“Bagaimana kalau aku adalah ….”Kriiingggg!Rajendra terpaksa menghentikan ucapannya karena bunyi telepon yang mengganggu. Padahal sedikir lagi, ia hampir mengatakan bahwa dirinya adalah suami Catleya yang memiliki hak penuh atas sang istri. Namun, dering telepon itu membuat ia harus menahan diri untuk sesaat.Sambil menghela napas, Rajendra mengangkat gagang telepon dan menempelkannya ke telinga.“Halo.”“Halo, Pak, saya cuma ingin mengingatkan tentang permintaan saya satu jam yang lalu. Kalau Bapak tidak memenuhinya, saya akan membatalkan hadiah untuk Bapak nanti malam,” lirih Catleya dari balik telepon. Wajah Rajendra yang semula mengeras langsung berubah menjadi lunak. Bahkan, ia hampir saja tersenyum sebab merasa istrinya itu sangat lucu. Rasanya sangat aneh mendengar Catleya memakai bahasa yang formal lagi, setelah kemarin mereka saling memanggil dengan sebutan “Sayang”.“Iya, tenanglah, aku pasti akan mengingatnya,” ucap Rajendra. Usai mengucapkan janji, Rajendra lantas menut
“Baiklah, setengah jam lagi kita berangkat. Aku akan menandatangani laporan-laporan ini dulu,” kata Rajendra. Tidak nampak sama sekali raut kecemasan di wajah lelaki itu, kendati sang kakek akan datang secara mendadak. Rama mengangguk kemudian duduk di hadapan Rajendra untuk menunggu bosnya itu menyelesaikan pekerjaan. Sementara, Catleya malah merasa canggung karena berada pada waktu dan tempat yang salah. Ia memutuskan untuk segera meninggalkan ruang CEO dan mengerjakan tugasnya sendiri. Namun sebelum ia berbalik, Rajendra tiba-tiba memanggil namanya. “Leya, bisa tidak kamu membantu saya memeriksa laporan pengajuan budget per divisi, dan laporan analisa keuangan dari Pak MK?” pinta Rajendra.“Bisa, Pak. Hari ini juga akan saya selesaikan.”“Terima kasih, tapi kamu tidak perlu sampai kerja lembur. Pulanglah tepat waktu, Sayang,” ujar Rajendra sembari menyerahkan dua tumpuk map ke tangan istri merangkap sekretarisnya itu. Kelopak mata Catleya langsung melebar dua kali lipat. Netrany
Nyonya Nandini langsung mengomel begitu Adrian tiba di rumah sakit. Pasalnya, lelaki itu terlambat lima belas menit dari perkiraan, sehingga membuat Nyonya Nandini uring-uringan. Ia hanya punya waktu sedikit untuk bersiap-siap, tetapi menantunya yang tidak berguna ini malah membuat ulah.“Dari mana saja kamu, Adrian? Kenapa jam segini baru datang?” sembur Nyonya Nandini.“Aku dari kantor, Ma.”“Kamu ini suami yang tidak punya perasaan! Istrimu masih terbaring lemah di rumah sakit, tapi kamu malah enak-enakan kerja. Harusnya kamu siap menemani Meliana kapan pun,” hardik Nyonya Nandini dengan mata melotot.“Enak-enakan bagaimana? Bukankah Mama sendiri yang bilang padaku agar jangan menampakkan diri di depan Meliana? Makanya aku memutuskan untuk pergi bekerja. Lagi pula, nanti malam aku juga akan berjaga di sini supaya Mama bisa istirahat di rumah.”“Psssttt, cukup, Adrian! Kamu terlalu banyak bicara untuk membela diri,” ujar Nyonya Nandini sembari menempelkan jari telunjuk ke bibirnya.
