sayang?" tanyaku pada Awan yang memasukkan sawi ke dalam mulunya. Bibi yang menanamnya di kebun belakang. Ia begitu telaten menanam sayuran untuk konsumsi sendiri dan kalau berlebihan, ia akan membaginya dengan orang yang ia temui ketika hendak ke pasar."Apa kau menyukainya, James?" Baru pertama kali aku membuatkannya mi kari."Yah ... ini enak sekali. Aku tidak tahu kalau kau pandai memasak, Key.
"Apa kau sudah lama menjadi seorang penulis, Steve?" tanya James dengan santai."Ya. Saat aku masih remaja menurutku seorang penulis itu keren dan banyak digilai para gadis.""Hahaha ... jadi, itukah alasanmu menjadi seorang penulis? Ternyata kau sama saja seperti remaja lain."Tentu saja, James. Apalagi? Hahaha. Digilai para gadis adalah kebanggan tersendiri yang bisa dijadikan catatan sejarah. Hahaha."Kedua pria itu tengah asik mengobrol sambil mengawasi Awan yang sedang mandi bola. Meskipun sejak tadi banyak mata yang mengawasi dan menggunjing ganteng-ganteng kok gay, sepertinya mereka tak peduli. Tidak penting mendengarkan omongan orang lain yang tak mengenal kita. Kalau didengarkan, hanya akan timbul sakit hati. Lagipula mereka laki-laki yang diciptakan Tuhan dengan akalnya, jadi tak mudah baper alis terbawa perasaan seperti kaum per
Ketika pulang kuliah Erika terkejut mendapati apartemen Anna berantakan. Bantal, buku-buku, bahkan makanan yang ada di dalam kulkas tercecer di lantai. Memang Erika tak keberatan membersihkan segala kekacauan yang sahabatnya buat, tapi Anna tak pernah separah ini jika marah. Sebelum-sebelumnya, jika emosinya tak terkendali, ia hanya akan mengumpat.Sebagai anak tunggal dari keluarga berada, Anna tak pernah kekurangan apapun. Segala yang diminta tanpa harus merengek atau berusaha, orangtuanya pasti akan menurutinya. Namun sebagai gantinya, ia kehilangan apa itu kasih sayang orangtua. Ia tak pernah bermain dengan ayah ibunya, karena mereka tak pernah ada di rumah. Anna hanya dijaga oleh seorang nanny yang telah merawatnya sejak masih bayi."Ma, minggu depan waktunya ambil rapor. Mama datang, ya?!" pinta Anna suatu ketika saat menghubungi mamanya yang sedang ada di Milan."Gak bisa,
Setelah lulus dari universitas, keempat sahabat itu menempuh jalannya masing-masing. Erika yang kebetulan bertemu dengan bule Kanada dan langsung menikah. Steve yang tetap menekuni dunia menulisnya dan menggunakan nama pena anonimus Stevan A, dan juga Anna dan Jack yang lulus langsung menikah. Mereka mengelola salah satu perusahaan milik ayah Anna. Dan tak ada alasan bagi orang tua Anna menolak pemuda itu. Meskipun Jack dari keluarga biasa-biasa saja, berkat dirinyalah Anna bisa menjadi sosok yang lebih baik meskipun harus tetap mengkonsumsi obat secara rutin.Hingga suatu ketika Steve, Jack dan putranya mengalami kecelakaan mobil. Jack dan putranya meninggal di tempat, sedangkan Steve terluka tak terlalu parah namun menimbulkan traumatis dalam dirinya. Ia menjadi penyendiri dan tak pernah lagi menyetir mobil. Ia merasa bersalah. Takut. Andai saja saat itu dia membiarkan Jack yang menyetir, tak akan ada yang namanya kecelakaan itu.
