“Halo, selamat siang Oma,” sapa Catleya dengan nada bicara yang sangat sopan.“Halo, Catleya. Bagaimana kabarmu dan Jendra? Apa kamu sedang bekerja di kantor?” tanya Nyonya Tiara dari seberang sana.“Kabar kami baik, Oma. Iya, saya ada di kantor sekarang,” jawab Catleya.“Baguslah. Aku cuma ingin bertanya apakah kalian berdua sudah memeriksakan diri ke dokter?” tanyanya lagi.Kini, Catleya pun tahu maksud dari Nyonya Tiara meneleponnya adalah untuk menanyakan soal pemeriksaan kesuburan.“Saya dan Jendra belum sempat ke dokter, karena kami baru kembali dari Surabaya. Tapi, kami usahakan dalam minggu ini ke dokter, Oma,” jawab Catleya. Jujur, ia selalu gugup setiap berbincang dengan Nyonya Tiara, walau hanya dari balik telepon.“Begini saja, besok kamu tidak usah masuk kerja. Aku akan menjemputmu di apartemen, lalu kita langsung ke rumah sakit. Aku memiliki teman baik yang anaknya seorang dokter kandungan terkenal di Jakarta,” putus Nyonya Tiara.Catleya menahan napas sebentar. Kalau su
Catleya samat-samar teringat akan sosok lelaki misterius tersebut, meski sosoknya tak terlalu jelas di bawah sorotan lampu temaram. Memang pada waktu itu listrik tiba-tiba padam, lalu menyala dengan cahaya yang remang-remang, sehingga Catleya tidak dapat mengenalinya. Apalagi, lelaki itu mengenakan topeng full face dengan kostum serba hitam. Namun bila diingat lebih dalam, postur tubuhnya begitu mirip dengan Rajendra, terutama dari segi tinggi badan.Melihat istrinya bengong membuat Rajendra penasaran. "Ada apa, Sayang?" tanyanya.Lamunan Catleya pun buyar, wanita itu menggeleng lalu tersenyum. "Tidak, tidak ada apa-apa, kok" jawabnya berbohong.Sebenarnya Catleya sedikit penasaran dan ingin menanyakan apakah lelaki itu benar adalah Rajendra. Hanya saja, dia takut tebakannya salah. Lagi pula, selama ini Rajendra tidak pernah bercerita apa pun mengenai pertemuan mereka, selain perjodohan yang diatur oleh Nyonya Nandini."Kamu yakin tidak apa-apa? Kelihatannya kamu sedang memikirkan ses
Catleya kembali meremas tangannya sendiri. Jujur, ia masih belum ingin berhenti menjadi sekretaris Rajendra karena merasa masih sanggup melakukan pekerjaannya. Apalagi, ia tidak mengalami gejala kehamilan yang mengganggu aktivitas sehari-hari. Rencananya, ia baru akan mengundurkan diri bila usia kandungannya sudah memasuki trimester ketiga.Namun, Nyonya Tiara sepertinya bersikukuh untuk memintanya berhenti, sehingga mau tak mau ia harus menurut.“Saya akan mengundurkan diri setelah Jendra mendapatkan sekretaris baru. Paling lama dua bulan lagi, Oma,” jawab Catleya meminta waktu.Nyonya Tiara terdiam sejenak, nampak sedang menimbang-nimbang permintaan Catleya.“Kalau bisa lebih cepat dari dua bulan, itu lebih baik. Minta saja ke bagian HRD agar memasang lowongan pekerjaan sekretaris CEO di website resmi perusahaan,” imbuh Nyonya Tiara."Baik, Oma," ucap Catleya dengan senang hati. Akhirnya, ia berhasil meminta kelonggaran waktu dari Nyonya Tiara.Sepanjang perjalanan, wanita tua itu t
