“Apa Bapak tidak mengidolakan Maharani? Dia punya banyak fans pria,” celetuk Catleya tiba-tiba.“Saya tidak menyukai perempuan yang agresif dan berpenampilan terbuka,” jawab Rajendra.Pemuda tampan itu semakin mengeratkan pelukannya, menghirup harum aroma vanila dari tubuh sang istri. Aroma manis ini yang telah memikatnya sejak mereka bertemu untuk pertama kali. Sayang sekali Catleya belum juga mengingatnya hingga detik ini. Berbeda dengan Rajendra yang merasa nyaman, Catleya justru sangat kepanasan. Bukan hanya karena bajunya yang berlapis-lapis, melainkan akibat dipeluk oleh Rajendra. Detak jantungnya juga berdebar makin kencang. Jika begini terus mungkin dia tidak akan tidur sepanjang malam.Catleya pun memutar otak, bagaimana supaya dia bisa melepaskan diri dari Rajendra. Tak ada cara lain, kecuali dia harus melakukan sesuatu yang cukup ekstrem. “Bapak sudah tidur?”“Hmmmm,” gumam Rajendra. “Maaf, saya mendadak ingin ke toilet. Bisa lepas sebentar, Pak?”Dengan malas, Rajendra
Saat ini Catleya sedang kepikiran mengenai tugas berat yang harus ia jalani. Namun, ia tidak boleh menyerah begitu saja. Lagi pula belum tentu juga dia akan bertemu dengan Adrian di perusahaan. Justru ini adalah kesempatan bagus untuk membuat Rajendra merasa risih dengan dirinya.Usai sarapan, Rajendra langsung masuk ke ruang kerjanya. Entah untuk bekerja atau sekadar menghindar, Catleya juga tidak tahu. Yang jelas ia akan melanjutkan rencananya untuk bersikap agresif. “Pak, saya duluan, ya. Saya akan mempersiapkan dokumen yang akan kita bawa ke Verdana Group,” ujar Catleya seraya melongok ke dalam. Rajendra hanya menanggapi dengan anggukan sembari mencatat sesuatu di buku agendanya. Melihat sang suami dalam mode serius, sebuah ide gila mendadak muncul di benak Catleya.Tanpa permisi, ia menyelonong masuk kemudian mendekati Rajendra yang sedang duduk menghadap meja. Kedatangan Catleya otomatis membuat Rajendra berjengit kaget. Belum juga ia menghindar, Catleya tiba-tiba merampas pul
Rajendra datang sekitar pukul sembilan dan langsung memanggil Pak Haikal beserta kru iklan ke ruangannya. Pria itu kembali membahas tentang proses syuting iklan yang akan dimulai besok bersama Maharani. Selama itu juga Catleya menyibukkan diri, memeriksa kelengkapan berkas yang akan dibawanya ke Verdana Group. Sekarang ini tugasnya hanyalah mengerjakan setiap instruksi yang diberikan sang CEO tanpa membantah. Soal hubungan antara Maharani dan Rajendra, biarlah waktu yang akan menjawabnya. Lagi pula bukankah dia memang ingin berpisah dari Rajendra setelah tujuan mereka tercapai?“Leya, kita berangkat lima menit lagi.” Begitu selesai meeting, Rajendra langsung menghubungi Catleya melalui interkom.“Baik, Pak.”Catleya segera meraih tas, map file, dan laptop yang telah disiapkannya sejak tadi. Rajendra sudah menunggunya di depan pintu, lalu mereka berjalan beriringan menuju ke lift. Sepanjang jalan menyusuri lobi, para karyawan yang berpapasan dengan Rajendra mengucapkan salam penuh hor
