Sadam baru dua kali bertemu dengan Jacky. Dia dan Salsa sering dilarang Damian bertemu dengan mantan anggota mafia kelas kakap itu. "Iya. Kata Mamamu, Jacky wajahnya mirip sama Anna. Menurutmu bagaimana?"Sadam terkejut mendengar pertanyaan Damian. Pandangannya beralih pada Salsa yang menyimak obrolan Sadam dan Damian. "Kok Mama bilang gitu? Gimana ceritanya?" Tentu saja Sadam merasa bingung mendengar ucapan Damian. Salsa masih bersikap tenang. Ia kemudian membalas tatapan anaknya. Ingin menjelaskan tentang dugaannya itu."Mama menarik kesimpulan itu, karena dulu Mr. Jack pernah cerita ke Mama dan Papa, kalau anaknya yang perempuan hilang. Nah, waktu pertama kali kami bertemu dengan Anna, kami merasa udah gak asing lagi dengan wajah sekretarismu itu. Apa kamu tau, siapa orang tua atau latar belakangnya Anna?" Salsa menumpu kedua tangan di atas meja makan, menatap intens wajah anak semata wayangnya. Sadam tidak langsung menjawab, ia berpikir sejenak. "Jujur aja, Annabel emang gak p
Tiba di kantor, Anna bergegas membuka layar laptop. Dengan cekatan, jari-jemarinya menari di atas keyboard. "Jangan lupa, batalin kerja sama dengan PT. Jagat Raya. Enggak punya otak si Jagat. Aku udah lama mutusin kerja sama. Eh malah nawarin kerja sama lagi. Peak!" cerocos Sadam yang baru saja duduk di kursi kebesaran. Anna yang mendengar ocehan si Bos hanya menghela napas berat."Udah saya batalin, Bos," ucap Anna setelah memutuskan kerja sama dengan PT yang direkturnya musuh bebuyutan Sadam. "Bagus. Emang seharusnya gitu. Sekarang kamu selesaikan pekerjaan. Selesai makan siang, kita langsung keluar kota.""Siap, Bos."Anna pun memfokuskan pandangan dan pikirannya ke layar laptop. Dia benar-benar terlihat sangat serius. Berbeda dengan Anna, Sadam justru tengah menikmati wajah cantik Anna yang fokus bekerja. Sesekali senyumnya tersungging jika mengingat kebersamaannya selama ini. Ekor mata Anna melirik. Hanya melirik, tidak menoleh. Cukup jelas bagi Anna kalau Sadam sedang memerha
Tiba di kota Bandung, Sadam mengajak Anna ke rumah pribadi Damian. Rumah yang dibeli sewaktu Sadam masih kecil. Anna membuka kaca jendela mobil. Kepalanya melongok keluar, pandangannya mengitari sekeliling. Baru sekarang Sadam mengajak Anna ke rumah ini. Sebelumnya jika mereka ada kerjaan di Bandung, Sadam selalu mengajak Anna tinggal di hotel. "Ini rumah siapa, Bos?" tanya Anna ketika kendaraan yang ditumpangi berhenti di halaman rumah yang megah dan mewah. "Rumah kedua orang tuaku, yang nantinya akan jadi rumah kita." Kalimat Sadam sontak membuat Anna mulutnya menganga lebar. Mendengar kata 'kita', hati Anna semakin bahagia. Ia tak menanggapi, hanya merunduk sembari tersenyum malu-malu. "Annabel, ngapain kamu senyum gitu? Turun!" Tiba-tiba Sadam sudah berdiri di samping pintu jok bagian Anna. Sadam membukakan pintu mobil, lalu mempersilakan Anna keluar. "Aku senyum bahagia. Senyum yang sangat bahagia." Jawaban Anna membuat Sadam sikapnya agak salah tingkah. Namun, cepat-cepat S