Nyonya Nandini dan Adrian duduk di ruang tunggu rumah sakit dengan gelisah. Wajah Nyonya Nandini penuh harapan, meskipun terasa agak tegang menunggu hasil pemeriksaan dokter. Dia terus memanjatkan doa agar Maya dinyatakan cocok untuk menjadi ibu pengganti. Saat ini, Maya adalah harapan satu-satunya harapan bagi perempuan paruh baya itu.“Bagaimana perasaanmu, Adrian?” tanya Nyonya Andini pada sang menantu. Sejak tadi, Adrian mondar-mandir di depan ruang pemeriksaan. Lelaki itu sepertinya ikut tegang dengan apa yang sedang terjadi.“Aku agak khawatir, Ma,” jawab Adrian apa adanya.Meski dalam hati ia belum setuju sepenuhnya dengan proses inseminasi, tetapi sedikit demi sedikit ia telah tenggelam dalam jurang permainan istri dan ibu mertuanya. Ia tidak bisa lagi keluar dari lubang yang telah disediakan untuknya, sehingga ia terpaksa mengikuti keinginan Meliana.“Semuanya akan berjalan lancar, harus lancar. Kandungan Maya pasti sehat,” ucap Nyonya Nandini pada dirinya sendiri.Adrian men
Nyonya Nandini dan Adrian keluar dari ruangan dokter dengan senyum yang dipaksakan. Mereka berusaha keras untuk menutupi raut kebimbangan di wajah mereka. Mau tak mau, mereka harus berpura-pura di hadapan Meliana bahwa semua baik-baik saja.“Ada masalah apa, Ma? Kenapa Mama dan Adrian menemui dokter di ruangan lain?” tanya Meliana begitu melihat ibu dan suaminya telah kembali.“Tidak ada masalah, Mel. Dokter bilang kamu dan Adrian bisa melakukan inseminasi,” ucap Nyonya Nandini mencoba menyembunyikan ketakutannya dari sang putri. Jangan sampai Meliana mengetahui rencananya yang di luar nalar.“Bagus kalau begitu. Jadi, kapan inseminasi akan dilakukan?” tanya Meliana, wajahnya penuh harap.“Dua atau tiga hari lagi, Sayang,” jawab Nyonya Nandini menepuk-nepuk pelan bahu putrinya itu.Meliana mengangguk, “Baiklah, aku akan datang lagi ke rumah sakit sesuai jadwal.”Nyonya Nandini buru-buru menggeleng pelan, “Tidak perlu, Mel. Maya dan Adrian saja yang akan pergi. Begitu kata Dokter,” kat
Rajendra pun berhenti mengunyah makanannya, lalu menatap Catleya dengan alis terangkat. "Syaratnya sebanyak itu?” tanyanya kemudian."Betul, karena itu aku yang harus mewawancarai mereka. Aku akan memilih mereka dengan cermat," jawab Catleya.Wanita itu melipat tangannya di meja sambil sedikit memajukan wajahnya untuk menatap suaminya. "Aku tidak akan lengah sedikitpun dalam mengawasi sekretarismu nanti."Rajendra meneguk salivanya kasar. Sekarang ia tahu kenapa Catleya ingin memilih sendiri penggantinya, alasannya tentu saja karena istrinya itu cemburu. Dan bila Catleya sudah menunjukkan sisi garangnya, maka ia tidak berani membantah."Tentu saja, pilih sesuka kamu, Sayang. Aku yakin kalau pilihan kamu tidak pernah salah," balas Rajendra seraya memperlihatkan deretan giginya yang putih. Asalkan Catleya bahagia, Rajendra mengizinkan apa pun yang diinginkan oleh sang istri."Terima kasih banyak, My Hubby!" ucap Catleya sambil menyuapkan strawberry ke mulut Rajendra.Mendapat persetujua
Johan yang mendapatkan perintah dari Ibrahim tentu saja merasa terkejut. Tak ada angin, tak ada hujan mendadak sang bos ingin pergi ke luar negri. Padahal, mereka belum tuntas mengurus masalah Nela dan Lita yang berkhianat."Anda akan ke Amerika besok? Untuk berapa lama?" tanya Johan mengulang perkataan Ibrahim."Aku belum tahu. Mungkin aku akan menetap di sana untuk selamanya,” kata Ibrahim.Mata Johan pun terbelalak sampai hendak melompat keluar dari tempatnya.“Kalau Anda meninggalkan perusahaan Chandra Kirana, lalu bagaimana dengan saya?” tanya Johan dilanda kerisauan.“Kamu bisa tetap bekerja seperti biasa, Johan.”“Kenapa Anda pergi mendadak? Apa ini berkaitan dengan tertangkapnya Nela dan Lita oleh Tuan Rajendra?”Ibrahim membuang napas kasar, lalu menatap wajah dari tangan kanannya yang setia itu.“Akhir-akhir ini, aku sering bermimpi buruk, Johan. Aku khawatir akan dilaporkan oleh Rajendra ke polisi. Jadi, untuk sementara waktu aku harus bersembunyi ke tempat yang aman. Binta
