“Siap!” seru Bram yang semakin bersemangat saja dengan ide kembalinya dia ke kampus.Ide ini kemudian dikatakan Bram sepulangnya dia ke rumah Enin, wanita paruh baya itu terlihat begitu bahagia ketika keinginan itu diutarakan oleh cucunya yang sangat dia sayangi.“Kau pantas mempertahankan Widi! Dia itu anak yang baik,” tutur Enin sambil terus mengelus lembut kepala Bram.Mendengar pujian itu tentu Bram jadi senang, dia tak menyangka jika neneknya bisa suka pada Widi padahal sebelumnya dia sering kesal karena sikap manja istri kayanya.“Kalau kau kembali ke kampus, kau harus siap dengan semua cemoohan teman-temanmu, ya!”Bram menarik senyumnya ketika petuah itu terlontar dari neneknya. Dia kembali teringat pada ketakutannya dulu. “Iya!”“Jangan patah semangat! Ingat, Enin akan selalu mendukungmu. Widi juga pasti akan sepemikiran dengan Enin.”Helaan nafas terlepas dari tubuh Bram, dia lalu tersenyum tipis di hadapan neneknya lalu meletakkan kepalanya di pangkuan wanita paruh baya ini.
“Kenapa, Bram?” tanya Enin begitu wajah Bram berubah cemas.“Pak Warsa, pengacara yang akan membantuku kembali ke perusahaan ayah Widi kecelakaan!” Tangan Bram segera mematikan ponselnya lalu berdiri. “Aku harus cepat!”“Dia dimana sekarang?”“Di rumah sakit. Ini Widi sedang WA alamat rumah sakitnya,”Bram segera masuk kamar mandi untuk berganti baju kemudian keluar dengan setelan baju rapi dan rambut yang sudah dia sisir.“Rapi sekali,” puji Enin yang tak pernah melihat cucunya serapi ini.“Aku harus terlihat rapi di depan keluarga istriku agar mereka tak memandangku sebagai mantan napi narkoba,”Enin yang mendengar alasan cucunya terkekeh karena sebelumnya Bram tak pernah memperdulikan pandangan orang tentang dirinya.“Kenapa Enin tertawa?”“Lucu aja” jawabnya ringan.Bram yang tak mau buang-buang waktu kemudian melangkah ke halaman dan menemukan sebuah motor matic terparkir di sana. “Nin!” panggil Bram sambil menunjuk ke motor hitam itu. “Ini punya siapa?”“Oh! Itu punya ibumu. Dia
“Jadi kau mengijinkan aku tak kembali ke perusahaan ayahmu?” “Bukan begitu ceritanya!” tegas Widi yang segera menarik tangan suaminya menuju sebuah kantin kecil tak jauh dari tempat mereka berada.“Kita kemana?”“Ikuti aku saja,” pinta Widi lalu duduk di kursi kayu di pojok kantin lalu meminta Bram duduk dekatnya.Bram tak menolak, dia mengikuti permintaan Widi dan mulai mendengarkan rencana baru dari istrinya.Widi terus meyakinkan jika ibunya seperti itu karena Dory dan dia berharap suaminya mau menjauhkan sepupu itu tanpa kekerasan.“Tapi bagaimana caranya?” tanya Bram mencoba mengerti maksud dari rencana sang istri.“Itu yang belum aku ketahui,”Bram menghela nafas sambil menyandarkan punggungnya ke tembok kantin. “Tak akan mudah menyingkirkan dia dari ibumu karena dia tau ibumu akan memudahkan rencana jahatnya,”Hah!Widi nampak kesal karena tak menemukan jawaban yang dia harapkan. “Jangan kesal dulu, nanti kita tanya Kholil!”Dagu Widi segera menopang ke tangannya lalu wajah c
