Menjual diri? Benarkah Lilis menyuruh Hendra menjual diri? Sejak kapan pula Lilis bisa berbicara hal tabu seperti itu? Apakah ini yang Lilis pelajari selama dua hari pulang selalu malam?
“A-apa maksud kamu?” Hendra tergagap, tidak ingin percaya dengan isi kepalanya yang mulai berpikir buruk pada istrinya.
“Kamu yang jual diri, biar aku yang carikan pelanggan buat kamu.”
“Lilis!” sentak Hendra. "Aku udah cukup sabar, ya. Aku nggak akan segan-segan nampar kamu kalau berani ngomong gitu lagi!"
“Kalo kamu nggak mau, ya sudah. Nggak usah ngancam aku segala, deh... aku yang bakal jual diri kalo kamu nggak mau. Kamu mau bantu aku carikan om-om kaya, nggak?”
Apakah Lilis tidak sadar dengan ucapannya? Dia ingin suaminya menjual diri, apa yang ada di dalam kepalanya? Istri di luar sana justru banyak yang makan hati melihat suaminya menikah lagi. Hendra sendiri, jangankan berpikir menikah, bahkan membalas pesan dari wanita lain pun dia tidak mau. Tapi Lilis justru ingin Hendra menjual diri? Hendra menggeleng lemah, menurutnya istrinya sudah tidak waras.
Bagaimana dia bisa berpikir Lilis masih waras? Lilis bahkan terang-terangan meminta suaminya mencarikan om-om kaya.
“Kamu benar-benar udah gila, ya?”
“Iya, aku gila karna hidup miskin!” sambar Lilis bagai api yang menyala-nyala. “Sekarang kamu tinggal jawab, kamu mau aku carikan pelanggan atau aku yang jual diri!”
"Istri gila...!" teriak Hendra bersiap menampar istrinya.
Suara pintu diketuk mengagetkan pasangan suami istri yang sedang bertengkar itu. Kepala Hendra berputar menghadap jam dinding, sudah pukul 22:45, ternyata. Dia pikir mungkin tetangga mereka terganggu mendengar teriakan yang begitu keras sehingga datang menyuruh mereka diam.
“Jeng, Jeng Lisa....” panggil seseorang diikuti suara ketukan pintu, mengagetkan Lilis yang dipenuhi amarah.
Siapa yang memanggilnya dengan nama itu? Seingat Lilis, hanya teman-teman barunya yang tahu Lilis memakai nama Lisa. Dan jika itu adalah Vanny, tidak mungkin dia memanggil menggunakan embel-embel ‘Jeng’.
“Siapa lagi itu yang cari kamu?” tanya Hendra, membukakan pintu untuk tamu mereka.
Sesaat Hendra terdiam melihat wanita berparas ayu itu lagi. Wanita yang kemarin malam mengantar Lilis ke rumah, wanita yang membuat Lilis menjadi gila seperti sekarang.
“Mau apa cari istri saya? Pergi, jangan pernah datang mengganggu Lilis lagi!” usir Hendra tak tanggung-tanggung.
Lilis sendiri shock melihat Juwita di ambang pintu. ‘Sialan...!’ pikirnya. Percuma saja Lilis bebohong mengatakan dirinya juga orang kaya, tapi sekarang sudah tertangkap basah.
“Maaf, saya dihubungi petugas karaoke karena hape ini.” Juwita mengeluarkan ponsel dari dalam tasnya. “Aku lihat, ada foto Jeng Lisa di layarnya, jadi aku pikir pasti ini punya Jeng Lisa.” Juwi menyerahkannya pada Hendra.
“Lis, kamu pergi ke tempat karaoke?” tanya Hendra semakin shock. Bagaimana bisa istrinya yang lugu masuk ke tempat seperti itu? Apakah menjual diri seperti yang tadi Lilis ucapkan? “Jelasin gimana kamu bisa pergi ke tempat seperti itu, Lilis!”
“Berisik!” Lilis membalas Hendra tak kalah keras. Tak peduli dia jika Hendra marah atau benar-benar akan menceraikannya detik ini juga. Lilis lebih takut jika harus kehilangan teman-teman zumbanya.
