Sambil mengendarai mobil dengan kecepatan di atas rata-rata, ia menuju bandara sambil menghubungankan panggilan pada Devandra."Dev. Di mana. . . . "". . . ."Yuda mengerutkan kening setelah mendengarkan suara dingin dari Devandra disebrang sana. Panggilan itu di putus sepihak oleh Devandra setelah deratan ucapan berbentuk informasi itu dikatakannya.Yuda membanting stir mengubah arah tujuannya. Sebuah rumah sakit yang tak jauh dari lokasi dirinya sekarang. Bahkan tanpa di minta Devandra seolah tau dirinya mencari Dinar.Yang membuatnya lumayan kaget, keberadaan istrinya yang ternyata juga sama-sama di kota ini.Seperti orang tidak waras, Yuda berlari menyusuri koridor rumah sakit, hingga ruangan yang di tujunya berada di depan mata.Tangannya di tahan seseorang kala hendak membuka pintu."Dinar sedang di periksa Dokter."Devandra menepis tangannya dan bersandar sambil melipat kedua tangannya di dada.Tatapan dan nafas Yuda tak terkendali. Pikiran tentang istri dan anaknya membuatny
Yang Dinar bisa lakukan hanya percaya kalau Bulan tidak akan memenjarakan ibunya. Ia memang tidak mengerti bagaimana hukum berjalan. Secara logika jika bukti di serahkan, maka yang terlibat dalam kasus itu juga akan di penjara.Apalagi ibunya yang dalam posisi sebagai orang yang memasukkan racun.Tapi Bulan terus meyakinkan kalau semua akan baik-baik saja.Kini ia hanya bisa duduk menanti apa yang akan terjadi. Dalam hati Dinar merutuki diri. Kenapa ia di ciptakan dengan sejuta kebodohan. Ia bahkan tidak mengecap bangku pendidikan. Di saat seperti ini, dirinya jadi merasa sangat tidak berguna. Sepulangnya dari rumah sakit, Dinar di bawa ke rumah Bang Erwin sementara menunggu hasil persidangan hari ini. Setelahnya mereka akan pulang."Minum teh dulu, Din."Perempuan hampir seusia Dinar, sebut saja Ami. Anak gadisnya Bang Erwin yang berprofesi sebagai Dokter."Makasih, Ami."Ami duduk di sampingnya sembari tersenyum. Muncul juga Bang Erwin yang membawa kopi di tangannya."Bagaimana Y
Rasanya ia dan Yuda sudah cukup jauh berjalan. Padahal baru beberapa waktu lalu ia merasa hidupnya kacau. Kurang dari satu minggu, calon suaminya berubah.Dari Danu, kemudian Yuda.Sebenarnya ini kado paling indah dari Tuhan setelah rasa sakit yang di cambukkan padanya. Tapi, kado ini membuat Dinar lupa karena betapa indah dan nyaman yang ia rasakan.Suami yang bertanggung jawab, dan kehidupan berkecukupan. Ia bisa merasakan rumah tangga yang luar biasa sedang di jalaninya.Hingga Dinar lupa, tentang cinta. Dulu dirinya mencintai Danu. Teramat sangat mencintai pria itu. Bertahun-tahun nama Danu bertahta. Hingga hanya dalam kurun waktu kurang dari satu minggu, menghapus rasa cintanya dan masuklah secara paksa nama laki-laki lain.Nama Yuda mengikis tahta Danu. Dinar tidak tau apa Yuda yang dapat mengikis Danu, atau hanya karena rasa sakit yang ia rasakan yang mengikis nama pria itu.Hingga kekosongan di hatinya perlahan memasukan Yuda.Yang Dinar takut, nama laki-laki yang sudah menj
