Sejenak Juwita terdiam. Banyak dugaan di dalam kepalanya tentang apa yang akan Hendra katakan padanya. Apalagi tampaknya ini sangat serius, juga terlibat dengan keuangan. Juwi menjadi sedikit curiga untuk apa uang itu kira-kira. Bukannya Juwita merasa rugi membantu Hendra. Tapi jika dia mengingat Lilis yang begitu tamak akan uang, Juwi menjadi antisipasi. Dia tidak ingin Hendra akan meminta uang padanya, demi menyenangkan Lilis lagi. Itu sangat tidak adil bagi Juwita. Sedangkan Hendra yang mendapat tatapan penuh curiga itu, merasa hatinya menjadi gusar. Tampaknya Juwita tidak akan membantunya kali ini, mengingat sudah begitu banyak dia mengeluarkan uang demi Hendra. Entah dari mana Hendra akan mencari uang untuk menutupi janjinya pada Baron, suami Widya, wanita hamil yang dia tabrak. "Kalo nggak bisa, aku nggak akan maksa." Hendra sadar diri, dia tidak mungkin terus menggerogoti uang Juwita. "Bukan begitu. Tapi, aku harus tau alasannya untuk apa." Juwita memberi kesempatan Hendra m
Setelah mendengar semua penjelasan Hendra, Juwi menjadi lebih tenang. Setidaknya dia tidak harus curiga menganggap Hendra dan Lilis bermesraan satu harian ini. Dia lebih lega meski sebenarnya iba pada Hendra yang tidak bisa menemukan putranya. Keesokan harinya Juwi dan Hendra mendatangi rumah sakit di mana wanita hamil bernama Widya itu dirawat. Beruntung Widya sudah sadar sehingga mereka bisa bertemu dan meminta maaf secara langsung padanya. Widya dan Baron dengan tangan terbuka memberi maaf, dan mengurunkan niatnya untuk memenjarakan Hendra. "Semua biaya rumah sakit udah kami bereskan. Dan ini, terima lah uang ini untuk biaya kalian sampai Widya pulih. Jika nanti ada biaya tambahan dari rumah sakit, silakan hubungi saja suami saya. Kami akan tetap bertanggung jawab untuk itu." Lilis serahkan sebuah amplop yang sangat tebal berisi uang yang banyak pada pasangan suami istri itu. Ketika membukanya, keduanya sangat terkejut. "Bu, apa ini nggak terlalu banyak?" "Tidak, itu bahkan bel
Sudah beberapa detik Lilis menunggu tapi Steve belum juga melanjutkan kalimatnya. Lilis tidak sabar dan sedikit geram, dia cubit kecil pinggal Steve yang tidak mengenakan pakaian. "Sayat apa sih, Steve, jangan main-main dong. Aku udah nunggu dari tadi, malah digantungin. Dikira jemuran, apa?" "Oh nunggu?" Steve malah bergurau pada Lilis. "Idih... malah bercanda. Buruan katakan apa syaratnya dan saran seperti apa yang mau kamu bilang!" Yang tadinya Steve masih ingin membuat candaan lain, kini tertawa melihat wajah Lilis yang cemberut. Perempuan itu sangat tak sabaran ternyata. "Syaratnya, kamu minta uang yang banyak lah, Babe. Memangnya apa lagi?" Steve langsung pada inti perkatannya, dan membuat Lilis termenung sejenak. Maksudnya... Lilis memang menginginkan uang dari Hendra. Tapi menyerahkan Alan pada lelaki itu, rasanya dia tidak bisa ikhlas begitu saja. Apalagi membayangkan putranya harus diurus oleh Juwita, sangat tidak terima Lilis. Enak saja! Lilis yang capek mengandung,