"Bram! Kenapa kau diam saja?" tanya Widi yang kesal dengan sikap Bram padanya."Tapi ibumu bersalah!" tegas Bram yang tau dia tak mungkin main-main soal hukum dengan Pak Warsa. "Kau harus rela ibumu dihukum kalau ternyata dia,""Cukup!" teriak Widi sambil mendorong suaminya. "Kalau sampai dia dihukum, aku tak akan mau kembali padamu!""Eh!" Bram meraih tangan Widi yang membalikkan badannya dengan cepat dari hadapannya. "Jangan begitu, Widi!" "Tidak! Aku tak akan rela jika kau memenjarakan ibuku," ucap Widi sambil terisak. "Aku baru saja kehilangan ayahku, sekarang kalian akan memenjarakan ibuku!""Sayang," Bram memeluk tubuh Widi yang mulai menangis sejadinya, dia tau wanita ini sangat lemah untuk urusannya dengan keluarga kaya yang selalu menopang hidupnya. "Aku akan melindungimu, tapi kalau ternyata kau,""Diam!" Widi meronta meminta Bram melepas pelukannya. "Jangan sentuh aku!" Widi berlari meninggalkan Bram dan Kholil berdua di sana."Ih, kenapa dia jadi seperti itu?" Kholil meli
"Jadi aku harus bagaimana?""Kau harus optimis, berbaik sangka atas apa yang akan kau hadapi kelak. Percayalah. Kalau kau sudah terbiasa maka kau akan punya hidup yang lebih berarti!" jelas Kholil dengan penuh penekanan.Bram sebenarnya tak sepenuhnya mengerti akan apa yang dikatakan oleh Kholil, tapi dia tetap mengangguk sebagai tanda dia menghargai nasehat dari pria tinggi besar ini. Dia kemudian melangkah pulang kerumah Enin sambil terus memikirkan tulisan yang ada di wallpaper ponselnya.Wajahnya yang terus menunduk membuat Enin penasaran. Wanita paruh baya itu lalu mendekati Bram yang memang semenjak pulang dari RSKO selalu saja merenung sendirian di malam hari.Tangan wanita paruh baya itu lalu meraba bahu Bram sebelum mulai bertanya akan kegalauan hatinya."Kau sudah makan?""Sudah," jawab Bram lirih. "Tadi makan sama Kholil sambil ngobrol.""Ngobrol apa?""Soal prasangka umat. Ku tak begitu paham tentang itu, tapi aku rasa dia benar.""Prasangka umat? Apa yang Ujang maksud?"
"Terima kasih, Pak," ucap Bram dengan lembut saat percakapannya di sambungan telepon yang tak lama itu akhirnya dia akhiri.Tangannya segera meletakkan ponselnya dengan wajah penuh kelegaan."Siapa itu?" tanya Enin sekali lagi berharap kali ini cucunya akan memberikannya jawaban."Itu tadi Pak Warsa, Nin!""Dia bilang apa?"Bram membaringkan tubuhnya di lantai sambil tersenyum simpul menambah penasaran wanita paruh baya ini. "Dia cuma minta aku ke kantor besok,""Ada apa?" tanya Enin sekali lagi dan kali ini sambil mendorong bahu Bram yang tak juga bergeming dari tempatnya."Cuma diminta memeriksa berkas, tak banyak yang dia katakan," Enin menghela nafasnya lalu matanya pun segera menyipit. "Tak mungkin hanya bicara begitu. Aku yakin kau tak katakan semuanya,""Ih!" Bram bangkit dari tempatnya berbaring lalu memeluk neneknya yang begitu penasaran dengan apa yang tadi dia perbincangkan. "Pokoknya Enin tahu beres!""Kau yakin tak ada hal penting lain yang dikatakan pria tua itu?'"Ya
"Sekarang bagaimana?" tanya Bram bingung. "Kita kumpulkan dulu semua data yang kita butuhkan. Aku yakin Dory masih menyimpan banyak rahasia di data perusahaan," "Dan kita akan menemukan semuanya di sini?" Warsa mengangguk lalu mencari lebih jauh semua dugaannya pada sepupu Widi itu. Selama Warsa mencari data yang dia mau, Bram hanya termenung membayangkan semua kemungkinan buruk jika Dory sampai tertangkap, termasuk soal ibu mertuanya yang semakin jelas hubungannya dengan pria jahat itu. Brak!Sebuah folder berkas terjatuh ke lantai dan Bram terperanjat di buanya. "Apa itu?" tanya Bram mengarahkan lampu meja ke arah suara. "Sepertinya ada tikus," "Hah! Bagaimana mungkin tempat ini ada tikusnya?" "Memang seperti itu adanya?" Bram berdiri lalu mendekati folder itu untuk meyakinkan berkas di dalamnya masih dalam keadaan baik. "Lihat!" tunjuk Bram menyadari berkas itu sudah sebagian dimakan tikus. "Apa?" "Berkasnya! Wah! Kalau begini data di ruangan ini tak aman dari hewan," "