"Pagi, Sayang."Baru saja Dinar membuka mata, suara sapaan hangat itu menyelusup masuk ke telinga kanannya. Membuat Dinar spontan menoleh.Sebuah senyuman menyambut tatapannya."Dinar kesiangan bangunnya ya, Mas?" tanya Dinar sedikit panik.Ia mencoba meraih benda yang bisa menunjukan waktu saat ini. Namun pinggangnya terasa di tahan sesuatu."Masih pagi. Di luar juga masih temaram," kata Yuda dengan tangan yang melilit pinggangnya.Dinar terpaku merasakan pelukan hangat Yuda yang sudah cukup lama tidak ia rasakan. Hari-hari sebelumnya yang mereka lewati memang terkesan sangat suram.Perlahan ia menyadari wajah Yuda yang kian mendekat dengan wajahnya. Refleks Dinar menahan nafas seolah menunggu sesuatu."Kira-kira kalau saya minta, kesehatan kamu dan baby kita gak akan kenapa-napakan ya?" gumam Yuda dengan tatapan berkabut.Dinar tanpa sadar menggeleng. Menerbitkan senyum lebar Yuda. "Kamu gak keberatankan?"Seolah terhipnotis, Dinar menggeleng tanda ia siap. Rasanya sekujur tubuh Din
"Alhamdulillah. Makin sehat."Yuda mengusap perut Dinar setelah keluar dari ruangan dokter yang memeriksa dinar tadiDi bangku tunggu Dinar tersenyum lebar."Mamanya jangan mikir yang berat-berat lagi ya? Biar makin sehat dedeknya," kata Yuda mendongak menatap wajah Dinar."Kalau gitu papanya juga jangan bikin yang aneh-aneh," balas Dinar dengan bibir cemberut yang menggemaskan.Yuda tak tahan untuk tidak mencuri kecupan singkat di bibir yang selalu membuatnya rindu itu."Mas! Di tempat umum ini!" tegur Dinar sambil berusaha menyembunyikan raut wajahnya yang tersipu malu."Gak ada orang ini. Lagian istri sendiri juga," balas Yuda santai.Dirinya memasukkan buku kehamilan Dinar ke tas lalu membantu Dinar berdiri."Lebay ih! Masih kecil gini gak susah berdiri juga kok!" kata Dinar sembari memyembunyikan senyum di bibirnya.Tanya saja perempuan manapun akan merasa bahagia di perlakukan lembut oleh suaminya. Walau perlakuan yang sangat sederhana sekalipun."Namanya juga suami siaga," bala
"Kayaknya kita bakal ganggu acara orang terus," gerutu Jono saat mobil mereka berhenti tak jauh dari rumah Arif.Rumah itu terlihat ramai seolah akan ada sesuatu acara di dalam sana.Tidak lucu kalau mereka masuk dan mencari Arif seperti orang tidak punya sopan santun. Apalagi mengingat sudah pernah mengacaukan acara Arif beberapa waktu lalu.Satria kembali ke mobil setelah bertanya pada orang yang melintas hendak ke cara itu."Katanya syukuran istri Arif hamil," ucap Satria sambil menutup pintu mobil."Istri barunya?" tanya Jono seolah meyakinkan."Ya..., yang mana lagi."Keempat dari mereka sama-sama bimbang. "Gak mungkin kita ke sana terus teriak-teriak pada Arif memberitahu keadaan Syafira? Iyakan?" Jono cengar-cengir berharap hal itu tidak akan terjadi."Menunggu juga mau berapa lama? sampai acaranya selesai?" Satria menyambung."Jadwal operasi besok. Kalau kita cuma menunggu, bisa tinggal jasad tanpa jantung si Devandra," kata Yuda mengingatkan keadaan sahabat mereka yang kueke
Samar-samar pandangan kabur menutupi penglihatan Devandra. Perlahan ia melihat langit-langit putih. Betapa terkejutnya ia tiba-tiba terbangun saat mengingat terkahir kali dirinya berada di ruang operasi.Spontan ia menyentuh dadanya. Meraba-raba bagian punggungnya sambil menelan saliva.Dalam hati Devandra menggumamkan kabar tentang jantungnya.Mungkinkah dirinya berada di syurga sekarang?Tapi, aneh.Devandra menggelangkan kepala bingung apa yang terjadi padanya."Udah sadar?"Devandra melotot saat menoleh ke sumber suara yang di dengarnya. Seorang pria yang sangat mirip dengan Yuda."Kenapa kau di sini, Yud?" tanya Devandra."Ya mau tau keadaanmu," jawab Yuda dengan cueknya.Devandra menelan salivanya lagi dan lagi. "Aku baik, Yud. Kau bisa pulang ke alammu. Ikhlaskan saja aku."Yuda mengerutkan kening dengan ucapan Devandra barusan.Sementara suara kikikan Dinar terdengar di ambang pintu.Yuda melirik Dinar yang tidak ia perbolehkan masuk karena sedang hamil. Mengerti makna tawa Di