Kala Juwi membuka tirai jendela kamar, bias cahaya mentari langsung menyapa wajahnya. Dia putar tubuh ke belakang, terlihat cahaya itu langsung menyerbu wajah Hendra. Juwi bisa melihat Hendra mengerjap, matanya pasti terasa silau. "Selamat pagi..." sapa Juwi, sedang tangan masih sibuk mengatur cantolan kain tirai. Hendra menggeliat di atas tempat tidurnya. "Pagi juga," sahutnya. Suara khas bangun tidur yang merdu didengar telinga. "Mandi, yuk, aku udah siapkan sarapan." Juwita duduk di tepi ranjang mengajak Hendra bangun. Lelaki itu mengulurkan tangannya, meminta Juwi membantunya bangun. Hendra mendaratkan kecupan di kening Juwi. "Terima kasih, Wi," ucapnya tulus. Semau bantuan Juwita tidak bisa Hendra lupakan, bahkan di saat dia baru saja bangun tidur. Juwi tersipu akan perlakuan Hendra yang tulus, dia bahagia. Stelah mendaratkan ciuman, Hendra melepaskan pelukannya. Dia melangkah mengambil handuk lalu masuk ke dalam kamar mandi. Membersihkan diri seperti yang disuruh Juwi. J
Pasangan suami istri itu tampak sangat bahagia. Kalimat-kalimat candaan keluar dari mulu mereka masing-masing, sibuk saling memuji. Hendra membela rambut Juwita dengan tangan kanannya, sedang matanya menatap intens manik Juwita. "Mimpi apa sih aku bisa ketemu istri seperti kamu, Wi?" bisik Hendra. Nada ucapnya terdengar sangat lembut, membuat Juwita tersipu. "Mimpi ketiban durian kali?" "Malah durian. Bisa-bisa kepala aku berlubang." Mendengar Hendra sewot, Juwita terkikik kecil. Dia sentuh pucuk hidung suaminya dengan ujung telunjuk, memutarnya perlahan. "Ngambekan," ledeknya sambil bercanda. Ketika mempermainkan hidung Hendra, tak sengaja Juwi melihat ke belakang punggung lelaki itu. Matanya melihat tanaman bunga yang bergerak tidak wajar, sedang angin terasa tenang di sekitar mereka. Juwi mempertajam matanya, bisa dia lihat seseorang dengan pakaian kuning bersembunyi di sana. Siapa orang itu? Juwi penasaran. Saat akan mengatakannya pada Hendra, dia lihat orang itu berpindah
'Dasar perempuan sialan...' Lilis mengumpat dalam hati. Lagian, terlalu percaya diri sekali dia datang menemui Juwita dan meminta uang yang sangat banyak. Memangnya dia pikir lima miliar itu bisa didapat dengan mudah? Kerja dong kalo mau uang, bukannya menjual semua orang yang ada di sekitarnya! "Lima miliar berapa sih, buat kamu? Duit kamu itu banyak, harta juga banyak. Masa lima miliar buat senangin suami kaga mau keluar duit? Hendra bisa makin cinta loh, sama kamu." Lilis mencoba merayu Juwi, seperti mengiming-imingkan anak kecil. Tapi Juwi tidak lah sebodoh yang dia pikirkan. "Iya, aku memang punya banyak uang. Tapi itu bukan untuk kamu. Pergi dari sini, jangan berharap aku akan kasih." Juwi bergegas berdiri dari kursinya, muak dia meladeni perempuan gila seperti Lilis. Tapi, Lilis tidak akan menyerah begitu saja. Selama belum mendapatkan apa yang dia inginkan, dia akan selau berusaha. Lilis menarik tangan Juwita sebelum perempuan itu masuk ke dalam rumah. Ia menghela napas
Suara gedoran pintu sudah tak terdengar, mungkin Lilis sudah pergi. Juwita masih mematung membelakangi pintu, dengan pikiran yang sangat kacau. Kata-kata Lilis membuat hatinya kesal sekesalnya. Setelah berpikir panjang, ia melangkah ke meja makan. Netranya memandangi meja makan, bekas sarapannya dengan Hendra, yang belum dirapikan. Piring itu masih terisi dengan makanan, hanya sedikit yang Hendra makan. Ini kah maksud Lilis yang mengatakan Hendra tidak akan semangat menjalani hidup, tanpa adanya Alan? Wanita berpakaian asisten rumah tangga datang dari arah dapur. "Sudah selesai kan, Bu?" tanya wanita itu. Juwi mengangguk sebelum berkata, "Ya. Tolong bereskan ini.” Asisten rumah tangga Juwita gegas membereskan sisa makanan dan juga peralatan dapur, sedangkan Juwita berjalan menaiki anak tangga, ia menuju ke kamarnya. Perkataan Lilis masih terngiang di pikirannya, membuat Juwita lebih kesal. “Uang! Uang dan uang! Kenapa Lilis itu tidak pernah berubah!” Juwita membuak pintu kama