“Nah, kita sudah sampai. Turunlah dulu dan tunggu aku di lobi, Nandini. Nanti aku menyusul,” ujar Ibrahim.Nyonya Nandini mengangguk lantas membuka pintu mobil. Senyuman tak pernah surut dari bibir perempuan paruh baya itu. Terlebih, saat kedatangannya disambut oleh petugas hotel yang berseragam merah. Sungguh, inilah kehidupan yang ia idam-idamkan selama ini, bertabur kemewahan dan dihormati oleh semua orang. Perempuan paruh baya itu memilih untuk duduk di sofa empuk yang tersedia di lobi. Pandangannya mengedar ke seluruh sudut hotel berbintang lima yang megah tersebut. Hingga kemudian Ibrahim datang dan mengajaknya menuju ke restoran. Dengan senang hati, Nyonya Nandini mengiringi langkah Ibrahim sampai ke meja yang sudah dipesan oleh pria itu. Hati Nyonya Nandini dibuat berbunga-bunga tatkala Ibrahim menggeserkan kursi untuknya. Pria di hadapannya ini adalah sosok lelaki sejati, bukan hanya dari segi fisik, tetapi juga sikapnya yang sangat menghormati wanita. Sungguh, ia merasa di
Selesai berbelanja, Catleya segera memesan taksi agar tidak kemalaman sampai di rumah. Namun dalam perjalanan pulang, ia mendapat pesan dari Rajendra. Lekas saja, Catleya membaca pesan dari suaminya itu dengan seksama. [Sayang, apa kamu sudah sampai di rumah? Tiba-tiba, aku terpikir supaya kita pindah ke apartemen mulai malam ini. Aku khawatir Bintang akan datang ke rumah sewaktu-waktu saat aku tidak ada.]Catleya pun segera mengetikkan balasan dengan cepat.[Aku sedang dalam perjalanan pulang. Sekarang kita jangan pindah dulu, tunggu sampai Meliana keluar dari rumah sakit. Kasihan kalau Mama Nandini sendirian di rumah. Aku yakin Pak Bintang tidak mungkin datang setelah peristiwa kemarin.]Beberapa menit setelah pesan itu terkirim, Rajendra baru mengirimkan balasan. [Baiklah, asalkan kita nanti bisa berduaan tanpa ada yang mengganggu.]Membaca isi pesan singkat dari Rajendra, Catleya malah merasa deg-degan. Apalagi, ia akan memakai baju yang di luar nalar untuk pertama kali, setelah
Selesai makan malam, Nyonya Nandini terus membicarakan banyak hal, termasuk mengenai rencana Meliana melakukan inseminasi buatan. Seperti biasa, ia hendak memanfaatkan rasa belas kasih dalam hati Catleya untuk mengambil keuntungan. Semoga saja, anak tirinya itu bersedia menyerahkan seluruh uangnya untuk Meliana.“Leya, sebenarnya Meliana kemarin sempat terguncang gara-gara ibu mertuanya datang ke rumah sakit. Mamanya Adrian itu menghina dan menyalahkan Meliana sebagai menantu yang tidak berguna. Dia juga meminta Adrian untuk menikah lagi supaya bisa memiliki keturunan,” ucap Nyonya Nandini dengan mata berkaca-kaca.“Tante Pamela berkata begitu, Ma?” tanya Catleya tidak percaya. Pasalnya, ia mengenal ibunda Adrian tersebut sebagai wanita yang lembut dan baik hati. Rasanya mustahil bila Nyonya Pamela berubah sedemikan cepat menjadi ibu mertua yang jahat. “Untuk apa Mama mengarang cerita, Leya. Sifat aslinya Mbak Pamela baru terlihat setelah Meliana menjadi istri Adrian. Mama sampai har
Pagi hari, Catleya terbangun akibat mendengar suara berisik di dalam kamarnya. Seraya membuka kelopak mata yang masih terasa lengket, Catleya mengarahkan pandangan ke sisi kasur di sampingnya. Rajendra sudah tidak ada. Namun, suaminya itu ternyata sedang mengemasi barang-barang ke dalam koper. Tak terkecuali sejumlah camilan yang tempo hari mereka beli di supermarket. “Sayang, jam berapa ini?” tanya Catleya dengan suara serak. Ia meraba-raba nakas untuk mencari ponsel, tetapi benda pipih itu entah menghilang ke mana. “Jam enam,” jawab Rajendra.“Lalu, kenapa kamu membereskan barang sepagi ini?” tanya Catleya berusaha bangkit dari tempat tidur.“Supaya kita benar-benar pindah. Kalau aku tidak membereskan barang, nanti kamu berubah pikiran,” ucap Rajendra sembari menutup kopernya. Rasa kantuk Catleya mendadak lenyap, ketika ia melihat Rajendra berpindah untuk membuka kopernya. Lekas saja, ia melompat turun dari tempat tidur untuk menghalangi niatan lelaki itu. “Stop! Jangan sentuh,”
