Aku menoleh kebelakang terdapat Ibu sosialita, bahkan emasnya bertumpuk banyak di pergelangan tangan. "Nggak Bu, aku hanya bawa dia jalan-jalan aja. Soalnya anak Ibu tadi jalan sendiri samperin aku," paparku terlihat Ibu itu tidak percaya. "Bohong kamu," ucap Ibu tersebut melirik sekeliling. "Tolong ada yang mau culik anak saya."Aku menggeleng, apa banget sih. Mana mungkin aku menculik anak kecil ini, aduh gimana kalo aku ditangkap?Mana Adelio ya, aku menurunkan anak kecil itu lalu membekap mulut Ibu tersebut. "Bu, aku nggak culik anak Ibu. Kenapa sih nuduh terus?" kesalku menekan bekapan itu. Ibu itu meronta, melepaskan tanganku dari mulutnya. Ada beberapa orang mendekat memperhatikan kami. "Ini Pak, dia tadi culik anak saya," tuduh Ibu itu menunjuk ke arahku. Aku menggeleng cepat. "Kenapa Ibu nuduh aku? Coba tanya anaknya, ini tuh hanya salah paham," kataku begitu emosi. Jujur ini hal merugikan untukku, mana dituduh segala. Apa pikirannya tidak ada?"Bohong kamu, mana ada s
Di hari yang cerah, aku memilih pergi sekolah sendiri padahal Adelio memaksa meminta pergi bersama. Aku enggan karena ingin sendiri dulu, mengingat kejadian kemarin huh! Hal tidak terduga, saat aku masih dalam mobil melihat Zara turun dari mobil seseorang. "Ngapain dia?" kataku menyipitkan mata memperhatikan gerak-geriknya.Cara jalannya sangat berbeda, sedikit mengangkang. Aku menganga tidak percaya, jadi itu seriusan di aborsi?Astaga, Zara tidak punya hati please! Tapi dari wajahnya juga sangat pucat. "Dih, manusia paling jahat sih," ucapku merinding dengan tingkah Zara. Aku turun dari mobil berjalan dibelakang Zara, tidak ada yang mengibah dirinya. Padahal masalah Zara sangat besar, apa ada sesuatu membungkam mereka semua?"Kalo gue aja, di gosipin sampe seminggu lebih dih," gumamku kesal. Karena tidak ingin Zara terlihat tenang, akupun berjalan cepat dan menyenggol bahunya. "Aduh, sakit banget," keluh Zara meringis kecil melirikku tajam. Zara bergeser beberapa langkah, ak
Mataku melototi mendengar suara tersebut, kami berdua menoleh secara bersamaan. Di mana Ibu Aini sudah berkacak pinggang. "Gimana rasanya?" tanya Ibu Aini tersenyum kecil. "Ibu mau?" tawar Adelio menyodorkan susu kotak. Aku meneguk ludah, memilih memakan kembali bakso tersebut. Dan pura-pura tidak terjadi sesuatu. "Nggak!" sentak Ibu Aini kepada Adelio. Dengan mengelus dada, aku kembali menoleh dan mengedipkan mata beberapa kali. "Kenapa kalian berdua ke kantin di jam segini?!" Bingung ingin menjawab apa, aku melirik Adelio tersenyum tidak merasa bersalah. "Jam berapa ya?" tanya Adelio kepadaku. "Nggak tau," jawabku menggigit bibir bawah. Ibu Aini seketika emosi dengan jawaban kami berdua, aku bisa merasakan aura gelap yang keluar dari tubuhnya. "Jam aja nggak tau! Ini jam pelajaran, seharusnya kalian berdua di dalam kelas," jelas Ibu Aini menghela napas berat. Kami berdua saling menoleh, aku sedikit khawatir akan dihukum kembali. Sehingga aku berbisik ke telinga Adelio b