Anna tertawa sambil melahap kue pie di pangkuannya. Remahan-remahan crush itu berceceran di rok dan lantai. Aku mengamatinya, pandangan matanya kosong, ia seperti sedang menikmati dunianya sendiri. Dunia yang tak orang lain ketahui."Mama!" Awan berteriak dari dapur. Kedua papanya tengah memasak bersama. Dari baunya, tercium aroma nasi goreng bumbu terasi."Anna. Apa kau mau ikut bergabung bersama kami di dapur?" Ia menggeleng dan kembali menatap layar televisi. Tak ada tayangan yang lucu di sana. Hanya ada berita kriminal dan politik. Aku merasa iba padanya, dan kupikir Anna seharusnya mendapatkan perawatan yang tepat dari tenaga ahli."Steve, bisakah kita bicara setelah ini?""Hmmm. Tentu saja.""James, bisakah kamu bersama Awan sebentar?""Tentu saja, Darling. Lagipula kali
"Mama!" Tiba-tiba suara Awan membuatku membuka mata. Namun saat aku terbangun, sosoknya tak ada. Aku yakin sekali Awan memanggilku. Suara itu terdengar jelas."Ada apa, Key?" Pria di sampingku mengerang. Tubuhnya yang tanpa sehelai benang terpampang di depan mataku."Aku seperti mendengar suara Awan. Ia memanggilku Steve.""Kau hanya bermimpi, Key," kata Stevan sambil memelukku. Sekarang baru pukul dua pagi, Awan pasti tidur lelap bersama James."Aku ingin melihatnya, Steve. Apa kamu mau menemaniku?""Tentu saja, Key," jawabnya mengusap punggungku.Setelah berpakaian, kami keluar kamar bersama. Aku merasakan ada yang aneh yang membuat perasaanku tak enak. Biasanya lampu utama rumah Antonius tidak dinyalakan. Pintu juga dibiarkan terbuka dan televisi masih menyala. Pintu
Hampir sepuluh menit Keyla dan Darrel duduk di pinggir pantai. Matahari yang mulai meninggi memberi kehangatan di tubuh mereka. Tak ada kata-kata yang keluar dari bibir keduanya. Yang ada hanya Keyla yang duduk di depan Darrel dan diapit kakinya serta pelukan pria itu yang menenggelamkan tubuh Keyla di dalam dadanya."Kau ingin pulang?" tanya Darrel pada Keyla yang masih melihat ke arah laut lepas. Tempat di mana kapal yang dinaiki James perlahan menjauh dan mulai menghilang.Keyla menggeleng pelan. "Bisakah kita di sini lebih lama, Steve?""Oke. Kau aku akan menemanimu di sini. Kau ingin memesan sesuatu?""Tidak untuk sekarang," jawab Keyla sembari memejamkan matanya dan bersandar dengan nyaman di dada suaminya. Dia ingin lebih lama seperti ini dengan orang yang dicintai. Mencium aroma laut, ditemani desiran ombak yang tak begitu besar. Keyla seolah tak ingin waktu terus be
"James akan kembali ke Afrika hari ini," ucap Darrel di sela-sela sarapan mereka. Karena kaget, Keyla pun tersedak. "Kau yakin tidak ingin berbicara dengannya?" Darrel bertanya dengan nada rendah namun penuh penekanan. Dia penasaran apakah istrinya benar-benar tak ingin bicara pada James dan menyelesaikan masalah diantara mereka berdua?Keyla meletakkan roti yang baru ia gigit separo kemudian melihat ke dalam mata suaminya. "Haruskah?" Keyla bertanya ragu.Dia tak yakin apa yang ingin dia bicarakan dengan lelaki yang seharusnya masih berstatus suaminya itu. Setelah Darrel berbicara dengannya semalam, Keyla bisa memahami dan berusaha mengikhlaskan apa yang terjadi. Itu adalah pilihan hidup James, dan bagaimanapun juga, karena James menetap di Afrika dan memalsukan kematiannya lah dia bisa bertemu dan menikah lagi dengan Darrel.Ini adalah takdir, Key. Takdir Tuhan yang tak bisa dicegah atau dihentikan. Ucapnya pada diri s