Juwita sudah menemukan Lilis di rumah ini dan pastinya mendengar perdebatannya bersama Hendra. Juwi tentu sudah tahu bahwa sebenarnya Lilis hanya wanita miskin yang berbohong sebagai orang kaya, hanya untuk tetap bisa berteman dengan mereka. Jika Juwi sampai mengatakan yang sebenarnya, habis lah Lilis. Tak akan pernah lagi merasakan hidup layaknya orang kaya.
“Maaf sudah mengganggu, saya permisi dulu,” ucap Juwita berpamitan.
Tidak. Lilis tidak akan membiarkan dirinya terasing dari kumpulan mereka. Tidak akan pernah! Maka dia segera mengejar Juwita ke teras.
“Jeng Juwi, Jeng, tolong dengarin aku dulu, Jeng!” Dia tarik tangan Juwita agar tidak segera pergi. “Jeng Juwi sudah tau gimana kehidupan aku, tapi tolong jangan bilang ke yang lain, Jeng. Aku nggak mau mereka menjauhin aku,” mohonnya memelas. Mata Lilis berkaca-kaca menunjukkan dia tidak rela kehilangan teman-teman barunya.
“Meski aku tidak bilang ke mereka, lambat laun semua orang juga pasti menyadarinya. Jeng Lisa, aku rasa pun mereka sudah menyadarinya, hanya menunggu mereka menyaksikan dengan mata sendiri.”
“A-apa maksudnya, Jeng Juwi? Mereka tau kehidupan aku yang sebenarnya?” Lilis terkejut, tidak menyangka kebohongannya ternyata sudah tercium oleh teman-temannya. Padahal dia sudah berbohong sangat banyak, mengatakan suaminya adalah direktur di salah satu perusahaan besar, dan lebih banyak menghabiskan waktu di luar negeri untuk mengurus bisnis. Jika semua sampai terbongkar dan diasingkan dari kumpulan itu, tak bisa lagi dia berlagak kaya di depan teman-teman barunya. Dan tentu saja hidupnya akan kembali ke sehari-hari sebelumnya, mengurus rumah dan anak selama 24 jam. Itu menyebalkan.
“Aku rasa, sih, ya. Karna aku sendiri juga sudah menyadari semua ucapan Jeng Lisa bertolak belakang dengan yang kami lihat. Tidak masalah sebenarnya, tapi kebohongan Jeng Lisa yang bikin semuanya menjadi runyam,” ucap Juwi jujur.
Juwi sendiri sudah curiga melihat penampilan Lilis selama ini. Mana mungkin istri seorang direktur tidak bisa berdan-dan, tidak memiliki barang-barang bagus dan hanya mengenakan pakaian ala kadarnya.
Terus, kemarin saat mengantarkan Lilis pun dia sudah tahu bahwa sebenarnya suami Lilis hanya buruh di sebuah pabrik. Bukan direktur perusahaan yang sibuk mengurus bisnis di luar negeri. Juwi acuh karena dia tidak ingin ikut campur dalam kebohongan Lilis dan membiarkan kebohongan itu terbongkar dengan sendirinya.
“Jeng Juwi, tolong aku kali ini!” Lilis memaksa Juwita untuk mendengarkan ucapannya, sebelum wanita itu mengatakan pada yang lain siapa dia sebenarnya. “Hanya dalam satu atau dua minggu, tolong jangan katakan pada siapa pun. Aku bakal mengubah semua ini, akan membuat hidupku benar-benar memiliki semua yang aku katakan selama kemarin!”
“Hah?” Juwita melongo. Bagaimana mungkin dalam satu dua minggu semuanya akan berubah? Itu sungguh tidak masuk akal. “Dua minggu? Bagaimana caranya kamu membuat rumah mewah dalam dua minggu? Memangnya suami kamu bisa membangun perusahaan dalam satu malam?” Juwita sudah berbicara sangat santai, tidak pakai embel-embel 'jeng' pada Lilis.
