"Sekarang bagaimana?" tanya Bram bingung. "Kita kumpulkan dulu semua data yang kita butuhkan. Aku yakin Dory masih menyimpan banyak rahasia di data perusahaan," "Dan kita akan menemukan semuanya di sini?" Warsa mengangguk lalu mencari lebih jauh semua dugaannya pada sepupu Widi itu. Selama Warsa mencari data yang dia mau, Bram hanya termenung membayangkan semua kemungkinan buruk jika Dory sampai tertangkap, termasuk soal ibu mertuanya yang semakin jelas hubungannya dengan pria jahat itu. Brak!Sebuah folder berkas terjatuh ke lantai dan Bram terperanjat di buanya. "Apa itu?" tanya Bram mengarahkan lampu meja ke arah suara. "Sepertinya ada tikus," "Hah! Bagaimana mungkin tempat ini ada tikusnya?" "Memang seperti itu adanya?" Bram berdiri lalu mendekati folder itu untuk meyakinkan berkas di dalamnya masih dalam keadaan baik. "Lihat!" tunjuk Bram menyadari berkas itu sudah sebagian dimakan tikus. "Apa?" "Berkasnya! Wah! Kalau begini data di ruangan ini tak aman dari hewan," "
"Kenapa kau diam saja?" "Andai mertuaku terlibat, apa yang harus aku lakukan?" "Tentu saja kau harus melaporkannya ke polisi!" "Tak akan semudah itu, Pak!" kesal Bram lalu menghembuskan nafasnya. "Kalau aku melaporkan mertuaku sendiri ke polisi, bisa-bisa istriku marah!" "Astaga, Anak muda. Kau benar-benar dalam masalah kalau seperti itu adanya," Bram kembali tak menjawab, dia hanya manggut-manggut mencoba mencari pemecahan atas masalah pelik yang sedang dia hadapi. Kring! Ponsel Bram berdering dan dia segera menjawabnya. "Halo!" ["Kau dimana?"] tanya Widi dengan suara berbisik. "Aku di lantai 5 dengan Pak Warsa," ["Aku kesana!"] Widi langsung menutup panggilan telepon dan tak lama kemudian mengirim pesan jika dia sudah ada di depan lift. "Aku susul Widi dulu. Bapak di sini saja," pinta Bram lalu melangkah keluar ruangan dan tak lama kemudian kembali bersama istrinya yang nampak cantik dengan dress bunga berwarna merah. "Kenapa kalian ada di ruangan ini?" tanya Widi penasar
"Selamat!" seru seluruh pegawai yang terus bertepuk tangan seperti perintah Dory. "CEO yang baru, kau hebat, Bram!" "Ini benar-benar terjadi?" tanya Bram masih tak percaya dengan pernyataan Dory yang dia pikir akan selalu menolaknya untuk posisi penting di perusahaan peninggalan ayah mertuanya."Iya, aku rasa dia akhirnya menyetujui pengangkatan mu ini, Bram," bisik Warsa lalu ikut berdiri dan bertepuk tangan seperti pegawai lain yang masih terus menuruti permintaan Dory."Cukup!" Dory mendekati Bram lalu tersenyum sinis pada gitaris kenamaan ini. "Ini awal yang baik untuk perdamaian kita, kan?""Perdamaian! Memangnya siapa yang bertikai," sindir Bram lalu terkekeh.Tentu sindiran itu membuat wajah Dory yang awalnya tersenyum kembali terlihat kesal. Dia lalu meraih ponselnya dan menghubungi Dwi, ibu dari Widi dengan melakukan video call untuk melanjutkan rencananya."Ibu Dwi, aku sedang bersama Bram. Dia akan kita angkat jadi CEO mulai besok. Kamu setuju, kan?"Dalam video call itu D