Catleya menyimak setiap penjelasan yang diberikan Adrian dengan seksama, lalu mencatat point penting pada laptopnya. Bagi Catleya keberadaan Adrian tidak berpengaruh apa-apa, sama seperti kolega bisnis pada umumnya. Lagi pula ini adalah sebuah ajang pembuktian kepada Rajendra bahwa dia telah melupakan Adrian. Tak ada lagi ruang yang tersisa bagi pria itu. Sementara Adrian sendiri berusaha mengatasi rasa gugupnya. Berdiri di hadapan mantan kekasih dan suaminya, tentu saja bukanlah hal yang mudah. Apalagi mereka menjadi klien perusahaan yang harus dihormati. Adrian pun sempat lupa dengan apa yang harus dikatakannya, hingga harus mengulangi beberapa kalimat.Beruntung dalam beberapa menit terakhir, Adrian mulai fasih dalam melakukan presentasi. Bagaimanapun dia sudah terlatih untuk pekerjaan semacam ini selama hampir lima tahun. Hanya saja situasi ambigu di dalam ruang rapat membuatnya hilang fokus. Selepas Adrian menyelesaikan presentasinya, Pak Anggara mengambil alih. Dia merasa sung
“Terima kasih atas makan siangnya, Pak Anggara. Kami harus kembali ke kantor sekarang,” ujar Rajendra mohon diri.“Sama-sama, Pak Rajendra. Lain kali saya akan mengajak Anda makan malam di tepi pantai saat kita berkunjung ke Bali.”“Baik, Pak, sampai jumpa lagi.”Setelah berjabat tangan dengan Pak Anggara, Rajendra mengajak Catleya keluar dari restoran. Sementara Adrian hanya bisa menatap punggung Catleya yang kian menjauh. Entah mengapa ada rasa tak rela di dalam hatinya ketika melihat Catleya bersama pria lain.Hanya saja ia tidak mampu kembali ke masa lalu. Roda waktu terus berputar ke depan, begitu pula dengan kisah asmaranya. Lebih baik ia berdamai dengan keadaan dan memusatkan perhatian kepada calon bayinya di dalam rahim Meliana. Mungkin Catleya memang tidak ditakdirkan untuk menjadi pendamping hidupnya, dan ia harus belajar menerima hal itu.***Berbeda dengan tadi, dalam perjalanan pulang ke kantor Catleya memilih duduk di samping Pak Harun. Dia tidak berani dekat-dekat dulu
“S-saya harus membuka baju Bapak?” tanya Catleya dengan mata melotot.Kendati Catleya sedang berakting menjadi wanita agresif, tetapi ia tidak akan berbuat sejauh ini. Memang tadi pagi ia sempat mengancingkan baju sang suami, tetapi untuk membukanya dia belum pernah. Apalagi sampai menyentuh langsung kulit Rajendra dengan jemari.Otomatis ingatan Catleya kembali semasa mereka masih di desa, di mana Rajendra pernah membuka baju sehabis mereka kehujanan. Saat itu saja dia malu bukan kepalang, lalu bagaimana ia harus menghadapinya sekarang? Bohong jika pikirannya tidak akan ke mana-mana bila harus mengusap perut kotak-kotak Rajendra. Hanya saja untuk situasi yang genting seperti ini, dia harus mengesampingkan semua rasa malu. Prioritas utamanya saat ini adalah menolong Rajendra yang sedang kepayahan. “Leya, cepatlah, saya sudah tidak tahan,” pinta Rajendra ingin menggaruk lagi ruam di kulitnya.“I-iya, Pak, sebentar.”Mau tak mau Catleya menuruti perintah Rajendra untuk membuka kemeja
Nyonya Nandini sedang mengantar Meliana untuk melakukan perawatan menjelang hari pernikahannya. Setelah apa yang dialami sang putri, Nyonya Nandini memang ingin menyenangkan hati Meliana. Tentu saja dengan menggunakan uang dari hasil penjualan perhiasan yang masih tersisa.“Bagaimana kulitku, Ma? Apa kelihatan putih dan lebih berkilau?” tanya Meliana.“Iya, Sayang. Adrian pasti semakin tergila-gila padamu karena kamu akan menjadi pengantin paling cantik,” puji Nyonya Nandini secara berlebihan.“Kalau begitu, aku mau mau mencoba perawatan kolagen dan juga DNA salmon. Aku akan ke dalam lagi, Ma..”Sebelum Meliana melakukan niatnya, Nyonya Nandini terlebih dahulu menahan tangan putrinya itu. Jujur, ia tidak tega menolak keinginan Meliana, tetapi sayang persediaan uang yang dia punya sudah menipis.“Mel, lebih baik kita pulang. Lain kali saja kamu melakukan perawatan, atau kamu bisa minta kepada Adrian saat kalian berbulan madu nanti,” ujar Nyonya Nandini.“Justru aku mau melakukan sekara
