Mobil berwarna kuning, memasuki area rumah sakit. Juwita hanya memakai baju ala kadarnya tidak sempat berganti lebih dulu. Dia berlari menuju meja resepsionis dengan celana kain dan kaus putih yang dilapis dengan cardigan. "Ada yang bisa kami bantu?” tanya perempuan yang duduk di balik meja resepsionis. Juwita tampak cemas ia bertanya kepada salah satu resepsionis. “Sus, pasien bernama Hendra Aditya, korban kecelakaan, dirawat di kamar mana, ya?" Resepsionis menatap komputer di depannya mencari pasien bernama Hendra. Tak sabar Juwita menunggu. Wajahnya tampak sangat panik, sedangkan jarinya mengetuk-ngetuk meja resepsionis tersebut. "Pak Hendra Aditya ada di ruang rawat mawar, nomor 337." "Terima kasih, Sus." Juwi lantas berlari meninggalkan meja itu, mencari nomor kamar yang dikatakan perempuan tersebut. “337,” ucap Juwita, ia memutar tubuhnya mencari angka yang dia sebutkan. Tidak lama, dia menemukan kamar itu. Juwi masuk dan langsung melihat Hendra berbaring di salah saru
Dasarnya Lilis yang keras kepala, dia memegangi gagang pintu erat. Tidak mau dia dipaksa keluar dari sana oleh Juwita. Entah apa isi kepala perempuan berotak udang itu. "Lepasin, Juwita! Kamu ini kenapa sih larang-larang aku ngomong sama Hendra?" Lilis sewot, suaranya sangat keras. Juwita yang malu melihatnya dengan terpaksa melepaskan perempuan gila itu. “Kalau kamu sakit gini kamu nggak bisa kerja, terus nggak dapat gaji dong, Hen." Kembali Lilis mendekati Hendra di tempat tidur pasien. Hendra muak, jika tak malu pada orang-orang, dia akan mengumpat pada Lilis. "Jangan hanya tau menyalahkan. Lagian, aku bekerja bukan buat kamu!" "Kamu itu suami aku, dan kamu harus nafkahin Alan. Ya harus buat aku, dong gaji kamu!" Jadi, ini alasan Lilis tidak mau menyerahkan Alan padanya? Ternyata belum cukup Lilis memperalat Hendra selama ini, dan justru ingin menggunakan anak mereka sebagai tameng meminta uang. Hendra sangat muak padanya. “Aku butuh uang, sepuluh juta. Alan juga butuh susu
Lilis tersenyum penuh kemenangan. Juwita memang bodoh demi Hendra, seperti itu lah mungkin ejekan di dalam pikirannya untuk Juwita. Tapi, jika Lilis berpikir demikian, dia salah besar. Juwi sudah memikirkan hal yang akan merugikan Lilis ke depan nanti. "Dengan satu syarat," lanjut Juwi, setelah beberapa detik dia melihat kebahagiaan yang terpancar di wajah Lilis. “Syarat? Persyaratan apa yang kamu berikan?” tanya Lilis, tiba-tiba mengubah ekspresinya menjadi was-was. “Tetap ada hitam di atas putih, nanti pengacara aku akan membawa surat berisi syarat yang harus kamu tanda tangani. Aku mengeluarkan uang tidak sedikit, tidak akan kuberikan secara cuma-cuma!” Lilis berpikir sejenak, ia menduga-duga isi syarat yang harus dia setujui. Apakah mungkin Juwita sudah menjadi cerdik, dan akan membuatnya menyingkir dari hidup Hendra selamanya? Dia penasaran, ingin bertanya lebih lanjut sebelum melanjutkan keputusan itu, tapi kemudian wanita itu justru membayangkan masa depan bersama Steven.