Kedua bola mata Anna membeliak sempurna mendengar kalimat yang terucap dari bibir Sadam. "Ni-nikah minggu depan, Bos? Di-di sini?" Suara Anna terdengar bergetar. Antara percaya dan tidak percaya. Tetapi, Anna yakin kalau Sadam tidak akan bercanda dalam urusan sepenting ini. "Iya. Kamu gak mau?" Raut wajah tampak tak suka. Berubah masam. "Bu-bukan gak mau. Mau, Bos. Mau ... ta-tapi kan ... saya belum--""Udah, jangan banyak alasan. Nanti di rumah kita obrolin lagi. Sekarang kamu belanja dulu." Sadam kesal dengan tanggapan Anna yang seolah meragukan keinginannya. Lelaki itu duduk di kursi tunggu dalam toko. Anna menghela napas berat, lalu melanjutkan memilih pakaian yang disukai. Hampir dua jam mereka berkeliling pusat perbelanjaan. Goodie bag ditangan Anna dan Sadam sudah cukup banyak. "Aku saja yang bawain goodie bag-nya." Sadam berusaha mengambil alih goodie bag dari tangan Anna. "Jangan, Bos. Nanti Bos repot. Biar aku aja. Kita pulang sekarang.""Kamu yakin, enggak ada yang d
"Bulan lalu omset perusahaan kut4ng menguntungkan karena ...," gumam Sadam Adiwilaga ketika membaca laporan keuangan yang diberikan oleh sekretarisnya, Anna Isabella. "Anabel, kenapa ini jadi perusahaan kut4ng? Maksudmu apa?"Anna yang sudah terbiasa dipanggil Anabel -nama boneka pembvnuh- terkejut mendengar pertanyaan bos-nya. Lelaki itu menyerahkan kembali laporan yang beberapa menit lalu dikerjakan seorang gadis keturunan Indo-Jepang. "Maksudnya kut4ng siapa, Bos?" Anna pun tak mengerti. "Kut4ngmu!""Astaghfirullahalazhim." Anna mendekap d4danya. "Nih baca! Kamu tuh bener-bener gak bisa diandelin. Dari tadi salah terus. Revisi lagi laporannya!" sentak Sadam kecewa akan laporan yang dibuat oleh Anna. "Astaghfirullah, Bos. Ini cuma typo. R dan T itu letaknya tetanggaan. Jadi---""Jangan banyak alasan! Revisi ulang! Saya tunggu sampe lima menit. Lewat lima menit, bonusmu bulan ini saya potong!" Ancam Sadam pada gadis yang terpaksa bekerja padanya karena membutuhkan uang untuk bia
"Memangnya Mamah mau punya mantu serba minimalis kayak dia? Penampilan minimalis, otak minimalis, hidungnya minimalis, tingginya juga minimalis," cibir Sadam melirik Anna yang merunduk malu. Baru kali ini ada orang yang menghinanya terang-terangan. Anna berusaha menahan kesedihan dan air matanya. "Astaghfirullah, Sadam ... Jaga bicaramu, Nak. Sekarang minta maaf sama ... siapa namamu, Nak?"Salsa agak membungkukkan badan, menatap wajah Anna yang merunduk. "Anna Isabella, Tante," jawab Anna sembari meraih telapak tangan Salsa, mencium takzim. "Oh namanya cantik. Anna, ucapan Sadam jangan diambil hati, ya? Eh, Sadam ... minta maaf dulu sama Anna. Sadaaamm ...." teriak Salsa karena Sadam sudah masuk ke dalam rumah lebih dulu. "Nanti aja minta maafnya, kalau lebaran."Jawaban Sadam membuat Salsa semakin tak enak hati pada Anna. "Astaghfirullahalazim.... ""Enggak apa-apa kok, Tante. Kenyataannya kan saya emang serba minimalis, hehehe." sebisa mungkin Anna ingin terlihat baik-baik saj
Mendengar perintah Sadam, Anna jadi serba salah. Menyuapi Sadam di depan kedua orang tuanya? Anna sangat malu. "Eh, kamu denger gak?" sentak Sadam membuat lamunan Anna buyar. "Denger, Bos." Anna bergegas mengangkat piring yang berisi nasi dan beberapa lauk pauk, lalu menyuapi Sadam dengan telaten. Salsa dan Damian yang melihat prilaku putranya hanya menggelengkan kepala dan diam seribu basa. Sebagai seorang ibu, sebetulnya Salsa tak enak hati pada Anna. Akan tetapi, Salsa pun tahu betul watak Sadam. "Kita berangkat sekarang! Bawa sarapanmu, nanti sarapannya di mobil!"Kedua pundak Anna menurun mendengar perintah selanjutnya dari Sadam. Anna menelan air liur melihat sarapan yang terhidang di atas meja makan keluarga Adiwilaga. "Sadam, Anna sarapan di sini dulu sebentar. Setelah itu, baru kalian berangkat."Anna tersenyum mendengar ucapan wanita yang telah melahirkan Sadam. Dalam hati, Anna berharap Sadam mau menuruti perintah Salsa yang tak lain ibu kandungnya. "Enggak apa-apa, M