Tuan Chandra dan Nyonya Tiara baru saja turun dari mobil. Hari ini mereka ada janji makan siang bersama dengan sahabat lama mereka, yaitu Danu Bestari. Dahulu mendiang istri dari Danu Bestari, yaitu Elisa Bestari, juga merupakan teman dekat Nyonya Tiara. Bisa dibilang kedua pasangan suami istri itu sangat akrab satu sama lain.“Bagaimana kabarmu, Danu? Setelah lima tahun tinggal di Canada, kamu semakin awet muda saja,” puji Tuan Chandra.“Kamu bisa saja, Chandra. Justru selama berada di sana, aku merasa cepat tua karena jarang sekali makan nasi,” canda Tuan Danu.“Kalau begitu makanlah yang banyak, mumpung kami mentraktirmu di restoran Sunda,” kekeh Tuan Chandra.Mereka bertiga lantas mengobrol banyak hal seraya memesan makanan. Selang beberapa menit kemudian, seorang gadis bertubuh tinggi semampai berjalan memasuki restoran itu. Cara jalan gadis tersebut sangat luwes, bagaikan seorang model yang sedang berlenggak-lenggok di atas catwalk. Baju, make up, dan heels, yang dia kenakan ju
Esok harinya Rajendra dan Catleya berangkat ke desa Purwabinangun untuk berbulan madu. Begitu mereka tiba, kepala desa dan seluruh warga menyambut Rajendra dengan hangat. Mereka merasa gembira lantaran sang juragan peternakan ayam akhirnya kembali, pasca meninggalkan desa cukup lama.Setelah beramah tamah sebentar dengan warga, Rajendra mohon diri untuk membawa Catleya beristirahat di rumah. Semula Catleya mengira bahwa rumah itu akan terlihat kotor dan berbau apek karena sudah lama tidak dihuni. Namun dugaannya ternyata keliru. Begitu pintu terbuka, Catleya terkejut melihat rumah bercat hijau itu terlihat rapi dan bersih. Ia juga disambut oleh Isti dan Irma, gadis kembar yang dulu menjadi perias pengantinnya. Nampaknya, Rajendra menugaskan kedua gadis itu untuk merawat dan menjaga rumahnya selama mereka tidak ada. “Mbak Leya sedang hamil. Sudah berapa bulan, Mbak?” Isti memandang perut Catleya yang membuncit dengan mata berbinar.“Lima bulan, Isti,” kata Catleya.“Mbak Leya dan Pak
Catleya sudah bersIap-siap pergi ke butik untuk melakukan fitting baju. Hari ini, Catleya pergi dengan ditemani oleh Ineke, karena sahabatnya itu sedang cuti. Setibanya di tempat tujuan, Ineke langsung bergerak aktif bersama para pegawai butik untuk memilihkan gaun bagi Catleya. Sementara itu, sang ibu hamil hanya berdiri sambil melihat kesibukan mereka. Dalam hal ini, Catleya berperan sebagai manekin yang bertugas mencoba gaun. Rasanya bagaikan mimpi ketika Catleya memandang dirinya di depan cermin. Sebuah gaun putih berenda mawar, dengan ekor panjang yang menjuntai membalut tubuhnya. Persis seperti imajinasinya semasa kecil, bahwa ia akan berpakaian seperti putri raja dan menikah dengan seorang pangeran. Dan pangeran tersebut tak lain adalah Rajendra Aryaguna, lelaki yang mendadak hadir dalam hidupnya tanpa disangka-disangka. “Setelah ini, kita akan ke mana? Belanja ke mall, perawatan ke salon, makan di kafe, atau nonton film?” tanya Ineke pasca urusan di butik sudah selesai. “Ki