Kami berada di rumah setelah beberapa jam di RS, mengingat perkataan Bunda Delyna aku sedikit terkejut. Orang sekalem Bunda Delyna berkata seperti itu? Siapa tidak terkejut coba, aku saja di sana langsung menganga dengan mata melotot. "Lo kenapa?" tanya Adelio menepuk bahuku. Sekarang kami berada di ruang makan, tidak sempat memasak jadi sebelum pulang kami mampir membeli pizza. Aku tersenyum kecil. "Cuma keinget Bunda aja sih, gue kaget loh pas Bunda bilang gitu.""Bilang apa emangnya?" tanya Adelio mendongak ke arahku. "Masukin orang ke penjara terlihat sadis tau, kan Bunda lo kalem tuh," balasku menyuapi Adelio. Adelio dengan senang hati menerima sodoran pizza dariku, dan hanya terkekeh. "Namanya juga orang tersayang, semisal gue digituin kayak Ayah. Apa lo lakuin diem aja atau cari tau sebenernya?" papar Adelio menatapku begitu lekat. Tatapan kami bertemu, dih mana ada aku biarkan. Jika Adelio terjadi sesuatu, kan dia suamiku. "Cari tau sebenernya, dan gue masukin ke penj
"Haha, nggak bakal ada Adelio," kata Ghifari mengejekku. Tatapannya sangat mengerikan, tubuhku menegang dengan hawa panas dingin. Padahal ruangan begitu dingin, hanya aku merasakan hal berbeda. Apalagi Ghifari makin mendekat. "Gue udah lama ingin dapatin lo." Ghifari berkata sambil menarik tanganku. Gilanya, dia menarik hanya untuk memelukku. Jujur, ini hal menyiksa bagiku. Rasa takut mendalam di mana Ghifari mengelus helai rambutku secara perlahan. "Apa gue harus lakuin sesuatu, biar lo jadi sepenuh milik gue, Ranesya?" Ghifari mengecup puncak kepalaku. Tidak menjawab, aku mendorong dadanya untuk menjauh tapi ditahan oleh Ghifari. "Lo mau kemana, lo nggak ada niatan sama gue aja?" tanya Ghifari memelas. Aku melonggarkan pelukan, mendongak menatapnya intens. "Nggak, soalnya Adelio itu cowok gue dan orang spesial gue punya," jawabku begitu menusuk. Tiba-tiba saja pipiku di tekan hingga seperti ikan buntal, Ghifari seolah tidak terima apa yang aku katakan. "Spesial kata lo,
Aku melangkah di lorong sekolah, karena pagi sekali Adelio sudah rajin membangunkan aku. Hanya tidak aku sangka, terdapat ketiga cabe-cabean di depanku. Tidak lain Tasya, Trisya dan Zara. "Minggir bisa nggak?" hardikku menatap ketiganya malas. Bukannya mikir, tidak ada akalnya mereka menghadang diriku. Lebih gilanya Zara masih sanggup berjalan?Sudah tidak waras Zara itu, aku berdecak mendorong Trisya. Apa mereka tidak mengerti aku sedang malas bertengkar. "Berani banget lo!" kesal Tasya menarik tanganku. Aku tidak bisa bergerak kemana-mana, aku menoleh kebelakang. Bahkan Zara masih bisa tersenyum, apa dia tidak merasa bersalah?"Iyalah, lo juga bukan siapa-siapa di sini jangan ngatur gue," kataku menarik paksa tanganku dari cengkalnya. "Takut ya lo sama kita?" kata Trisya tiba-tiba tersenyum miring. Aku melihat senyum itu, ingin ngamuk rasanya. Siapa yang takut dengannya? Aku bisa lawan mereka sekaligus. "Kenapa mata lo, mau keluar ya?" ejek Zara tertawa kecil. Trisya maupun
"Dasar berandalan! Lihat nih, baju gue basah gara-gara lo!" Aku, Ranesya Adipurna, kelas 11 MIPA 1 di SMA Angkasa Jaya Aku siswi teladan dan tercantik di sekolah. Usiaku 17 tahun. Rambutku lurus sebahu dan berwarna hitam kemilau. Kata orang, penampilan yang rapi dapat memberikan kesan positif dan meningkatkan rasa percaya diri. Makanya, aku kesal saat bajuku basah gara-gara siswa berandalan itu menumpahkan minumannya. Siswa berandalan itu namanya Adelio Andres. Dia hobi membuat masalah. Dia tidak tahu aturan dan tidak punya tata krama. Pokoknya, Adelio adalah cowok menyebalkan yang pernah aku temui di sekolah. Adelio menatapku tanpa ekspresi. Sepertinya, dia ingin mengatakan sesuatu padaku. Aku yakin, dia pasti mau minta maaf. Aku pun menyeringai. Terlintas ide di benakku. Aku berniat untuk tidak akan memaafkannya dengan mudah. "Siapa suruh lo jalan nggak pake mata?!" Aku berhenti memainkan poni, lalu melototi Adelio. Suasana kantin kembali memanas. Siswa dan siswi berdiri