Seperti yang Lilis perintahkan, Ratna membawa Alan ke rumah sakit. Dia masih kesal karena harus menunda pembuatan videonya. Mulutnya mengomel terus sembari menggendong Alan. "Kamu ini bikin susah aja, Alan... Alan! Kenapa nggak langsung gede aja, sih, biar nggak nyusahin nenek terus!" gerutu Ratna. Dia sudah bosan menjaga Alan, entah kenapa Lilis masih mempertahankan anak itu. "Harusnya Lilis kasih kamu ke Hendra, ngapain juga nunggu gaji yang nggak jelas@" Bocah gembul itu memegangi dot sendiri. Alan mendengar ocehan neneknya, tapi masih terlalu kecil untuk memahami perkataan Ratna. Alan tertawa kecil, menganggap neneknya mengajak bercanda. "Malah ketawa ini bocah! Nggak tau pundak aku pegel gendongin dia apa!" Ratna terus mengomel. Segera Ratna mendatangi food court rumah sakit. Lilis yang memberitahunya agar datang ke sana membawa Alan. Dan ketika tiba, Ratna sudah melihat Lilis bersama istri kedua Hendra duduk di sana. Juga seorang lelaki berusia tidak muda lagi yang mengeluark
"Kamu secara nggak langsung mau ceraikan aku dan Hendra?" ucap Lilis, dia tersenyum bengis. "Kalo menurut kamu syarat itu udah wow banget, kamu salah, Juwita. Tanpa kamu pun, aku juga bakal ceraikan Hendra!" Toh, Lilis dan Steve akan menikah, dan dia memang butuh surat cerai. Kenapa Juwita capek-capek membuat syarat seperti itu? Ada-ada saja perempuan tolol itu! "Tapi omong-omong, kalo nanti Hendra yang datang mengemis padaku, kamu bisa apa?" tantang Lilis dengan gayanya yang sombong. "Aku juga nggak butuh dia lagi, tapi lain cerita kalo Hendra sendiri yang mau sama aku. Ya aku nggak mungkin sia-siakan uang yang datang, dong," lanjut Lilis sombong. "Dan lagi, perjanjian ini tidak boleh diketahui oleh Hendra." Juwita sempat terpengaruh oleh ucapan Lilis yang berkata Hendra akan datang padanya, setelah lima tahun nanti. Tapi dia menahan diri untuk tidak membahasnya. "Maksud kamu, ini rahasia kita berdua?" Lilis tertawa mengejek. "Tentu saja, adik maduku... Hendra memang tidak harus
"Lis, kamu benaran jual Alan?" Ratna masih penasaran apa yang terjadi sebenarnya. Dia hanya dengar sebagian perbincangan anaknya dengan perempuan yang menjadi istri kedua Hendr itu. "Ya beneran dong, Bu." Ratna membelalakkan matanya. "Gila kamu, Lis? Itu tindakan kriminal tau, nggak?" Lilis tidak begitu peduli, justru membalas ibunya dengan kalimat yang tak kalah memojokkan. "Lagian Ibu juga nggak mau direpotkan sama Alan, kan? Ibu mau uang, ya udah jangan banyak tanya!" "Tapi, Lis, itu tindakan kriminal! Gimana kalo perempuan itu laporkan kamu ke penjara?" Siapa yang peduli itu tindak kriminal? Toh, Juwi juga terlibat. Dia sendiri yang memberikan uang untuk membeli Alan. Selain itu, Juwita tidak mungkin mau dipandang buruk oleh Hendra karena sudah membeli Alan. "Udah jangan banyak protes, aku mau cairkan cek ini dulu. Ibu tunggu aja, nanti aku kasih bagian Ibu." Lilis ditemani Steve langsung meninggalkan rumah sakit. Keduanya pergi menuju bank terdekat untuk menguangkan cek i
Hendra terdiam, dia tidak membantah ucapan istrinya sama sekali. Juwita benar, dia harus pulih agar bisa pulang dan bercengkrama dengan Alan. Sementara Juwita merasa iba melihat Hendra yang sangat berharap. Dia pun berpikir bagaimana caranya agar Hendra dan Alan bisa bersama. "Tapi aku bakal bicara sama dokternya," ucap Juwi, yang membuat Hendra sedikit bingung. "Maksudnya, Wi?" "Jangan banyak pikiran, biar aku yang atur. "Papa!" Suara Alan mengalihkan perhatian mereka berdua. Hendra segera melihat wajah anak laki-lakinya yang sudah lama tidak bertemu. "Ya, Sayang? Kenapa?" sahut Hendra, dia menyentuh wajah anak itu dengan lembut. Hendra sangat senang, meski tadi Alan sempat bingung melihatnya, sekarang akhirnya anak itu bisa mengenal wajah papanya. "Papa di sini sama Alan, jangan takut lagi, ya?" Mungkin anak itu memang ketakutan karena terlalu sering diajak berpindah tempat. Diberikan dari tangan ke tangan, tanpa adanya peran orang tua di sisinya. Sebab itu Alan sempat takut
