Catleya terdiam sejenak mendengar permintaan Meliana. Ia sendiri belum tahu harus menjawab apa. Jika dia menolak pasti Meliana akan semakin sedih. Sebaliknya bila ia mengiyakan, hal itu berpotensi menjadi bumerang bagi dirinya sendiri. Selain belum meminta izin kepada Rajendra, Catleya juga tidak ingin ikut campur terlalu jauh dalam urusan rumah tangga Adrian dan Meliana. Pasalnya, ia pernah memiliki hubungan masa lalu yang rumit dengan Adrian. Di samping itu, Catleya juga merasa sungkan terhadap Nyonya Pamela, yang notabene pernah ia anggap sebagai ibu sendiri. “Kenapa Kak Leya diam saja? Apa Kak Leya keberatan kalau aku tinggal di rumah lama kita?” desak Meliana. “Mel, jangan memaksa kakakmu seperti itu. Rumah kita sekarang sudah menjadi milik Rajendra, jadi Leya harus minta izin dulu kepada suaminya,” tegur Nyonya Nandini pura-pura memarahi sang putri. Ia harus sering-sering mengingatkan Meliana agar tidak bertindak gegabah di hadapan Catleya.Memahami peringatan dari sang ibu,
“Kenapa mereka lama sekali, Ma? Apa Kak Leya benar-benar melakukan tugasnya, atau jangan-jangan dia malah merayu Adrian?” sungut Meliana merasa kesal. Nyonya Nandini langsung merunduk untuk memperingatkan putrinya itu agar tidak sembarangan bicara. “Sssst, jangan keras-keras, Mel. Mana mungkin Leya mau dengan suamimu yang lemah dan tidak punya apa-apa itu, sementara dia sudah punya suami yang kaya.” “Kenapa Mama bicara begitu? Padahal ini kesalahan Mama yang sudah menjodohkan Kak Leya dengan Rajendra. Sama saja, Mama menaikkan derajatnya dan merendahkan aku.” Merasa disalahkan oleh sang putri, Nyonya Nandini pun berdecak kesal. “Kamu yang salah memilih pria. Seharusnya kamu berpikir ulang sebelum merebut Adrian dari tangan Leya,” tegur Nyonya Nandini. Perdebatan ibu dan anak itu baru berhenti tatkala melihat Catleya dan Adrian tiba di lobi. Keduanya langsung mengubah mimik muka menjadi sendu, saat Catleya datang menghampiri mereka.“Mel, kamu bisa pulang ke rumah kita sekarang
Tuan Danu pun menunggu jawaban apa yang akan diberikan oleh Rajendra. Berharap agar penerus dari keluarga Aryaguna ini akan memilih untuk mempertahankan kedudukannya sebagai pimpinan perusahaan. Pasalnya, seorang lelaki yang sudah berada di puncak kekuasaan biasanya enggan untuk turun dari singgasana. Terlebih, lelaki yang masih muda seperti Rajendra tak dapat lepas dari tiga hal, yaitu harta, tahta, dan wanita. “Tuan Danu, saya sangat berterima kasih atas dukungan yang sudah Anda berikan. Hanya saja dari informasi yang saya terima, hampir sembilan puluh persen anggota dewan menyetujui keputusan Opa Chandra. Itu artinya, penetapan saya sebagai CEO tidak bergantung pada suara satu orang.”Wajah Tuan Danu memerah saat Rajendra berhasil mematahkan kata-katanya. Ternyata anak muda ini tak hanya cerdas, tetapi juga punya nyali yang besar untuk menyerang balik orang yang menggertaknya.“Jadi kamu menganggap suaraku di perusahaan tidak penting?” tanya Tuan Danu merasa tersinggung.“Saya tid