Aku pulang dengan perasaan jengkel, mengingat aku dihukum karena ulah Adelio!"Nggak akan lagi gue ketemu dia! Nggak akan pernah!" gerutuku memasuki rumah, namun ada kedua orang tuaku di depan pintu. Kedua orang tuaku bernama Guntur Adipurna dan Cahaya Amerta. Aku menghampiri mereka terlihat wajah tegang. "Kalian kenapa, kok keliatan ada sesuatu disembunyikan?" tanyaku memeluk Papa Guntur dari samping. Papa Guntur mengelus rambutku lembut. "Nggak ada kok sayang, kenapa berpikir seperti itu?"Aku menggeleng saja tanpa mau menjawab. "Kebetulan Papa mau bilang sesuatu," ucap Papa Guntur menghela napas panjang. Sementara aku melirik Mama Cahaya yang tidak berkata-kata tapi raut wajahnya sendu. "Sebelumnya Papa minta maaf sama kamu, apakah kamu mau menikah dengan Adelio Andres?" ucap Papa Guntur, beda denganku langsung melepaskan pelukan Papaku. Aku menganga tidak percaya kejadian ini. "Maksud Papa apa?" "Perusahaan kita tertimpa masalah sayang, Papa minta bantuan dengan keluarga A
Aku melangkah di lorong sekolah, karena pagi sekali Adelio sudah rajin membangunkan aku. Hanya tidak aku sangka, terdapat ketiga cabe-cabean di depanku. Tidak lain Tasya, Trisya dan Zara. "Minggir bisa nggak?" hardikku menatap ketiganya malas. Bukannya mikir, tidak ada akalnya mereka menghadang diriku. Lebih gilanya Zara masih sanggup berjalan?Sudah tidak waras Zara itu, aku berdecak mendorong Trisya. Apa mereka tidak mengerti aku sedang malas bertengkar. "Berani banget lo!" kesal Tasya menarik tanganku. Aku tidak bisa bergerak kemana-mana, aku menoleh kebelakang. Bahkan Zara masih bisa tersenyum, apa dia tidak merasa bersalah?"Iyalah, lo juga bukan siapa-siapa di sini jangan ngatur gue," kataku menarik paksa tanganku dari cengkalnya. "Takut ya lo sama kita?" kata Trisya tiba-tiba tersenyum miring. Aku melihat senyum itu, ingin ngamuk rasanya. Siapa yang takut dengannya? Aku bisa lawan mereka sekaligus. "Kenapa mata lo, mau keluar ya?" ejek Zara tertawa kecil. Trisya maupun
"Haha, nggak bakal ada Adelio," kata Ghifari mengejekku. Tatapannya sangat mengerikan, tubuhku menegang dengan hawa panas dingin. Padahal ruangan begitu dingin, hanya aku merasakan hal berbeda. Apalagi Ghifari makin mendekat. "Gue udah lama ingin dapatin lo." Ghifari berkata sambil menarik tanganku. Gilanya, dia menarik hanya untuk memelukku. Jujur, ini hal menyiksa bagiku. Rasa takut mendalam di mana Ghifari mengelus helai rambutku secara perlahan. "Apa gue harus lakuin sesuatu, biar lo jadi sepenuh milik gue, Ranesya?" Ghifari mengecup puncak kepalaku. Tidak menjawab, aku mendorong dadanya untuk menjauh tapi ditahan oleh Ghifari. "Lo mau kemana, lo nggak ada niatan sama gue aja?" tanya Ghifari memelas. Aku melonggarkan pelukan, mendongak menatapnya intens. "Nggak, soalnya Adelio itu cowok gue dan orang spesial gue punya," jawabku begitu menusuk. Tiba-tiba saja pipiku di tekan hingga seperti ikan buntal, Ghifari seolah tidak terima apa yang aku katakan. "Spesial kata lo,