Setelah merekam aktivitas targetnya, pria yang memakai jaket kulit dan kacamata serba hitam itu naik ke atas motornya. Menutupi wajahnya dengan helm full face, pria itu lantas melajukan motornya meninggalkan kawasan apartemen Quantis Tower.Cukup lama lelaki itu berkendara, hingga ia tiba di sebuah bangunan ruko yang menyerupai kantor. Setelah memarkirkan motornya, lelaki itu melepas helm serta jaket lalu memasuki ruko bertingkat dua itu. Seorang wanita yang bertindak sebagai resepsionis membungkukkan badan, begitu pula dengan tiga orang pria yang sedang fokus pada laptopnya. Hentakan sepatu lelaki itu terdengar jelas ketika ia menaiki undakan menuju ke lantai dua. Di sana ada sebuah ruangan berukuran segi empat yang berfungsi sebagai tempat kerja. Pria itu mendaratkan diri di kursi, lalu mengirimkan foto beserta hasil rekamannya ke nomor ponsel seseorang. Usai semua pesan terkirim, pria berkumis tipis itu menekan nomor yang sama untuk menelepon. Namun panggilan tersebut tak kunjung
Esok harinya Rajendra dan Catleya berangkat ke desa Purwabinangun untuk berbulan madu. Begitu mereka tiba, kepala desa dan seluruh warga menyambut Rajendra dengan hangat. Mereka merasa gembira lantaran sang juragan peternakan ayam akhirnya kembali, pasca meninggalkan desa cukup lama.Setelah beramah tamah sebentar dengan warga, Rajendra mohon diri untuk membawa Catleya beristirahat di rumah. Semula Catleya mengira bahwa rumah itu akan terlihat kotor dan berbau apek karena sudah lama tidak dihuni. Namun dugaannya ternyata keliru. Begitu pintu terbuka, Catleya terkejut melihat rumah bercat hijau itu terlihat rapi dan bersih. Ia juga disambut oleh Isti dan Irma, gadis kembar yang dulu menjadi perias pengantinnya. Nampaknya, Rajendra menugaskan kedua gadis itu untuk merawat dan menjaga rumahnya selama mereka tidak ada. “Mbak Leya sedang hamil. Sudah berapa bulan, Mbak?” Isti memandang perut Catleya yang membuncit dengan mata berbinar.“Lima bulan, Isti,” kata Catleya.“Mbak Leya dan Pak
Catleya sudah bersIap-siap pergi ke butik untuk melakukan fitting baju. Hari ini, Catleya pergi dengan ditemani oleh Ineke, karena sahabatnya itu sedang cuti. Setibanya di tempat tujuan, Ineke langsung bergerak aktif bersama para pegawai butik untuk memilihkan gaun bagi Catleya. Sementara itu, sang ibu hamil hanya berdiri sambil melihat kesibukan mereka. Dalam hal ini, Catleya berperan sebagai manekin yang bertugas mencoba gaun. Rasanya bagaikan mimpi ketika Catleya memandang dirinya di depan cermin. Sebuah gaun putih berenda mawar, dengan ekor panjang yang menjuntai membalut tubuhnya. Persis seperti imajinasinya semasa kecil, bahwa ia akan berpakaian seperti putri raja dan menikah dengan seorang pangeran. Dan pangeran tersebut tak lain adalah Rajendra Aryaguna, lelaki yang mendadak hadir dalam hidupnya tanpa disangka-disangka. “Setelah ini, kita akan ke mana? Belanja ke mall, perawatan ke salon, makan di kafe, atau nonton film?” tanya Ineke pasca urusan di butik sudah selesai. “Ki
