Hasyim mengendarai mobilnya cepat menuju sebuah rumah yang lumayan mewah. Seseorang seolah sudah menunggu di halaman rumah itu."Kau harus tau, Syafira di bawa pergi oleh Devandra," kata Hasyim.Orang itu tersenyum tipis walau tampak berat di matanya."Aku tau," sahutnya pelan. "Aku mengizinkan dia membawa Syafira sementara waktu."Hasyim terlihat kaget mendengar ucapan Arif. "Kau mengizinkan dia?""Aku tidak bisa membuat dia bahagia saat ini. Jadi kubiarkan orang lain membahagiakan dia untuk sementara waktu."Hasyim tak habis pikir. Bagaimana bisa seorang suami merelakan istrinya bersenang-senang dengan pria lain."Siapa, Sayang?" suara lembut nanti merdu membuat keduanya menoleh.Perempuan yang waktu itu bersanding di pelaminan dengan Arif. Tentunya tak sulit bagi Hasyim mengenali perempuan ini sebagai istri kedua Arif."Kenalkan, Nada. Sahabatku."Wanita itu tersenyum lembut pada Hasyim. "Nada," ujarnya menyatukan kedua tangan.Hasyim mengangguk kecil. "Aku buatkan minuman untuk ka
Walau bukan untuk dirinya seutuhnya, Dinar tetap di buat takjub melihat taman villa yang dihiasi lampu-lampu cantik yang berkedip-kedip di seluruh penjuru taman."Bagus ya, Syafira?" tanya Dinar pada Syafira yang berdiri di sampingnya. Ia pun mengangguk terpukau dengan apa yang mereka lihat."Jangan panggil Syafira. Gimanapun kamu jauh lebih muda, Sayang," kata Yuda tiba-tiba saja ada di sampingnya.Syafira tersenyum tipis pada Dinar yang tampak terkejut mendengar usianya lebih tua."Eh, iya. Maaf, mbak Syafira. Dinar gak tau."Syafira dan Yuda hampir sebaya, dan kalau di ukur dengan Dinar, usianya mungkin lebih tua Syafira 4-5 tahunan.Yuda menarik Dinar pelan mengikuti dirinya saat Devandra hendak mendekati Syafira."Untung kamu gak mual hari ini ya?" kata Yuda membawa Dinar ke sudut taman.Dari tempat mereka, jelas terasa angin dan bunyi debur ombak. Walau tidak dekat dengan lautan, namun rasanya mereka seperti di pinggir laut.Yuda menuntun Dinar duduk dan bersandar di bahunya. Be
Akhirnya dia bisa bebas dari perintah wanita tua itu. Sudah cukup lama ia tidak berbaring santai sambil maskeran begini.Di temani kue manis dan jus di depan telivisi. Sania sangat menikmati tinggal di rumah kakaknya itu. Walaupun di sini sebagai pembantu, tapi dirinya bisa menikmati berbagai fasilitas juga.Sania jadi makin penasaran bagaimana rasanya menjadi istri Yuda. Berapa uang bulanan menjadi seorang istri dari laki-laki yang uangnya tak terhitung lagi jumlahnya seperti Yuda.Bayangan akan keluar masuk mall sambil menenteng tas-tas packing dari toko barang branded seperti yang pernah ia lihat dari kakaknya itu.Kalau itu sampai terjadi, pasti teman-teman kuliah dan teman-teman kerjanya dulu akan sangat iri. Sania benar-benar tidak sabar menjalani kehidupan hedon seperti itu.Naik mobik bagus tiap hari. Pasti itu akan membuat dirinya terlihat lebih berkelas lagi."Kalau Yuda tidak mau meninggalkan Mbak Dinar, aku jadi simpanan dia di rumah ini juga mau," gerutu Sania tersenyum sa