Kriuuukkkk!Setelah berada di dalam taksi, Catleya baru sadar bahwa perutnya sejak tadi berteriak minta diisi. Padahal, ia kehabisan waktu untuk sekadar mampir ke restoran atau warung makan. Sekarang saja ia sudah terlambat lima belas menit, apalagi kalau nekat makan dulu. Bisa-bisa ia baru tiba di kantor saat meeting sudah dimulai. Lebih parahnya lagi, ia akan terkena tambahan sanksi dari Rajendra. Catleya pun berpikir ulang, mencoba menemukan solusi atas permasalahannya ini. Jika ia bertahan untuk tidak makan, takutnya cacing di dalam perutnya akan berdemo dan menimbulkan bunyi-bunyian yang mengganggu. Terlebih, ia memiliki penyakit asam lambung yang bisa kambuh sewaktu-waktu.‘Sebaiknya, aku beli roti saja di kantin daripada kelaparan,’ pikir Catleya mengambil keputusan. Begitu taksinya berhenti di depan gerbang kantor Chandra Kirana, Catleya bergegas menuju ke kantin karyawan di basement. Dengan tergesa-gesa, ia membeli dua buah roti manis lantas menuju ke lift. Begitu pintu lif
“Sayang, aku pergi sekarang,” pamit Rajendra mencium sekilas kening sang istri. Catleya menganggukkan kepala seraya kembali ke mejanya. Sebenarnya, ia ingin bertanya Rajendra hendak menemui siapa di luar kantor. Namun, ia belum punya keberanian lebih untuk mengutarakan hal itu. Lagi pula, Rajendra sekarang gemar sekali mengancam dan memberikan batasan waktu. Mungkin sebentar lagi makan, minum, dan tidur pun akan diatur olehnya. Selepas Rajendra pergi, Catleya mengirimkan pesan kepada Ineke. Berhubung waktu yang dimilikinya terbatas, Catleya hanya melanjutkan pekerjaan sampai jam lima sore. Kemudian, ia buru-buru turun ke lobi sesudah mengunci pintu ruang CEO.Catleya pun menunggu Ineke sambil berjalan mondar-mandi di depan pintu lobi. Mungkin saja sahabatnya itu masih disibukkan dengan banyak pekerjaan, sehingga belum bisa menemuinya. Padahal, jika Ineke tak kunjung turun maka ia tidak akan bisa pulang ke apartemen tepat waktu. Terlebih, kondisi jalan ibu kota yang macet di jam pula
“I-iya, tunggu sebentar,” jawab Catleya.Merasa belum percaya diri dengan penampilannya saat ini, Catleya lantas menyambar bathrobe yang tergantung di rak. Ia mengikat tali bathrobe itu dengan kencang untuk mencegah Rajendra melihat apa yang ada di baliknya. Sesudah dirinya merasa aman, Catleya keluar dengan memasang ekspresi sewajar mungkin. “Kamu sudah pulang? Aku kira sampai malam.” Tanpa sadar, Catleya mengulum bibirnya sendiri untuk mengusir rasa gugup. Rajendra menatap istrinya itu dengan mata memincing, merasa ada yang ganjil dengan sikap Catleya. Apalagi tangan wanita itu sejak tadi merapat ke depan, seolah sedang melindungi dirinya dari sesuatu yang mengancam. “Memangnya kamu ingin aku pulang malam?” tanya Rajendra seraya melepas jas dan kemejanya. Kemudian lelaki itu berjalan mendekat ke arah Catleya. “Takut aku akan menagih janji?” “Tidak, a-aku hanya bertanya,” sanggah Catleya. “Tadi kamu bilang ingin bicara hal yang penting, kan? Katakan saja, aku akan mendengarkan.”