Mobil berwarna kuning, memasuki area rumah sakit. Juwita hanya memakai baju ala kadarnya tidak sempat berganti lebih dulu. Dia berlari menuju meja resepsionis dengan celana kain dan kaus putih yang dilapis dengan cardigan. "Ada yang bisa kami bantu?” tanya perempuan yang duduk di balik meja resepsionis. Juwita tampak cemas ia bertanya kepada salah satu resepsionis. “Sus, pasien bernama Hendra Aditya, korban kecelakaan, dirawat di kamar mana, ya?" Resepsionis menatap komputer di depannya mencari pasien bernama Hendra. Tak sabar Juwita menunggu. Wajahnya tampak sangat panik, sedangkan jarinya mengetuk-ngetuk meja resepsionis tersebut. "Pak Hendra Aditya ada di ruang rawat mawar, nomor 337." "Terima kasih, Sus." Juwi lantas berlari meninggalkan meja itu, mencari nomor kamar yang dikatakan perempuan tersebut. “337,” ucap Juwita, ia memutar tubuhnya mencari angka yang dia sebutkan. Tidak lama, dia menemukan kamar itu. Juwi masuk dan langsung melihat Hendra berbaring di salah saru
Sejenak Hendra menunduk. Dia menatap lantai di bawah kakinya dan memikirkan pertanyaan itu. Cinta... Hendra tersenyum kecil.Tentu saja dia mencintai Juwita, dan cinta itu pula yang membuatnya selalu sabar dengan semua cobaan pernikahan mereka. Tapi Hendra tidak akan lupa bahwa cinta pula yang membuatnya menjadi suami yang terjual. Karena rasa cintanya pada Lilis dan tidak ingin istrinya bercerai, Hendra yang bodoh pun menerima pernikahan tertulis dengan Juwita.Bukankah cinta itu pula yang membuatnya menjadi menderita? Meski sangat mencintai Juwita, Hendra juga ingin mempertahankan harga dirinya.“Mencintai adalah hal yang sangat mematikan, sampai aku menjadi menantu Anda pun itu karena dulu aku mencintai mantan istriku. Jika sekali lagi aku mengalah demi cinta, bukan tak mungkin akan kehilangan harga diri lagi. Maka kuputuskan, bercerai adalah jalan yang sudah sepatutnya,” ucap Hendra dengan yakin.Juwita tidak kuasa mendengar perkataan Hendra, air matannya mengalir lebih deras oleh
Hendra mengangguk, tidak ingin mengulur waktu sehingga membuat orang-orang berharap banyak padanya. Semuanya harus diakhiri agar Juwita tidak terus merendahkannya.“Nggak mungkin,” bisik Juwita patah hati, kedua tangan memegangi kepalanya yang belum mampu menerima kenyataan. “Kamu nggak mungkin menanda tanganinya, kamu pasti berbohong.” Dia tatap suaminya dengan mata memelas, sungguh tidak Juwita harapkan benar-benar bercerai dari Hendra.“Maaf mengecewakan kamu. Tapi... kedatanganku ke sini untuk mengantarkan surat cerai itu.” Hendra mengeluarkan amplop yang Juwita kirimkan itu, dan membuka bagian yang sudah dia tanda tangani. Dia letakkan berkas itu di atas meja agar semua orang bisa melihatnya. “Aku hanya mengabulkan permintaan kamu. Dan lagi, aku rasa kita tidak mungkin meneruskan pernikahan yang sejak awal tidak sehat. Aku tidak ingin terus dikenal sebagai suami yang dibeli, maka itu memang sebaiknya kita bercerai saja.”Sebagai lelaki, Hendra punya harga diri. Meski di awal sud