[Cinta dari laki-laki yang telah mendua memang tidak bisa di percaya, Sayang. Aku tau seluruh rasa cintamu untukku sudah pupus karena perbuatanku sendiri.Sya, aku tau permintaan maaf tidak akan bisa mengembalikan kesalahan yang telah kuperbuat. Aku telah menduakan kamu, tapi aku juga berharap kau mau memaafkan aku.Aku pernah bilang tidak akan pernah menceraikanmu sampai maut menjemput. Dan aku senang bisa menepati kata-kata itu dari sekian banyak ucapan yang kulanggar.Hiduplah bahagia dengan Devandra. Sudah saatnya kamu mengepakkan sayap yang selama ini terkubur karena aku.Devandra laki-laki yang baik. Dia akan menjaga dan mencintai kamu lebih baik dariku. Dia bahkan hampir mengorbankan jantungnya untukmu. Sudah cukup bagiku mengetahui pria yang akan menjagamu sangat mengutamakan kehidupanmu di atas dirinya sendiri.Jaga dirimu baik-baik. Dan aku mohon maafkan segala kesalahanku.]Bahu Syafira gemetar bersamaan dengan air mata yang berderai di pipinya.Tidak pernah Syafira bayangk
“Jaga diri kamu,” ujar Daneen. “Jangan sampai kenapa-napa di sana.”Fahrian tersenyum lebar sembari mengangguk. Dirinya mendapat restu setelah bicara baik-baik dengan Yuda. Jika ia akan kembali setelah bertaruh nasib di negri orang. Bahwa dirinya, akan mengusahakan kehidupan yang lebih baik untuk Daneen.“Ini memang tidak berharga. Tapi hanya ini yang aku punya untuk mengikat kamu.”Fahrian memberikan sebuah cincin perak putih. Namun tak berani menyematkannya di jemari Daneen. Takut jika mungkin Daneen tidak suka dengan pemberiannya.Tapi mengerti dengan ketakutan Fahrian, Daneen mengambil cincin itu dan menyematkannya di jemarinya. “Aku janji ini tidak akan hilang sampai kamu pulang.”****Sementara di lantai atas, sepasang suami istri memandangi dua insan yang akan berpisah itu. “Aku sedih, Mas. Kenapa gak di kasih kerjaan di sini aja? Mas punya banyak cabang usaha.”“Itu Namanya perjuangan. Biarkan dia memandang anak kit aitu mahal dan berharga. Agar dia tidak menyia-nyiakannya. B
Yuda sedang kesal dengan Dinar karena perbedaan pendapat mereka. Apalagi Dinar kuekeh dengan keinginannya bertemu dengan pacar Daneen yang pernah bertemu dengannya. Walau Daneen tidak mengaku, tapi ia yakin itu adalah pacar Daneen.Ia tidak suka.Putrinya tidak mungkin bersama laki-laki seperti itu. Culun, lemah, dan cuma tukang ngepel di sekolah. Mau jadi apa anaknya di nikahkan dengan laki-laki tanpa masa depan begitu. Apalagi mengingat laki-laki itulah yang memukul Daneen di malamsepi itu.Meski sih dalam tekanan dan ancaman. Tapi masa di ancam begitu langsung memukuli perempuan. Di lawan dulu atau gimana lah. Masa diam aja. Pengecut.Tapi biarpun sudah 1001 cerita ketidak sukaan dirinya dengan lelaki itu, masih saja Dinar memberikan pembelaan. Dari yang masuk akal, sampai yang penting di bela, masa bodo gak masuk logika.Dinar bilang seorang laki-laki memang mengutamakan ibunya. Dan salah bila menyudutkan pacar Daneen itu hanya karena ia tak berani melawan. Semua orang punya level