"Kamu kenapa ngomongin nasi uduk? Kenapa ngomongin jengkol? Kenapa bilang suka jengkol? Kenapa? Aku sama Papah gak suka makanan itu. Bau!"Mulai dah, bos kampret merepet. Kalian tahu kenapa aku bilang dia bos kampret? karena bos galak itu selalu pulang malam dari kantor. Kalau dia pulang malam, aku juga pulang malam. Gak pernah tuh pulang sore apalagi masih siang. Aneh, jadi bos tapi jam kerjanya melebihi karyawan. Aku tak menanggapi ucapannya. Lebih memilih menikmati roti tawar panggang selay kacang. Ternyata rasanya sangat mantap. Jujur, baru kali ini merasakan roti panggang. Biasanya Aku makan roti tawar tanpa dipanggang. "Harusnya kamu bilang aja, gak suka jengkol. Enggak biasa ke pasar. Enggak biasa makan uduk! Sukanya makan steak, sukanya ke swalayan."Ngomel aja terus. Ya anggap aja, nyanyian di pagi hari. Aku tetap diam, sesekali tersenyum menikmati lezatnya roti tawar panggang. Ya emang norak, tapi memang beginilah aku. "Anabel! Kamu denger aku gak?"Kunyahanku seketika te
Kedua bola mata Anna membeliak sempurna mendengar kalimat yang terucap dari bibir Sadam. "Ni-nikah minggu depan, Bos? Di-di sini?" Suara Anna terdengar bergetar. Antara percaya dan tidak percaya. Tetapi, Anna yakin kalau Sadam tidak akan bercanda dalam urusan sepenting ini. "Iya. Kamu gak mau?" Raut wajah tampak tak suka. Berubah masam. "Bu-bukan gak mau. Mau, Bos. Mau ... ta-tapi kan ... saya belum--""Udah, jangan banyak alasan. Nanti di rumah kita obrolin lagi. Sekarang kamu belanja dulu." Sadam kesal dengan tanggapan Anna yang seolah meragukan keinginannya. Lelaki itu duduk di kursi tunggu dalam toko. Anna menghela napas berat, lalu melanjutkan memilih pakaian yang disukai. Hampir dua jam mereka berkeliling pusat perbelanjaan. Goodie bag ditangan Anna dan Sadam sudah cukup banyak. "Aku saja yang bawain goodie bag-nya." Sadam berusaha mengambil alih goodie bag dari tangan Anna. "Jangan, Bos. Nanti Bos repot. Biar aku aja. Kita pulang sekarang.""Kamu yakin, enggak ada yang d
Tiba di kota Bandung, Sadam mengajak Anna ke rumah pribadi Damian. Rumah yang dibeli sewaktu Sadam masih kecil. Anna membuka kaca jendela mobil. Kepalanya melongok keluar, pandangannya mengitari sekeliling. Baru sekarang Sadam mengajak Anna ke rumah ini. Sebelumnya jika mereka ada kerjaan di Bandung, Sadam selalu mengajak Anna tinggal di hotel. "Ini rumah siapa, Bos?" tanya Anna ketika kendaraan yang ditumpangi berhenti di halaman rumah yang megah dan mewah. "Rumah kedua orang tuaku, yang nantinya akan jadi rumah kita." Kalimat Sadam sontak membuat Anna mulutnya menganga lebar. Mendengar kata 'kita', hati Anna semakin bahagia. Ia tak menanggapi, hanya merunduk sembari tersenyum malu-malu. "Annabel, ngapain kamu senyum gitu? Turun!" Tiba-tiba Sadam sudah berdiri di samping pintu jok bagian Anna. Sadam membukakan pintu mobil, lalu mempersilakan Anna keluar. "Aku senyum bahagia. Senyum yang sangat bahagia." Jawaban Anna membuat Sadam sikapnya agak salah tingkah. Namun, cepat-cepat S