"Ngapain, Bang?" tanya Jono sambil menghampiri Devandra yang sedang duduk di teras dengan beberapa berkas yang ada di mejanya.Jono menengok lagi mobil yang tadi keluar di halaman rumah devandra yang kini sudah tak lagi jelas terlihat."Siapa itu tadi, Bang?" tanya Jono lagi karena Devandra tak menjawab pertanyaan pertamanya."Pengacara."Mata Jono membelak sambil melihat Devandra yang tampak tenang sambil memeriksa berkas di tangannya."Abang kena kasus apa?" tanya Jono dengan nada khawatir.Devandra menggeleng. "Aku sedang mengatur perceraian Syafira."Jono di buat melongo atas ucapan Devandra. Ia tak percaya Devandra akan jadi seperti ini. Rasanya terlalu mencampuri pernikahan perempuan itu. Mencintai Syafira saja sudah salah di mata hukum dan agama. Bagaimanapun Syafira istri orang. Terlepas bagaimanapun kehidupan pernikahan wanita itu.Inginnya Jono berkata, 'Istigfar, Bang' , namun tak ada keberanian. Dan ia juga khawatir akan membuat Devandra jadi marah padanya seperti kepada H
Sania mengepel sambil meluapkan emosi. Nafasnya memburu saking amarah menguasai hatinya. Bayangan Devandra yang seolah menghina dirinya seperti itu, terus terbayang di pelupuk matanya.Terhina dan tersinggung memenuhi dadanya. Mereka pikir ia akan diam saja di perlakukan begini. Mereka akan memperebutkan dirinya suatu hari nanti. Lihat saja. Akan ia buat begitu. Yuda akan bertekuk lutut padanya, begitu pula dengan Devandra. Ia akan berfikir nanti siapa di antara ke duanya yang paling menguntungkan dalam hidupnya.Saat akan mengepel di dapur, ia melintasi kamar Yanti. Tak sengaja sudut matanya menangkap pembantu sialan itu sedang berbaring seperti nyonya besar. Dia pikir dia siapa? "Cuma rebahan aja nih?" bentak sania dari ambang pintu.Sontak Yanti di buat kaget dan cepat-cepat bangun. Ia menatap sania yang sedang menatap dirinya penuh kemarahan."Tuan Devandra memperbolehkan saya istirahat hari ini," ujar Yanti dengan wajah menunduk.Yanti istirahat dan dia bekerja sendirian? Atura
"Bumil."Dinar memaksakan senyum kala mendengar sapaan riang seseorang di meja makan. Dengan di rangkul Yuda, ia berjalan ke kursi. Wajah pucat dan lemas tak lagi bisa di tutupi oleh make up."Pucatnya kau nak. Bisa makan lagi?" tanya ibu tamoak khawatir."Kayaknya nanti aja, Bu," balas dinar dengan bibir bergetar."Mau pulang aja? Atau kita tidur di sini?" tanya Yuda saat dirinya duduk lunglai.Seluruh isi perutnya terkuras habis. Di tengah kehangatan makan malam, lambungnya malah tidak berkompromi membuat Dinar harus cepat-cepat lari ke wastafel.Ia memejamkan mata merasakan pijitan pelan di pundaknya."Kasian bumil." Bulan berpindah ke samping Dinar. Acara makan malam rencananya adalah penyambutan Amir dan Bulan yang habis menangani sebuah kasus di kota yang lumayan jauh. Amir akhirnya bekerja sebagai asisten Bulan. Keduanya jadi sering bekerja bersama."Padahal tadi baik-baik aja," gumam Dinar.Ia jadi tidak enak di tengah acara begini malah drop sendirian dan malah membuat acara
Amir baru keluar rumah dan berencana untuk lari pagi. Namun ia terdiam saat melihat perempuan berdiri di depan pagar rumah Devandra.Penasaran, Amir akhirnya pura-pura lari pagi melewati perempuan itu. Harapannya ia di sapa oleh perempuan itu, tapi saat melintas bahkan tidak di pedulikan.Amir berbalik, lari di tempat sambil memperhatikan perempuan itu.Mungkin pacar Devandra?Seksi juga pacar Devandra, pikirnya.Amir mendekati perempuan itu dan tersenyum lebar."Pacar Devandra ya?" tanya Amir to the poin.Perempun itu melihat dirinya tampak kaget dan bingung. "Devandra gak ada di rumah ini. Dia di rumah situ," ujar Amir sambil menunjuk rumah Bapa dan Ibu.Perempuan itu mengikuti arah tunjuk Amir."Pacar Devandra ya?" tanya Amir lagi mengulang.Amir tak mendapat jawaban yang dia inginkan. Perempuan itu tetap diam dan menunduk kecil lalu tampak ingin pergi."Ditanya jawab dong, mbak yang seksi." Amir menghalangi jalan perempuan itu dengan badannya."Diem aja dari tadi. Mau ketemu Deva
