Ketika kelopak matanya perlahan terbuka, Meliana merasakan seluruh tubuhnya lemas seakan tak bertulang. Kepalanya terasa seringan kapas, sedangkan bagian perut ke bawah seperti mati rasa. Separuh pikirannya sadar akan realita, tetapi setengah jiwanya lagi masih melayang dalam dunia ilusi. Entah mengapa ia merasa baru berpijak di muka bumi setelah menjelajah dimensi yang berbeda. Kerongkongannya mendadak sangat gersang, dan ia membutuhkan air untuk melepas dahaga. Meliana hendak mencari air minum, tetapi gerakannya terhalang oleh tangan yang terhubung dengan selang infus. Membuatnya tersadar bahwa dirinya saat ini sedang terbaring di atas brankar rumah sakit.Merasa bingung, perempuan itu lantas memandang ke sekeliling ruangan. Ketika menoleh ke kiri, ia melihat Adrian yang terpejam dengan posisi bersandar pada kursi. Dan saat menatap ke kanan, ia mendapati sang ibu tengah berbaring di ranjang yang diperuntukkan bagi penjaga pasien.Teringat akan perlakuan Adrian yang lebih membela ib
Suara Catleya serasa tersangkut di tenggorokan. Tubuhnya terpaku oleh beragam emosi yang berkecamuk di dalam dada. Rasa takut, cemas, benci, bahkan keinginan untuk melarikan diri datang silih berganti tatkala kilatan kenangan buruk itu membanjiri pikirannya. Bak menabur garam di atas luka, kemunculan Bintang telah mengukir kembali gurat lara yang belum sepenuhnya sembuh. Apalagi saat menatap wajah lelaki itu, Catleya seakan bercermin pada masa lalu yang memilukan. Namun, di balik semua itu muncul sebuah tekad yang kuat untuk melindungi diri sendiri. Cukup sekali ia menjadi korban, dan hal itu tidak akan pernah terulang kembali. Kali ini, ia harus menunjukkan kepada Bintang bahwa dirinya bukanlah wanita lemah yang mudah dilecehkan. “Tidak ada yang perlu kita bicarakan. Sebaiknya, Bapak kembali saja ke kantor,” tegas Catleya dengan tatapan tajam, menolak untuk menyerah pada rasa takut yang menghantuinya. Kedua tangan Catleya terkepal erat-erat di samping tubuh, memaksa jari-jarinya u
Melihat Rajendra datang, Catleya bagai menemukan sosok ksatria yang siap untuk menyelamatkannya dari marabahaya. Tanpa pikir panjang, dia langsung menghambur ke pelukan sang suami. Bagi Catleya, Rajendra adalah satu-satunya tempat perlindungan yang paling aman di dunia.Rajendra sendiri terkejut melihat sikap Catleya yang seperti orang ketakutan. Barulah beberapa detik kemudian, ia mengerti apa yang terjadi tatkala Bintang berjalan ke arahnya. Lekas saja, Rajendra mendekap Catleya penuh rasa sayang untuk memberikan rasa aman kepada sang istri. Atmosfer ketegangan serasa memenuhi udara, saat kontak mata terjadi antara dua lelaki yang memiliki pertalian darah itu. Siapapun yang berada di dekat mereka, bisa mencium aroma persaingan yang begitu kental. Baik Rajendra maupun Bintang, tak ada yang mau mengalah untuk bisa mendapatkan hak penuh atas wanita yang mereka cintai. Detak jantung Rajendra berpacu cepat, memompa darah ke setiap serat ototnya yang tegang. Wajah lelaki muda itu tampa