"Bramasta!" seru Dwi begitu lantang membuat semua orang di ruangan itu bertepuk tangan dengan meriah.Bram tersenyum simpul menatap sekeliling ruangan yang riuh menyambutnya di posisi yang paling ditunggu sejak beberapa hari yang lalu."Aku jadi CEO!" ucapnya bangga dengan tangan menggenggam jemari istrinya yang juga tersenyum menyambut keputusan Dwi yang begitu indah untuk mereka.Sesaat setelah pengumuman semua mata masih menatap Bram hingga dengan dada membusung dan senyum menyeringai Dory masuk ke dalam ruangan mengulurkan tangannya untuk Bramasta yang masih terbuai oleh perayaan malam ini."Selamat!" seru Dory lalu menjabat tangan suami Widi Hartono, sepupunya."Terima kasih!" Bram memeluk Dory mengira jika pria tinggi besar di depannya ini telah mengibarkan bendera putih."Kau layak jadi CEO!" tambah Dwi dengan senyuman ramah."Ibu, terima kasih!""Kau jadi CEO mulai besok!" Dory terkekeh lalu melirik ke arah Dwi penuh makna. "Kita pasti akan menolongnya kan?""Tentu!" sahut Dwi
["Aku harus hentikan ibuku!"] kesal Widi lalu menutup sambungan teleponnya dengan Bram.Bram terdiam sesaat mencoba tenang dan tak dapat berkata-kata. Keadaan ini sungguh membuatnya sangat terpukul setelah kemarin dia merasa sangat bahagia dengan keputusan ibu mertuanya yang seolah membuat perayaan kecil namun ternyata hanya sandiwara semata."Lalu aku harus bagaimana?" tanya Bram sambil menghela nafas berat menghadap ke arah Warsa yang sangat iba dengan keadaan ini."Kau harus tenang. Aku yakin ada maksud baik dari semua keadaan ini. Bisa jadi dia,""Apa kau bilang?!" Bram semakin kesal saja. "Kau masih bisa bilang ada maksud baik dari keadaan ini? Kau ngeledek!""Bram! Tenang dulu!" tegas Kholil lalu menghalangi tubuh Bram yang kesal dari Warsa yang kemudian menggaruk-garuk dagunya seperti sedang memikirkan sesuatu."Aku yakin mereka ingin kau melakukan sesuatu yang penting. Mangkanya mereka pergi!" lanjut Warsa berusaha melihat dari sisi berbeda dengan Bram yang sudah terlanjur kes
"Kau mau aku tinggal di rumah nenekmu?" sambung Widi sambil melonggarkan dekapannya pada putrinya. "Apa aku tak salah dengar?!""I--ya. Memangnya kenapa kalau kita tinggal di sana?""Kau pasti bercanda!" kesal Widi lalu duduk di kursi dekat Warsa. "Dia mulai gila,""Kenapa kau bilang begitu?" bisik Warsa tak mengerti."Neneknya tinggal di pemukiman kumuh yang sempit dan bau. Apa jadinya kalau sampai keluargaku tahu aku tinggal di sana, Pak.""Oh! Jadi itu yang membuatmu tak setuju,""Kalian bicara soal apa? Kenapa bisik-bisik?" potong Bram dengan wajah berubah jadi kesal."Iya, kami membicarakan rencanamu tadi! Aku rasa tak mampu aku tinggal di sana," ketus Widi namun Bram bisa mengendalikan amarahnya."Sayang, dengar dulu. Ini demi ketenanganmu. Aku janji di sana kau akan makan dan tidur dengan tenang. Tak usah pikirkan soal penagih hutang yang akan datang ke rumah lagi. Kau paham kan apa maksudku?"Widi menghela nafasnya panjang sambil terus membayangkan semua kemungkinan buruk yang
"Dari mana kau tau kalau kami di sini?" tanya Widi lalu sambil mendekat ke arah pria yang bertamu sore itu."Aku mengawasimu, Nyonya! Setelah ibumu kabur, kau pikir aku akan membiarkanmu meninggalkanku!!""Eh!" Bram menghalangi pria penagih hutang itu dari istrinya yang nampak begitu kasar dan tak mau tau keadaan mereka. "Kami tidak kabur. Kami hanya pindah rumah saja!""Tapi ibunya wanita ini sudah kabur. Bisa saja kan anaknya juga kabur?!""Eh! Aku tidak kabur! Buktinya kalian bisa menemuiku, kan?""Tak usah banyak bicara!" teriak pria itu semakin berang. "Sekarang buat surat perjanjian kalau kalian akan membayar hutang-hutang keluarga sok kaya itu agar kami bisa percaya!"Bram menatap mata istrinya yang begitu ketakutan lalu meraih tangan pria tinggi besar itu. "Aku akan lakukan apapun yang kau mau, asal jangan ganggu istriku!""Bagus!" kekeh penagih hutang lalu tersenyum lebar. "Aku mau kalian temui bosku untuk urusan ini!""Sial!" kesal Widi lalu mendekat ke arah Widi. "Harusnya