Dinar memakan mangga muda dengan semangat. Wajahnya berseri-seri apalagi di temani Bulan dan Syafira. Biasanya dirinya menikmati apapun sendirian. Sekarang setidaknya ia punya teman ngobrol."Makan yang banyak bumil. Kemarin gak sempet makan gara-gara mual teruskan?"Bulan mengupas mangga mudanya dengan sangat lihai. Dan Syafira mengupas buah-buahan lainnya. Sementara Dinar hanya bertugas memakan buah-buahannya saja.Ibu tidak bisa ikut join dengan mereka. Mengingat harus menemani memeriksa keadaan kesehatan Bapa secara rutin seperti biasanya.Kalau Syafira awalnya merasa terjebak dengan dua perempuan yang duduk bersamanya ini, tapi perlahan dia jadi merasa punya teman ngobrol. Apalagi topik pembahasan mereka sudah emak-emak sekali. "Aku sih yakin artis itu nikahnya settingan. Liat aja, semuanya kaya di atur gitu. Mesra-mesraannya juga kaku banget," ujar Dinar.Sedang ramai di bicarakan oleh ibu-ibu tentang artis yang menjadi pasangan di sebuah sinetron. Yang kini katanya cinlok dan
“Jaga diri kamu,” ujar Daneen. “Jangan sampai kenapa-napa di sana.”Fahrian tersenyum lebar sembari mengangguk. Dirinya mendapat restu setelah bicara baik-baik dengan Yuda. Jika ia akan kembali setelah bertaruh nasib di negri orang. Bahwa dirinya, akan mengusahakan kehidupan yang lebih baik untuk Daneen.“Ini memang tidak berharga. Tapi hanya ini yang aku punya untuk mengikat kamu.”Fahrian memberikan sebuah cincin perak putih. Namun tak berani menyematkannya di jemari Daneen. Takut jika mungkin Daneen tidak suka dengan pemberiannya.Tapi mengerti dengan ketakutan Fahrian, Daneen mengambil cincin itu dan menyematkannya di jemarinya. “Aku janji ini tidak akan hilang sampai kamu pulang.”****Sementara di lantai atas, sepasang suami istri memandangi dua insan yang akan berpisah itu. “Aku sedih, Mas. Kenapa gak di kasih kerjaan di sini aja? Mas punya banyak cabang usaha.”“Itu Namanya perjuangan. Biarkan dia memandang anak kit aitu mahal dan berharga. Agar dia tidak menyia-nyiakannya. B
Yuda sedang kesal dengan Dinar karena perbedaan pendapat mereka. Apalagi Dinar kuekeh dengan keinginannya bertemu dengan pacar Daneen yang pernah bertemu dengannya. Walau Daneen tidak mengaku, tapi ia yakin itu adalah pacar Daneen.Ia tidak suka.Putrinya tidak mungkin bersama laki-laki seperti itu. Culun, lemah, dan cuma tukang ngepel di sekolah. Mau jadi apa anaknya di nikahkan dengan laki-laki tanpa masa depan begitu. Apalagi mengingat laki-laki itulah yang memukul Daneen di malamsepi itu.Meski sih dalam tekanan dan ancaman. Tapi masa di ancam begitu langsung memukuli perempuan. Di lawan dulu atau gimana lah. Masa diam aja. Pengecut.Tapi biarpun sudah 1001 cerita ketidak sukaan dirinya dengan lelaki itu, masih saja Dinar memberikan pembelaan. Dari yang masuk akal, sampai yang penting di bela, masa bodo gak masuk logika.Dinar bilang seorang laki-laki memang mengutamakan ibunya. Dan salah bila menyudutkan pacar Daneen itu hanya karena ia tak berani melawan. Semua orang punya level