Pagi itu, sinar mentari menembus tirai kamar Catleya, membangunkan wanita itu dari alam mimpi. Namun, alih-alih menyambut pagi dengan segar, perut Catleya justru bergejolak oleh sensasi yang tidak menyenangkan di dalam sana. Dengan terbatuk-batuk, Catleya bergegas melangkahkan kaki menuju wastafel.“Tidak apa-apa, Sayang. Mama hanya sedikit mual,” gumam Catleya sembari mengelus perutnya yang masih rata. Hanya saja, selang beberapa detik ia memuntahkan cairan dari bibirnya.Rajendra ikut terbangun karena merasakan pergerakan Catleya. Hidungnya mencium aroma tidak sedap yang menyelinap keluar dari kamar mandi. Dengan cepat, lelaki itu mengetuk pintu dan memasukinya, raut wajahnya dipenuhi kekhawatiran.“Sayang, apa yang terjadi? Kamu terlihat pucat sekali,” tanya Rajendra sambil memegang bahu istrinya itu.Catleya menatap Rajendra dengan sendu, berusaha untuk tersenyum. “Aku baik-baik saja, Hubby. Hanya sedikit masalah perut.”“Kalau begitu kamu istirahat saja di apartemen,” saran Rajen
Esok harinya Rajendra dan Catleya berangkat ke desa Purwabinangun untuk berbulan madu. Begitu mereka tiba, kepala desa dan seluruh warga menyambut Rajendra dengan hangat. Mereka merasa gembira lantaran sang juragan peternakan ayam akhirnya kembali, pasca meninggalkan desa cukup lama.Setelah beramah tamah sebentar dengan warga, Rajendra mohon diri untuk membawa Catleya beristirahat di rumah. Semula Catleya mengira bahwa rumah itu akan terlihat kotor dan berbau apek karena sudah lama tidak dihuni. Namun dugaannya ternyata keliru. Begitu pintu terbuka, Catleya terkejut melihat rumah bercat hijau itu terlihat rapi dan bersih. Ia juga disambut oleh Isti dan Irma, gadis kembar yang dulu menjadi perias pengantinnya. Nampaknya, Rajendra menugaskan kedua gadis itu untuk merawat dan menjaga rumahnya selama mereka tidak ada. “Mbak Leya sedang hamil. Sudah berapa bulan, Mbak?” Isti memandang perut Catleya yang membuncit dengan mata berbinar.“Lima bulan, Isti,” kata Catleya.“Mbak Leya dan Pak
Catleya sudah bersIap-siap pergi ke butik untuk melakukan fitting baju. Hari ini, Catleya pergi dengan ditemani oleh Ineke, karena sahabatnya itu sedang cuti. Setibanya di tempat tujuan, Ineke langsung bergerak aktif bersama para pegawai butik untuk memilihkan gaun bagi Catleya. Sementara itu, sang ibu hamil hanya berdiri sambil melihat kesibukan mereka. Dalam hal ini, Catleya berperan sebagai manekin yang bertugas mencoba gaun. Rasanya bagaikan mimpi ketika Catleya memandang dirinya di depan cermin. Sebuah gaun putih berenda mawar, dengan ekor panjang yang menjuntai membalut tubuhnya. Persis seperti imajinasinya semasa kecil, bahwa ia akan berpakaian seperti putri raja dan menikah dengan seorang pangeran. Dan pangeran tersebut tak lain adalah Rajendra Aryaguna, lelaki yang mendadak hadir dalam hidupnya tanpa disangka-disangka. “Setelah ini, kita akan ke mana? Belanja ke mall, perawatan ke salon, makan di kafe, atau nonton film?” tanya Ineke pasca urusan di butik sudah selesai. “Ki