"Jadi kita tak bisa percaya dengan Romi?" tanya Bram sambil terus memperhatikan foto yang ditunjukkan Warsa padanya. "Iya, dia tiba-tiba datang dan memberikan bantuan padamu. tentu tindakannya sangat mencurigakan," Bram menghela nafas lalu sesaat kemudian mengacak-acak rambutnya. Dia benar-benar frustasi setelah kelegaan sempat dia rasakan semalam. "Apa yang harus aku lakukan sekarang!" kesalnya. "Jangan terlalu polos!" tegas Kholil kemudian tersenyum aneh pada Warsa dan Bram. "Apa maksudmu?" Bram menoleh ke arah mantan managernya itu cepat. Sini aku bisikin. Kholil mulai bercerita tentang Romi yang dia kenal selama ini dan membeberkan betapa liciknya paman dari Widi itu. Tapi meski begitu, Kholil tetap merasa pria ini memiliki manfaat yang besar dalam membantunya meski maksud dari kebaikan Romi tak bisa ditebak tujuannya. "Jadi kau mau kita tetap bekerja sama dengan pria jahat itu?" potong Warsa tak setuju. Bram menatap Warsa lalu sesaat kemudian melirik ke arah Kholil. Dia ben
"Iya, benar! Aku juga dengar kabar itu!" kesal Widi lalu memejamkan mata. "Aku lelah dengan keadaan ini!""Kalau begitu apa yang akan kau lakukan?" tanya Enin pada istri cucunya itu."Tapi kita tak bisa mengalahkan mereka saat ini. Kita terlalu lemah!" ucap Widi yang sadar jika ini tak bisa dia pecahkan sendiri."Jadi apa yang akan kau lakukan?" tanya Enin sekali lagi."Aku dan suamiku akan pergi untuk sementara dan kembali saat kami sudah cukup kuat melawan mereka.""Jadi kau mau pergi?" Enin tersentak mendengar rencana Widi. Sungguh dia tak menyangka jika dia akan berpisah dengan Bram sekali lagi padahal dia masih sangat ingin bersama sang cucu yang malang."Benar!" Bram membulatkan tekatnya. "Kita tak bisa mengalahkan mereka saat ini. Kita harus menghilang sementara dan kembali saat kita sudah kuat!""Tapi kau akan kemana?" Enin semakin sedih saja mendengar percakapan keduanya. "Nin, pahamilah. Bram tak cukup cerdas untuk membangun bisnis ayahku. Kami harus sekolah lagi dengan tek
Hari yang disiapkan Raka akhirnya tiba. Hari ini dia tiba di rumah Enin untuk menyusul Bram yang sudah begitu tampan dengan jaket kulit hitam dan koper dorongnya.Dengan setia Widi menggendong putrinya mengikuti langkah Bram yang begitu sumringah hari ini."Kalian jadi pergi?" tanya Enin yang sesekali menghapus air matanya. "Aku harap kalian tak lama," tambahnya."Nin, ini tak akan lama. Hanya sekolah singkat dan aku harap belum setahun kami sudah kembali," terang Raka tegas namun cukup menenangkan hati Enin."Baiklah, kami akan segera pergi! Aku rasa semakin cepat kita pergi semakin cepat juga kita kembali," ucap Bram sembari meraih tangan Enin dan menciumnya pelan."Jang, hati-hati di jalan. Enin selalu mendoakanmu semoga apa yang kau usahakan menjadi mudah dan lancar,""Aamiin!" seru semuanya lalu mulai berjalan meninggalkan rumah wanita paruh baya itu.Bram tak menoleh kebelakang, ada hati yang terlalu rapuh untuk kembali berpisah dengan sang nenek yang begitu menyayanginya."Kena