Liburan yang di harapkan bisa membuat mereka tenang dan senang justru malah menjadi kejadian paling menyebalkan untuk Satria. Ia juga harus membawa pulang bekas pukulan di sudut bibirnya hasil pukul balas dari Aji. Tapi bisa di bilang juga Satria dan Ana puas dengan bulan madu mereka ini. Setidaknya ada beberapa moment mereka habiskan Bersama. Juga pengutaraan rasa cinta mereka. Sebelum menemui Ana kemarin, setelah masalah di selesaikan secara damai, Satria sempat menasehati Aji untuk berhenti mendekati istrinya, dan jangan membuat konten tidak mutu seperti prank-prank-an lagi. Lebih baik cari kerjaan tetap, sembari mengerjakan hobi membuat konten, tapi konten yang bermanfaat. Ana turun dari mobil mendahului Satria. Pastinya sudah tidak sabar menemui anak mereka yang tercinta. Ini kali pertama Tasya mereka tinggalkan berhari-hari. Ia menyusul Ana yang sudah duduk di samping Syafira. Ibu dari Ana itu tampak sibuk merajut. Entah apa yang mau di buatnya dari hasil rajutan itu. “Mana
Udara segar berembus menerpa kulit Ana. Secara alami ia tersenyum merasakan betapa nyaman lingkungan seperti ini. Bebas dari kebisingan dan polusi.“Ana?”Me timenya serasa terganggu begitu melihat seseorang di sampingnya. Entah kenapa Ana jadi merasa harus menoleh ke kamarnya. Dan ia jadi lega melihat sang suami yang masih tertidur.“Aku mau minta maaf dan berterima kasih sekali lagi sama kamu.”Ana mengangguk kecil. Ia mengerti Aji tak bermaksud jahat. Cuma tetap saja yang kemarin itu sangat tidak sopan dan mengganggu.Untungnya Satria mau menyelesaikannya dengan memaafkan Aji dan teman-temannya.“Aku, gak nyangka,” ujarnya dengan terjeda. Seolah yakin atau tidak untuk bicara.“Nyangka apa?”“Kalau berita kamu udah nikah itu bener.”Setelah lulus, inilah kali pertama mereka bertemu lagi. Banyak kabar yang sempat bersimpang siur tentang pernikahan Ana dari para teman-temannya. Terutama tentang Ana yang menikah dengan laki-laki seumuran dengan orang tuanya.“Iya. Aku udah nikah. Malah
Dinar hendak beranjak dari tempatnya melihat seseorang yang diam-diam di rindukannya selama ini. Namun tangan Yuda menahannya. Dinar mendongak dengan tatapan memohon pada Yuda.“Diam di sini. Di mana-mana yang nengokin orang sakit yang mendekat. Bukannya kamu yang turun dari tempat tidur.”Mendengar perkataan Yuda, Daneen menghela nafas sembari mengarahkan tantenya Sania untuk mendekati bangsal Dinar.Sania memilih ujung bajunya. Tampak sangat ragu dan kikuk berdiri di samping sang kakak. Otaknya bekerja keras menyatukan kata apa untuk menyapa atau sekedar membuka pembicaraan.“Mbak?”Sania tertegun dengan pelukan erat Dinar. Butuh beberapa saat untuk dirinya merespon pelukan itu.“Maafin Mbak, Sania. Maaf,” lirih Dinar.Sania melepaskan pelukan kakaknya. “Jangan meminta maaf, Mbak. Gimanapun Mbak gak salah. Harusnya bahkan aku yang bilang maaf dan terima kasih.”Dinar menggeleng. “Mbak rasanya udah jahat banget sama kamu. Pura-pura gak peduli. Bahkan gak mau tau gimana kehidupan kamu
Yuda memicingkan matanya seolah mencoba mempediksi apa yang sedang di pikirkan putrinya.“Kita balik lagi ke Rumah sakit, Pa?” tanya Daneen tampak mencoba menghindari sesuatu.Seolah dia bisa tau kalau akan di tanyai masalah yang tadi.“Ya,” balas Yuda singkat.“Dia itu, bukan pacarmukan?” tanya Yuda tidak tahan untuk tidak bertanya.“Dia siapa?” tanya Daneen balik tampak tidak paham.Papanya mendecak . “Gak usah pura-pura gak ngerti. Papa tau loh ekspresi kamu kalau lagi suka sesuatu.”“Papa ngomong apa sih?”“Kerja di mana dia? Terus gimana bisa dia mukul kamu?”“Kenapa bahas dia sih, Pa? Kita fokus mikirin mama aja.”****Bagi Yuda, Daneen sedang menghindari pertanyaannya seputar laki-laki yang di lindunginya tadi. Yang pada akhirnya Yuda lepaskan karena permintaan putrinya. Tapi tentu saja Yuda masih merasa ingin tau. Ralat, ia perlu tau dan sungguh harus tau tentang laki-laki itu.Cuma Daneen cukup keras kepala untuk tidak mau membicarakan pria itu. Greget juga waktu Yuda terpaks