Ketika kalimat indah itu menyentuh telinganya, Rajendra merasa waktu seakan berhenti berputar. Tubuhnya juga terasa gemetar oleh kelembutan sentuhan tangan Catleya. Seketika, getaran hangat pun mengaliri seluruh sarafnya yang tegang. Membuat bara amarah yang menyala di hati Rajendra perlahan padam, digantikan oleh pancaran sukacita yang nyata. Ternyata, kasih sayang yang tulus dari Catleya adalah obat paling mujarab yang bisa menenangkan amarahnya. Seiring dengan sorot matanya yang berbinar terang, Rajendra pun mengulas senyuman. Menyiratkan betapa bahagia dirinya saat ini. Akhirnya, setelah menanti sekian lama, ia bisa mendengar pernyataan cinta itu terucap dari bibir Catleya. Rasanya bagaikan bermimpi, hingga ia ingin mendengar kalimat indah itu berulang kali. Sebuah ide nakal pun terlintas di benak Rajendra. Ia akan berpura-pura masih marah, supaya Catleya berusaha merayunya dan mengungkapkan rasa cinta sekali lagi. Ia ingin tahu sejauh mana istrinya yang pemalu itu akan berjuang
Setelah mendengar janji yang diucapkan oleh Nyonya Nandini, Bintang merasa sedikit lega. Meski belum bisa merebut hati Catleya, paling tidak dia bisa mendapat dukungan dari calon ibu mertuanya. Dan mulai dari sekarang, ia harus sering-sering mendekati Nyonya Nandini agar perempuan paruh baya itu semakin mantap menjadikan dirinya sebagai menantu.“Terima kasih banyak, Tante. Kalau begitu saya pamit pulang dulu,” ucap Bintang beranjak dari duduknya.“Sama-sama, Bintang. Sampaikan salam Tante kepada ayah dan ibumu.”“Mama saya sudah meninggal tujuh tahun yang lalu, Tante. Sekarang saya tinggal bersama Papa saya,” jelas Bintang.“Oh, maaf, Tante tidak tahu,” ujar Nyonya Nandini seraya menepuk pelan bahu Bintang.Entah mengapa mendengar ibu kandung Bintang telah tiada, ia justru merasa senang. Itu artinya, ayahnya Bintang adalah seorang duda dan mungkin saja seumuran dengan dirinya. Siapa tahu nanti dia bisa memanfaatkan pria itu untuk mengeruk keuntungan lebih banyak. “Tidak apa-apa, Tan
Hati Catleya berdebar kencang, saat Rajendra kemudian menyeka sisa minyak di sudut bibirnya dengan jemari. Dia merasa terkejut sekaligus malu, karena mengalami momen manis yang tiba-tiba. Merasakan pipinya memanas, Catleya lalu berpura-pura hendak mengambil air minum.“A-aku mau minum dulu,” kata Catleya membalikkan tubuh. “Tolong ambilkan juga untukku, Sayang. Kalau tidak, aku akan menyesap air minum dengan cara seperti tadi,” ujar Rajendra.Lelaki muda itu tersenyum tipis melihat Catleya berjalan gugup ke arah dispenser. Sungguh, menggoda istrinya itu adalah kegiatan yang paling menyenangkan. Hanya dengan melihat pipi Catleya yang merona seperti buah apel, sudah bisa menjadi penghibur bagi kegundahan hatinya.“Ini minumlah,” ujar Catleya menyodorkan gelas berisi air ke tangan Rajendra.Melihat suaminya itu meneguk air putih hingga tandas, Catleya berpikir bila Rajendra tidak tahan dengan rasa masakannya. “Mau aku buatkan teh, susu, atau jus buah untuk menetralisir rasa fuyunghai t
Usai menerima telepon dari Yasinta, Bintang langsung tancap gas menuju ke rumahnya. Pada jam seperti ini, Milly pasti sedang mengikuti les privat piano di rumah. Dengan demikian, ia akan punya kesempatan untuk menginterogasi Lusi sampai wanita itu mengakui perbuatannya.Benar saja, saat ia tiba di rumah Milly sedang berlatih memainkan musik klasik dengan guru pianonya. Sedangkan Lusi hanya duduk di sofa sembari memantau anak asuhnya itu. Bintang pun segera memberi isyarat kepada Lusi agar mengikutinya ke ruang kerja.“Duduk, Lusi! Saya ingin bicara denganmu,” titah Bintang.Melihat raut wajah Bintang yang mengeras, Lusi langsung merunduk ketakutan. Firasatnya mengatakan bahwa sang tuan muda akan membahas perbuatan buruknya kemarin malam. “Jawab yang jujur, apa benar kamu sudah membohongi Catleya? Kamu yang mengatakan bahwa Milly demam tinggi, lalu meminta Catleya datang ke mari?”“I-iya, Tuan.”“Lalu apa lagi yang kamu lakukan? Kenapa Catleya bisa ada di kamarku?” desak Bintang denga