Kami berada di rumah setelah beberapa jam di RS, mengingat perkataan Bunda Delyna aku sedikit terkejut. Orang sekalem Bunda Delyna berkata seperti itu? Siapa tidak terkejut coba, aku saja di sana langsung menganga dengan mata melotot. "Lo kenapa?" tanya Adelio menepuk bahuku. Sekarang kami berada di ruang makan, tidak sempat memasak jadi sebelum pulang kami mampir membeli pizza. Aku tersenyum kecil. "Cuma keinget Bunda aja sih, gue kaget loh pas Bunda bilang gitu.""Bilang apa emangnya?" tanya Adelio mendongak ke arahku. "Masukin orang ke penjara terlihat sadis tau, kan Bunda lo kalem tuh," balasku menyuapi Adelio. Adelio dengan senang hati menerima sodoran pizza dariku, dan hanya terkekeh. "Namanya juga orang tersayang, semisal gue digituin kayak Ayah. Apa lo lakuin diem aja atau cari tau sebenernya?" papar Adelio menatapku begitu lekat. Tatapan kami bertemu, dih mana ada aku biarkan. Jika Adelio terjadi sesuatu, kan dia suamiku. "Cari tau sebenernya, dan gue masukin ke penj
Mataku melototi mendengar suara tersebut, kami berdua menoleh secara bersamaan. Di mana Ibu Aini sudah berkacak pinggang. "Gimana rasanya?" tanya Ibu Aini tersenyum kecil. "Ibu mau?" tawar Adelio menyodorkan susu kotak. Aku meneguk ludah, memilih memakan kembali bakso tersebut. Dan pura-pura tidak terjadi sesuatu. "Nggak!" sentak Ibu Aini kepada Adelio. Dengan mengelus dada, aku kembali menoleh dan mengedipkan mata beberapa kali. "Kenapa kalian berdua ke kantin di jam segini?!" Bingung ingin menjawab apa, aku melirik Adelio tersenyum tidak merasa bersalah. "Jam berapa ya?" tanya Adelio kepadaku. "Nggak tau," jawabku menggigit bibir bawah. Ibu Aini seketika emosi dengan jawaban kami berdua, aku bisa merasakan aura gelap yang keluar dari tubuhnya. "Jam aja nggak tau! Ini jam pelajaran, seharusnya kalian berdua di dalam kelas," jelas Ibu Aini menghela napas berat. Kami berdua saling menoleh, aku sedikit khawatir akan dihukum kembali. Sehingga aku berbisik ke telinga Adelio b
Di hari yang cerah, aku memilih pergi sekolah sendiri padahal Adelio memaksa meminta pergi bersama. Aku enggan karena ingin sendiri dulu, mengingat kejadian kemarin huh! Hal tidak terduga, saat aku masih dalam mobil melihat Zara turun dari mobil seseorang. "Ngapain dia?" kataku menyipitkan mata memperhatikan gerak-geriknya.Cara jalannya sangat berbeda, sedikit mengangkang. Aku menganga tidak percaya, jadi itu seriusan di aborsi?Astaga, Zara tidak punya hati please! Tapi dari wajahnya juga sangat pucat. "Dih, manusia paling jahat sih," ucapku merinding dengan tingkah Zara. Aku turun dari mobil berjalan dibelakang Zara, tidak ada yang mengibah dirinya. Padahal masalah Zara sangat besar, apa ada sesuatu membungkam mereka semua?"Kalo gue aja, di gosipin sampe seminggu lebih dih," gumamku kesal. Karena tidak ingin Zara terlihat tenang, akupun berjalan cepat dan menyenggol bahunya. "Aduh, sakit banget," keluh Zara meringis kecil melirikku tajam. Zara bergeser beberapa langkah, ak
Aku menoleh kebelakang terdapat Ibu sosialita, bahkan emasnya bertumpuk banyak di pergelangan tangan. "Nggak Bu, aku hanya bawa dia jalan-jalan aja. Soalnya anak Ibu tadi jalan sendiri samperin aku," paparku terlihat Ibu itu tidak percaya. "Bohong kamu," ucap Ibu tersebut melirik sekeliling. "Tolong ada yang mau culik anak saya."Aku menggeleng, apa banget sih. Mana mungkin aku menculik anak kecil ini, aduh gimana kalo aku ditangkap?Mana Adelio ya, aku menurunkan anak kecil itu lalu membekap mulut Ibu tersebut. "Bu, aku nggak culik anak Ibu. Kenapa sih nuduh terus?" kesalku menekan bekapan itu. Ibu itu meronta, melepaskan tanganku dari mulutnya. Ada beberapa orang mendekat memperhatikan kami. "Ini Pak, dia tadi culik anak saya," tuduh Ibu itu menunjuk ke arahku. Aku menggeleng cepat. "Kenapa Ibu nuduh aku? Coba tanya anaknya, ini tuh hanya salah paham," kataku begitu emosi. Jujur ini hal merugikan untukku, mana dituduh segala. Apa pikirannya tidak ada?"Bohong kamu, mana ada s
