Baiklah, Keyla merasa ragu karena benar seperti yang dikatakan Stephen King dalam autobiografinya, ini rasanya seperti menyekop kotoran sendiri sembari jongkok, tidak tahu apakah semua ini berguna? Apakah naskah ini benar-benar bisa menjadi sebuah buku? Keyla menatap hampa paragraf terakhir yang ditulisnya, kata-kata yang menceritakan kisahnya sendiri.“Apa ini? Rasa sakit sekaligus senang yang kurasakan saat mengenang kembali tentangnya. Kenangan selama enam tahun, selama dua tahun aku tanpa sadar melupakannya. Dan kini, dalam kebingungan karena kenyataan aku sangat merindukan namanya. Dan aku sadar aku sempat tak ingin membuang lagi rasa ini. Aku, tanpa aku sadar telah memendam perasaanku sendiri. Bahkan aku sekarang merasa malu untuk mengatakannya.”Aku terisak sambil memeluk bantal, Ginna menatapku iba ia tak mengatakan apapun selain menepuk lembut punggungku.“Aku takut. Aku takut akan sakit kembali aku takut akan jatuh lagi, seandainya aku merasakan semua itu tak sendirian, mung
Mereka terus berjalan hingga tiba di pusat festival, di depan mereka berdiri panggung sederhana yang dihias lukisan mural. Di atas panggung seorang MC baru saja memanggil band perkusi yang akan menghibur mereka. Keyla memandang penasaran pada Lexi, genggaman tangan Lexi mengerat. “Kamu mau nonton perkusi dulu, Lex?” Tanya Keyla, setahunya mereka datang kesini untuk melihat penampilan kenalan Lexi di lomba dance. “Lexi!” Teriak seorang perempuan, entah darimana datangnya –mungkin Lexi melihat perempuan itu datang, Keyla menyadarinya dari genggaman tangan Lexi –tapi saat ini perempuan itu tengah berjalan mendekati mereka. Agistha. Meski tak pernah bertemu langsung namun karena berkali-kali Keyla melihat foto Agistha di profil Lexi membuat Keyla hafal betul, perempuan bergaun sequin merah muda selutut di depannya ini Agistha. Sebenarnya, apa yang dikenakan Agistha siang ini tidak begitu sesuai dengan konsep festival tahun ini, kebanyakan pengunjung berpakaian casual dan santai sement
"Mas, aku lapar. Kita mampir makan dulu, ya!"Keyla memecah kecanggungan yang terjadi diantara mereka, ia tidak suka dengan sikap Daffa yang sekarang. Terlebih Keyla tahu penyebab menghilangnya keceriaan Daffa. Keyla harus bisa menyadarkan Daffa. Sampai kapanpun, Atika sudah menjadi bagian dari masa lalunya."Boleh, mau makan di mana?" tanya Daffa masih dengan pikiran entah berada di mana, hanya raganya yang ada di samping Keyla. Sebuah keberuntungan kalau sekarang mereka tidak mengalami kecelakaan.Keyla menyalakan ponsel dan membuka aplikasi peta, mencari restoran terdekat."Seratus meter lagi belok kanan, terus ada restoran makanan khas sunda. Kita makan di sana, ya. Aku kangen makanan rumah!"Daffa mengangguk tanpa membantah. Sesuai dengan instruksi dari Keyla, pria itu menjalankan kendaraannya menuju tempat yang dimaksud.Alunan musik gending menyambut pendengaran Keyla begitu melangkahkan kaki memasuki ruangan berbentuk saung raksasa. Hatinya semakin teriris mendengar musik yang
"Hai! Aku masuk, ya!"Cindy lagi-lagi dengan mandiri mempersilakan dirinya masuk ke dalam rumah Keyla. Gadis itu juga tanpa beban duduk di sofa empuk di ruang tamu Keyla."Wah,Tante Andini selalu bilang kalau kamu itu keponakannya yang paling lemah dan dia gak suka dengan sikap mu itu. Tapi melihat rumah yang dia berikan sebagus ini, tante Andini sangat menyayangimu!" Cindy berkomentar sambil menyapukan pandangannya mengitari ruangan itu. "Tapi kamu keponakan yang kejam, tante Andini sekarang dipenjara tapi kamu bisa santai-santai di sini!"Keyla memangku kedua tangannya di depan dada menatap sinis kepada Cindy."Langsung saja, kamu mau apa ke sini? Dan bagaimana hubunganku dengan tante Andini itu bukan urusanmu!"Cindy mengabaikan pertanyaan Keyla, sebaliknya gadis itu malah asyik memainkan ponselnya."Hei! kamu tuli, ya!" teriak Keyla kehilangan kesabaran, efek menenangkan dari obat yang ia minum juga ikut menghilang berkat kehadiran tamu tak diundang ini.Cindy mendecak sebal lalu