Meliana sedang bersantai di kamarnya sembari menonton siaran drama. Sedangkan Nyonya Nandini sibuk menghitung berapa uang yang tersisa di rekeningnya, bila Meliana melakukan inseminasi buatan di luar negri. “Mel, lebih baik kamu berkonsultasi dengan dokter di Jakarta supaya hemat biaya. Apalagi kita masih harus membayar ibu pengganti.”“Ck, belum apa-apa Mama sudah pelit padaku. Kalau di Singapura, aku bisa sekalian berlibur daripada stres terus di sini,” decak Meliana kesal.“Tunda dulu keinginanmu itu, Mel. Fokus kita sekarang adalah mencari calon wanita yang tepat untuk mengandung bayimu. Menurut Mama, kita pilih saja salah satu gadis dari desa Purwabinangun. Mereka pasti tidak akan mematok harga yang mahal.”Meliana langsung menoleh ke arah sang ibu dengan tatapan rumit. “Desa itu lagi? Apa Mama lupa kalau Rajendra berasal dari sana, dan ternyata dia keturunan konglomerat. Bagaimana kalau nanti Mama salah pilih lagi?”Nyonya Nandini segera menggelengkan kepala sembari menepuk ba
“Jangan khawatir, semua akan baik-baik saja, Sayang,” ucap Rajendra seolah memahami kecemasan istrinya.Perkataan Rajendra memang selalu menyejukkan hati, tetapi belum cukup untuk menyingkirkan segenap gundah yang tengah melanda Catleya. Seberapa besar Catleya berupaya menumbuhkan rasa percaya diri, tetap saja ia harus dihantam oleh kenyataan. Ia dan Rajendra ibarat perhiasan perak dan emas yang sangat berbeda nilainya. Bukan hanya dari segi usia, tetapi status sosialnya berada jauh di bawah Rajendra. Dari kacamata Tuan Chandra dan Nyonya Tiara, ia hanya dipandang sebelah mata. Dianggap sebagai perempuan yang sama sekali tak pantas untuk mendampingi sang cucu. Apalagi, sampai menjadi istri yang akan melahirkan generasi penerus keluarga Aryaguna. Wajar saja, bila nantinya mereka tetap bersikeras untuk menikahkan Rajendra dengan Yasinta. “Bagaimana kalau mereka menolakku dan menyuruh kita berpisah?” cicit Catleya.“Itu tidak akan terjadi. Kalaupun Oma Tiara masih memaksa aku bersama Y
Esok harinya Rajendra dan Catleya berangkat ke desa Purwabinangun untuk berbulan madu. Begitu mereka tiba, kepala desa dan seluruh warga menyambut Rajendra dengan hangat. Mereka merasa gembira lantaran sang juragan peternakan ayam akhirnya kembali, pasca meninggalkan desa cukup lama.Setelah beramah tamah sebentar dengan warga, Rajendra mohon diri untuk membawa Catleya beristirahat di rumah. Semula Catleya mengira bahwa rumah itu akan terlihat kotor dan berbau apek karena sudah lama tidak dihuni. Namun dugaannya ternyata keliru. Begitu pintu terbuka, Catleya terkejut melihat rumah bercat hijau itu terlihat rapi dan bersih. Ia juga disambut oleh Isti dan Irma, gadis kembar yang dulu menjadi perias pengantinnya. Nampaknya, Rajendra menugaskan kedua gadis itu untuk merawat dan menjaga rumahnya selama mereka tidak ada. “Mbak Leya sedang hamil. Sudah berapa bulan, Mbak?” Isti memandang perut Catleya yang membuncit dengan mata berbinar.“Lima bulan, Isti,” kata Catleya.“Mbak Leya dan Pak
Catleya sudah bersIap-siap pergi ke butik untuk melakukan fitting baju. Hari ini, Catleya pergi dengan ditemani oleh Ineke, karena sahabatnya itu sedang cuti. Setibanya di tempat tujuan, Ineke langsung bergerak aktif bersama para pegawai butik untuk memilihkan gaun bagi Catleya. Sementara itu, sang ibu hamil hanya berdiri sambil melihat kesibukan mereka. Dalam hal ini, Catleya berperan sebagai manekin yang bertugas mencoba gaun. Rasanya bagaikan mimpi ketika Catleya memandang dirinya di depan cermin. Sebuah gaun putih berenda mawar, dengan ekor panjang yang menjuntai membalut tubuhnya. Persis seperti imajinasinya semasa kecil, bahwa ia akan berpakaian seperti putri raja dan menikah dengan seorang pangeran. Dan pangeran tersebut tak lain adalah Rajendra Aryaguna, lelaki yang mendadak hadir dalam hidupnya tanpa disangka-disangka. “Setelah ini, kita akan ke mana? Belanja ke mall, perawatan ke salon, makan di kafe, atau nonton film?” tanya Ineke pasca urusan di butik sudah selesai. “Ki