Berkali-kali Juwita melirik ke pintu utama rumah orang tuanya. Duduknya tak bisa diam, bergeser setiap menit seakan tidak sabaran. Sofa yang didesain sangat empuk itu seakan tidak nyaman menjadi tempatnya. Dia melirik lagi, dan itu terus saja terulang setiap kali dia mendengar suara pergerakan seseorang di sekitarnya.Maria mengamati putrinya itu dari anak tangga, tampak penyesalan dan ragu-ragu di wajah cantik Juwi yang belakangan ini terlihat semakin kurus. Dia mendatangi putrinya dan duduk di sebelah Juwi.“Wi, tenangkan dirimu,” kata Maria, mungkin dengan ucapan itu putrinya bisa merasa lebih baik. “Pikirkan anak di kandungan kamu. Jika mamanya stres, anak kamu juga akan ikut stres di dalam sana.Mata sayu Juwi menatap mamanya ragu dan dia berkata, “Entah lah, Ma. Aku tidak bisa tenang sebelum melihat Hendra datang. Aku takut jika dia tidak benar-benar menemuiku,” katanya.Hendra memang tidak pernah berkata akan datang menemui Juwita, melainkan Armaja lah yang akan ditemui lelaki
Setelah mendapatkan bukti itu, polisi langsung memeriksanya. Benar saja, video yang Steve berikan sebagai bukti jelas adalah editan. Banyak bukti yang Armaja bawa sehingga Steve tidak bisa berkutik sekarang. Bukan hanya itu, Armaja juga berhasil menangkap pelaku yang selama ini bersembunyi di belakang Steve, sebagai orang yang mengunggah di media sosial.“Bukan saya yang bersalah, Pak! Dia yang lebih dulu memukul saya!” Steve meronta di tangan polisi. Dia terus menuduh Hendra lah yang sudah memukulnya terlebih dahulu, tapi bukti-bukti yang dibawa oleh Armaja tidak bisa dibohongi.Hendra yang masih sangat shock dengan kejadian ini, hanya bisa diam menyaksikan Armaja dan polisi menyelesaikan masalah mereka. Lelaki itu memeluk putranya erat, menenangkan Alan yang masih sesunggukan.“Dia yang memukul saya! Dia yang seharusnya ditangkap!” Steve menunjuk-nunjuk pada Hendra, sangat memuakkan. Bahkan ketika semua bukti sudah terarah padanya, lelaki itu masih saja ingin menyalahkan Hendra.And
Jalan raya itu sangat ramai oleh mobil-mobil yang berlalu lalang. Tak ada cela jika pun Hendra ingin lari dari kejaran polisi yang tengah menunggunya di luar sana. Pasrah. Hanya itu yang bisa Hendra lakukan sekarang. Dia tidak mungkin berlarian di jalanan menggendong Alan, seperti yang tadi dilakukannya. Bisa-bisa membuat Alan menjadi celaka.“Pak, bagaimana selanjutnya? Kita tidak bisa lewat, apakah kita harus menabrak mobil lainnya agar memberikan jalan?” tanya Rahmat dari bangku kemudi, dia tidak rela bosnya tertangkap begitu saja.Akan tetapi, Hendra sudah lelah. Perkataan Rahmat terlalu berisiko dan dia tidak ingin membuat masalah yang lebih besar.Dia melepaskan sebelah tangan dari punggung Alan, kemudian membuka pintu mobil itu sangat pelan.“Pak, jangan keluar. Bagaimana nasib Alan jika bapak sampai ke kantor polisi?” Rahmat masih mengingatkan.“Kita tidak mungkin membuat masalah yang lebih besar lagi, Mat. Aku tidak ingin kamu ikut ke dalam masalah ini.” Dia pun keluar dari
Taksi yang Hendra tumpangi dengan Alan pun meluncur di jalanan. Sopir taksi itu merasa iba melihat Alan yang menangis berkata takut, dia membayangkan andaikan dirinya bersama anaknya yang ada di posisi Hendra sekarang. Meski sebenarnya pak sopir juga terlihat ketakutan, wajahnya berkeringat saat melihat dua petugas polisi dari kaca spion-nya.“Bapak ini mau ke mana, toh? Saya nggak berani kalo Suria Hotel, itu terlalu jauh, takutnya dikejar sama polisi. Saya juga punya anak istri, Pak, tidak berani berurusan dengan mereka,” kata pak sopir, nadanya gemetar saat bertanya.Hendra pun tidak mungkin melibatkan orang lain dalam kasusnya. Suria Hotel terbilang jauh dari posisi mereka sekarang, sangat benar yang dikatakan sang sopir kalau petugas kepolisian itu mungkin tengah mengejarnya. Lagian, Hendra juga tidak mungkin pergi ke sana lagi, akan sangat gampang jika polisi melacaknya.Beruntung saja ponselnya terselip di saku celana Hendra, sehingga dia bisa menghubungi Rahmat untuk meminta