Bibir Catleya berubah sepucat kertas takala mendengar kabar duka itu. Cairan bening berdesakan di kedua sudut matanya. Pasalnya, sejahat apa pun perilaku Nyonya Nandini dan Meliana, tetap saja mereka pernah menjadi bagian tak terpisahkan dari hidupnya. Bahkan, selama ini ia telah menganggap Nyonya Nandini sebagai ibu kandung sendiri.“Halo, Non. Apa Non Leya masih mendengar suara saya?” tanya Bi Ijah dari seberang telepon.“I-iya, Bi. Tolong tanyakan, di rumah sakit mana Mama Nandini dirawat,” kata Catleya dengan suara parau.“Sebentar, Non.”Terdengar suara langkah kaki Bi Ijah yang menjauh, disertai sayup-sayup percakapannya dengan petugas kepolisian. Tak berselang lama, Bi Ijah kembali untuk memberitahukan informasi yang berhasil dia dapatkan. “Kata Pak Polisi, Nyonya Nandini ada di IGD rumah sakit Premier, Non.”“Baik, Bi, terima kasih. Aku dan Jendra akan ke sana sekarang,” ucap Catleya sebelum memutus sambungan telepon. Bersamaan dengan itu, Rajendra datang dengan membawa namp
“Mama!”Catleya berteriak di dalam tidur karena memimpikan ibu kandungnya berjalan pergi bersama Nyonya Nandini. Merasa sedih sekaligus takut, perempuan itu meraih guling yang ada di sampingnya dan memeluknya dengan erat. Anehnya, guling tersebut terasa lebih besar dan hangat seakan memiliki nyawa.“Eummm, jangan tinggalkan aku,” racau Catleya. “Aku tidak akan meninggalkan kamu, Sayang.”Mendengar suara bariton yang menjawabnya, Catleya serasa terlempar kembali ke dunia nyata. Kelopak matanya mengerjap sebelum akhirnya terbuka perlahan. Seolah tak percaya, Catleya mengusap mata beberapa kali. Berusaha menajamkan penglihatan, supaya tidak salah mengenali benda. Siapa tahu mimpi buruk tadi telah membuat dirinya mengalami halusinasi berlebihan. “Kenapa guling bisa berubah menjadi Jendra?” tanya Catleya bingung. Dalam sepersekian detik, Catleya bersitatap dengan netra hitam milik sang suami. Entah mengapa perwujudan dari imajinasinya saat ini benar-benar nyata.Catleya pun mengulurkan t
“Biarkan Mama ikut denganmu, Mel. Mama akan selalu menemani kamu, ke mana pun kamu pergi,” kata Nyonya Nandini berusaha meluluhkan hati Meliana. Bagaimanapun, dia tidak akan membiarkan putrinya pergi seorang diri. Apalagi, Meliana saat ini sedang dirundung keputusasaan yang mendalam. Melihat ibunya terus memohon, Meliana akhirnya membuka pintu mobil. Setelah Nyonya Nandini masuk, perempuan itu langsung menginjak pedal gas dan melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Yang diinginkan Meliana hanyalah melampiaskan amarah yang sedang membakar dirinya, dengan cara mengemudi secara ugal-ugalan. Catleya hanya bisa memandang kepergian ibu dan adik tirinya dengan tatapan nanar. Ia bingung harus berbuat apa saat ini. Di satu sisi, ia mencemaskan kondisi Meliana dan Nyonya Nandini, tetapi di sisi lain hatinya masih terlalu pedih untuk bertatap muka lagi dengan mereka. Terlebih, bayi dalam rahimnya hampir saja celaka gara-gara ulah sang adik tiri. “Ayo, masuk, Non. Sebaiknya Non Leya istira
Meski harus melanggar pesan dari Rajendra, Catleya bertekad untuk mendatangi Nyonya Nandini. Hanya saja, dirinya saat ini sedang dijaga ketat oleh para pelayan. Jika ia nekat keluar dari apartemen, mereka pasti akan mengadu pada Rajendra. Oleh karena itu, ia harus mencari cara supaya diizinkan pergi seorang diri. Setelah berganti pakaian dan mengambil tas, Catleya pun berjalan mengendap-endap dari kamarnya. Namun, salah satu pelayan yang sedang membersihkan ruang tamu mengetahui pergerakannya. “Nyonya, mau ke mana? Tuan Muda berpesan agar Nyonya istirahat di kamar,” tegur pelayan itu. Pelayan yang satu lagi juga menghentikan pekerjaannya di dapur dan menghampiri Catleya.“Saya sedang merindukan mama saya, Mbak. Saya akan berkunjung ke rumahnya sebentar,” bohong Catleya. “Kalau begitu kami akan menelepon Tuan Muda dulu untuk meminta izin,” kata salah satu pelayan.“Jangan, Mbak, suami saya sedang ada urusan penting, tidak bisa diganggu. Lebih baik Mbak berdua tetap di apartemen untu