Bibir Catleya berubah sepucat kertas takala mendengar kabar duka itu. Cairan bening berdesakan di kedua sudut matanya. Pasalnya, sejahat apa pun perilaku Nyonya Nandini dan Meliana, tetap saja mereka pernah menjadi bagian tak terpisahkan dari hidupnya. Bahkan, selama ini ia telah menganggap Nyonya Nandini sebagai ibu kandung sendiri.“Halo, Non. Apa Non Leya masih mendengar suara saya?” tanya Bi Ijah dari seberang telepon.“I-iya, Bi. Tolong tanyakan, di rumah sakit mana Mama Nandini dirawat,” kata Catleya dengan suara parau.“Sebentar, Non.”Terdengar suara langkah kaki Bi Ijah yang menjauh, disertai sayup-sayup percakapannya dengan petugas kepolisian. Tak berselang lama, Bi Ijah kembali untuk memberitahukan informasi yang berhasil dia dapatkan. “Kata Pak Polisi, Nyonya Nandini ada di IGD rumah sakit Premier, Non.”“Baik, Bi, terima kasih. Aku dan Jendra akan ke sana sekarang,” ucap Catleya sebelum memutus sambungan telepon. Bersamaan dengan itu, Rajendra datang dengan membawa namp
“Mama!”Catleya berteriak di dalam tidur karena memimpikan ibu kandungnya berjalan pergi bersama Nyonya Nandini. Merasa sedih sekaligus takut, perempuan itu meraih guling yang ada di sampingnya dan memeluknya dengan erat. Anehnya, guling tersebut terasa lebih besar dan hangat seakan memiliki nyawa.“Eummm, jangan tinggalkan aku,” racau Catleya. “Aku tidak akan meninggalkan kamu, Sayang.”Mendengar suara bariton yang menjawabnya, Catleya serasa terlempar kembali ke dunia nyata. Kelopak matanya mengerjap sebelum akhirnya terbuka perlahan. Seolah tak percaya, Catleya mengusap mata beberapa kali. Berusaha menajamkan penglihatan, supaya tidak salah mengenali benda. Siapa tahu mimpi buruk tadi telah membuat dirinya mengalami halusinasi berlebihan. “Kenapa guling bisa berubah menjadi Jendra?” tanya Catleya bingung. Dalam sepersekian detik, Catleya bersitatap dengan netra hitam milik sang suami. Entah mengapa perwujudan dari imajinasinya saat ini benar-benar nyata.Catleya pun mengulurkan t
“Biarkan Mama ikut denganmu, Mel. Mama akan selalu menemani kamu, ke mana pun kamu pergi,” kata Nyonya Nandini berusaha meluluhkan hati Meliana. Bagaimanapun, dia tidak akan membiarkan putrinya pergi seorang diri. Apalagi, Meliana saat ini sedang dirundung keputusasaan yang mendalam. Melihat ibunya terus memohon, Meliana akhirnya membuka pintu mobil. Setelah Nyonya Nandini masuk, perempuan itu langsung menginjak pedal gas dan melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Yang diinginkan Meliana hanyalah melampiaskan amarah yang sedang membakar dirinya, dengan cara mengemudi secara ugal-ugalan. Catleya hanya bisa memandang kepergian ibu dan adik tirinya dengan tatapan nanar. Ia bingung harus berbuat apa saat ini. Di satu sisi, ia mencemaskan kondisi Meliana dan Nyonya Nandini, tetapi di sisi lain hatinya masih terlalu pedih untuk bertatap muka lagi dengan mereka. Terlebih, bayi dalam rahimnya hampir saja celaka gara-gara ulah sang adik tiri. “Ayo, masuk, Non. Sebaiknya Non Leya istira