“Dari Opa Chandra?” tanya Rajendra mengerutkan alisnya. “Iya, lalu aku harus bagaimana?” tanya Catleya cemas. Mana mungkin ia punya keberanian untuk menerima telepon dari pemilik perusahaan Chandra Kirana. Jika dia nekat melakukannya, sama saja dia telah menantang maut. “Terima saja, biar aku yang bicara dengan Opa.”Rajendra menepikan mobilnya di pinggir jalan, sebelum mengambil alih ponselnya dari tangan sang istri. “Halo, Jendra, kamu di mana sekarang?”“Aku sedang di jalan, Opa. Aku akan pergi makan malam dengan Catleya,” tandas Rajendra.Mata Catleya langsung membulat sempurna. Wajahnya yang semula datar kini dipenuhi ekspresi kebingungan. Bagaimana tidak. Alih-alih bicara seperlunya, Rajendra justru menyebut-nyebut namanya. Padahal, sudah jelas keberadaannya di samping Rajendra tidak diinginkan oleh keluarga besar Aryaguna. Catleya pun menempelkan jarinya di mulut, sebagai isyarat agar Rajendra tidak menyinggung tentang dirinya. Namun, lelaki itu sepertinya tidak menghirauka
Esok harinya Rajendra dan Catleya berangkat ke desa Purwabinangun untuk berbulan madu. Begitu mereka tiba, kepala desa dan seluruh warga menyambut Rajendra dengan hangat. Mereka merasa gembira lantaran sang juragan peternakan ayam akhirnya kembali, pasca meninggalkan desa cukup lama.Setelah beramah tamah sebentar dengan warga, Rajendra mohon diri untuk membawa Catleya beristirahat di rumah. Semula Catleya mengira bahwa rumah itu akan terlihat kotor dan berbau apek karena sudah lama tidak dihuni. Namun dugaannya ternyata keliru. Begitu pintu terbuka, Catleya terkejut melihat rumah bercat hijau itu terlihat rapi dan bersih. Ia juga disambut oleh Isti dan Irma, gadis kembar yang dulu menjadi perias pengantinnya. Nampaknya, Rajendra menugaskan kedua gadis itu untuk merawat dan menjaga rumahnya selama mereka tidak ada. “Mbak Leya sedang hamil. Sudah berapa bulan, Mbak?” Isti memandang perut Catleya yang membuncit dengan mata berbinar.“Lima bulan, Isti,” kata Catleya.“Mbak Leya dan Pak
Catleya sudah bersIap-siap pergi ke butik untuk melakukan fitting baju. Hari ini, Catleya pergi dengan ditemani oleh Ineke, karena sahabatnya itu sedang cuti. Setibanya di tempat tujuan, Ineke langsung bergerak aktif bersama para pegawai butik untuk memilihkan gaun bagi Catleya. Sementara itu, sang ibu hamil hanya berdiri sambil melihat kesibukan mereka. Dalam hal ini, Catleya berperan sebagai manekin yang bertugas mencoba gaun. Rasanya bagaikan mimpi ketika Catleya memandang dirinya di depan cermin. Sebuah gaun putih berenda mawar, dengan ekor panjang yang menjuntai membalut tubuhnya. Persis seperti imajinasinya semasa kecil, bahwa ia akan berpakaian seperti putri raja dan menikah dengan seorang pangeran. Dan pangeran tersebut tak lain adalah Rajendra Aryaguna, lelaki yang mendadak hadir dalam hidupnya tanpa disangka-disangka. “Setelah ini, kita akan ke mana? Belanja ke mall, perawatan ke salon, makan di kafe, atau nonton film?” tanya Ineke pasca urusan di butik sudah selesai. “Ki