"Sayang, James sudah pergi. Tolong buka pintunya," pinta Darrel yang sejak tadi mengetuk pintu kamar namun diabaikan oleh Keyla.Keyla tidak membalas. Dia lebih memilih diam karena dia sedang tak ingin bicara. Baik itu pada James atau Darrel. Keyla memang merasa tidak berhak menyalahkan apapun yang menjadi keputusan James. Tapi, tidak bisakah lelaki itu berkata jujur?Seandainya James menceraikan dirinya, Keyla juga tak menolak. Dia akan bisa menerima meski menyakitkan. Setidaknya, Bintang tidak kehilangan sosok ayah. Terlebih lagi, kematian James meninggalkan penyesalan di hati Keyla karena sampai detik-detik kepergiannya ke Afrika, Keyla belum bisa memberikan sepenuh hatinya pada pria itu. Dan itu juga lah yang mendasari penyesalan keyla. Dia sungguh merasa bersalah."Key ... kalau kau ingin marah, marah lah padaku. Kau boleh memukulku. Asalkan jangan diam, Key." Darrel mencoba mengetuk pintu itu sekali lagi. Dadanya n
Tidak ada satu patah kata pun yang yang keluar dari bibir Keyla. Matanya hanya tertuju pada pria yang berdiri di hadapannya. Antara kecewa, marah dan juga bingung. Bagaimana bisa James membohongi dirinya dan keluarganya? Memalsukan kematiannya dan membiarkan dirinya merawat anak-anak mereka seorang diri? Sebegitu berdosakah hingga James ingin menghukum dirinya? Mengkhianati kepercayaan dirinya?Mata Keyla mendadak buram oleh air mata yang ingin tertumpah namun ia tahan. Ia berharap ini bukalah hal nyata."Aku bisa menjelaskan semuanya, Key," ucap James dengan tatapan nanar dan tubuh yang makin mendekat ke arah Keyla. James tak pernah menyangka bahwa dia akan bertemu lagi dengan Keyla.Keyla mengambil langkah mundur. Meskipun dia meyakini itu James, Keyla tetap sulit menerima. Ini semua terlalu mendadak dan dia merasa dikhianati. "Kamu bohong. Kamu bukan James. Suamiku James sudah meninggal beberapa tahun lalu. Kamu pasti
"Selamat datang, Angel. Terima kasih telah meluangkan waktumu," sapa Keyla begitu Angel dan suaminya memasuki pintu rumah."Dengan senang hati, Keyla. Aku juga akan menghabiskan makananmu. Kau tak perlu khawatir!"Kedua wanita itu tertawa renyah sementara Darrel langsung mengundang suami Angel untuk duduk dan meminum wine yang telah disediakan. "Biarkan kedua wanita itu menggosip," ucap Darrel tersenyum ramah."Dan kita para pria membicarakan hobi?""Hahaha. Benar sekali. Karena lelaki tak suka bergosip.""Kecuali dia pria jadi-jadian," timpal suami Angel dengan renyah. Dan Darrel pun dengan cepat menjadi akrab dengannya. Dan memang begitulah pria. Mudah akrab tanpa harus berbasa-basiAcara makan malam yang sederhana dan hangat itu berjalan dengan lancar. Anak-anak sibuk bermain dan menonton film kesukaan mereka, para ayah mengobrol tentang hobi dan juga bisn