Hendra masih sakit dan anaknya sudah tak lagi bersama dengan Lilis. Tapi, tidak sedikit pun penyesalan di dalam hati Lilis setelah menjual putranya. Melihat nominal di rekeningnya yang semakin bertambah, sudah membuat perempuan itu lupa segalanya. Steve yang setia menemani Lilis pun tertawa saat mereka keluar dari bank. "Gimana, Babe? Saran aku keren, kan?" kata Steve penuh rasa bangga. Lilis memeluk tangan lelaki itu, bermanja pada pacarnya. "Iya, dong... makanya aku cinta banget sama kamu, Steve, karena kamu itu memang sangat-sangat brilliant!" "Masa?" "Tentu aja, Sayang. Kamu sangat berbeda dengan Hendra yang dungunya nggak ketulungan. Aku heran kenapa dia bego begitu, sih? Udah punya istri kaya raya, bukannya dimanfaatkan untuk senangin anak istri. Ya udah deh, aku milih kamu daripada dia," ceracau Lilis cepat. Dia kesal setiap kali ingat pada Hendra, lelaki itu akan beralasan tidak punya uang jika Lilis meminta. Lantas, untuk apa dia menikah dengan Juwita kalau tak bisa mem
Sejenak Hendra menunduk. Dia menatap lantai di bawah kakinya dan memikirkan pertanyaan itu. Cinta... Hendra tersenyum kecil.Tentu saja dia mencintai Juwita, dan cinta itu pula yang membuatnya selalu sabar dengan semua cobaan pernikahan mereka. Tapi Hendra tidak akan lupa bahwa cinta pula yang membuatnya menjadi suami yang terjual. Karena rasa cintanya pada Lilis dan tidak ingin istrinya bercerai, Hendra yang bodoh pun menerima pernikahan tertulis dengan Juwita.Bukankah cinta itu pula yang membuatnya menjadi menderita? Meski sangat mencintai Juwita, Hendra juga ingin mempertahankan harga dirinya.“Mencintai adalah hal yang sangat mematikan, sampai aku menjadi menantu Anda pun itu karena dulu aku mencintai mantan istriku. Jika sekali lagi aku mengalah demi cinta, bukan tak mungkin akan kehilangan harga diri lagi. Maka kuputuskan, bercerai adalah jalan yang sudah sepatutnya,” ucap Hendra dengan yakin.Juwita tidak kuasa mendengar perkataan Hendra, air matannya mengalir lebih deras oleh
Hendra mengangguk, tidak ingin mengulur waktu sehingga membuat orang-orang berharap banyak padanya. Semuanya harus diakhiri agar Juwita tidak terus merendahkannya.“Nggak mungkin,” bisik Juwita patah hati, kedua tangan memegangi kepalanya yang belum mampu menerima kenyataan. “Kamu nggak mungkin menanda tanganinya, kamu pasti berbohong.” Dia tatap suaminya dengan mata memelas, sungguh tidak Juwita harapkan benar-benar bercerai dari Hendra.“Maaf mengecewakan kamu. Tapi... kedatanganku ke sini untuk mengantarkan surat cerai itu.” Hendra mengeluarkan amplop yang Juwita kirimkan itu, dan membuka bagian yang sudah dia tanda tangani. Dia letakkan berkas itu di atas meja agar semua orang bisa melihatnya. “Aku hanya mengabulkan permintaan kamu. Dan lagi, aku rasa kita tidak mungkin meneruskan pernikahan yang sejak awal tidak sehat. Aku tidak ingin terus dikenal sebagai suami yang dibeli, maka itu memang sebaiknya kita bercerai saja.”Sebagai lelaki, Hendra punya harga diri. Meski di awal sud