“Bukan, bukan begitu.” Lilis tampak yakin semuanya akan berubah, dia lirik suaminya dan berkata dengan tegas, “Aku akan menjual suamiku. Delila aja bisa, kenapa aku tidak bisa? Aku bakal cari seseorang yang akan membelinya.”
“Lilis!” Hendra menatap istrinya tidak percaya, bagaimana bisa Lilis berkata seperti itu di depan wanita lain? Ini sangat menjatuhkan harga diri Hendra di depan orang lain. “Apa-apaan sih kamu ini?”
“Kenapa? Bukannya kamu bilang nggak mau cerai sama aku? Kalo kamu nggak mau cerai, berarti kamu harus siap menjual diri!” tegas Lilis.
Juwi yang mendengarnya juga ikut shock. Bukan, bukan dia tidak asing mendengar seorang istri rela berbagi dengan wanita lain, asalkan hidupnya terpenuhi. Meski teman-temannya menyembunyikan fakta dari dirinya, bukankah bangkai akan selalu mengeluarkan bau busuk? Juwi tahu tentang Delila, hanya tidak ingin mengurus kehidupan pribadi temannya saja.
Tapi mendengar Lilis bisa berbicara gamblang seperti itu sungguh membuat dia terperanga, seakan tak ada beban di hati wanita yang lebih muda dari dirinya ini untuk menjual suaminya sendiri. Sangat terang-terangan Lilis merendahkan suaminya sendiri di depan orang lain yang baru dia kenal. Apa itu tidak mengejutkan?
“Jaga ucapan kamu. Mungkin Delila kelihatan senang, tapi kita tidak tahu bagaimana di dalam hatinya,” peringat Juwita.
“Aku nggak keberatan, jika itu bisa mengubah hidup aku! Atau... mungkin kamu mau membeli suami aku? Aku dengar-dengar, kamu trauma menikah dengan laki-laki jahat, tapi suami aku baik kok, iya kan, Hen?” Lilis mencari dukungan dari suaminya. “Hendra nggak akan nyakitin Jeng Juwi, suami aku bukan orang kasar. Tapi Jeng Juwi harus ngasih aku uang yang banyak.”
Tak ada kah rasa malu atau pun sungkan di dirinya?
“Kamu gila, ya!” Hendra menarik Lilis masuk ke dalam rumah, sangat malu dia mendengar perkataan istrinya. “Jangan aneh-aneh, Lis. Sekali lagi kamu ngomong begitu aku nggak akan maafin kamu!”
“Kalo gitu cerain aku, dong! Kamu nggak mau jual diri, tapi aku mau! Cepetan cerain aku sekarang juga!”
“Lilis!”
“Nggak! Aku nggak mau dengar apa pun. Kalo kamu nggak mau cerai, kamu harus mau melakukan yang aku bilang, Hen!” Lilis membantah keras.
Juwita yang terus menyaksikan mereka bertengkar, ikut geram atas semua ucapan Lilis. Kenapa sih suami Lilis sangat sabar? Kenapa tidak diceraikan saja istri seperti ini? Lilis sudah menjatuhkan harga dirinya, tapi Hendra masih bisa menahan diri. Jika Juwita yang menjadi Hendra, dia pasti membuang perempuan seperti Lilis.
Apalagi Hendra bukannya sangat jelek. Dia tampan dengan tubuh tingginya. Hanya saja, penampilan yang ala kadarnya itu yang membuat Hendra terlihat biasa saja. Juwita sangat geram melihat Hendra yang lemah menghadapi Lilis. Perlukah Juwita benar-benar membeli Hendra seperti yang Lilis tawarkan?
**
Bersambung.