Keyla terperangah begitu mobil Darrel berhenti di depan sebuah gedung yang telah dikelilingi oleh wartawan yang terlihat sedang bersiap-siap meliput sebuah berita besar. Lampu flash dari kamera-kamera yang dinyalakan,membuat Keyla merinding. Keyla harap Darrel benar-benar tidak akan masuk ke dalam gedung itu untuk menemui Ammy. Tapi sayangnya, harapan Keyla sirna begitu Darrel mengajaknya untuk keluar."Kau sudah siap sayang?" tanya Darrel mengendurkan dasinya yang berwarna merah tua. Dia persis sekali seperti seorang direktur perusahaan. Jas dari benang woll asli yang terlihat mahal, jam tangan di sebelah kiri yang membuatnya makin terlihat maskulin serta rambut klimis yang mempertegas rahangnya yang kokoh.Keyla menatap mata suaminya. Berharap dia salah dengar. "Apa ini?" tanya Keyla ragu. Inikah alasannya Darrel memesankan gaun terbaik dan juga makeup artist untuk mendandani wajah serta rambutnya? Agar istrinya tak begitu memalukan saat tam
Keyla mengerang ketika merasakan sesuatu yang aneh terjadi pada tubuhnya. Matanya yang berat terpaksa ia buka. Ketika hendak menggerakkan tangan, kedua tangannya sudah ada di atas kepala dengan posisi terikat. Ketika mencoba menggerakkan tangan kembali, suaranya gemerincing. Barulah Keyla sadar bahwa yang melingkar di pergelangan tangannya adalah sebuah borgol."Kau sudah bangun, sayang?" tanya Darrel yang baru saja keluar dari kamar mandi. Tubuhnya sudah dikeringkan dan di pinggangnya terlilit handuk warna putih. Keyla bisa mencium aroma lelaki itu. Wangi sabun yang seperti embun pagi. Kalau habis mandi seperti itu, Keyla merasa suaminya seperti dewa yang gagah perkasa pada jaman Romawi kuno."Jam berapa sekarang, Steve? Apa yang kamu lakukan pada tanganku? Cepat lepaskan, Steve.""Enam lewat tiga puluh." Darrel membalas santai dan mengabaikan wajah panik Keyla.Mendengar kata enam tiga puluh, Key
"Bin, kau ingin adik perempuan atau laki-laki?" tanya Missy yang baru saja merebahkan diri di ranjang dan menutupi tubuhnya dengan selimut tepat di samping Bintang yang berbaring terlebih dahulu."Mana yang lebih lucu?" Bintang langsung memiringkan tubuhnya ke arah Missy.Gadis cilik itu menyipitkan matanya. Menaruh kedua jari telunjuk tepat di pelipis. "Kalau laki-laki, aku takut dia akan seperti Awan. Mmmm ... memang ganteng, tapi tidak lucu."Bintang manggut-manggut. Setuju dengan perkataan Missy. Kakaknya memang tidak lucu meskipun ganteng. Seperti kanebo kering!" ... jika perempuan, maka akan cantik dan lucu sepertimu!" lanjut Missy mencubit pipi Bintang yang lucu dan halus."Kalau begitu, sudah diputuskan. Kau harus meminta perempuan pada Papa dan Mamamu. Oke?"Mata Bintang yang bulat terlihat berkilauan. Ia mengangguk dan mulai membayangkan adik perempuan berambut hita
"Hhmmmmmmph!" Keyla berusaha melepaskan diri dari kegilaan suaminya. Mula-mula hanya melumat bibirnya. Tapi lama kelamaan, tangan kekar suaminya itu mulai meraba dadanya."Ssshhh," Darrel berdesis begitu Keyla menggigit bibirnya. "Kau membuatku semakin bergairah, sayang.""Steve, jagalah sikapmu. Kita sedang ada di jalan raya. Dengarlah suara klakson-klakson itu. Bagaimana kalau kita ditilang?" ucap Keyla kesal. Tapi, suaminya itu justru tersenyum sambil memegangi bibirnya yang sedikit berdarah."Bagaimana kalau kita bikin anak sekarang?" goda Stevan yang tak mempedulikan bunyi klakson dan umpatan dari pengendara lain.Keyla mendorong tubuh lelaki itu dengan gemas. "Steve, kumohon.""Apa, sayang?" Darrel menjilat lidahnya sendiri. Tatapannya terlihat tajam dan menggairahkan."Ya Tuhan! Lelaki ini terlalu sulit ditolak!" ucap Keyla pada dirinya sen