Ketika terbangun pagi ini, Catleya mendapati dirinya tidak bersemangat sama sekali. Pesan dari Yasinta ternyata mempunyai efek berkepanjangan bahkan setelah hari berlalu.Seusai mandi dan mengganti piyama dengan setelan kerja, Catleya duduk di kursi rias. Matanya masih terlihat bengkak padahal sudah dikompres semalam. Catleya pun memoles riasan lebih tebal demi menyamarkan sembap yang terlihat.Cukup puas dengan penampilannya sekarang, Catleya lantas mengambil tas dan memasukkan dompet serta ponsel yang dari semalam belum dinyalakan. Dia tidak ingin atau lebih tepatnya tidak siap jika Rajendra atau Yasinta menelepon.Nyonya Nandini sudah menunggu di meja makan saat Catleya keluar dari kamar. Mereka pun sarapan bersama dengan menu yang dimasak oleh Nyonya Nandini sendiri.“Ma, aku boleh pinjam mobil buat ke kantor? Nanti pulangnya sekalian beli makan malam,” tanya Catleya. Makanan di piringnya sudah tandas tak bersisa.“Boleh, kok. Mama juga sedang malas keluar rumah.”Catleya mengguma
Di Singapura, Rajendra mulai menyibukkan diri dengan pekerjaannya di negara tersebut. Jadwal pertama Rajendra di hari itu adalah meeting dengan kolega Tuan Chandra, Tuan Abram. Mereka berjabat tangan, saling memperkenalkan diri sebelum memulai meeting. Pria itu kemudian duduk di salah satu kursi ditemani oleh Rama. Masalahnya, Rajendra menjadi sangat tidak fokus karena memikirkan tingkah aneh Catleya. Siapa yang tidak akan kepikiran jika pasangannya berubah, membuat Rajendra bertanya-tanya ia salah apa. Sementara Catleya seolah menghindari pertanyaan suaminya. ‘Tidak mungkin ada asap jika tidak ada api.’ Rajendra membatin saat kolega bisnis kakeknya menjelaskan. Lelaki muda itu lebih sibuk memikirkan istrinya daripada pria di hadapannya. Baginya, masalah ini tidak dianggap sepele sebelum ia menemukan jawaban. ‘Bagaimana caranya aku bisa mencari tahu, sedangkan aku baru tiba di Singapura. Masih ada beberapa hari lagi di sini,’ ujar Rajendra dalam hatinya. "Tuan Rajendra," tegur Tu
“Mel, kamu kenapa?” tanya Adrian segera berlari menolong sang istri.“Aduh, Mas! Perutku sakit sekali, rasanya seperti diremas-remas.”Adrian panik melihat Meliana terus memegangi perut sambil meringis. Wanita itu terduduk di lantai saking tidak kuat menahan sakit. Peluh juga sudah bercucuran membasahi keningnya.“Mana yang sakit, Mel?” tanya Adrian. Berjongkok dan berusaha melepas tangan istrinya yang terus mencengkeram perut.“Perutku, Mas!” Meliana menggigit bibir bawah.“Kita ke rumah sakit sekarang, ya?”Meliana tidak kuasa menjawab, wanita itu hanya mengangguk dan pasrah saat Adrian membawa tubuhnya ke dalam gendongan.“Ma, aku akan membawa Meliana ke rumah sakit dulu. Mama tunggu di rumah saja,” pamit Adrian.“Iya, hati-hati Adrian. Jangan lupa kabari Mama tentang kondisi Meliana.”Wajah Nyonya Pamela ikut pucat pasi melihat menantunya terus merintih. Tidak mengerti mengapa sang menantu mendadak kesakitan seperti itu. Timbul perasaan bersalah pada hatinya karena sudah terlalu k