"Kapan pesawat Elang tiba?" tanya Atika untuk kesekian kalinya hari itu.Rika yang sedang menemani nyonya mudanya merajut topi bayi tersenyum dan melirik jarum jam di tangannya."Seharusnya satu jam lagi Tuan Muda sampai. Nyonya lebih baik bersiap-siap sekarang," usul Rika membantu Atika merapikan gulungan benang-benang rajut di pangkuan Atika.Atika bangkit dan berjalan cepat menuju kamar tidurnya. Hatinya berbunga-bunga mengingat sebentar lagi akan bertemu secara langsung dengan Elang. Meski selama tujuh hari terakhir, keduanya rutin berkomunikasi melalui panggilan video tanpa satu hari terlewat, tetap saja pertemuan secara tatap muka lebih membuat Atika antusias. Selain itu, ini kali pertama Atika ditinggal pergi lebih dari tiga hari oleh suaminya. Dan, bolehkah Atika lagi-lagi menyalahkan hormon kehamilan atas rasa rindu yang membuncah untuk suaminya?Lima belas menit kemudian, Atika keluar dari kamar tidurnya dengan penampilan yang lebih rapi dan segar. Kaus oblong serta celana
"Jangan pernah tunjukkan lagi wajahmu di sekitar SJ Grup. Perusahaan sudah mengirimkan pesangon sesuai kinerjamu selama ini. Kami harap kamu mengerti ini tindakan yang baik untuk semua pihak."Daffa mengemasi barang-barangnya sementara kalimat pamungkas dari kepala HRD terus terngiang di kepalanya. Seingatnya ia tidak melakukan kesalahan fatal yang bisa membuatnya dipecat secara sepihak seperti ini. Tetapi keputusan itu jatuh seperti petir yang menyambar di siang hari tanpa hujan, tidak ada peringatan sama sekali."Ini keputusan mutlak dari pimpinan perusahaan, saya hanya menyampaikan pesan. Saya minta maaf," ucap kepala HRD saat Daffa menanyakan alasan ia dipecat."Pak Elang yang memecatku langsung?" Kepala HRD terdiam sejenak seperti sedang mempertimbangkan sesuatu. "Seharusnya saya tidak mengatakan ini, tetapi saya pikir ada baiknya kamu tahu. Pak Elang sekarang tidak lagi memiliki kendali penuh pada perusahaan. Perusahaan diambil alih oleh Bu Helen, nenek Pak Elang, istri mendian
“Tolong, Java Latte satu.”Sambil mengambil uang dari dompet, aku berfikir betapa mahalnya hidup di Korea Selatan. Berbeda dengan di Indonesia. Satu gelas kopi di sini, harga nya sama dengan sepuluh gelas kopi di Indonesia. Dan bahan kopi yang kubeli sekarang itu berasal dari negaraku, tidak adakah diskon khusus?“Tidak Nona, tidak ada hak istimewa di sini!” bisa kubayangkan pasti itu jawaban pramusaji.Meski mahal, aku selalu menyempatkan dua atau tiga hari sekali minum kopi. Sedikit kenyamanan tentunya tak berdosa.Genap satu tahun aku tinggal di Korea Selatan. Bagiku rasanya seperti seabad. Benar-benar rindu rumah. Dulu aku merasa kesal dengan ceramah Mama tapi sekarang aku sangat ingin dimarahi panjang lebar oleh Mama. Mama pasti akan memarahiku karena aku terlalu sering mengeluarkan uang, atau karena aku masih suka mengigiti kuku jempolku.“Keyla! Ke sini gabung!”Aku menoleh ke kanan, di sana duduk dua orang pria dan satu wanita. ketiganya temanku sesama penerima beasiswa di Kor
Perkataan tadi seperti sebuah gada menghantam kepalaku. Benar, aku berada dalam situasi kritis. Bagi Kim Jae Hee keadaan ini sangat berbahaya, dan untukku juga tak kalah berbahaya. Berita-berita miring di sini bisa lebih parah dibanding di Indonesia. Kalau pihak kampus sampai mendengar, hancurlah nama baik yang baru kubangun. Kami berdiri berhadapan. Aku benar-benar tak mampu bicara. Tak kukira kondisinya bisa sedramatis ini. Kim Jae Hee juga sepertinya lebih bingung dariku. Ia berjalan menjauh lalu menyandarkan punggung ke salah satu bilik. Ia menatap bayangannya sendiri dalam cermin di hadapannya. Harus melakukan sesuatu. Aku berjalan mengelilingi toilet, mencari-cari jalan keluar tersembunyi.“Tidak ada jalan keluar lain selain dari pintu itu,” kata Kim Jae Hee skeptis.“Bagaimana kamu tahu?”“Sudah kucari dari tadi.”“Hah, Kapan?”“Sebelum kamu mengeluarkan kepalamu.” Kim Jae Hee melirikku sekilas, kupastikan jantungku berada pada tempatnya. Ia lalu berbicara pada ponselnya, seme