Tiba di kantor, Anna bergegas membuka layar laptop. Dengan cekatan, jari-jemarinya menari di atas keyboard. "Jangan lupa, batalin kerja sama dengan PT. Jagat Raya. Enggak punya otak si Jagat. Aku udah lama mutusin kerja sama. Eh malah nawarin kerja sama lagi. Peak!" cerocos Sadam yang baru saja duduk di kursi kebesaran. Anna yang mendengar ocehan si Bos hanya menghela napas berat."Udah saya batalin, Bos," ucap Anna setelah memutuskan kerja sama dengan PT yang direkturnya musuh bebuyutan Sadam. "Bagus. Emang seharusnya gitu. Sekarang kamu selesaikan pekerjaan. Selesai makan siang, kita langsung keluar kota.""Siap, Bos."Anna pun memfokuskan pandangan dan pikirannya ke layar laptop. Dia benar-benar terlihat sangat serius. Berbeda dengan Anna, Sadam justru tengah menikmati wajah cantik Anna yang fokus bekerja. Sesekali senyumnya tersungging jika mengingat kebersamaannya selama ini. Ekor mata Anna melirik. Hanya melirik, tidak menoleh. Cukup jelas bagi Anna kalau Sadam sedang memerha
Sadam baru dua kali bertemu dengan Jacky. Dia dan Salsa sering dilarang Damian bertemu dengan mantan anggota mafia kelas kakap itu. "Iya. Kata Mamamu, Jacky wajahnya mirip sama Anna. Menurutmu bagaimana?"Sadam terkejut mendengar pertanyaan Damian. Pandangannya beralih pada Salsa yang menyimak obrolan Sadam dan Damian. "Kok Mama bilang gitu? Gimana ceritanya?" Tentu saja Sadam merasa bingung mendengar ucapan Damian. Salsa masih bersikap tenang. Ia kemudian membalas tatapan anaknya. Ingin menjelaskan tentang dugaannya itu."Mama menarik kesimpulan itu, karena dulu Mr. Jack pernah cerita ke Mama dan Papa, kalau anaknya yang perempuan hilang. Nah, waktu pertama kali kami bertemu dengan Anna, kami merasa udah gak asing lagi dengan wajah sekretarismu itu. Apa kamu tau, siapa orang tua atau latar belakangnya Anna?" Salsa menumpu kedua tangan di atas meja makan, menatap intens wajah anak semata wayangnya. Sadam tidak langsung menjawab, ia berpikir sejenak. "Jujur aja, Annabel emang gak p
"Anaknya Jacky Yazeki," gumam Damian sambil berpikir. Mengingat kembali wajah sahabatnya yang menjalin kerja sama dengannya. Hanya saja, Jacky dipercaya Damian untuk mengelola bisnisnya yang di Bandung. "Iya, Sayang. Kalau aku perhatikan, senyumnya Anna mirip sekali dengan Jacky. Kamu inget gak, dulu Jacky pernah cerita kalau anaknya hilang. Waktu kita second honeymoon di Bandung. Waktu Sadam belum satu tahun. Inget gak kamu?" Salsa berusaha terus mengingat Damian tentang cerita Jacky dua puluh tahunan lalu. Damian menghela napas berat, menggaruk kepala yang tak gatal. "Sayang, aku kok lupa ya?""Astaghfirullahalazim ... masa sih, Yang? Ya udah deh kalau kamu lupa. Orang lupa mau diapain." Salsa menyerah mengingatkan suaminya. Damian masih berusaha keras mengingat cerita Jacky. "Tapi, emangnya benar kalau Jacky anaknya hilang? Hilang kenapa? Anak si Jacky emangnya cewek?" Ternyata Damian benar-benar lupa. Sama sekali tidak ingat sewaktu Jacky bercerita tentang anaknya yang masi
'Astaghfirullahalazhim ... mungkin sudah nasibku punya bos dan calon suami yang galak.'"Kalau aku gak galak sama kamu, bisa-bisa kamu ngelunjak. Kalau kamu mau jadi istriku, kamu harus mau menerimaku apa adanya. Kalau kamu gak mau, anggap saja malam ini aku gak pernah melamarmu." Ucapan Sadam membuat Anna menoleh cepat. Kedua matanya mengerjap berulang kali, menatap lekat lelaki yang duduk di balik kemudi dengan intens. Sekian menit, Anna tak menanggapi ucapan Sadam. Ia tengah berpikir. Khawatir ucapannya nanti salah. Sadam memang benar, kalau dirinya mau menerima lamaran dan mau menjadi istri Sadam, ia harus menerima perilaku dan kondisi Sadam. Seperti halnya Sadam, tidak menyuruhnya merubah apapun. "Bos, sa-saya minta maaf."Akhirnya Anna menyadari kesalahannya. Sadam selama ini selalu bersikap galak padanya meski sering kali juga Sadam menunjukkan perhatian dan baik. Selama bekerja menjadi sekretarisnya, Sadam tidak pernah melakukan hal-hal yang tak senonoh bahkan bonus bulanan