Catleya ikut khawatir dengan kondisi adik tirinya. Kabarnya Meliana sudah dibawa ke rumah sakit, dan kini ditangani oleh dokter. Ia sungguh berharap agar kelainan pada rahim Meliana tidak terlalu serius, apalagi adiknya itu baru saja mengalami keguguran.Ponsel di kursi sebelah berdering lagi dan berasal dari nomor Nyonya Nandini. Catleya meraih benda itu, mengangkat panggilan sang ibu tiri kemudian menempelkan ke telinga."Halo, Ma.""Di mana kamu, Leya? Kenapa lama sekali?" Nyonya Nandini bertanya sembari terisak di telepon."Ini sedang di jalan, Ma, sebentar lagi aku sampai. Mama tunggu saja di depan, ya." Catleya memberi pengertian, ia sudah mengemudikan mobil jauh lebih cepat daripada biasanya.Nyonya Nandini langsung mengakhiri panggilannya begitu saja, seolah marah karena menunggu terlalu lama. Catleya hanya bisa memaklumi sikap sang ibu tiri. Bagaimanapun wanita itu sangat mengkhawatirkan putri kandungnya yang sedang sakit.Catleya menambah kecepatan berkendara, ia ingin cepat
Mobil yang dikendarai Catleya berbelok, lalu berhenti di sebuah halaman rumah bertingkat dua. Tepatnya, di sebuah kawasan perumahan elite ibu kota. Lewat kaca yang terbuka sebagian, sepasang mata Catleya tertuju pada angka timbul di sisi pintu. Sesuai dengan yang diberitahukan Lusi melalui pesan tertulis.Catleya lantas turun dari mobil dan menaiki dua undakan teras. Tatapannya sempat mengedar ke sekitar dan mendapati suasana begitu sepi. Sepertinya memang benar bahwa Bintang dan Ibrahim sedang tidak ada.Tiga kali pintu diketuk hingga akhirnya dibuka dari dalam. Lusi muncul dengan wajah sumringah, seolah berterima kasih karena sang penyelamat sudah tiba.“Di mana Milly?” tanya Catleya.“Ada di kamar. Langsung ke sana saja, Bu, karena Milly dari tadi menangis terus. Badannya juga masih demam.”“Kalau begitu tolong antarkan saya ke kamarnya, Mbak,” pinta Catleya. Ia sungguh cemas memikirkan kondisi gadis kecil itu.Catleya mengikuti langkah Lusi yang sedikit cepat. Kedua wanita itu mel
Catleya masih terguncang sehabis mendapat perlakuan kurang pantas dari Bintang. Beruntung, ia bisa melepaskan diri sebelum Bintang bertindak semakin jauh. Jika tidak, entah sehancur apa keadaannya saat ini. Sepanjang perjalanan, Catleya menahan tangis. Ia mengusap bekas di mana Bintang mencium dirinya tadi. Catleya menggeleng, ia tidak menyangka hal ini akan menimpa dirinya. Dengan telapak tangan, Catleya menyeka bulir-bulir kristal yang mengalir turun dari pelupuk matanya. Ia menginjak pedal gas untuk menambah kecepatan mobilnya. Yang diinginkan Catleya hanyalah cepat tiba di rumah, lalu membasuh seluruh tubuhnya dengan air. Begitu tiba di halaman rumah, Catleya memarkirkan mobil lalu menyambar tas kerjanya. Dengan tergesa-gesa ia masuk ke dalam rumah, mengunci semua pintu dan jendela rapat-rapat. Kemudian, ia berlari menaiki anak tangga menuju ke lantai dua.Di dalam kamarnya, Catleya melepas semua bajunya yang telah terjamah oleh Bintang. Ia menghidupkan shower lantas berdiri ta
Mendengar tuduhan yang menyakitkan itu, bumi yang dipijak Catleya seakan runtuh dalam sekejap. Rongga dadanya terasa sesak, membuatnya kesulitan untuk sekadar meraup oksigen dari udara. Cairan bening pun menetes perlahan, mengikuti raut wajah Catleya yang memucat. Bahu perempuan itu bergetar di bawah tatapan nyalang sang suami. Belum pernah ia melihat Rajendra semarah ini. Entah ke mana perginya sorot teduh penuh kelembutan yang biasanya terpancar dari netra Rajendra. "S-saya tidak pernah... melakukan... itu… Apa yang Bapak lihat … tidak seperti kenyataan,” ucap Catleya dengan napas tersengal. Suara Catleya terputus oleh rasa sakit yang menyebar ke seluruh pembuluh nadi. Sebegitu sempitkah pikiran Rajendra hingga meragukan kesetiaannya sebagai seorang istri? Tidakkah Rajendra curiga bahwa video ini hanya rekayasa belaka, yang sengaja dibuat seseorang untuk menjebaknya?Melihat penderitaan di mata Catleya, Rajendra tak bergeming sama sekali. Hatinya telah mengeras seperti batu. Dia