Bibir Catleya berubah sepucat kertas takala mendengar kabar duka itu. Cairan bening berdesakan di kedua sudut matanya. Pasalnya, sejahat apa pun perilaku Nyonya Nandini dan Meliana, tetap saja mereka pernah menjadi bagian tak terpisahkan dari hidupnya. Bahkan, selama ini ia telah menganggap Nyonya Nandini sebagai ibu kandung sendiri.“Halo, Non. Apa Non Leya masih mendengar suara saya?” tanya Bi Ijah dari seberang telepon.“I-iya, Bi. Tolong tanyakan, di rumah sakit mana Mama Nandini dirawat,” kata Catleya dengan suara parau.“Sebentar, Non.”Terdengar suara langkah kaki Bi Ijah yang menjauh, disertai sayup-sayup percakapannya dengan petugas kepolisian. Tak berselang lama, Bi Ijah kembali untuk memberitahukan informasi yang berhasil dia dapatkan. “Kata Pak Polisi, Nyonya Nandini ada di IGD rumah sakit Premier, Non.”“Baik, Bi, terima kasih. Aku dan Jendra akan ke sana sekarang,” ucap Catleya sebelum memutus sambungan telepon. Bersamaan dengan itu, Rajendra datang dengan membawa namp
“Mama!”Catleya berteriak di dalam tidur karena memimpikan ibu kandungnya berjalan pergi bersama Nyonya Nandini. Merasa sedih sekaligus takut, perempuan itu meraih guling yang ada di sampingnya dan memeluknya dengan erat. Anehnya, guling tersebut terasa lebih besar dan hangat seakan memiliki nyawa.“Eummm, jangan tinggalkan aku,” racau Catleya. “Aku tidak akan meninggalkan kamu, Sayang.”Mendengar suara bariton yang menjawabnya, Catleya serasa terlempar kembali ke dunia nyata. Kelopak matanya mengerjap sebelum akhirnya terbuka perlahan. Seolah tak percaya, Catleya mengusap mata beberapa kali. Berusaha menajamkan penglihatan, supaya tidak salah mengenali benda. Siapa tahu mimpi buruk tadi telah membuat dirinya mengalami halusinasi berlebihan. “Kenapa guling bisa berubah menjadi Jendra?” tanya Catleya bingung. Dalam sepersekian detik, Catleya bersitatap dengan netra hitam milik sang suami. Entah mengapa perwujudan dari imajinasinya saat ini benar-benar nyata.Catleya pun mengulurkan t
“Biarkan Mama ikut denganmu, Mel. Mama akan selalu menemani kamu, ke mana pun kamu pergi,” kata Nyonya Nandini berusaha meluluhkan hati Meliana. Bagaimanapun, dia tidak akan membiarkan putrinya pergi seorang diri. Apalagi, Meliana saat ini sedang dirundung keputusasaan yang mendalam. Melihat ibunya terus memohon, Meliana akhirnya membuka pintu mobil. Setelah Nyonya Nandini masuk, perempuan itu langsung menginjak pedal gas dan melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Yang diinginkan Meliana hanyalah melampiaskan amarah yang sedang membakar dirinya, dengan cara mengemudi secara ugal-ugalan. Catleya hanya bisa memandang kepergian ibu dan adik tirinya dengan tatapan nanar. Ia bingung harus berbuat apa saat ini. Di satu sisi, ia mencemaskan kondisi Meliana dan Nyonya Nandini, tetapi di sisi lain hatinya masih terlalu pedih untuk bertatap muka lagi dengan mereka. Terlebih, bayi dalam rahimnya hampir saja celaka gara-gara ulah sang adik tiri. “Ayo, masuk, Non. Sebaiknya Non Leya istira
Meski harus melanggar pesan dari Rajendra, Catleya bertekad untuk mendatangi Nyonya Nandini. Hanya saja, dirinya saat ini sedang dijaga ketat oleh para pelayan. Jika ia nekat keluar dari apartemen, mereka pasti akan mengadu pada Rajendra. Oleh karena itu, ia harus mencari cara supaya diizinkan pergi seorang diri. Setelah berganti pakaian dan mengambil tas, Catleya pun berjalan mengendap-endap dari kamarnya. Namun, salah satu pelayan yang sedang membersihkan ruang tamu mengetahui pergerakannya. “Nyonya, mau ke mana? Tuan Muda berpesan agar Nyonya istirahat di kamar,” tegur pelayan itu. Pelayan yang satu lagi juga menghentikan pekerjaannya di dapur dan menghampiri Catleya.“Saya sedang merindukan mama saya, Mbak. Saya akan berkunjung ke rumahnya sebentar,” bohong Catleya. “Kalau begitu kami akan menelepon Tuan Muda dulu untuk meminta izin,” kata salah satu pelayan.“Jangan, Mbak, suami saya sedang ada urusan penting, tidak bisa diganggu. Lebih baik Mbak berdua tetap di apartemen untu