Pertengkaran Lilis dan Hendra masih terus berlanjut. Alan yang menangis kencang tak mengurunkan niat Lilis mendesak Hendra untuk keinginannya. Sampai kapan mereka akan terus bertengkar, apa tidak malu sama tetangga? Juwita sangat gemas melihat Lilis yang bersitegang memaksa Hendra menceraikannya.“Buruan ceraikan aku!” Lilis mendorong Hendra yang hanya menatap istrinya tajam.“Jangan berharap. Sampai kapan pun, aku nggak bakal mau pisah sama Alan!”“Oke, nggak apa-apa. Kalo gitu, kamu ambil Alan buat kamu dan aku yang pergi dari rumah ini!”“Lis!”“Nggak! Aku nggak mau dengar apa pun. Kalo kamu mau aku tetap di sini, kamu harus ikuti omongan aku!” Lilis berlari ke kamar dan mulai menyusun pakaian lagi ke dalam tasnya. “Aku nggak mau miskin sampai mati! Aku juga mau menikmati hidup seperti orang-orang.”Keduanya kembali saling merampas tas yang di tangan Lilis. Benar-bena
“Me-menikah?” Lilis masih tidak percaya dengan pendengarannya. “Kamu mau menikah dengan suami aku?” “Kenapa, kamu keberatan? Kalo gitu, aku nggak jadi beli suami kamu.” “Bu-bukan begitu!” seru Lilis, takut jika Juwita akan menarik lagi ucapannya. “Kamu yakin mau menikah dengan Hendra? Tiga miliar bukan uang yang sedikit, loh!” ucapnya penuh tekanan. “Yakin. Atau mungkin itu kurang? Oke, aku tambahi dengan satu unit apartemen.” Napas Lilis hampir berhenti. Dia sangat tidak percaya, bagaikan tertimbun reruntuhan uang yang sangat banyak. Bayangkan saja, uang 3 miliar pun sudah sangat besar, dan masih ditambah dengan satu unit apartemen? Astaga, mimpi apa Lilis kemarin malam! “Kamu keberatan?” tanya Juwita, melihat Lilis yang terdiam sangat lama seperti sedang mempertimbangkan. ‘Tiga miliar. Tiga miliar.' Lilis mengulang-ulang nominal yang Juwita ucapkan, di kepalanya. Hanya syarat menikah? Ah, itu mah kecil! Lilis nggak akan m
Beberapa saat Hendra terpaku di depan pintu kamarnya. Ada rasa takut jika Lilis akan benar melakukan apa yang tadi diucapkannya. Tentu saja itu menakutkan, Hendra tidak ingin istrinya menjadi nekad melakukan bunuh diri. Tak ada pilihan, dia pun membuka pintu kamar untuk memastikan istrinya baik-baik saja.Tapi fakta yang Hendra lihat sekarang adalah, Lilis tengah meletakkan sebilah pisau di atas pergelangan kirinya, dan menatap Hendra dengan tajam.“Kamu nggak mau nikah, kan? Berarti kamu juga harus rela aku mati!”“Lilis, jangan, Lis!” Hendra yang terkejut lantas memeluk sang istri untuk menghentikan perbuatan gila itu. Dia pegangi kedua tangan Lilis dan mendorongnya ke dinding rumah. “Jangan lakuin itu, jangan aneh!”“Lepasin aku! Aku nggak mau hidup begini terus-terusan! Kalo kamu nggak mau nikah sama Juwita, kamu juga harus rela lihat aku mati di depan kamu!” jerit Lilis bersama tangisan dari mulut
Senam zumba kali ini sangat spesial bagi Lilis. Dia bergerak penuh semangat mengingat jawaban suaminya tadi malam. Rasanya tidak sabar agar musik itu segera berhenti lantas dia akan menemui Juwita dan mengatakan bahwa Hendra sudah setuju.“Satu, dua, tiga, empat....”Juwita sebagai instruktur mereka terus menghitung, bersahutan dengan musik yang sangat kencang di arena yang dikelilingi cermin besar. Lilis terus menari dengan semangat sembari menatap dirinya di pantulan cermin di sebelahnya.‘Sebentar lagi aku bakalan kaya! Aku bisa beli baju-baju bagu, sepatu bagus, juga perhiasan mahal kayak punya kalian!’ batinnya terus berbicara dan sesekali menatap teman-temannya.Hingga olahraga zumba itu berakhir, semua anggota duduk di atas lantai untuk meregangkan tubuh mereka. Lilis sama sekali tidak merasa lelah seperti biasa, mungkin karena terlalu senang akan menjadi orang kaya?“Lis, mau ganti bareng, nggak?” Vanny m