Bibir Catleya berubah sepucat kertas takala mendengar kabar duka itu. Cairan bening berdesakan di kedua sudut matanya. Pasalnya, sejahat apa pun perilaku Nyonya Nandini dan Meliana, tetap saja mereka pernah menjadi bagian tak terpisahkan dari hidupnya. Bahkan, selama ini ia telah menganggap Nyonya Nandini sebagai ibu kandung sendiri.“Halo, Non. Apa Non Leya masih mendengar suara saya?” tanya Bi Ijah dari seberang telepon.“I-iya, Bi. Tolong tanyakan, di rumah sakit mana Mama Nandini dirawat,” kata Catleya dengan suara parau.“Sebentar, Non.”Terdengar suara langkah kaki Bi Ijah yang menjauh, disertai sayup-sayup percakapannya dengan petugas kepolisian. Tak berselang lama, Bi Ijah kembali untuk memberitahukan informasi yang berhasil dia dapatkan. “Kata Pak Polisi, Nyonya Nandini ada di IGD rumah sakit Premier, Non.”“Baik, Bi, terima kasih. Aku dan Jendra akan ke sana sekarang,” ucap Catleya sebelum memutus sambungan telepon. Bersamaan dengan itu, Rajendra datang dengan membawa namp
“Mama!”Catleya berteriak di dalam tidur karena memimpikan ibu kandungnya berjalan pergi bersama Nyonya Nandini. Merasa sedih sekaligus takut, perempuan itu meraih guling yang ada di sampingnya dan memeluknya dengan erat. Anehnya, guling tersebut terasa lebih besar dan hangat seakan memiliki nyawa.“Eummm, jangan tinggalkan aku,” racau Catleya. “Aku tidak akan meninggalkan kamu, Sayang.”Mendengar suara bariton yang menjawabnya, Catleya serasa terlempar kembali ke dunia nyata. Kelopak matanya mengerjap sebelum akhirnya terbuka perlahan. Seolah tak percaya, Catleya mengusap mata beberapa kali. Berusaha menajamkan penglihatan, supaya tidak salah mengenali benda. Siapa tahu mimpi buruk tadi telah membuat dirinya mengalami halusinasi berlebihan. “Kenapa guling bisa berubah menjadi Jendra?” tanya Catleya bingung. Dalam sepersekian detik, Catleya bersitatap dengan netra hitam milik sang suami. Entah mengapa perwujudan dari imajinasinya saat ini benar-benar nyata.Catleya pun mengulurkan t
“Biarkan Mama ikut denganmu, Mel. Mama akan selalu menemani kamu, ke mana pun kamu pergi,” kata Nyonya Nandini berusaha meluluhkan hati Meliana. Bagaimanapun, dia tidak akan membiarkan putrinya pergi seorang diri. Apalagi, Meliana saat ini sedang dirundung keputusasaan yang mendalam. Melihat ibunya terus memohon, Meliana akhirnya membuka pintu mobil. Setelah Nyonya Nandini masuk, perempuan itu langsung menginjak pedal gas dan melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Yang diinginkan Meliana hanyalah melampiaskan amarah yang sedang membakar dirinya, dengan cara mengemudi secara ugal-ugalan. Catleya hanya bisa memandang kepergian ibu dan adik tirinya dengan tatapan nanar. Ia bingung harus berbuat apa saat ini. Di satu sisi, ia mencemaskan kondisi Meliana dan Nyonya Nandini, tetapi di sisi lain hatinya masih terlalu pedih untuk bertatap muka lagi dengan mereka. Terlebih, bayi dalam rahimnya hampir saja celaka gara-gara ulah sang adik tiri. “Ayo, masuk, Non. Sebaiknya Non Leya istira
Meski harus melanggar pesan dari Rajendra, Catleya bertekad untuk mendatangi Nyonya Nandini. Hanya saja, dirinya saat ini sedang dijaga ketat oleh para pelayan. Jika ia nekat keluar dari apartemen, mereka pasti akan mengadu pada Rajendra. Oleh karena itu, ia harus mencari cara supaya diizinkan pergi seorang diri. Setelah berganti pakaian dan mengambil tas, Catleya pun berjalan mengendap-endap dari kamarnya. Namun, salah satu pelayan yang sedang membersihkan ruang tamu mengetahui pergerakannya. “Nyonya, mau ke mana? Tuan Muda berpesan agar Nyonya istirahat di kamar,” tegur pelayan itu. Pelayan yang satu lagi juga menghentikan pekerjaannya di dapur dan menghampiri Catleya.“Saya sedang merindukan mama saya, Mbak. Saya akan berkunjung ke rumahnya sebentar,” bohong Catleya. “Kalau begitu kami akan menelepon Tuan Muda dulu untuk meminta izin,” kata salah satu pelayan.“Jangan, Mbak, suami saya sedang ada urusan penting, tidak bisa diganggu. Lebih baik Mbak berdua tetap di apartemen untu