Yuda dan Daneen mendatangi kediaman Sania. Sebelum itu ia menelpon Bulan untuk segera menyusul ke sini. Di mobil, Daneen dan Yuda sama-sama hanya diam. Namun, diamnya seorang ayah, tidak bisa melepaskan sepenuhnya tentang kecemasannya saat putri kesayangannya ini rasanya belum makan apa-apaIa memesan makanan drive-thru tanpa banyak bicara lalu memberikannya pada Daneen. Dirinya Kembali fokus melihat jalan dan mengalihkan mobil ke jalur alamat yang mereka tuju.“Makasih, Pa.” Suara Daneen terdengar penuh dengan makanan.“Mmm.”Sebuah rumah yang taka sing bagi Yuda terpampang di hadapan mereka. Butuh beberapa saat untuk Yuda sehingga dirinya bisa melangkahkan kakinya.Rumah ini, jadi lebih mengerikan dari terakhir kali dirinya ke sini dulu. Tampak sangat tidak terawatt dan banyak bagian rumah yang butuh renovasi.Ia mengikuti Daneen yang mengetuk pintu dan memanggil si pemilik rumah. Lalu seseorang dengan wajah lelah dan tampaknya baru habis menangis, membukakan pintu.“Tante, gimana k
Yuda harusnya menyadari ini sejak awal. Bahwa kembali ke kampung halaman istrinya, hanya akan membawa petaka. Tapi di sinilah jawaban atas kebingungan dan keputusasaan dirinya dan istrinya. Tapi bagaikan pertukaran yang tak mungkin bisa di pilih. Karena pada akhirnya Yuda juga harus menerima istrinya terbaring di rumah sakit dengan balutan perban di kepala Dinar. Kecemasan tak kunjung reda, dengan pemandangan wajah istrinya yang tak kunjung membuka mata.“Papa?”Panggilan itu membuat Yuda menoleh singkat. Harusnya saat ini ia memeluk gadis kecilnya yang sudah menjadi dewasa ini. Yang menghilang tanpa kabar bahkan tak memberikan alasan jelas. Mungkin tak berselang puluhan tahun kepergian putrinya. Tapi sudah cukup membuat banyak perubahan.“Mama masih belum sadar?” Suara itu berpindah ke samping istrinya. Jemari Dinar diraih. Kini kedua tangan Dinar di remas hangat. Andaikan tidak dalam kondisi seperti sekarang, mungkin ini adalah moment membahagiakan. Tapi sayangnya yang terasa han
Yuda memasukan koper ke dalam mobil. Dirinya melirik Dinar yang mengipasi wajahnya seperti orang kepanasan. Cuaca memang sedang terik saat mereka tiba mendarat beberapa menit lalu."Loh. Kok mobilnya jalan, Mas?"Yuda tersenyum dengan keterkejutan Dinar, karena mobil jemputan yang berjalan tanpa mereka."Kita naik motor, " ujar Yuda.Dinar membulatkan mata. "Panas, Mas," keluhnya dengan wajah cemberut.Motor yang akan mereka naiki di antarkan seseorang. Untungnya bukan motor lama Yuda yang 20 tahunan lalu. Motor itu pasti sudah tidak bisa di gunakan. Setau Dinar motor itu sudah di museumkan oleh Yuda.Masih dengan wajah cemberutnya, Dinar mengenakan jaket dan helm yang di berikan Yuda."Kita udah gak muda lagi loh, Mas," gumam Dinar.Yuda meraih jemari Dinar agar erat memeluk pinggangnya. "Ini buat mengingatkan kita kalau kita pernah melewati hari-hari dengan cinta kayak gini."Ban motor berjalan seiring dengan tarikan gas. Jemari Yuda terus mengelus jemari yang sejak dulu menemaninya