Berkali-kali Juwita melirik ke pintu utama rumah orang tuanya. Duduknya tak bisa diam, bergeser setiap menit seakan tidak sabaran. Sofa yang didesain sangat empuk itu seakan tidak nyaman menjadi tempatnya. Dia melirik lagi, dan itu terus saja terulang setiap kali dia mendengar suara pergerakan seseorang di sekitarnya.Maria mengamati putrinya itu dari anak tangga, tampak penyesalan dan ragu-ragu di wajah cantik Juwi yang belakangan ini terlihat semakin kurus. Dia mendatangi putrinya dan duduk di sebelah Juwi.“Wi, tenangkan dirimu,” kata Maria, mungkin dengan ucapan itu putrinya bisa merasa lebih baik. “Pikirkan anak di kandungan kamu. Jika mamanya stres, anak kamu juga akan ikut stres di dalam sana.Mata sayu Juwi menatap mamanya ragu dan dia berkata, “Entah lah, Ma. Aku tidak bisa tenang sebelum melihat Hendra datang. Aku takut jika dia tidak benar-benar menemuiku,” katanya.Hendra memang tidak pernah berkata akan datang menemui Juwita, melainkan Armaja lah yang akan ditemui lelaki
Setelah mendapatkan bukti itu, polisi langsung memeriksanya. Benar saja, video yang Steve berikan sebagai bukti jelas adalah editan. Banyak bukti yang Armaja bawa sehingga Steve tidak bisa berkutik sekarang. Bukan hanya itu, Armaja juga berhasil menangkap pelaku yang selama ini bersembunyi di belakang Steve, sebagai orang yang mengunggah di media sosial.“Bukan saya yang bersalah, Pak! Dia yang lebih dulu memukul saya!” Steve meronta di tangan polisi. Dia terus menuduh Hendra lah yang sudah memukulnya terlebih dahulu, tapi bukti-bukti yang dibawa oleh Armaja tidak bisa dibohongi.Hendra yang masih sangat shock dengan kejadian ini, hanya bisa diam menyaksikan Armaja dan polisi menyelesaikan masalah mereka. Lelaki itu memeluk putranya erat, menenangkan Alan yang masih sesunggukan.“Dia yang memukul saya! Dia yang seharusnya ditangkap!” Steve menunjuk-nunjuk pada Hendra, sangat memuakkan. Bahkan ketika semua bukti sudah terarah padanya, lelaki itu masih saja ingin menyalahkan Hendra.And
Jalan raya itu sangat ramai oleh mobil-mobil yang berlalu lalang. Tak ada cela jika pun Hendra ingin lari dari kejaran polisi yang tengah menunggunya di luar sana. Pasrah. Hanya itu yang bisa Hendra lakukan sekarang. Dia tidak mungkin berlarian di jalanan menggendong Alan, seperti yang tadi dilakukannya. Bisa-bisa membuat Alan menjadi celaka.“Pak, bagaimana selanjutnya? Kita tidak bisa lewat, apakah kita harus menabrak mobil lainnya agar memberikan jalan?” tanya Rahmat dari bangku kemudi, dia tidak rela bosnya tertangkap begitu saja.Akan tetapi, Hendra sudah lelah. Perkataan Rahmat terlalu berisiko dan dia tidak ingin membuat masalah yang lebih besar.Dia melepaskan sebelah tangan dari punggung Alan, kemudian membuka pintu mobil itu sangat pelan.“Pak, jangan keluar. Bagaimana nasib Alan jika bapak sampai ke kantor polisi?” Rahmat masih mengingatkan.“Kita tidak mungkin membuat masalah yang lebih besar lagi, Mat. Aku tidak ingin kamu ikut ke dalam masalah ini.” Dia pun keluar dari
Taksi yang Hendra tumpangi dengan Alan pun meluncur di jalanan. Sopir taksi itu merasa iba melihat Alan yang menangis berkata takut, dia membayangkan andaikan dirinya bersama anaknya yang ada di posisi Hendra sekarang. Meski sebenarnya pak sopir juga terlihat ketakutan, wajahnya berkeringat saat melihat dua petugas polisi dari kaca spion-nya.“Bapak ini mau ke mana, toh? Saya nggak berani kalo Suria Hotel, itu terlalu jauh, takutnya dikejar sama polisi. Saya juga punya anak istri, Pak, tidak berani berurusan dengan mereka,” kata pak sopir, nadanya gemetar saat bertanya.Hendra pun tidak mungkin melibatkan orang lain dalam kasusnya. Suria Hotel terbilang jauh dari posisi mereka sekarang, sangat benar yang dikatakan sang sopir kalau petugas kepolisian itu mungkin tengah mengejarnya. Lagian, Hendra juga tidak mungkin pergi ke sana lagi, akan sangat gampang jika polisi melacaknya.Beruntung saja ponselnya terselip di saku celana Hendra, sehingga dia bisa menghubungi Rahmat untuk meminta