Malam harinya, Adelio mengajakku suatu tempat entah di mana. Yasudahlah, aku hanya mengikuti apa yang Adelio mau. Dengan jaket couple, bahkan kacamata ikut serta dari bagian kami pakai. Terlihat alay, hanya aku mengingat jika Adelio berbeda dari cowok yang lain. "Kek alay ya," celetukku di mana Adelio berpose sok keren. Adelio hanya terkekeh merangkul diriku. "Mana ada alay, lo liat nih keren banget kita," kata Adelio memutarkan diriku yang berdecak kesal. Kali ini Adelio memotret diriku yang tidak memiliki ekspresi, sampai Adelio menarik kedua sudut bibirku biar terlihat tersenyum. "Nah, ginikan cantik," lanjut Adelio kesana-kemari hanya memfotoiku saja. Sangat tidak bisa diam ya ini anak? Sifatnya sudah keluar jametnya, aku sampai tidak habis pikir bisa menikah dengan Adelio. "Bacot lo, yaudah ayo," ajakku menarik pergelangan tangannya. Adelio tidak menjawab hanya terkekeh kecil mengikutiku dari belakang. "Lo pendek ya," ledek Adelio. Aku berhenti tiba-tiba, terjadilah Ad
Pulang sekolah, bukannya balik ke rumah kami. Adelio mengajakku ke rumah keluarganya. Ternyata di sana sudah ada keluargaku juga, dan tidak aku ketahui. Sore ini akan piknik ke taman. "Lo masih pakai baju sekolah?" tanya Jean melirikku dari bawah ke atas. Di ruang tamu hanya kami berdua, karena yang lain asik mempersiapkan apa yang akan dibawa.Adelio juga katanya ingin memilihkan baju yang bagus untukku, jadi aku mengangguk saja. "Kenapa emangnya, nggak suka?" balasku memajukan diri sok songong. "Dih, gue nanya doang," sahut Jean mendorong kepalaku. Tidak sadar, jika Adelio datang menenteng baju untukku. Mana bajunya sengaja banget dilebarkan. "Adelio?! Bajunya kenapa kayak gitu?" pekikku mendekat menggulung biar Jean tidak melihatnya. Gila bajunya terlalu seksi. Mana mungkin aku memakainya untuk piknik, apa dia tidak berpikir dahulu?"Lah kenapa?" tanya Adelio bingung menatapku polos. Aku menabok tangannya, kali ini Adelio meringis sedikit menjauh. "Pake nanya lagi, ini tu
"Ghifari," gumamku menatap tidak percaya. Kali ini Ghifari dengan berani berlari kearahku, dia langsung diserang 3 orang sekaligus. Dan aku tidak bisa lepas karena ditahan, Ghazi dengan senyum miring mendekat memegang daguku. "Gue ngilang bukan berarti nggak akan ngelakuin sesuatu, lo tuh emang kelemahan Adelio," papar Ghazi tertawa mengejek. Tidak menjawab, aku hanya mendengus berfokus ke Ghifari sudah terduduk. Argh, dia pasti kalah kalo seperti ini. Aku mengingat jika Ghifari tidak bisa berkelahi, bagaimana Ghifari mau melawan kalo begitu yang ada dia bisa mati. "Haha, liat teman lo cemen banget." Ghazi mengarah daguku begitu kasar ke Ghifari sedang terluka. Bahkan, anak buah Ghazi masih saja menendang brutal Ghifari itu. "Lepasin Ghifari!" teriakku yang tidak begitu jelas. Ghazi langsung melepaskan tangannya dari daguku, tidak merasa bersalah. Ghazi ikut mendekati Ghifari. Gilanya, Ghazi melakukan tidak pernah aku bayangkan. Di mana Ghazi memukul Ghifari hingga pingsan.