“Ada apa sih, Lis... ini mau ngapain?” tanya Hendra tidak mengerti, saat Lilis memaksanya mengenakan pakaian rapi. Tidak biasanya Lilis sangat perhatian seperti ini, mengambilkan baju dari lemari, membantu Hendra mengenakannya, bahkan sekarang menyisir rambutnya. Tidak seperti Lilis yang biasanya.“Lis, jawab dulu, dong. Ini ada apa aku harus pake baju bagus? Cuma mau tidur juga.”“Kamu harus ketemu Juwita, Sayang. Tadi sore dia bilang, dia mau ketemu kamu dulu. Inget, ya, di sana nggak usah banyak ngomong. Bilang aja kamu setuju nikah sama dia, tentukan tanggal nikahnya biar urusan cepat kelar.”Sontak hal itu membuat Hendra terkejut bukan main. Ternyata kebaikan istrinya tidak lah tulus seperti yang dia bayangkan. Lilis melakukan semua ini masih tetap demi... uang yang Juwita tawarkan.“Tapi, Lis-““Nggak ada tapi-tapian! Ingat, kamu udah janji kemarin malam,” serga Lilis memotong ucapan
Hendra berdiri di depan bangunan dua lantai nan mewah itu. Di pintunya dipasangi lampu led membentuk sebuah tulisan ‘Union Cafe’, tempat yang disuruh Lilis untuk dia datangi. Ya, dia akhirnya datang ke tempat itu setelah perdebatan dengan istri dan ibu mertuanya.Bagi Hendra, harga dirinya sudah tak ada. Dan demi memuaskan hati Lilis juga Ratna, Hendra akan melakukan apa yang mereka minta.“Pak Hendra?” sapa seorang berpakaian pelayan ‘Bagaimana dia bisa tahu namaku?’ pikir Hendra sejenak. Seakan paham isi kepala Hendra, pelayan itu tersenyum sebelum kembali berbicara. “Silakan, Pak. Bu Juwita menunggu Bapak di dalam.”Ternyata perempuan itu yang menyuruh pelayan ini. Sebenarnya... seberapa kaya dan hebatnya perempuan bernama Juwita itu, sampai dia tahu Hendra sudah berada di luar sini? Sambil mengikuti pelayan berkemeja putih itu, Hendra terus memikirkan siapa Juwita sebenarnya dan kenapa dia tertarik pada Hendra.
“Gimana? Apa kata Juwita sama kamu? Dia setuju nikah sama kamu kan, Hen? Juwita nggak batalin ucapannya malam itu, kan?”Baru saja Hendra tiba di rumah, Lilis sudah menghujaninya dengan berbagai pertanyaan. Istrinya itu bahkan tidak melihat suasana wajah Hendra yang kusut oleh beratnya beban pikiran. Hendra merasa kecewa pada sikap Lilis yang sangat keterlaluan, tapi hanya pasrah yang bisa dia lakukan.“Kok bengong, sih, Hen? Kamu nggak pergi ke mana-mana, kan? Kamu beneran nemuin Juwita atau malah ke mana, sih?” tanya Lilis sekali lagi.Rasanya tak ada gunanya Hendra berharap Lilis akan sedikit mengerti perasaannya. Wanita yang dia nikahi ini sudah tidak seperti wanita yang dulu Hendra kenal.“Ayo dong, Hen... kamu kenapa hanya diam? Bilang sama aku, apa yang Juwita ucapkan di pertemuan kalian,” paksa Lilis tak menyerah. Suaranya merengek dibuat seperti ingin menangis.“Dia bilang, besok kami menikah. Gima