"Kenapa kau diam saja?" "Andai mertuaku terlibat, apa yang harus aku lakukan?" "Tentu saja kau harus melaporkannya ke polisi!" "Tak akan semudah itu, Pak!" kesal Bram lalu menghembuskan nafasnya. "Kalau aku melaporkan mertuaku sendiri ke polisi, bisa-bisa istriku marah!" "Astaga, Anak muda. Kau benar-benar dalam masalah kalau seperti itu adanya," Bram kembali tak menjawab, dia hanya manggut-manggut mencoba mencari pemecahan atas masalah pelik yang sedang dia hadapi. Kring! Ponsel Bram berdering dan dia segera menjawabnya. "Halo!" ["Kau dimana?"] tanya Widi dengan suara berbisik. "Aku di lantai 5 dengan Pak Warsa," ["Aku kesana!"] Widi langsung menutup panggilan telepon dan tak lama kemudian mengirim pesan jika dia sudah ada di depan lift. "Aku susul Widi dulu. Bapak di sini saja," pinta Bram lalu melangkah keluar ruangan dan tak lama kemudian kembali bersama istrinya yang nampak cantik dengan dress bunga berwarna merah. "Kenapa kalian ada di ruangan ini?" tanya Widi penasar
"Iya, benar! Aku juga dengar kabar itu!" kesal Widi lalu memejamkan mata. "Aku lelah dengan keadaan ini!""Kalau begitu apa yang akan kau lakukan?" tanya Enin pada istri cucunya itu."Tapi kita tak bisa mengalahkan mereka saat ini. Kita terlalu lemah!" ucap Widi yang sadar jika ini tak bisa dia pecahkan sendiri."Jadi apa yang akan kau lakukan?" tanya Enin sekali lagi."Aku dan suamiku akan pergi untuk sementara dan kembali saat kami sudah cukup kuat melawan mereka.""Jadi kau mau pergi?" Enin tersentak mendengar rencana Widi. Sungguh dia tak menyangka jika dia akan berpisah dengan Bram sekali lagi padahal dia masih sangat ingin bersama sang cucu yang malang."Benar!" Bram membulatkan tekatnya. "Kita tak bisa mengalahkan mereka saat ini. Kita harus menghilang sementara dan kembali saat kita sudah kuat!""Tapi kau akan kemana?" Enin semakin sedih saja mendengar percakapan keduanya. "Nin, pahamilah. Bram tak cukup cerdas untuk membangun bisnis ayahku. Kami harus sekolah lagi dengan tek
Hari yang disiapkan Raka akhirnya tiba. Hari ini dia tiba di rumah Enin untuk menyusul Bram yang sudah begitu tampan dengan jaket kulit hitam dan koper dorongnya.Dengan setia Widi menggendong putrinya mengikuti langkah Bram yang begitu sumringah hari ini."Kalian jadi pergi?" tanya Enin yang sesekali menghapus air matanya. "Aku harap kalian tak lama," tambahnya."Nin, ini tak akan lama. Hanya sekolah singkat dan aku harap belum setahun kami sudah kembali," terang Raka tegas namun cukup menenangkan hati Enin."Baiklah, kami akan segera pergi! Aku rasa semakin cepat kita pergi semakin cepat juga kita kembali," ucap Bram sembari meraih tangan Enin dan menciumnya pelan."Jang, hati-hati di jalan. Enin selalu mendoakanmu semoga apa yang kau usahakan menjadi mudah dan lancar,""Aamiin!" seru semuanya lalu mulai berjalan meninggalkan rumah wanita paruh baya itu.Bram tak menoleh kebelakang, ada hati yang terlalu rapuh untuk kembali berpisah dengan sang nenek yang begitu menyayanginya."Kena
