Maya tersentak mendengar perkataan Nyonya Nandini. Terus terang, ia masih asing dengan istilah “inseminasi” yang dikemukakan oleh perempuan paruh baya itu. Hanya saja, ia berpikir bagaimana caranya bisa hamil dan melahirkan, sementara suaminya sudah lama tiada.“Bagaimana … caranya saya bisa mengandung, Nyonya? Saya tidak ….”“Kamu tidak perlu memikirkannya. Nanti dokter yang akan memberikan suntikan khusus kepadamu sampai kamu bisa hamil,” jawab Nyonya Nandini singkat.“Jadi, emansipasi itu artinya suntikan?” tanya Maya salah bicara.“Bukan emansipasi, tapi inseminasi.”Nyonya Andini menarik napas, kemudian memberikan penjelasan yang lebih detail kepada Maya.“Prosedur inseminasi itu adalah kamu akan disuntik di rumah sakit, agar bisa mengandung bayi dari putriku Meliana, dan suaminya Adrian. Selama hamil, kamu akan dirawat dengan baik oleh kami di Jakarta. Lalu, setelah melahirkan bayi kamu boleh kembali ke desa ini lagi. Intinya, kami hanya menitip bayi di dalam rahim kamu, atau bi
Pada akhirnya, Catleya memakan ikan asam manis yang sudah dipesan oleh Rajendra. Sebenarnya, dia juga kurang menyukai rasa masakan itu, tetapi tidaklah baik bila makanan terbuang begitu saja. Catleya pun makan pelan-pelan sambil ditemani oleh Rajendra. Lelaki itu menghabiskan makanannya lebih dahulu, sehingga sekarang Rajendra tidak punya kegiatan selain memandangi sang istri."Kenapa menatapku terus? Apa sekarang kamu ingin makan ikan?" tawar Catleya. Ia menjadi salah tingkah sebab gerak-geriknya diperhatikan oleh Rajendra dari dekat.Rajendra menggeleng pelan. "Tidak, aku hanya merasa kamu kelihatan lebih cantik akhir-akhir ini," puji Rajendra.Catleya hampir saja tersedak karena mendapat pujian berlebihan itu. Ia tidak habis pikir dengan perubahan sikap suaminya yang sangat cepat. Sebentar manja, lalu berubah kekanak-kanakan dan sekarang menjadi romantis.“Jadi, menurutmu aku dulu sangat jelek?” tanya Catleya cemberut. Tangan lelaki itu mencubit gemas pipi istrinya yang merona mera
Usai menonton konferensi pers, Rajendra dan Catleya segera keluar dari kamar hotel. “Kita langsung berangkat ke bandara sekarang, Sayang. Urusan kita di sini sudah selesai,” kata Rajendra seraya mendorong koper miliknya dan Catleya.“Iya, Hubby,” jawab Catleya mengikuti langkah Rajendra.Mereka berdua masuk ke mobil sewaan yang sudah menunggu di depan lobi. Dalam perjalanan menuju ke bandara, Catleya tidak bicara karena ia yakin Rajendra masih memikirkan banyak hal. Dia lebih memilih untuk melihat-lihat kondisi jalan raya di kota Surabaya. Sebagai istri, tentu saja dia harus menjaga kenyamanan sang suami.Setelah menempuh perjalanan dari Surabaya ke Jakarta, mereka pun kembali ke apartemen dengan diantar oleh Pak Harun. Setibanya di unit apartemen mereka, Rajendra langsung mandi dan berganti pakaian.“Kamu mau pergi, Hubby?“ tanya Catleya terkejut.“Aku akan menemui Om Rinto untuk berdiskusi soal kasus Om Ibrahim. Sebelum jam sembilan, aku akan pulang,” kata Rajendra.“Kamu tidak maka