Hendra masih bergeming, sementara Lilis uring-uringan memikirkan mungkin uangnya akan kembali Juwita ambil saat pernikahan itu berakhir. Lihatlah wajah Lilis yang bengis dengan bibir mencibir, membuat Hendra ingin menjerit karenanya.“Juwita nggak bilang begitu, dia juga nggak bilang mengurangi uang yang kalian janjikan.” Tapi sekali lagi, Hendra tahan gemuruh di dalam dadanya untuk membuat semuanya tetap baik-baik saja.Lilis tersenyum sumringah, kekhawatirannya hilang seketika. “Bagus, dong. Hanya lima tahun, dari mana lagi kita bisa dapat uang dan apartemen mewah? Itu justru menguntungkan kita, Hen! Setelah pernikahan kalian berakhir, kita bisa hidup layak tanpa gangguan siapa pun, benar kan?”Bayangkan saja. Lima tahun bukanlah waktu yang sedikit jika dibandingkan akan segala yang dia dapatkan. Bahkan jika Hendra bekerja sampai tua pun belum tentu mereka akan mendapatkan uang tiga miliar dan apartemen mewah. Lilis tidak keberatan, jus
Sejenak Hendra menunduk. Dia menatap lantai di bawah kakinya dan memikirkan pertanyaan itu. Cinta... Hendra tersenyum kecil.Tentu saja dia mencintai Juwita, dan cinta itu pula yang membuatnya selalu sabar dengan semua cobaan pernikahan mereka. Tapi Hendra tidak akan lupa bahwa cinta pula yang membuatnya menjadi suami yang terjual. Karena rasa cintanya pada Lilis dan tidak ingin istrinya bercerai, Hendra yang bodoh pun menerima pernikahan tertulis dengan Juwita.Bukankah cinta itu pula yang membuatnya menjadi menderita? Meski sangat mencintai Juwita, Hendra juga ingin mempertahankan harga dirinya.“Mencintai adalah hal yang sangat mematikan, sampai aku menjadi menantu Anda pun itu karena dulu aku mencintai mantan istriku. Jika sekali lagi aku mengalah demi cinta, bukan tak mungkin akan kehilangan harga diri lagi. Maka kuputuskan, bercerai adalah jalan yang sudah sepatutnya,” ucap Hendra dengan yakin.Juwita tidak kuasa mendengar perkataan Hendra, air matannya mengalir lebih deras oleh
Hendra mengangguk, tidak ingin mengulur waktu sehingga membuat orang-orang berharap banyak padanya. Semuanya harus diakhiri agar Juwita tidak terus merendahkannya.“Nggak mungkin,” bisik Juwita patah hati, kedua tangan memegangi kepalanya yang belum mampu menerima kenyataan. “Kamu nggak mungkin menanda tanganinya, kamu pasti berbohong.” Dia tatap suaminya dengan mata memelas, sungguh tidak Juwita harapkan benar-benar bercerai dari Hendra.“Maaf mengecewakan kamu. Tapi... kedatanganku ke sini untuk mengantarkan surat cerai itu.” Hendra mengeluarkan amplop yang Juwita kirimkan itu, dan membuka bagian yang sudah dia tanda tangani. Dia letakkan berkas itu di atas meja agar semua orang bisa melihatnya. “Aku hanya mengabulkan permintaan kamu. Dan lagi, aku rasa kita tidak mungkin meneruskan pernikahan yang sejak awal tidak sehat. Aku tidak ingin terus dikenal sebagai suami yang dibeli, maka itu memang sebaiknya kita bercerai saja.”Sebagai lelaki, Hendra punya harga diri. Meski di awal sud