WARNING! Ada adegan 21“Katakan Leya, apa kamu sudah siap?” tanya Rajendra sekali lagi. Tak ayal, jantung Catleya berpacu sangat kencang. Entah kegilaan macam apa yang tengah merasukinya, hingga Catleya tertantang untuk membuktikan dirinya tidak bersalah. Bagaimanapun Rajendra harus tahu bahwa ia adalah seorang istri yang setia, dan selalu menjaga kehormatannya hanya untuk sang suami. “Saya … siap,” kata Catleya dengan tatapan sendu.Mendapat persetujuan suka rela dari sang istri, Rajendra tak ingin lagi membuang waktu. Ia segera membuka ritsleting dress yang dipakai Catleya dan menurunkannya hingga melorot ke bawah. Menatap belahan indah yang terpampang tanpa penghalang, nalurinya sebagai lelaki langsung tergugah. Tanpa ragu, ia pun membenamkan bibirnya berlama-lama di tempat itu. Tubuh Catleya yang bergerak gelisah dan suara merdu yang keluar dari bibirnya, membuat Rajendra semakin bersemangat. Tak sabar untuk menjelajah lebih dalam, Rajendra lantas mengangkat tubuh mungil Catle
Esok harinya Rajendra dan Catleya berangkat ke desa Purwabinangun untuk berbulan madu. Begitu mereka tiba, kepala desa dan seluruh warga menyambut Rajendra dengan hangat. Mereka merasa gembira lantaran sang juragan peternakan ayam akhirnya kembali, pasca meninggalkan desa cukup lama.Setelah beramah tamah sebentar dengan warga, Rajendra mohon diri untuk membawa Catleya beristirahat di rumah. Semula Catleya mengira bahwa rumah itu akan terlihat kotor dan berbau apek karena sudah lama tidak dihuni. Namun dugaannya ternyata keliru. Begitu pintu terbuka, Catleya terkejut melihat rumah bercat hijau itu terlihat rapi dan bersih. Ia juga disambut oleh Isti dan Irma, gadis kembar yang dulu menjadi perias pengantinnya. Nampaknya, Rajendra menugaskan kedua gadis itu untuk merawat dan menjaga rumahnya selama mereka tidak ada. “Mbak Leya sedang hamil. Sudah berapa bulan, Mbak?” Isti memandang perut Catleya yang membuncit dengan mata berbinar.“Lima bulan, Isti,” kata Catleya.“Mbak Leya dan Pak
Catleya sudah bersIap-siap pergi ke butik untuk melakukan fitting baju. Hari ini, Catleya pergi dengan ditemani oleh Ineke, karena sahabatnya itu sedang cuti. Setibanya di tempat tujuan, Ineke langsung bergerak aktif bersama para pegawai butik untuk memilihkan gaun bagi Catleya. Sementara itu, sang ibu hamil hanya berdiri sambil melihat kesibukan mereka. Dalam hal ini, Catleya berperan sebagai manekin yang bertugas mencoba gaun. Rasanya bagaikan mimpi ketika Catleya memandang dirinya di depan cermin. Sebuah gaun putih berenda mawar, dengan ekor panjang yang menjuntai membalut tubuhnya. Persis seperti imajinasinya semasa kecil, bahwa ia akan berpakaian seperti putri raja dan menikah dengan seorang pangeran. Dan pangeran tersebut tak lain adalah Rajendra Aryaguna, lelaki yang mendadak hadir dalam hidupnya tanpa disangka-disangka. “Setelah ini, kita akan ke mana? Belanja ke mall, perawatan ke salon, makan di kafe, atau nonton film?” tanya Ineke pasca urusan di butik sudah selesai. “Ki