Ketika Hendra masih memaksa Lilis agar keluar dari mobilnya, dua mobil lainnya datang ke tempat itu. Berhenti tepat di sebelah Hendra, membuatnya bertanya-tanya siapa kira-kira orang yang datang di dalam sana. Hendra menghela napas panjang ketika melihat itu adalah Steve dan beberapa orang dengan kamera besar.Reporter lagi?Astaga... entah sampai kapan Hendra harus bertemu dengan orang-orang itu, dia sudah sangat lelah.Tidak cukup hanya Steve dan reporter saja yang datang ke sana. Tidak lebih dari dua menit, ada mobil polisi yang juga ikut parkir di halaman warga yang luas itu. Entah apa yang akan terjadi di ke depan nanti, Hendra sudah sangat lelah berpikir. Menghadapi Lilis saja sudah membuatnya kesulitan, kenapa Steve harus datang ke sini membawa reporter dan polisi?“Itu perempuan yang menghancurkan kaca mobil saya, tolong tangkap dia, Pak. Meski Lisa adalah istri saya, saya tidak terima mobil saya dirusak begitu saja,” kata Steve pada polisi, menunjuk Lilis di dalam mobil Hendr
“Jangan bawa Alan, Hendra! Kamu nggak boleh bawa dia sebelum kasih duit ke aku!”Hendra sudah berhasil merebut paksa Alan dari Lilis dan Ratna, tapi saat akan membawanya masuk ke mobil, Lilis segera menghentikan Hendra. Perempuan itu betul-betul tak merelakan Hendra pergi tanpa memberinya uang. Lilis bahkan bergantung di kaki Hendra, memegangi agar lelaki itu tidak bisa bergerak.“Kasih aku uang dulu! Kamu nggak boleh pergi dari sini sebelum ngasih aku uang!” kata Lilis terus berteriak, memeluk kaki Hendra sangat erat.Setiap kali Hendra akan melangkah, kakinya selalu ditahan oleh Lilis. Bahkan hampir saja Hendra terjatuh karena tidak bisa menjaga keseimbangan.“Lepasin, Lilis! Kamu ini jangan bikin malu!” Hendra berkata geram, orang-orang sudah berkerumun menyaksikan mereka di halaman itu. Sudah seperti suami kejam saja Hendra dengan posisi Lilis memeluk kakinya.“Nggak! Aku nggak bakal lepasin kaki kamu, sebelum kasih aku uang!” sahut Lilis semakin mempererat pelukannya di kaki Hend
Dalam kecewanya yang mendalam terhadap Steve, Lilis mencengkeram baju lelaki itu, lalu merosot perlahan-lahan. Saat itu dia mendengar deru mesin mobil di sebelahnya, dalam keputusasaan dia melihat ke kanan, berharap seseorang mungkin mendengar pertengkarannya dengan Steve. Mungkin seseorang itu bisa bersaksi untuk Lilis, bahwa semua ini sudah direncanakan Steve, dan laki-laki itu adalah alasannya bercerai dari Hendra.“He-Hendra. I-itu Hendra!” seru Lilis penuh harap. Dia berpikir Hendra bisa membantunya untuk itu.Namun, benarkah Hendra mau membantunya? Meski laki-laki itu mendengar pertengkarannya dengan Steve, Hendra tidak mungkin mau membantu Lilis. Harapan yang tadi sempat singgah, perlahan menjadi rasa takut.“Tidak! Dia tidak boleh mengambil Alan!” seru Lilis lantas berdiri. “Jangan ambil Alan! Alan milikku!”Tidak Lilis hiraukan lagi Steve yang kebingungan melihatnya, Lilis sudah berlari kembali ke dalam mobil. Dia harus menghentikan Hendra sebelum lebih dulu mengambil Alan.