"Kalian yang akan membantuku membalas semua dendamku?" tanya Raka dengan senyumannya yang miring."Iya, kami akan membantumu!" tegas Warsa membuat mata Bram menyipit. "Kami?" tanya suami Widi itu lirih."Siapa anak muda ini? Aku tidak kenal?" tanya Raka dengan raut wajah meledek."Dia ini suaminya Widi," jawab Warsa lalu menepuk bahu Bram yang begitu kaku di depan pria tua yang akan membuatnya jadi orang yang akan ditakuti mertuanya."Kau yakin dia siap menghadapi keluarga Widi?" Raka masih tak percaya."Aku yakin dia bisa. Setelah semua kejahatan Dory dan Dwi tak mungkin dia tak bangkit untuk menunjukkan pada keluarga kaya itu akan keperkasaannya,"Raka tak cepat percaya, dia terus memandangi wajah Bram dengan seksama. Pria paruh baya itu seperti menemukan seberkas cahaya harapan di sana namun masih tertutup banyak keraguan yang diciptakan oleh Bram sendiri."Apa yang kau lihat, Tuan?" tanya Kholil yang ternyata sudah kenal pada sepupu mantan bosnya."Aku rasa dia memang perkasa, ta
"Itu tidak mungkin!" kesal Bram lalu berbalik badan menghindari Dwi yang menatapnya tajam seakan bersiap untuk menyantapnya."Tenang," bisik Kholil yang segera mendekati temannya itu. "Kau jangan terpancing. Kita harus tenang menghadapi,""Oh!" desar Bram memahami maksud perkataan temannya itu. "Kau benar!""Apa yang benar?!" pekik Dwi lalu menarik tangan menantunya itu dengan kasar. "Kau mau laporkan aku ke polisi, kan?""Iya!" jawab Bram lalu tersenyum meledek. "Menantu macam apa kau ini?! Lihat saja kau, kalau sampai aku kena masalah kau yang akan aku hancurkan!"Mendengar ancaman itu Bram tak bergeming. Toh bukan dia yang melaporkan mertuanya itu ke polisi dan bukan dia juga yang memulai perseteruan ini.Lama dia terdiam hingga mertuanya itu pergi meninggalkan ruangan tempat mereka berada. Bram terus memutar otaknya mencari tau siapa gerangan yang melaporkan mertuanya itu ke polisi dan tentunya karena dia juga harus menjaga perasaan istrinya yang kini juga adalah ibu dari anaknya
"Kamu!" teriak Bram sambil melangkah keluar dari bilik toiletnya dengan sangat marah. "Sudah kuduga kau memang orang jahat!""Ka--mu!" tunjuk pria itu lalu melirik ke arah temannya yang juga terkejut saat tau Bram ada di dalam toilet SPBU itu."Mau mengelak kau?!" kesal Bram lalu meraih tangan kurir itu bersiap untuk menghajarnya."Pak, dengar dulu,""Aduh kita ketahuan!" teriak rekan kurir itu bersiap untuk mengambil langkah seribu."Kau mau kemana?!" pekik Bram lalu menarik tangan kurir yang satunya dan...Hab!Sekali gerak saja kedua pria jahat itu berhasil dibekuk."Mau kemana kalian?!" kekeh Bram merasa menang lalu menarik ke duanya menuju mobilnya."Eh! Kita mau dibawa kemana ini?!""Diam! Kalian sudah tertangkap basah. Tak bisa lagi kalian mengelak!" teriak Bram lalu memasukkan keduanya yang tak bisa berkutik lagi ke dalam mobilnya.Brak!Bram membanting pintu dengan marah lalu mulai mengendalikan mobilnya menuju kantor. "Kau tau rasa sekarang. Aku akan laporkan kalian berdua k
"Hey! Kau!" teriak Bram sambil menunjuk ke pria mencurigakan yang wajahnya begitu kaget saat menyadari cucu Enin sudah semakin dekat dengan dirinya. "Jangan lari kau!" teriak Bram semakin lantang membuat beberapa orang yang ada di dekatnya terperanjat."Eh! Kenapa kau?" tanya pria asing itu dengan lantang."Kau kan orang yang mengawasi kami sejak tadi?! Kau pasti mau jahat pada nenekku?" teriak Bram bersiap mengirimkan bogem mentah ke mata kanan pria asing itu."Ih! Kamu salah orang!" teriak pria itu sambil mencoba menangkis tangan Bram yang sudah terlanjur melesat."Bram!" teriak Enin yang kebetulan keluar dari rumahnya. "Ada apa, Jang?""Ini, Nin! Orang ini mencurigakan, sejak tadi dia mengawasi kita dari sini. Aku yakin dia bersekongkol dengan orang-orang jahat itu!""Eh! Jangan asal tuduh, ya. Aku ini kurir, aku sedang berteduh sambil mencari alamat dari barang-barang yang sedang aku kirimkan!" kelipnya sambil menunjuk ke arah motor bebek berwarna hitam yang nampak penuh dengan pa