Pagi hari, Catleya langsung merengek kepada Rajendra agar mengurus kepulangannya. Tentu saja, Rajendra menuruti keinginan sang istri meski dia tidak melakukan sendiri. Ada Rama yang siap sedia menangani urusan administrasi rumah sakit, sedangkan Rajendra lebih memilih berduaan dengan Catleya.Setibanya di apartemen, dua orang pelayan yang diutus Nyonya Tiara sudah menantikan kedatangan Catleya. Mereka yang akan ditugaskan melayani Catleya, selama Rajendra berada di kantor. Sebelum berangkat, Rajendra pun mewanti-wanti para pelayan itu agar tidak lalai dalam menyiapkan segala keperluan Catleya.Sementara Catleya hanya memperhatikan dari sofa sambil geleng-geleng kepala. Dia merasa heran melihat perubahan drastis pada diri sang suami. Siapa sangka Rajendra yang dulu irit bicara, sekarang bisa mengucapkan kalimat panjang tanpa jeda, mirip seorang ibu mertua yang sedang mengomeli menantunya.“Jangan lupa siapkan vitamin dari dokter setelah Catleya makan siang,” pesan Rajendra.“Baik, Tuan
Rajendra yang sedang menemani Catleya di rumah sakit, mendapat telepon dari Tuan Rinto. Pengacara sekaligus sahabat mendiang ayahnya itu memberikan kabar bahwa pihak yang berwajib sudah mendatangi rumah Ibrahim. Hampir saja pria paruh baya tersebut melarikan diri ke Amerika, tetapi kepergiannya berhasil dicegah.“Apa sekarang Om Ibrahim sudah diamankan?” tanya Rajendra memastikan.“Iya, Jendra. Ibrahim sudah ada di kantor polisi untuk menjalani pemeriksaan. Om akan terus mengikuti perkembangan penyelidikan kasus ini,” kata Tuan Rinto.“Terima kasih, Om. Kalau memang aku perlu datang ke sana, tolong kabari aku secepatnya.”“Baik, Jendra.”Setelah percakapan itu berakhir, Rajendra meletakkan ponselnya di atas nakas. Ia bermaksud hendak menemani Catleya yang sedang tertidur. Namun tidak sampai lima menit, ponselnya bergetar-getar. Melihat nama Bintang di layar, Rajendra segera menekan tombol hijau. Ia sama sekali tidak terkejut bila kakak sepupunya itu menelepon, karena ia sudah menebak
Kedua perempuan beda usia itu berpelukan dalam haru. Pipi Catleya ikut basah oleh air mata, tak mengira bila ia akan bertemu lagi dengan pembantu sekaligus pengasuhnya semasa kecil.Setelah melepas rindu satu sama lain, mereka pun duduk di kursi dengan posisi saling berhadapan. Mbok Tami berusaha menghentikan tangisnya, sebab dia sudah mengetahui tujuan Catlleya mengunjunginya kali ini.“Non, Mbok Tami benar-benar minta maaf atas kesalahan Mbok selama ini. Mbok tidak bermaksud untuk mendukung perbuatan buruk Nyonya Nandini,” kata Mbok Tami dengan suara parau.“Perbutan buruk apa, Mbok?” tanya Catleya dengan mata terbeliak.“Nyonya Nandini yang sudah menyebabkan Nyonya Sofia mengalami serangan jantung, Non,” Ucapan Mbok Tami terputus lantaran sesak yang menghimpit rongga dadanya. “Saya sudah berusaha mencegah Nyonya Sofia, tapi akhirnya dia melihat Nyonya Nandini dan Tuan Wirya di kamar. Mereka bertiga bertengkar hebat. Nyonya Nandini justru menghina Nyonya Sofia. Dia bilang Tuan Wiry