Ketika Hendra masih memaksa Lilis agar keluar dari mobilnya, dua mobil lainnya datang ke tempat itu. Berhenti tepat di sebelah Hendra, membuatnya bertanya-tanya siapa kira-kira orang yang datang di dalam sana. Hendra menghela napas panjang ketika melihat itu adalah Steve dan beberapa orang dengan kamera besar.Reporter lagi?Astaga... entah sampai kapan Hendra harus bertemu dengan orang-orang itu, dia sudah sangat lelah.Tidak cukup hanya Steve dan reporter saja yang datang ke sana. Tidak lebih dari dua menit, ada mobil polisi yang juga ikut parkir di halaman warga yang luas itu. Entah apa yang akan terjadi di ke depan nanti, Hendra sudah sangat lelah berpikir. Menghadapi Lilis saja sudah membuatnya kesulitan, kenapa Steve harus datang ke sini membawa reporter dan polisi?“Itu perempuan yang menghancurkan kaca mobil saya, tolong tangkap dia, Pak. Meski Lisa adalah istri saya, saya tidak terima mobil saya dirusak begitu saja,” kata Steve pada polisi, menunjuk Lilis di dalam mobil Hendr
“Jangan bawa Alan, Hendra! Kamu nggak boleh bawa dia sebelum kasih duit ke aku!”Hendra sudah berhasil merebut paksa Alan dari Lilis dan Ratna, tapi saat akan membawanya masuk ke mobil, Lilis segera menghentikan Hendra. Perempuan itu betul-betul tak merelakan Hendra pergi tanpa memberinya uang. Lilis bahkan bergantung di kaki Hendra, memegangi agar lelaki itu tidak bisa bergerak.“Kasih aku uang dulu! Kamu nggak boleh pergi dari sini sebelum ngasih aku uang!” kata Lilis terus berteriak, memeluk kaki Hendra sangat erat.Setiap kali Hendra akan melangkah, kakinya selalu ditahan oleh Lilis. Bahkan hampir saja Hendra terjatuh karena tidak bisa menjaga keseimbangan.“Lepasin, Lilis! Kamu ini jangan bikin malu!” Hendra berkata geram, orang-orang sudah berkerumun menyaksikan mereka di halaman itu. Sudah seperti suami kejam saja Hendra dengan posisi Lilis memeluk kakinya.“Nggak! Aku nggak bakal lepasin kaki kamu, sebelum kasih aku uang!” sahut Lilis semakin mempererat pelukannya di kaki Hend
Dalam kecewanya yang mendalam terhadap Steve, Lilis mencengkeram baju lelaki itu, lalu merosot perlahan-lahan. Saat itu dia mendengar deru mesin mobil di sebelahnya, dalam keputusasaan dia melihat ke kanan, berharap seseorang mungkin mendengar pertengkarannya dengan Steve. Mungkin seseorang itu bisa bersaksi untuk Lilis, bahwa semua ini sudah direncanakan Steve, dan laki-laki itu adalah alasannya bercerai dari Hendra.“He-Hendra. I-itu Hendra!” seru Lilis penuh harap. Dia berpikir Hendra bisa membantunya untuk itu.Namun, benarkah Hendra mau membantunya? Meski laki-laki itu mendengar pertengkarannya dengan Steve, Hendra tidak mungkin mau membantu Lilis. Harapan yang tadi sempat singgah, perlahan menjadi rasa takut.“Tidak! Dia tidak boleh mengambil Alan!” seru Lilis lantas berdiri. “Jangan ambil Alan! Alan milikku!”Tidak Lilis hiraukan lagi Steve yang kebingungan melihatnya, Lilis sudah berlari kembali ke dalam mobil. Dia harus menghentikan Hendra sebelum lebih dulu mengambil Alan.