"Kalian yang akan membantuku membalas semua dendamku?" tanya Raka dengan senyumannya yang miring."Iya, kami akan membantumu!" tegas Warsa membuat mata Bram menyipit. "Kami?" tanya suami Widi itu lirih."Siapa anak muda ini? Aku tidak kenal?" tanya Raka dengan raut wajah meledek."Dia ini suaminya Widi," jawab Warsa lalu menepuk bahu Bram yang begitu kaku di depan pria tua yang akan membuatnya jadi orang yang akan ditakuti mertuanya."Kau yakin dia siap menghadapi keluarga Widi?" Raka masih tak percaya."Aku yakin dia bisa. Setelah semua kejahatan Dory dan Dwi tak mungkin dia tak bangkit untuk menunjukkan pada keluarga kaya itu akan keperkasaannya,"Raka tak cepat percaya, dia terus memandangi wajah Bram dengan seksama. Pria paruh baya itu seperti menemukan seberkas cahaya harapan di sana namun masih tertutup banyak keraguan yang diciptakan oleh Bram sendiri."Apa yang kau lihat, Tuan?" tanya Kholil yang ternyata sudah kenal pada sepupu mantan bosnya."Aku rasa dia memang perkasa, ta
"Itu tidak mungkin!" kesal Bram lalu berbalik badan menghindari Dwi yang menatapnya tajam seakan bersiap untuk menyantapnya."Tenang," bisik Kholil yang segera mendekati temannya itu. "Kau jangan terpancing. Kita harus tenang menghadapi,""Oh!" desar Bram memahami maksud perkataan temannya itu. "Kau benar!""Apa yang benar?!" pekik Dwi lalu menarik tangan menantunya itu dengan kasar. "Kau mau laporkan aku ke polisi, kan?""Iya!" jawab Bram lalu tersenyum meledek. "Menantu macam apa kau ini?! Lihat saja kau, kalau sampai aku kena masalah kau yang akan aku hancurkan!"Mendengar ancaman itu Bram tak bergeming. Toh bukan dia yang melaporkan mertuanya itu ke polisi dan bukan dia juga yang memulai perseteruan ini.Lama dia terdiam hingga mertuanya itu pergi meninggalkan ruangan tempat mereka berada. Bram terus memutar otaknya mencari tau siapa gerangan yang melaporkan mertuanya itu ke polisi dan tentunya karena dia juga harus menjaga perasaan istrinya yang kini juga adalah ibu dari anaknya
"Kamu!" teriak Bram sambil melangkah keluar dari bilik toiletnya dengan sangat marah. "Sudah kuduga kau memang orang jahat!""Ka--mu!" tunjuk pria itu lalu melirik ke arah temannya yang juga terkejut saat tau Bram ada di dalam toilet SPBU itu."Mau mengelak kau?!" kesal Bram lalu meraih tangan kurir itu bersiap untuk menghajarnya."Pak, dengar dulu,""Aduh kita ketahuan!" teriak rekan kurir itu bersiap untuk mengambil langkah seribu."Kau mau kemana?!" pekik Bram lalu menarik tangan kurir yang satunya dan...Hab!Sekali gerak saja kedua pria jahat itu berhasil dibekuk."Mau kemana kalian?!" kekeh Bram merasa menang lalu menarik ke duanya menuju mobilnya."Eh! Kita mau dibawa kemana ini?!""Diam! Kalian sudah tertangkap basah. Tak bisa lagi kalian mengelak!" teriak Bram lalu memasukkan keduanya yang tak bisa berkutik lagi ke dalam mobilnya.Brak!Bram membanting pintu dengan marah lalu mulai mengendalikan mobilnya menuju kantor. "Kau tau rasa sekarang. Aku akan laporkan kalian berdua k
"Hey! Kau!" teriak Bram sambil menunjuk ke pria mencurigakan yang wajahnya begitu kaget saat menyadari cucu Enin sudah semakin dekat dengan dirinya. "Jangan lari kau!" teriak Bram semakin lantang membuat beberapa orang yang ada di dekatnya terperanjat."Eh! Kenapa kau?" tanya pria asing itu dengan lantang."Kau kan orang yang mengawasi kami sejak tadi?! Kau pasti mau jahat pada nenekku?" teriak Bram bersiap mengirimkan bogem mentah ke mata kanan pria asing itu."Ih! Kamu salah orang!" teriak pria itu sambil mencoba menangkis tangan Bram yang sudah terlanjur melesat."Bram!" teriak Enin yang kebetulan keluar dari rumahnya. "Ada apa, Jang?""Ini, Nin! Orang ini mencurigakan, sejak tadi dia mengawasi kita dari sini. Aku yakin dia bersekongkol dengan orang-orang jahat itu!""Eh! Jangan asal tuduh, ya. Aku ini kurir, aku sedang berteduh sambil mencari alamat dari barang-barang yang sedang aku kirimkan!" kelipnya sambil menunjuk ke arah motor bebek berwarna hitam yang nampak penuh dengan pa