Liburan yang di harapkan bisa membuat mereka tenang dan senang justru malah menjadi kejadian paling menyebalkan untuk Satria. Ia juga harus membawa pulang bekas pukulan di sudut bibirnya hasil pukul balas dari Aji. Tapi bisa di bilang juga Satria dan Ana puas dengan bulan madu mereka ini. Setidaknya ada beberapa moment mereka habiskan Bersama. Juga pengutaraan rasa cinta mereka. Sebelum menemui Ana kemarin, setelah masalah di selesaikan secara damai, Satria sempat menasehati Aji untuk berhenti mendekati istrinya, dan jangan membuat konten tidak mutu seperti prank-prank-an lagi. Lebih baik cari kerjaan tetap, sembari mengerjakan hobi membuat konten, tapi konten yang bermanfaat. Ana turun dari mobil mendahului Satria. Pastinya sudah tidak sabar menemui anak mereka yang tercinta. Ini kali pertama Tasya mereka tinggalkan berhari-hari. Ia menyusul Ana yang sudah duduk di samping Syafira. Ibu dari Ana itu tampak sibuk merajut. Entah apa yang mau di buatnya dari hasil rajutan itu. “Mana
Udara segar berembus menerpa kulit Ana. Secara alami ia tersenyum merasakan betapa nyaman lingkungan seperti ini. Bebas dari kebisingan dan polusi.“Ana?”Me timenya serasa terganggu begitu melihat seseorang di sampingnya. Entah kenapa Ana jadi merasa harus menoleh ke kamarnya. Dan ia jadi lega melihat sang suami yang masih tertidur.“Aku mau minta maaf dan berterima kasih sekali lagi sama kamu.”Ana mengangguk kecil. Ia mengerti Aji tak bermaksud jahat. Cuma tetap saja yang kemarin itu sangat tidak sopan dan mengganggu.Untungnya Satria mau menyelesaikannya dengan memaafkan Aji dan teman-temannya.“Aku, gak nyangka,” ujarnya dengan terjeda. Seolah yakin atau tidak untuk bicara.“Nyangka apa?”“Kalau berita kamu udah nikah itu bener.”Setelah lulus, inilah kali pertama mereka bertemu lagi. Banyak kabar yang sempat bersimpang siur tentang pernikahan Ana dari para teman-temannya. Terutama tentang Ana yang menikah dengan laki-laki seumuran dengan orang tuanya.“Iya. Aku udah nikah. Malah
Dinar hendak beranjak dari tempatnya melihat seseorang yang diam-diam di rindukannya selama ini. Namun tangan Yuda menahannya. Dinar mendongak dengan tatapan memohon pada Yuda.“Diam di sini. Di mana-mana yang nengokin orang sakit yang mendekat. Bukannya kamu yang turun dari tempat tidur.”Mendengar perkataan Yuda, Daneen menghela nafas sembari mengarahkan tantenya Sania untuk mendekati bangsal Dinar.Sania memilih ujung bajunya. Tampak sangat ragu dan kikuk berdiri di samping sang kakak. Otaknya bekerja keras menyatukan kata apa untuk menyapa atau sekedar membuka pembicaraan.“Mbak?”Sania tertegun dengan pelukan erat Dinar. Butuh beberapa saat untuk dirinya merespon pelukan itu.“Maafin Mbak, Sania. Maaf,” lirih Dinar.Sania melepaskan pelukan kakaknya. “Jangan meminta maaf, Mbak. Gimanapun Mbak gak salah. Harusnya bahkan aku yang bilang maaf dan terima kasih.”Dinar menggeleng. “Mbak rasanya udah jahat banget sama kamu. Pura-pura gak peduli. Bahkan gak mau tau gimana kehidupan kamu
Yuda memicingkan matanya seolah mencoba mempediksi apa yang sedang di pikirkan putrinya.“Kita balik lagi ke Rumah sakit, Pa?” tanya Daneen tampak mencoba menghindari sesuatu.Seolah dia bisa tau kalau akan di tanyai masalah yang tadi.“Ya,” balas Yuda singkat.“Dia itu, bukan pacarmukan?” tanya Yuda tidak tahan untuk tidak bertanya.“Dia siapa?” tanya Daneen balik tampak tidak paham.Papanya mendecak . “Gak usah pura-pura gak ngerti. Papa tau loh ekspresi kamu kalau lagi suka sesuatu.”“Papa ngomong apa sih?”“Kerja di mana dia? Terus gimana bisa dia mukul kamu?”“Kenapa bahas dia sih, Pa? Kita fokus mikirin mama aja.”****Bagi Yuda, Daneen sedang menghindari pertanyaannya seputar laki-laki yang di lindunginya tadi. Yang pada akhirnya Yuda lepaskan karena permintaan putrinya. Tapi tentu saja Yuda masih merasa ingin tau. Ralat, ia perlu tau dan sungguh harus tau tentang laki-laki itu.Cuma Daneen cukup keras kepala untuk tidak mau membicarakan pria itu. Greget juga waktu Yuda terpaks