"Aaarrkkh!" teriak Maya dengan cukup lantang. Kemudian dengan cepat dia menyambar handuk dan menutupi tubuhnya dengan terburu-buru.Sementara itu, Adrian memejamkan matanya lalu berbalik badan. Pria itu menutup kembali pintu kamar mandi dan berjalan cepat menuju ruang tengah. Sungguh, Adrian benar-benar terkejut dengan kejadian yang di luar nalar itu.Di saat yang bersamaan, Adrian juga bertanya-tanya siapa wanita yang baru saja dia lihat. Kenapa dia bisa berada di dalam rumahnya, bahkan memakai kamar mandi dengan bebas? Mencoba berpikir positif, Adrian menebak bila wanita tadi adalah gadis desa yang dibicarakan oleh Meliana.Pria itu pun berusaha mencari keberadaan istrinya di ruangan lain, tetapi usahanya tidak membuahkan hasil, Meliana memang tidak ada di rumah. Akhirnya, Adrian memutuskan untuk bertanya baik-baik kepada wanita misterius itu.Di sisi lain, Maya sedikit ragu untuk keluar dari kamar mandi, dia merasa begitu malu. Rasanya ia ingin bersembunyi saja, tetapi mau tak mau
Langkah Meliana terdengar memasuki rumah. Ia sudah selesai melakukan ritual perawatan dan juga makan malam di kafe. Sungguh, tak ada yang lebih menyenangkan daripada memanjakan diri bersama dengan teman-temannya.Namun, kebahagiaan Meliana langsung pudar saat ia mendengar suara laki-laki dan perempuan yang sedang mengobrol dengan akrab.“Jadi, anak muda di desamu banyak yang merantau ke Jakarta?” tanya Adrian pada Maya.“Iya, Mas. Rata-rata mereka ingin mencari pekerjaan yang lebih baik. Ada juga yang pergi untuk menghindari perjodohan. Di desa kami, masih ada tradisi menikah muda sebelum usia dua puluh tahun. Dulu, teman saya sampai pura-pura pingsan supaya tidak dijodohkan dengan juragan Surya yang berumur lima puluh tahun,” jelas Maya dengan mata berbinar.Adrian terkikik geli mendengar cerita Maya. Dari sorot matanya, nampak jelas bahwa perempuan itu sangat polos dan lugu. “Kalau kamu lebih suka di desa atau di kota?” tanya Adrian.“Uhm, saya belum tahu, Mas, karena baru beberapa
Catleya baru saja membuka matanya, bersamaan dengan itu Rajendra juga terbangun. Mereka dalam posisi berhadapan, kemudian saling melempar senyum. Tangan Rajendra terulur untuk menyelipkan anak rambut Catleya ke belakang telinga."Selamat pagi," sapa Rajendra dengan suara khas bangun tidur."Pagi juga, Hubby," balas Catleya tersenyum manis.“Aku masih ingat bagaimana malam pengantin kita di desa. Kamu terus mendesakku ke tepi ranjang, sampai tidak bisa bergerak. Akhirnya, badanku pegal semua,” kata Rajendra mengenang masa lalu mereka.“Hah, apa benar? Seingatku kamu sudah pergi ke peternakan sewaktu aku bangun,” balas Catleya.“Justru aku ke peternakan pagi-pagi, karena tidak bisa tidur setelah subuh. Tapi, ada untungnya juga kamu mendekati aku. Selama beberapa jam, aku bisa memandangi wajahmu yang cantik.”Mendengar penjelasan Rajendra, Catleya menenggelamkan wajahnya di bantal. Merasa malu dengan tingkah lakunya sendiri. Rajendra pun merasa gemas sendiri. Dia bergeser merapat pada Ca
“Halo, selamat siang Oma,” sapa Catleya dengan nada bicara yang sangat sopan.“Halo, Catleya. Bagaimana kabarmu dan Jendra? Apa kamu sedang bekerja di kantor?” tanya Nyonya Tiara dari seberang sana.“Kabar kami baik, Oma. Iya, saya ada di kantor sekarang,” jawab Catleya.“Baguslah. Aku cuma ingin bertanya apakah kalian berdua sudah memeriksakan diri ke dokter?” tanyanya lagi.Kini, Catleya pun tahu maksud dari Nyonya Tiara meneleponnya adalah untuk menanyakan soal pemeriksaan kesuburan.“Saya dan Jendra belum sempat ke dokter, karena kami baru kembali dari Surabaya. Tapi, kami usahakan dalam minggu ini ke dokter, Oma,” jawab Catleya. Jujur, ia selalu gugup setiap berbincang dengan Nyonya Tiara, walau hanya dari balik telepon.“Begini saja, besok kamu tidak usah masuk kerja. Aku akan menjemputmu di apartemen, lalu kita langsung ke rumah sakit. Aku memiliki teman baik yang anaknya seorang dokter kandungan terkenal di Jakarta,” putus Nyonya Tiara.Catleya menahan napas sebentar. Kalau su