"Tapi Enin gak apa-apa, kan?" tanya Widi sembari membersihkan baju Enin yang jadi basah karena kejadian mengejutkan itu."Enin baik!" ucap wanita paruh baya itu lalu melangkah masuk ke dalam rumahnya. "Enin rasa Enin harus mulai hati-hati kalau keluar. Jangan sampai kejadian lagi aja,""Astaga!" Bram yang wajahnya masih merah padam lalu duduk di samping Enin yang nafasnya masih terengah. "Kalau sampai aku tau siapa pelakunya, akan kuhabisi dia!" "Jangan, Jang!" tegas Enin dengan wajah tuanya yang begitu bijaksana. "Kita tak boleh melawan keburukan dengan keburukan. Kita harus sadar dan mawas diri saja. Nanti biar Allah yang balas!""Bram!" terdengar seorang pria berteriak dari luar rumah lalu mendorong pintu dengan sekuat tenaga. Kepala Bram segera menoleh ke arah pintu dan mendapati Kholil begitu ketakutan entah karena apa."Kau lihat itu tadi!" ucapnya dengan lembut namun tegas karena tau putri dari temannya sedang tertidur pulas di pangkuan ayahnya."Siapa?" tanya Widi dengan waj
"Kenapa kau mengancamku?" kesal Romi yang sebenarnya enggan berdebat dengan Widi yang berada beberapa langkah dibelakangnya."Aku bisa buktikan kalau kau tidak bersalah?" Widi semakin meninggikan nada bicaranya.Romi mengepalkan tangannya menatap keponakannya itu dengan marah tapi tak berani bergeming karena dia tau kalau sampai dia salah bertindak di depan Warsa maupun Bram, itu akan sangat merugikan dirinya. "Terserah kau mau percaya atau tidak, yang pasti aku tak ikut campur dalam penangkapan ibumu, Widi!" tegas Romi melanjutkan langkahnya.Pria paruh baya itu tak menoleh lagi ke belakang, dia terus berjalan mendekati lift sebelum dadanya terasa sakit hingga dia tak sanggup lagi berdiri. "Ah!" rintihnya dengan mata yang perlahan mulai berkaca-kaca."To--long!" erangnya."Paman!" teriak Widi sembari berlari mendekati pria yang menyebalkan ini. "Bram, panggil ambulance!" "Baik!" tanpa banyak berkata-kata Bram segera mendekati telepon di atas meja dan mulai menghubungi rumah sakit te
"Kita lihat saja apakah dia takut akan ancamanmu atau tidak?" tambah Bram yang dijawab istrinya dengan terkekeh."Sulit sekali kau percaya kalau dia itu takut ancamanku, sih?"Bram tersenyum simpul, dia tahu istrinya ini sangat bisa diandalkan namun egonya yang besar untuk menolak anggapan ini membuatnya terus saja menolaknya.Setelah pertemuan Bram dengan Byan hari ini hati gitaris kenamaan itu mulai tenang. Dia semakin tau jika dia akan bisa seperti yang sudah mereka rencanakan sebelumnya hingga mereka tak mungkin dianggap remeh lagi oleh keluarga Widi yang selama ini begitu sinis padanya.Sore menjelang dan ini saatnya Bram bertemu dengan Warsa untuk menceritakan semua yang terjadi hari ini."Sungguh dia ketakutan karena ancaman Widi?" Warsa melebarkan senyumannya seketika."Hahahaha! Seperti itulah adanya!" ucap Widi penuh rasa bangga."Iya, aku rasa kita memang harus sering mengancam mereka agar tak selalu saja mengganggu,""Warsa!" panggil Romi yang memasuki ruangan pengacara ke