Pagi hari, Catleya langsung merengek kepada Rajendra agar mengurus kepulangannya. Tentu saja, Rajendra menuruti keinginan sang istri meski dia tidak melakukan sendiri. Ada Rama yang siap sedia menangani urusan administrasi rumah sakit, sedangkan Rajendra lebih memilih berduaan dengan Catleya.Setibanya di apartemen, dua orang pelayan yang diutus Nyonya Tiara sudah menantikan kedatangan Catleya. Mereka yang akan ditugaskan melayani Catleya, selama Rajendra berada di kantor. Sebelum berangkat, Rajendra pun mewanti-wanti para pelayan itu agar tidak lalai dalam menyiapkan segala keperluan Catleya.Sementara Catleya hanya memperhatikan dari sofa sambil geleng-geleng kepala. Dia merasa heran melihat perubahan drastis pada diri sang suami. Siapa sangka Rajendra yang dulu irit bicara, sekarang bisa mengucapkan kalimat panjang tanpa jeda, mirip seorang ibu mertua yang sedang mengomeli menantunya.“Jangan lupa siapkan vitamin dari dokter setelah Catleya makan siang,” pesan Rajendra.“Baik, Tuan
Rajendra yang sedang menemani Catleya di rumah sakit, mendapat telepon dari Tuan Rinto. Pengacara sekaligus sahabat mendiang ayahnya itu memberikan kabar bahwa pihak yang berwajib sudah mendatangi rumah Ibrahim. Hampir saja pria paruh baya tersebut melarikan diri ke Amerika, tetapi kepergiannya berhasil dicegah.“Apa sekarang Om Ibrahim sudah diamankan?” tanya Rajendra memastikan.“Iya, Jendra. Ibrahim sudah ada di kantor polisi untuk menjalani pemeriksaan. Om akan terus mengikuti perkembangan penyelidikan kasus ini,” kata Tuan Rinto.“Terima kasih, Om. Kalau memang aku perlu datang ke sana, tolong kabari aku secepatnya.”“Baik, Jendra.”Setelah percakapan itu berakhir, Rajendra meletakkan ponselnya di atas nakas. Ia bermaksud hendak menemani Catleya yang sedang tertidur. Namun tidak sampai lima menit, ponselnya bergetar-getar. Melihat nama Bintang di layar, Rajendra segera menekan tombol hijau. Ia sama sekali tidak terkejut bila kakak sepupunya itu menelepon, karena ia sudah menebak
Kedua perempuan beda usia itu berpelukan dalam haru. Pipi Catleya ikut basah oleh air mata, tak mengira bila ia akan bertemu lagi dengan pembantu sekaligus pengasuhnya semasa kecil.Setelah melepas rindu satu sama lain, mereka pun duduk di kursi dengan posisi saling berhadapan. Mbok Tami berusaha menghentikan tangisnya, sebab dia sudah mengetahui tujuan Catlleya mengunjunginya kali ini.“Non, Mbok Tami benar-benar minta maaf atas kesalahan Mbok selama ini. Mbok tidak bermaksud untuk mendukung perbuatan buruk Nyonya Nandini,” kata Mbok Tami dengan suara parau.“Perbutan buruk apa, Mbok?” tanya Catleya dengan mata terbeliak.“Nyonya Nandini yang sudah menyebabkan Nyonya Sofia mengalami serangan jantung, Non,” Ucapan Mbok Tami terputus lantaran sesak yang menghimpit rongga dadanya. “Saya sudah berusaha mencegah Nyonya Sofia, tapi akhirnya dia melihat Nyonya Nandini dan Tuan Wirya di kamar. Mereka bertiga bertengkar hebat. Nyonya Nandini justru menghina Nyonya Sofia. Dia bilang Tuan Wiry