Catleya samat-samar teringat akan sosok lelaki misterius tersebut, meski sosoknya tak terlalu jelas di bawah sorotan lampu temaram. Memang pada waktu itu listrik tiba-tiba padam, lalu menyala dengan cahaya yang remang-remang, sehingga Catleya tidak dapat mengenalinya. Apalagi, lelaki itu mengenakan topeng full face dengan kostum serba hitam. Namun bila diingat lebih dalam, postur tubuhnya begitu mirip dengan Rajendra, terutama dari segi tinggi badan.Melihat istrinya bengong membuat Rajendra penasaran. "Ada apa, Sayang?" tanyanya.Lamunan Catleya pun buyar, wanita itu menggeleng lalu tersenyum. "Tidak, tidak ada apa-apa, kok" jawabnya berbohong.Sebenarnya Catleya sedikit penasaran dan ingin menanyakan apakah lelaki itu benar adalah Rajendra. Hanya saja, dia takut tebakannya salah. Lagi pula, selama ini Rajendra tidak pernah bercerita apa pun mengenai pertemuan mereka, selain perjodohan yang diatur oleh Nyonya Nandini."Kamu yakin tidak apa-apa? Kelihatannya kamu sedang memikirkan ses
Esok harinya Rajendra dan Catleya berangkat ke desa Purwabinangun untuk berbulan madu. Begitu mereka tiba, kepala desa dan seluruh warga menyambut Rajendra dengan hangat. Mereka merasa gembira lantaran sang juragan peternakan ayam akhirnya kembali, pasca meninggalkan desa cukup lama.Setelah beramah tamah sebentar dengan warga, Rajendra mohon diri untuk membawa Catleya beristirahat di rumah. Semula Catleya mengira bahwa rumah itu akan terlihat kotor dan berbau apek karena sudah lama tidak dihuni. Namun dugaannya ternyata keliru. Begitu pintu terbuka, Catleya terkejut melihat rumah bercat hijau itu terlihat rapi dan bersih. Ia juga disambut oleh Isti dan Irma, gadis kembar yang dulu menjadi perias pengantinnya. Nampaknya, Rajendra menugaskan kedua gadis itu untuk merawat dan menjaga rumahnya selama mereka tidak ada. “Mbak Leya sedang hamil. Sudah berapa bulan, Mbak?” Isti memandang perut Catleya yang membuncit dengan mata berbinar.“Lima bulan, Isti,” kata Catleya.“Mbak Leya dan Pak
Catleya sudah bersIap-siap pergi ke butik untuk melakukan fitting baju. Hari ini, Catleya pergi dengan ditemani oleh Ineke, karena sahabatnya itu sedang cuti. Setibanya di tempat tujuan, Ineke langsung bergerak aktif bersama para pegawai butik untuk memilihkan gaun bagi Catleya. Sementara itu, sang ibu hamil hanya berdiri sambil melihat kesibukan mereka. Dalam hal ini, Catleya berperan sebagai manekin yang bertugas mencoba gaun. Rasanya bagaikan mimpi ketika Catleya memandang dirinya di depan cermin. Sebuah gaun putih berenda mawar, dengan ekor panjang yang menjuntai membalut tubuhnya. Persis seperti imajinasinya semasa kecil, bahwa ia akan berpakaian seperti putri raja dan menikah dengan seorang pangeran. Dan pangeran tersebut tak lain adalah Rajendra Aryaguna, lelaki yang mendadak hadir dalam hidupnya tanpa disangka-disangka. “Setelah ini, kita akan ke mana? Belanja ke mall, perawatan ke salon, makan di kafe, atau nonton film?” tanya Ineke pasca urusan di butik sudah selesai. “Ki