Kedua mata Anna membeliak sempurna mendengar kalimat yang baru saja Sadam ucapkan. "Malah bengong ... kamu mau aku nikahin gak? Mau terima lamaranku gak?" Dua pertanyaan Sadam membuat Anna tersentak kaget. Sikapnya berubah salah tingkah, ia menelan saliva, dan memejamkan kedua mata sejenak, memastikan apakah ia sedang bermimpi atau tidak?"B-Bos ... Bos me-me-melamar saya?" Bukan hanya sikap Anna yang gugup, suaranya juga terdengar sangat gugup."Iya ... mana jarimu!"Dengan gemetar, Anna menyodorkan jari manisnya. Namun, Sadam menarik kursi, bangkit dan berjalan ke samping Anna. Kepala Anna yang mendongak, mengikuti gerakan Sadam yang ke berdiri di sisinya. Dan ... tanpa diduga lagi, Sadam justru bersimpuh, sembari menyodorkan kotak cincin berbentuk hati. "Anna Isabella, will you marry me?" Sangat lembut, Sadam mengucapkan kalimat indah itu. Seketika tubuh Anna merasa lemas, ia menelan saliva, menarik napas, berusaha menahan tubuhnya yang ingin jatuh pingsan. Sebulir air mata ber
Sepanjang jalan menuju restoran, diam-diam Sadam melirik Anna yang tengah memandang lurus ke depan. Anna tidak menyadari kalau si bos galak sedang menganggumi kecantikannya malam ini. Bibir Sadam tersenyum, hatinya bahagia mengingat kembali kenangan bersama seorang gadis yang kerap kali ia panggi Annabel. Entah kapan persisnya, Sadam mulai jatuh cinta pada gadis itu. Bahkan foto Anna dijadikan wallpaper handphone. Tiba di area parkir restoran, Anna membuka seat bealt. Saat Anna hendak membuka pintu mobil, Sadam mencegah. Sadam langsung keluar mobil, membukakan pintu untuk gadis yang merasa heran melihat tingkah Sadam yang tak biasa. "Ngapain bengong? Cepetan turun!" Lagi, pikiran Anna buyar oleh bentakan Sadam. "Makasih," ucap Anna ketika sudah keluar dari dalam mobil. Sadam menutup pintu mobil, lalu menyuruh Anna menyelipkan tangan pada lengannya. "Malah bengong lagi?Cepetan selipin tangan kamu ke sini!" Sadam menarik tangan Anna agar menggamit lengannya. Anna menelan saliva. Tak
Salsa bergegas masuk ke dalam kamar, membuka salah satu goodie bag hasilnya belanjaannya bersama Anna. Damian masuk ke dalam kamar, mengikuti sang istri. Dahi Damian mengkerut melihat gerakan Salsa yang tampak sedang mencari sesuatu. "Sayang, kamu lagi cari apaan?" Damian menghampiri, berdiri di sampingnya. "Nyari gaun yang aku beli buat Anna."Salsa menjawab tanpa menoleh pada suaminya. Ia membongkar satu persatu goodie bag. Lalu bibirnya tersenyum ketika barang yang dimaksud, sudah ditemukan. "Eh, kamu mau ngapain?" Damian menarik lengan Salsa. "Mau nitipin gaun ke Sadam buat Anna. Aku pengen, Anna mengenakan gaun ini pas dinner nanti malam."Wajah Salsa terlihat sangat sumringah. Cekalan tangan Damian melepas, diiringi embusan napas agak kesal. "Sayang, aku kan tadi udah bilang. Kamu harus pura-pura gak tau kalau malam ini Sadam dan Anna mau dinner," jelas Damian menurunkan kedua pundaknya. Senyum yang sempat terlukis di bibir Salsa, seketika memudar. Ia baru ingat, sudah berj