Berkali-kali Juwita melirik ke pintu utama rumah orang tuanya. Duduknya tak bisa diam, bergeser setiap menit seakan tidak sabaran. Sofa yang didesain sangat empuk itu seakan tidak nyaman menjadi tempatnya. Dia melirik lagi, dan itu terus saja terulang setiap kali dia mendengar suara pergerakan seseorang di sekitarnya.Maria mengamati putrinya itu dari anak tangga, tampak penyesalan dan ragu-ragu di wajah cantik Juwi yang belakangan ini terlihat semakin kurus. Dia mendatangi putrinya dan duduk di sebelah Juwi.“Wi, tenangkan dirimu,” kata Maria, mungkin dengan ucapan itu putrinya bisa merasa lebih baik. “Pikirkan anak di kandungan kamu. Jika mamanya stres, anak kamu juga akan ikut stres di dalam sana.Mata sayu Juwi menatap mamanya ragu dan dia berkata, “Entah lah, Ma. Aku tidak bisa tenang sebelum melihat Hendra datang. Aku takut jika dia tidak benar-benar menemuiku,” katanya.Hendra memang tidak pernah berkata akan datang menemui Juwita, melainkan Armaja lah yang akan ditemui lelaki
Setelah mendapatkan bukti itu, polisi langsung memeriksanya. Benar saja, video yang Steve berikan sebagai bukti jelas adalah editan. Banyak bukti yang Armaja bawa sehingga Steve tidak bisa berkutik sekarang. Bukan hanya itu, Armaja juga berhasil menangkap pelaku yang selama ini bersembunyi di belakang Steve, sebagai orang yang mengunggah di media sosial.“Bukan saya yang bersalah, Pak! Dia yang lebih dulu memukul saya!” Steve meronta di tangan polisi. Dia terus menuduh Hendra lah yang sudah memukulnya terlebih dahulu, tapi bukti-bukti yang dibawa oleh Armaja tidak bisa dibohongi.Hendra yang masih sangat shock dengan kejadian ini, hanya bisa diam menyaksikan Armaja dan polisi menyelesaikan masalah mereka. Lelaki itu memeluk putranya erat, menenangkan Alan yang masih sesunggukan.“Dia yang memukul saya! Dia yang seharusnya ditangkap!” Steve menunjuk-nunjuk pada Hendra, sangat memuakkan. Bahkan ketika semua bukti sudah terarah padanya, lelaki itu masih saja ingin menyalahkan Hendra.And
Jalan raya itu sangat ramai oleh mobil-mobil yang berlalu lalang. Tak ada cela jika pun Hendra ingin lari dari kejaran polisi yang tengah menunggunya di luar sana. Pasrah. Hanya itu yang bisa Hendra lakukan sekarang. Dia tidak mungkin berlarian di jalanan menggendong Alan, seperti yang tadi dilakukannya. Bisa-bisa membuat Alan menjadi celaka.“Pak, bagaimana selanjutnya? Kita tidak bisa lewat, apakah kita harus menabrak mobil lainnya agar memberikan jalan?” tanya Rahmat dari bangku kemudi, dia tidak rela bosnya tertangkap begitu saja.Akan tetapi, Hendra sudah lelah. Perkataan Rahmat terlalu berisiko dan dia tidak ingin membuat masalah yang lebih besar.Dia melepaskan sebelah tangan dari punggung Alan, kemudian membuka pintu mobil itu sangat pelan.“Pak, jangan keluar. Bagaimana nasib Alan jika bapak sampai ke kantor polisi?” Rahmat masih mengingatkan.“Kita tidak mungkin membuat masalah yang lebih besar lagi, Mat. Aku tidak ingin kamu ikut ke dalam masalah ini.” Dia pun keluar dari
Taksi yang Hendra tumpangi dengan Alan pun meluncur di jalanan. Sopir taksi itu merasa iba melihat Alan yang menangis berkata takut, dia membayangkan andaikan dirinya bersama anaknya yang ada di posisi Hendra sekarang. Meski sebenarnya pak sopir juga terlihat ketakutan, wajahnya berkeringat saat melihat dua petugas polisi dari kaca spion-nya.“Bapak ini mau ke mana, toh? Saya nggak berani kalo Suria Hotel, itu terlalu jauh, takutnya dikejar sama polisi. Saya juga punya anak istri, Pak, tidak berani berurusan dengan mereka,” kata pak sopir, nadanya gemetar saat bertanya.Hendra pun tidak mungkin melibatkan orang lain dalam kasusnya. Suria Hotel terbilang jauh dari posisi mereka sekarang, sangat benar yang dikatakan sang sopir kalau petugas kepolisian itu mungkin tengah mengejarnya. Lagian, Hendra juga tidak mungkin pergi ke sana lagi, akan sangat gampang jika polisi melacaknya.Beruntung saja ponselnya terselip di saku celana Hendra, sehingga dia bisa menghubungi Rahmat untuk meminta