Bibir Catleya berubah sepucat kertas takala mendengar kabar duka itu. Cairan bening berdesakan di kedua sudut matanya. Pasalnya, sejahat apa pun perilaku Nyonya Nandini dan Meliana, tetap saja mereka pernah menjadi bagian tak terpisahkan dari hidupnya. Bahkan, selama ini ia telah menganggap Nyonya Nandini sebagai ibu kandung sendiri.“Halo, Non. Apa Non Leya masih mendengar suara saya?” tanya Bi Ijah dari seberang telepon.“I-iya, Bi. Tolong tanyakan, di rumah sakit mana Mama Nandini dirawat,” kata Catleya dengan suara parau.“Sebentar, Non.”Terdengar suara langkah kaki Bi Ijah yang menjauh, disertai sayup-sayup percakapannya dengan petugas kepolisian. Tak berselang lama, Bi Ijah kembali untuk memberitahukan informasi yang berhasil dia dapatkan. “Kata Pak Polisi, Nyonya Nandini ada di IGD rumah sakit Premier, Non.”“Baik, Bi, terima kasih. Aku dan Jendra akan ke sana sekarang,” ucap Catleya sebelum memutus sambungan telepon. Bersamaan dengan itu, Rajendra datang dengan membawa namp
“Mama!”Catleya berteriak di dalam tidur karena memimpikan ibu kandungnya berjalan pergi bersama Nyonya Nandini. Merasa sedih sekaligus takut, perempuan itu meraih guling yang ada di sampingnya dan memeluknya dengan erat. Anehnya, guling tersebut terasa lebih besar dan hangat seakan memiliki nyawa.“Eummm, jangan tinggalkan aku,” racau Catleya. “Aku tidak akan meninggalkan kamu, Sayang.”Mendengar suara bariton yang menjawabnya, Catleya serasa terlempar kembali ke dunia nyata. Kelopak matanya mengerjap sebelum akhirnya terbuka perlahan. Seolah tak percaya, Catleya mengusap mata beberapa kali. Berusaha menajamkan penglihatan, supaya tidak salah mengenali benda. Siapa tahu mimpi buruk tadi telah membuat dirinya mengalami halusinasi berlebihan. “Kenapa guling bisa berubah menjadi Jendra?” tanya Catleya bingung. Dalam sepersekian detik, Catleya bersitatap dengan netra hitam milik sang suami. Entah mengapa perwujudan dari imajinasinya saat ini benar-benar nyata.Catleya pun mengulurkan t
“Biarkan Mama ikut denganmu, Mel. Mama akan selalu menemani kamu, ke mana pun kamu pergi,” kata Nyonya Nandini berusaha meluluhkan hati Meliana. Bagaimanapun, dia tidak akan membiarkan putrinya pergi seorang diri. Apalagi, Meliana saat ini sedang dirundung keputusasaan yang mendalam. Melihat ibunya terus memohon, Meliana akhirnya membuka pintu mobil. Setelah Nyonya Nandini masuk, perempuan itu langsung menginjak pedal gas dan melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Yang diinginkan Meliana hanyalah melampiaskan amarah yang sedang membakar dirinya, dengan cara mengemudi secara ugal-ugalan. Catleya hanya bisa memandang kepergian ibu dan adik tirinya dengan tatapan nanar. Ia bingung harus berbuat apa saat ini. Di satu sisi, ia mencemaskan kondisi Meliana dan Nyonya Nandini, tetapi di sisi lain hatinya masih terlalu pedih untuk bertatap muka lagi dengan mereka. Terlebih, bayi dalam rahimnya hampir saja celaka gara-gara ulah sang adik tiri. “Ayo, masuk, Non. Sebaiknya Non Leya istira
Meski harus melanggar pesan dari Rajendra, Catleya bertekad untuk mendatangi Nyonya Nandini. Hanya saja, dirinya saat ini sedang dijaga ketat oleh para pelayan. Jika ia nekat keluar dari apartemen, mereka pasti akan mengadu pada Rajendra. Oleh karena itu, ia harus mencari cara supaya diizinkan pergi seorang diri. Setelah berganti pakaian dan mengambil tas, Catleya pun berjalan mengendap-endap dari kamarnya. Namun, salah satu pelayan yang sedang membersihkan ruang tamu mengetahui pergerakannya. “Nyonya, mau ke mana? Tuan Muda berpesan agar Nyonya istirahat di kamar,” tegur pelayan itu. Pelayan yang satu lagi juga menghentikan pekerjaannya di dapur dan menghampiri Catleya.“Saya sedang merindukan mama saya, Mbak. Saya akan berkunjung ke rumahnya sebentar,” bohong Catleya. “Kalau begitu kami akan menelepon Tuan Muda dulu untuk meminta izin,” kata salah satu pelayan.“Jangan, Mbak, suami saya sedang ada urusan penting, tidak bisa diganggu. Lebih baik Mbak berdua tetap di apartemen untu