Bibir Catleya berubah sepucat kertas takala mendengar kabar duka itu. Cairan bening berdesakan di kedua sudut matanya. Pasalnya, sejahat apa pun perilaku Nyonya Nandini dan Meliana, tetap saja mereka pernah menjadi bagian tak terpisahkan dari hidupnya. Bahkan, selama ini ia telah menganggap Nyonya Nandini sebagai ibu kandung sendiri.“Halo, Non. Apa Non Leya masih mendengar suara saya?” tanya Bi Ijah dari seberang telepon.“I-iya, Bi. Tolong tanyakan, di rumah sakit mana Mama Nandini dirawat,” kata Catleya dengan suara parau.“Sebentar, Non.”Terdengar suara langkah kaki Bi Ijah yang menjauh, disertai sayup-sayup percakapannya dengan petugas kepolisian. Tak berselang lama, Bi Ijah kembali untuk memberitahukan informasi yang berhasil dia dapatkan. “Kata Pak Polisi, Nyonya Nandini ada di IGD rumah sakit Premier, Non.”“Baik, Bi, terima kasih. Aku dan Jendra akan ke sana sekarang,” ucap Catleya sebelum memutus sambungan telepon. Bersamaan dengan itu, Rajendra datang dengan membawa namp
“Mama!”Catleya berteriak di dalam tidur karena memimpikan ibu kandungnya berjalan pergi bersama Nyonya Nandini. Merasa sedih sekaligus takut, perempuan itu meraih guling yang ada di sampingnya dan memeluknya dengan erat. Anehnya, guling tersebut terasa lebih besar dan hangat seakan memiliki nyawa.“Eummm, jangan tinggalkan aku,” racau Catleya. “Aku tidak akan meninggalkan kamu, Sayang.”Mendengar suara bariton yang menjawabnya, Catleya serasa terlempar kembali ke dunia nyata. Kelopak matanya mengerjap sebelum akhirnya terbuka perlahan. Seolah tak percaya, Catleya mengusap mata beberapa kali. Berusaha menajamkan penglihatan, supaya tidak salah mengenali benda. Siapa tahu mimpi buruk tadi telah membuat dirinya mengalami halusinasi berlebihan. “Kenapa guling bisa berubah menjadi Jendra?” tanya Catleya bingung. Dalam sepersekian detik, Catleya bersitatap dengan netra hitam milik sang suami. Entah mengapa perwujudan dari imajinasinya saat ini benar-benar nyata.Catleya pun mengulurkan t
“Biarkan Mama ikut denganmu, Mel. Mama akan selalu menemani kamu, ke mana pun kamu pergi,” kata Nyonya Nandini berusaha meluluhkan hati Meliana. Bagaimanapun, dia tidak akan membiarkan putrinya pergi seorang diri. Apalagi, Meliana saat ini sedang dirundung keputusasaan yang mendalam. Melihat ibunya terus memohon, Meliana akhirnya membuka pintu mobil. Setelah Nyonya Nandini masuk, perempuan itu langsung menginjak pedal gas dan melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Yang diinginkan Meliana hanyalah melampiaskan amarah yang sedang membakar dirinya, dengan cara mengemudi secara ugal-ugalan. Catleya hanya bisa memandang kepergian ibu dan adik tirinya dengan tatapan nanar. Ia bingung harus berbuat apa saat ini. Di satu sisi, ia mencemaskan kondisi Meliana dan Nyonya Nandini, tetapi di sisi lain hatinya masih terlalu pedih untuk bertatap muka lagi dengan mereka. Terlebih, bayi dalam rahimnya hampir saja celaka gara-gara ulah sang adik tiri. “Ayo, masuk, Non. Sebaiknya Non Leya istira
Meski harus melanggar pesan dari Rajendra, Catleya bertekad untuk mendatangi Nyonya Nandini. Hanya saja, dirinya saat ini sedang dijaga ketat oleh para pelayan. Jika ia nekat keluar dari apartemen, mereka pasti akan mengadu pada Rajendra. Oleh karena itu, ia harus mencari cara supaya diizinkan pergi seorang diri. Setelah berganti pakaian dan mengambil tas, Catleya pun berjalan mengendap-endap dari kamarnya. Namun, salah satu pelayan yang sedang membersihkan ruang tamu mengetahui pergerakannya. “Nyonya, mau ke mana? Tuan Muda berpesan agar Nyonya istirahat di kamar,” tegur pelayan itu. Pelayan yang satu lagi juga menghentikan pekerjaannya di dapur dan menghampiri Catleya.“Saya sedang merindukan mama saya, Mbak. Saya akan berkunjung ke rumahnya sebentar,” bohong Catleya. “Kalau begitu kami akan menelepon Tuan Muda dulu untuk meminta izin,” kata salah satu pelayan.“Jangan, Mbak, suami saya sedang ada urusan penting, tidak bisa diganggu. Lebih baik Mbak berdua tetap di apartemen untu