Ketika Hendra masih memaksa Lilis agar keluar dari mobilnya, dua mobil lainnya datang ke tempat itu. Berhenti tepat di sebelah Hendra, membuatnya bertanya-tanya siapa kira-kira orang yang datang di dalam sana. Hendra menghela napas panjang ketika melihat itu adalah Steve dan beberapa orang dengan kamera besar.Reporter lagi?Astaga... entah sampai kapan Hendra harus bertemu dengan orang-orang itu, dia sudah sangat lelah.Tidak cukup hanya Steve dan reporter saja yang datang ke sana. Tidak lebih dari dua menit, ada mobil polisi yang juga ikut parkir di halaman warga yang luas itu. Entah apa yang akan terjadi di ke depan nanti, Hendra sudah sangat lelah berpikir. Menghadapi Lilis saja sudah membuatnya kesulitan, kenapa Steve harus datang ke sini membawa reporter dan polisi?“Itu perempuan yang menghancurkan kaca mobil saya, tolong tangkap dia, Pak. Meski Lisa adalah istri saya, saya tidak terima mobil saya dirusak begitu saja,” kata Steve pada polisi, menunjuk Lilis di dalam mobil Hendr
“Jangan bawa Alan, Hendra! Kamu nggak boleh bawa dia sebelum kasih duit ke aku!”Hendra sudah berhasil merebut paksa Alan dari Lilis dan Ratna, tapi saat akan membawanya masuk ke mobil, Lilis segera menghentikan Hendra. Perempuan itu betul-betul tak merelakan Hendra pergi tanpa memberinya uang. Lilis bahkan bergantung di kaki Hendra, memegangi agar lelaki itu tidak bisa bergerak.“Kasih aku uang dulu! Kamu nggak boleh pergi dari sini sebelum ngasih aku uang!” kata Lilis terus berteriak, memeluk kaki Hendra sangat erat.Setiap kali Hendra akan melangkah, kakinya selalu ditahan oleh Lilis. Bahkan hampir saja Hendra terjatuh karena tidak bisa menjaga keseimbangan.“Lepasin, Lilis! Kamu ini jangan bikin malu!” Hendra berkata geram, orang-orang sudah berkerumun menyaksikan mereka di halaman itu. Sudah seperti suami kejam saja Hendra dengan posisi Lilis memeluk kakinya.“Nggak! Aku nggak bakal lepasin kaki kamu, sebelum kasih aku uang!” sahut Lilis semakin mempererat pelukannya di kaki Hend
Dalam kecewanya yang mendalam terhadap Steve, Lilis mencengkeram baju lelaki itu, lalu merosot perlahan-lahan. Saat itu dia mendengar deru mesin mobil di sebelahnya, dalam keputusasaan dia melihat ke kanan, berharap seseorang mungkin mendengar pertengkarannya dengan Steve. Mungkin seseorang itu bisa bersaksi untuk Lilis, bahwa semua ini sudah direncanakan Steve, dan laki-laki itu adalah alasannya bercerai dari Hendra.“He-Hendra. I-itu Hendra!” seru Lilis penuh harap. Dia berpikir Hendra bisa membantunya untuk itu.Namun, benarkah Hendra mau membantunya? Meski laki-laki itu mendengar pertengkarannya dengan Steve, Hendra tidak mungkin mau membantu Lilis. Harapan yang tadi sempat singgah, perlahan menjadi rasa takut.“Tidak! Dia tidak boleh mengambil Alan!” seru Lilis lantas berdiri. “Jangan ambil Alan! Alan milikku!”Tidak Lilis hiraukan lagi Steve yang kebingungan melihatnya, Lilis sudah berlari kembali ke dalam mobil. Dia harus menghentikan Hendra sebelum lebih dulu mengambil Alan.