Pagi hari, Catleya langsung merengek kepada Rajendra agar mengurus kepulangannya. Tentu saja, Rajendra menuruti keinginan sang istri meski dia tidak melakukan sendiri. Ada Rama yang siap sedia menangani urusan administrasi rumah sakit, sedangkan Rajendra lebih memilih berduaan dengan Catleya.Setibanya di apartemen, dua orang pelayan yang diutus Nyonya Tiara sudah menantikan kedatangan Catleya. Mereka yang akan ditugaskan melayani Catleya, selama Rajendra berada di kantor. Sebelum berangkat, Rajendra pun mewanti-wanti para pelayan itu agar tidak lalai dalam menyiapkan segala keperluan Catleya.Sementara Catleya hanya memperhatikan dari sofa sambil geleng-geleng kepala. Dia merasa heran melihat perubahan drastis pada diri sang suami. Siapa sangka Rajendra yang dulu irit bicara, sekarang bisa mengucapkan kalimat panjang tanpa jeda, mirip seorang ibu mertua yang sedang mengomeli menantunya.“Jangan lupa siapkan vitamin dari dokter setelah Catleya makan siang,” pesan Rajendra.“Baik, Tuan
Rajendra yang sedang menemani Catleya di rumah sakit, mendapat telepon dari Tuan Rinto. Pengacara sekaligus sahabat mendiang ayahnya itu memberikan kabar bahwa pihak yang berwajib sudah mendatangi rumah Ibrahim. Hampir saja pria paruh baya tersebut melarikan diri ke Amerika, tetapi kepergiannya berhasil dicegah.“Apa sekarang Om Ibrahim sudah diamankan?” tanya Rajendra memastikan.“Iya, Jendra. Ibrahim sudah ada di kantor polisi untuk menjalani pemeriksaan. Om akan terus mengikuti perkembangan penyelidikan kasus ini,” kata Tuan Rinto.“Terima kasih, Om. Kalau memang aku perlu datang ke sana, tolong kabari aku secepatnya.”“Baik, Jendra.”Setelah percakapan itu berakhir, Rajendra meletakkan ponselnya di atas nakas. Ia bermaksud hendak menemani Catleya yang sedang tertidur. Namun tidak sampai lima menit, ponselnya bergetar-getar. Melihat nama Bintang di layar, Rajendra segera menekan tombol hijau. Ia sama sekali tidak terkejut bila kakak sepupunya itu menelepon, karena ia sudah menebak
Kedua perempuan beda usia itu berpelukan dalam haru. Pipi Catleya ikut basah oleh air mata, tak mengira bila ia akan bertemu lagi dengan pembantu sekaligus pengasuhnya semasa kecil.Setelah melepas rindu satu sama lain, mereka pun duduk di kursi dengan posisi saling berhadapan. Mbok Tami berusaha menghentikan tangisnya, sebab dia sudah mengetahui tujuan Catlleya mengunjunginya kali ini.“Non, Mbok Tami benar-benar minta maaf atas kesalahan Mbok selama ini. Mbok tidak bermaksud untuk mendukung perbuatan buruk Nyonya Nandini,” kata Mbok Tami dengan suara parau.“Perbutan buruk apa, Mbok?” tanya Catleya dengan mata terbeliak.“Nyonya Nandini yang sudah menyebabkan Nyonya Sofia mengalami serangan jantung, Non,” Ucapan Mbok Tami terputus lantaran sesak yang menghimpit rongga dadanya. “Saya sudah berusaha mencegah Nyonya Sofia, tapi akhirnya dia melihat Nyonya Nandini dan Tuan Wirya di kamar. Mereka bertiga bertengkar hebat. Nyonya Nandini justru menghina Nyonya Sofia. Dia bilang Tuan Wiry