Pagi hari, Catleya langsung merengek kepada Rajendra agar mengurus kepulangannya. Tentu saja, Rajendra menuruti keinginan sang istri meski dia tidak melakukan sendiri. Ada Rama yang siap sedia menangani urusan administrasi rumah sakit, sedangkan Rajendra lebih memilih berduaan dengan Catleya.Setibanya di apartemen, dua orang pelayan yang diutus Nyonya Tiara sudah menantikan kedatangan Catleya. Mereka yang akan ditugaskan melayani Catleya, selama Rajendra berada di kantor. Sebelum berangkat, Rajendra pun mewanti-wanti para pelayan itu agar tidak lalai dalam menyiapkan segala keperluan Catleya.Sementara Catleya hanya memperhatikan dari sofa sambil geleng-geleng kepala. Dia merasa heran melihat perubahan drastis pada diri sang suami. Siapa sangka Rajendra yang dulu irit bicara, sekarang bisa mengucapkan kalimat panjang tanpa jeda, mirip seorang ibu mertua yang sedang mengomeli menantunya.“Jangan lupa siapkan vitamin dari dokter setelah Catleya makan siang,” pesan Rajendra.“Baik, Tuan
Rajendra yang sedang menemani Catleya di rumah sakit, mendapat telepon dari Tuan Rinto. Pengacara sekaligus sahabat mendiang ayahnya itu memberikan kabar bahwa pihak yang berwajib sudah mendatangi rumah Ibrahim. Hampir saja pria paruh baya tersebut melarikan diri ke Amerika, tetapi kepergiannya berhasil dicegah.“Apa sekarang Om Ibrahim sudah diamankan?” tanya Rajendra memastikan.“Iya, Jendra. Ibrahim sudah ada di kantor polisi untuk menjalani pemeriksaan. Om akan terus mengikuti perkembangan penyelidikan kasus ini,” kata Tuan Rinto.“Terima kasih, Om. Kalau memang aku perlu datang ke sana, tolong kabari aku secepatnya.”“Baik, Jendra.”Setelah percakapan itu berakhir, Rajendra meletakkan ponselnya di atas nakas. Ia bermaksud hendak menemani Catleya yang sedang tertidur. Namun tidak sampai lima menit, ponselnya bergetar-getar. Melihat nama Bintang di layar, Rajendra segera menekan tombol hijau. Ia sama sekali tidak terkejut bila kakak sepupunya itu menelepon, karena ia sudah menebak
Kedua perempuan beda usia itu berpelukan dalam haru. Pipi Catleya ikut basah oleh air mata, tak mengira bila ia akan bertemu lagi dengan pembantu sekaligus pengasuhnya semasa kecil.Setelah melepas rindu satu sama lain, mereka pun duduk di kursi dengan posisi saling berhadapan. Mbok Tami berusaha menghentikan tangisnya, sebab dia sudah mengetahui tujuan Catlleya mengunjunginya kali ini.“Non, Mbok Tami benar-benar minta maaf atas kesalahan Mbok selama ini. Mbok tidak bermaksud untuk mendukung perbuatan buruk Nyonya Nandini,” kata Mbok Tami dengan suara parau.“Perbutan buruk apa, Mbok?” tanya Catleya dengan mata terbeliak.“Nyonya Nandini yang sudah menyebabkan Nyonya Sofia mengalami serangan jantung, Non,” Ucapan Mbok Tami terputus lantaran sesak yang menghimpit rongga dadanya. “Saya sudah berusaha mencegah Nyonya Sofia, tapi akhirnya dia melihat Nyonya Nandini dan Tuan Wirya di kamar. Mereka bertiga bertengkar hebat. Nyonya Nandini justru menghina Nyonya Sofia. Dia bilang Tuan Wiry