Bibir Catleya berubah sepucat kertas takala mendengar kabar duka itu. Cairan bening berdesakan di kedua sudut matanya. Pasalnya, sejahat apa pun perilaku Nyonya Nandini dan Meliana, tetap saja mereka pernah menjadi bagian tak terpisahkan dari hidupnya. Bahkan, selama ini ia telah menganggap Nyonya Nandini sebagai ibu kandung sendiri.“Halo, Non. Apa Non Leya masih mendengar suara saya?” tanya Bi Ijah dari seberang telepon.“I-iya, Bi. Tolong tanyakan, di rumah sakit mana Mama Nandini dirawat,” kata Catleya dengan suara parau.“Sebentar, Non.”Terdengar suara langkah kaki Bi Ijah yang menjauh, disertai sayup-sayup percakapannya dengan petugas kepolisian. Tak berselang lama, Bi Ijah kembali untuk memberitahukan informasi yang berhasil dia dapatkan. “Kata Pak Polisi, Nyonya Nandini ada di IGD rumah sakit Premier, Non.”“Baik, Bi, terima kasih. Aku dan Jendra akan ke sana sekarang,” ucap Catleya sebelum memutus sambungan telepon. Bersamaan dengan itu, Rajendra datang dengan membawa namp
“Mama!”Catleya berteriak di dalam tidur karena memimpikan ibu kandungnya berjalan pergi bersama Nyonya Nandini. Merasa sedih sekaligus takut, perempuan itu meraih guling yang ada di sampingnya dan memeluknya dengan erat. Anehnya, guling tersebut terasa lebih besar dan hangat seakan memiliki nyawa.“Eummm, jangan tinggalkan aku,” racau Catleya. “Aku tidak akan meninggalkan kamu, Sayang.”Mendengar suara bariton yang menjawabnya, Catleya serasa terlempar kembali ke dunia nyata. Kelopak matanya mengerjap sebelum akhirnya terbuka perlahan. Seolah tak percaya, Catleya mengusap mata beberapa kali. Berusaha menajamkan penglihatan, supaya tidak salah mengenali benda. Siapa tahu mimpi buruk tadi telah membuat dirinya mengalami halusinasi berlebihan. “Kenapa guling bisa berubah menjadi Jendra?” tanya Catleya bingung. Dalam sepersekian detik, Catleya bersitatap dengan netra hitam milik sang suami. Entah mengapa perwujudan dari imajinasinya saat ini benar-benar nyata.Catleya pun mengulurkan t
“Biarkan Mama ikut denganmu, Mel. Mama akan selalu menemani kamu, ke mana pun kamu pergi,” kata Nyonya Nandini berusaha meluluhkan hati Meliana. Bagaimanapun, dia tidak akan membiarkan putrinya pergi seorang diri. Apalagi, Meliana saat ini sedang dirundung keputusasaan yang mendalam. Melihat ibunya terus memohon, Meliana akhirnya membuka pintu mobil. Setelah Nyonya Nandini masuk, perempuan itu langsung menginjak pedal gas dan melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Yang diinginkan Meliana hanyalah melampiaskan amarah yang sedang membakar dirinya, dengan cara mengemudi secara ugal-ugalan. Catleya hanya bisa memandang kepergian ibu dan adik tirinya dengan tatapan nanar. Ia bingung harus berbuat apa saat ini. Di satu sisi, ia mencemaskan kondisi Meliana dan Nyonya Nandini, tetapi di sisi lain hatinya masih terlalu pedih untuk bertatap muka lagi dengan mereka. Terlebih, bayi dalam rahimnya hampir saja celaka gara-gara ulah sang adik tiri. “Ayo, masuk, Non. Sebaiknya Non Leya istira