Yuda dan Daneen mendatangi kediaman Sania. Sebelum itu ia menelpon Bulan untuk segera menyusul ke sini. Di mobil, Daneen dan Yuda sama-sama hanya diam. Namun, diamnya seorang ayah, tidak bisa melepaskan sepenuhnya tentang kecemasannya saat putri kesayangannya ini rasanya belum makan apa-apaIa memesan makanan drive-thru tanpa banyak bicara lalu memberikannya pada Daneen. Dirinya Kembali fokus melihat jalan dan mengalihkan mobil ke jalur alamat yang mereka tuju.“Makasih, Pa.” Suara Daneen terdengar penuh dengan makanan.“Mmm.”Sebuah rumah yang taka sing bagi Yuda terpampang di hadapan mereka. Butuh beberapa saat untuk Yuda sehingga dirinya bisa melangkahkan kakinya.Rumah ini, jadi lebih mengerikan dari terakhir kali dirinya ke sini dulu. Tampak sangat tidak terawatt dan banyak bagian rumah yang butuh renovasi.Ia mengikuti Daneen yang mengetuk pintu dan memanggil si pemilik rumah. Lalu seseorang dengan wajah lelah dan tampaknya baru habis menangis, membukakan pintu.“Tante, gimana k
Yuda harusnya menyadari ini sejak awal. Bahwa kembali ke kampung halaman istrinya, hanya akan membawa petaka. Tapi di sinilah jawaban atas kebingungan dan keputusasaan dirinya dan istrinya. Tapi bagaikan pertukaran yang tak mungkin bisa di pilih. Karena pada akhirnya Yuda juga harus menerima istrinya terbaring di rumah sakit dengan balutan perban di kepala Dinar. Kecemasan tak kunjung reda, dengan pemandangan wajah istrinya yang tak kunjung membuka mata.“Papa?”Panggilan itu membuat Yuda menoleh singkat. Harusnya saat ini ia memeluk gadis kecilnya yang sudah menjadi dewasa ini. Yang menghilang tanpa kabar bahkan tak memberikan alasan jelas. Mungkin tak berselang puluhan tahun kepergian putrinya. Tapi sudah cukup membuat banyak perubahan.“Mama masih belum sadar?” Suara itu berpindah ke samping istrinya. Jemari Dinar diraih. Kini kedua tangan Dinar di remas hangat. Andaikan tidak dalam kondisi seperti sekarang, mungkin ini adalah moment membahagiakan. Tapi sayangnya yang terasa han
Yuda memasukan koper ke dalam mobil. Dirinya melirik Dinar yang mengipasi wajahnya seperti orang kepanasan. Cuaca memang sedang terik saat mereka tiba mendarat beberapa menit lalu."Loh. Kok mobilnya jalan, Mas?"Yuda tersenyum dengan keterkejutan Dinar, karena mobil jemputan yang berjalan tanpa mereka."Kita naik motor, " ujar Yuda.Dinar membulatkan mata. "Panas, Mas," keluhnya dengan wajah cemberut.Motor yang akan mereka naiki di antarkan seseorang. Untungnya bukan motor lama Yuda yang 20 tahunan lalu. Motor itu pasti sudah tidak bisa di gunakan. Setau Dinar motor itu sudah di museumkan oleh Yuda.Masih dengan wajah cemberutnya, Dinar mengenakan jaket dan helm yang di berikan Yuda."Kita udah gak muda lagi loh, Mas," gumam Dinar.Yuda meraih jemari Dinar agar erat memeluk pinggangnya. "Ini buat mengingatkan kita kalau kita pernah melewati hari-hari dengan cinta kayak gini."Ban motor berjalan seiring dengan tarikan gas. Jemari Yuda terus mengelus jemari yang sejak dulu menemaninya