Pagi hari, Catleya langsung merengek kepada Rajendra agar mengurus kepulangannya. Tentu saja, Rajendra menuruti keinginan sang istri meski dia tidak melakukan sendiri. Ada Rama yang siap sedia menangani urusan administrasi rumah sakit, sedangkan Rajendra lebih memilih berduaan dengan Catleya.Setibanya di apartemen, dua orang pelayan yang diutus Nyonya Tiara sudah menantikan kedatangan Catleya. Mereka yang akan ditugaskan melayani Catleya, selama Rajendra berada di kantor. Sebelum berangkat, Rajendra pun mewanti-wanti para pelayan itu agar tidak lalai dalam menyiapkan segala keperluan Catleya.Sementara Catleya hanya memperhatikan dari sofa sambil geleng-geleng kepala. Dia merasa heran melihat perubahan drastis pada diri sang suami. Siapa sangka Rajendra yang dulu irit bicara, sekarang bisa mengucapkan kalimat panjang tanpa jeda, mirip seorang ibu mertua yang sedang mengomeli menantunya.“Jangan lupa siapkan vitamin dari dokter setelah Catleya makan siang,” pesan Rajendra.“Baik, Tuan
Rajendra yang sedang menemani Catleya di rumah sakit, mendapat telepon dari Tuan Rinto. Pengacara sekaligus sahabat mendiang ayahnya itu memberikan kabar bahwa pihak yang berwajib sudah mendatangi rumah Ibrahim. Hampir saja pria paruh baya tersebut melarikan diri ke Amerika, tetapi kepergiannya berhasil dicegah.“Apa sekarang Om Ibrahim sudah diamankan?” tanya Rajendra memastikan.“Iya, Jendra. Ibrahim sudah ada di kantor polisi untuk menjalani pemeriksaan. Om akan terus mengikuti perkembangan penyelidikan kasus ini,” kata Tuan Rinto.“Terima kasih, Om. Kalau memang aku perlu datang ke sana, tolong kabari aku secepatnya.”“Baik, Jendra.”Setelah percakapan itu berakhir, Rajendra meletakkan ponselnya di atas nakas. Ia bermaksud hendak menemani Catleya yang sedang tertidur. Namun tidak sampai lima menit, ponselnya bergetar-getar. Melihat nama Bintang di layar, Rajendra segera menekan tombol hijau. Ia sama sekali tidak terkejut bila kakak sepupunya itu menelepon, karena ia sudah menebak
Kedua perempuan beda usia itu berpelukan dalam haru. Pipi Catleya ikut basah oleh air mata, tak mengira bila ia akan bertemu lagi dengan pembantu sekaligus pengasuhnya semasa kecil.Setelah melepas rindu satu sama lain, mereka pun duduk di kursi dengan posisi saling berhadapan. Mbok Tami berusaha menghentikan tangisnya, sebab dia sudah mengetahui tujuan Catlleya mengunjunginya kali ini.“Non, Mbok Tami benar-benar minta maaf atas kesalahan Mbok selama ini. Mbok tidak bermaksud untuk mendukung perbuatan buruk Nyonya Nandini,” kata Mbok Tami dengan suara parau.“Perbutan buruk apa, Mbok?” tanya Catleya dengan mata terbeliak.“Nyonya Nandini yang sudah menyebabkan Nyonya Sofia mengalami serangan jantung, Non,” Ucapan Mbok Tami terputus lantaran sesak yang menghimpit rongga dadanya. “Saya sudah berusaha mencegah Nyonya Sofia, tapi akhirnya dia melihat Nyonya Nandini dan Tuan Wirya di kamar. Mereka bertiga bertengkar hebat. Nyonya Nandini justru menghina Nyonya Sofia. Dia bilang Tuan Wiry