Meski harus melanggar pesan dari Rajendra, Catleya bertekad untuk mendatangi Nyonya Nandini. Hanya saja, dirinya saat ini sedang dijaga ketat oleh para pelayan. Jika ia nekat keluar dari apartemen, mereka pasti akan mengadu pada Rajendra. Oleh karena itu, ia harus mencari cara supaya diizinkan pergi seorang diri. Setelah berganti pakaian dan mengambil tas, Catleya pun berjalan mengendap-endap dari kamarnya. Namun, salah satu pelayan yang sedang membersihkan ruang tamu mengetahui pergerakannya. “Nyonya, mau ke mana? Tuan Muda berpesan agar Nyonya istirahat di kamar,” tegur pelayan itu. Pelayan yang satu lagi juga menghentikan pekerjaannya di dapur dan menghampiri Catleya.“Saya sedang merindukan mama saya, Mbak. Saya akan berkunjung ke rumahnya sebentar,” bohong Catleya. “Kalau begitu kami akan menelepon Tuan Muda dulu untuk meminta izin,” kata salah satu pelayan.“Jangan, Mbak, suami saya sedang ada urusan penting, tidak bisa diganggu. Lebih baik Mbak berdua tetap di apartemen untu
Pagi hari, Catleya langsung merengek kepada Rajendra agar mengurus kepulangannya. Tentu saja, Rajendra menuruti keinginan sang istri meski dia tidak melakukan sendiri. Ada Rama yang siap sedia menangani urusan administrasi rumah sakit, sedangkan Rajendra lebih memilih berduaan dengan Catleya.Setibanya di apartemen, dua orang pelayan yang diutus Nyonya Tiara sudah menantikan kedatangan Catleya. Mereka yang akan ditugaskan melayani Catleya, selama Rajendra berada di kantor. Sebelum berangkat, Rajendra pun mewanti-wanti para pelayan itu agar tidak lalai dalam menyiapkan segala keperluan Catleya.Sementara Catleya hanya memperhatikan dari sofa sambil geleng-geleng kepala. Dia merasa heran melihat perubahan drastis pada diri sang suami. Siapa sangka Rajendra yang dulu irit bicara, sekarang bisa mengucapkan kalimat panjang tanpa jeda, mirip seorang ibu mertua yang sedang mengomeli menantunya.“Jangan lupa siapkan vitamin dari dokter setelah Catleya makan siang,” pesan Rajendra.“Baik, Tuan
Rajendra yang sedang menemani Catleya di rumah sakit, mendapat telepon dari Tuan Rinto. Pengacara sekaligus sahabat mendiang ayahnya itu memberikan kabar bahwa pihak yang berwajib sudah mendatangi rumah Ibrahim. Hampir saja pria paruh baya tersebut melarikan diri ke Amerika, tetapi kepergiannya berhasil dicegah.“Apa sekarang Om Ibrahim sudah diamankan?” tanya Rajendra memastikan.“Iya, Jendra. Ibrahim sudah ada di kantor polisi untuk menjalani pemeriksaan. Om akan terus mengikuti perkembangan penyelidikan kasus ini,” kata Tuan Rinto.“Terima kasih, Om. Kalau memang aku perlu datang ke sana, tolong kabari aku secepatnya.”“Baik, Jendra.”Setelah percakapan itu berakhir, Rajendra meletakkan ponselnya di atas nakas. Ia bermaksud hendak menemani Catleya yang sedang tertidur. Namun tidak sampai lima menit, ponselnya bergetar-getar. Melihat nama Bintang di layar, Rajendra segera menekan tombol hijau. Ia sama sekali tidak terkejut bila kakak sepupunya itu menelepon, karena ia sudah menebak
Kedua perempuan beda usia itu berpelukan dalam haru. Pipi Catleya ikut basah oleh air mata, tak mengira bila ia akan bertemu lagi dengan pembantu sekaligus pengasuhnya semasa kecil.Setelah melepas rindu satu sama lain, mereka pun duduk di kursi dengan posisi saling berhadapan. Mbok Tami berusaha menghentikan tangisnya, sebab dia sudah mengetahui tujuan Catlleya mengunjunginya kali ini.“Non, Mbok Tami benar-benar minta maaf atas kesalahan Mbok selama ini. Mbok tidak bermaksud untuk mendukung perbuatan buruk Nyonya Nandini,” kata Mbok Tami dengan suara parau.“Perbutan buruk apa, Mbok?” tanya Catleya dengan mata terbeliak.“Nyonya Nandini yang sudah menyebabkan Nyonya Sofia mengalami serangan jantung, Non,” Ucapan Mbok Tami terputus lantaran sesak yang menghimpit rongga dadanya. “Saya sudah berusaha mencegah Nyonya Sofia, tapi akhirnya dia melihat Nyonya Nandini dan Tuan Wirya di kamar. Mereka bertiga bertengkar hebat. Nyonya Nandini justru menghina Nyonya Sofia. Dia bilang Tuan Wiry