"Tapi Enin gak apa-apa, kan?" tanya Widi sembari membersihkan baju Enin yang jadi basah karena kejadian mengejutkan itu."Enin baik!" ucap wanita paruh baya itu lalu melangkah masuk ke dalam rumahnya. "Enin rasa Enin harus mulai hati-hati kalau keluar. Jangan sampai kejadian lagi aja,""Astaga!" Bram yang wajahnya masih merah padam lalu duduk di samping Enin yang nafasnya masih terengah. "Kalau sampai aku tau siapa pelakunya, akan kuhabisi dia!" "Jangan, Jang!" tegas Enin dengan wajah tuanya yang begitu bijaksana. "Kita tak boleh melawan keburukan dengan keburukan. Kita harus sadar dan mawas diri saja. Nanti biar Allah yang balas!""Bram!" terdengar seorang pria berteriak dari luar rumah lalu mendorong pintu dengan sekuat tenaga. Kepala Bram segera menoleh ke arah pintu dan mendapati Kholil begitu ketakutan entah karena apa."Kau lihat itu tadi!" ucapnya dengan lembut namun tegas karena tau putri dari temannya sedang tertidur pulas di pangkuan ayahnya."Siapa?" tanya Widi dengan waj
"Kenapa kau mengancamku?" kesal Romi yang sebenarnya enggan berdebat dengan Widi yang berada beberapa langkah dibelakangnya."Aku bisa buktikan kalau kau tidak bersalah?" Widi semakin meninggikan nada bicaranya.Romi mengepalkan tangannya menatap keponakannya itu dengan marah tapi tak berani bergeming karena dia tau kalau sampai dia salah bertindak di depan Warsa maupun Bram, itu akan sangat merugikan dirinya. "Terserah kau mau percaya atau tidak, yang pasti aku tak ikut campur dalam penangkapan ibumu, Widi!" tegas Romi melanjutkan langkahnya.Pria paruh baya itu tak menoleh lagi ke belakang, dia terus berjalan mendekati lift sebelum dadanya terasa sakit hingga dia tak sanggup lagi berdiri. "Ah!" rintihnya dengan mata yang perlahan mulai berkaca-kaca."To--long!" erangnya."Paman!" teriak Widi sembari berlari mendekati pria yang menyebalkan ini. "Bram, panggil ambulance!" "Baik!" tanpa banyak berkata-kata Bram segera mendekati telepon di atas meja dan mulai menghubungi rumah sakit te
"Kita lihat saja apakah dia takut akan ancamanmu atau tidak?" tambah Bram yang dijawab istrinya dengan terkekeh."Sulit sekali kau percaya kalau dia itu takut ancamanku, sih?"Bram tersenyum simpul, dia tahu istrinya ini sangat bisa diandalkan namun egonya yang besar untuk menolak anggapan ini membuatnya terus saja menolaknya.Setelah pertemuan Bram dengan Byan hari ini hati gitaris kenamaan itu mulai tenang. Dia semakin tau jika dia akan bisa seperti yang sudah mereka rencanakan sebelumnya hingga mereka tak mungkin dianggap remeh lagi oleh keluarga Widi yang selama ini begitu sinis padanya.Sore menjelang dan ini saatnya Bram bertemu dengan Warsa untuk menceritakan semua yang terjadi hari ini."Sungguh dia ketakutan karena ancaman Widi?" Warsa melebarkan senyumannya seketika."Hahahaha! Seperti itulah adanya!" ucap Widi penuh rasa bangga."Iya, aku rasa kita memang harus sering mengancam mereka agar tak selalu saja mengganggu,""Warsa!" panggil Romi yang memasuki ruangan pengacara ke