Meski harus melanggar pesan dari Rajendra, Catleya bertekad untuk mendatangi Nyonya Nandini. Hanya saja, dirinya saat ini sedang dijaga ketat oleh para pelayan. Jika ia nekat keluar dari apartemen, mereka pasti akan mengadu pada Rajendra. Oleh karena itu, ia harus mencari cara supaya diizinkan pergi seorang diri. Setelah berganti pakaian dan mengambil tas, Catleya pun berjalan mengendap-endap dari kamarnya. Namun, salah satu pelayan yang sedang membersihkan ruang tamu mengetahui pergerakannya. “Nyonya, mau ke mana? Tuan Muda berpesan agar Nyonya istirahat di kamar,” tegur pelayan itu. Pelayan yang satu lagi juga menghentikan pekerjaannya di dapur dan menghampiri Catleya.“Saya sedang merindukan mama saya, Mbak. Saya akan berkunjung ke rumahnya sebentar,” bohong Catleya. “Kalau begitu kami akan menelepon Tuan Muda dulu untuk meminta izin,” kata salah satu pelayan.“Jangan, Mbak, suami saya sedang ada urusan penting, tidak bisa diganggu. Lebih baik Mbak berdua tetap di apartemen untu
Pagi hari, Catleya langsung merengek kepada Rajendra agar mengurus kepulangannya. Tentu saja, Rajendra menuruti keinginan sang istri meski dia tidak melakukan sendiri. Ada Rama yang siap sedia menangani urusan administrasi rumah sakit, sedangkan Rajendra lebih memilih berduaan dengan Catleya.Setibanya di apartemen, dua orang pelayan yang diutus Nyonya Tiara sudah menantikan kedatangan Catleya. Mereka yang akan ditugaskan melayani Catleya, selama Rajendra berada di kantor. Sebelum berangkat, Rajendra pun mewanti-wanti para pelayan itu agar tidak lalai dalam menyiapkan segala keperluan Catleya.Sementara Catleya hanya memperhatikan dari sofa sambil geleng-geleng kepala. Dia merasa heran melihat perubahan drastis pada diri sang suami. Siapa sangka Rajendra yang dulu irit bicara, sekarang bisa mengucapkan kalimat panjang tanpa jeda, mirip seorang ibu mertua yang sedang mengomeli menantunya.“Jangan lupa siapkan vitamin dari dokter setelah Catleya makan siang,” pesan Rajendra.“Baik, Tuan
Rajendra yang sedang menemani Catleya di rumah sakit, mendapat telepon dari Tuan Rinto. Pengacara sekaligus sahabat mendiang ayahnya itu memberikan kabar bahwa pihak yang berwajib sudah mendatangi rumah Ibrahim. Hampir saja pria paruh baya tersebut melarikan diri ke Amerika, tetapi kepergiannya berhasil dicegah.“Apa sekarang Om Ibrahim sudah diamankan?” tanya Rajendra memastikan.“Iya, Jendra. Ibrahim sudah ada di kantor polisi untuk menjalani pemeriksaan. Om akan terus mengikuti perkembangan penyelidikan kasus ini,” kata Tuan Rinto.“Terima kasih, Om. Kalau memang aku perlu datang ke sana, tolong kabari aku secepatnya.”“Baik, Jendra.”Setelah percakapan itu berakhir, Rajendra meletakkan ponselnya di atas nakas. Ia bermaksud hendak menemani Catleya yang sedang tertidur. Namun tidak sampai lima menit, ponselnya bergetar-getar. Melihat nama Bintang di layar, Rajendra segera menekan tombol hijau. Ia sama sekali tidak terkejut bila kakak sepupunya itu menelepon, karena ia sudah menebak
Kedua perempuan beda usia itu berpelukan dalam haru. Pipi Catleya ikut basah oleh air mata, tak mengira bila ia akan bertemu lagi dengan pembantu sekaligus pengasuhnya semasa kecil.Setelah melepas rindu satu sama lain, mereka pun duduk di kursi dengan posisi saling berhadapan. Mbok Tami berusaha menghentikan tangisnya, sebab dia sudah mengetahui tujuan Catlleya mengunjunginya kali ini.“Non, Mbok Tami benar-benar minta maaf atas kesalahan Mbok selama ini. Mbok tidak bermaksud untuk mendukung perbuatan buruk Nyonya Nandini,” kata Mbok Tami dengan suara parau.“Perbutan buruk apa, Mbok?” tanya Catleya dengan mata terbeliak.“Nyonya Nandini yang sudah menyebabkan Nyonya Sofia mengalami serangan jantung, Non,” Ucapan Mbok Tami terputus lantaran sesak yang menghimpit rongga dadanya. “Saya sudah berusaha mencegah Nyonya Sofia, tapi akhirnya dia melihat Nyonya Nandini dan Tuan Wirya di kamar. Mereka bertiga bertengkar hebat. Nyonya Nandini justru menghina Nyonya Sofia. Dia bilang Tuan Wiry