Hati siapa yang tidak sakit mendengar anak sambungnya pergi bermain dengan mantan istri suaminya? Apalagi, Hendra sendiri yang mengizinkan semua itu terjadi dan tanpa sepengetahuan Juwita. Ini kah namanya pengkhianatan?Ya, Juwita merasa Hendra sudah mengkhianati dirinya, dengan mempertemukan Alan secara diam-diam dengan Lilis. Sudah barang tentu pula suaminya sering bertemu dengan perempuan itu.“Kamu bertemu Lilis? Alan pergi dengan Lilis?” tanya Juwita, dia tahu ini pertanyaan yang sangat konyol sebab tak mungkin ada tante lain yang Alan maksud. Hendra tidak memiliki sanak keluarga di kota ini.Sudah berapa kali mereka bertemu? Dua, tiga, empat, atau mungkin lebih? Ah... bodoh. Kenapa juga Juwita bertanya sudah berapa kali Hendra bertemu dengan Lilis, sedang masih ada pertanyaan yang seharusnya lebih pantas dia lontarkan.“Apa saja yang kalian bicarakan saat bertemu? Apa yang kamu lakukan diam-diam di belakangku?” tanya Juwita, hatinya sangat sakit dan dia tertawa ironis memikirkan
Dari pintu kamar mereka Hendra melihat Juwita tengah menangis, dan dia tidak berpikir untuk membujuknya sama sekali. Bukan karena Hendra tidak peduli pada istrinya, tapi bagaimana pun, Juwita juga tidak jujur padanya.Apa salahnya hanya bertemu? Hendra dan Lilis memiliki anak yang memang seharusnya mendapat perhatian dari kedua orang tuanya. Seharusnya Juwita tidak terlalu egois melarang Lilis bertemu dengan Alan.“Sudah berapa kali kalian bertemu? Di mana, dan apa saja yang kalian lakukan?”Sekarang Juwita berdiri di depan Hendra menatapnya dengan sorot menuduh, seakan Hendra adalah laki-laki murahan yang tidur dengan semua perempuan yang dia temui di luar sana.“Aku sudah bilang, aku tidak melakukan apa pun dengannya! Kenapa kamu membuat aku seakan-akan sudah tidur dengan semua perempuan di luar sana?” tanya Hendra geram, tatapan Juwita sangat mengitimidasi dirinya.“Apa aku berkata kamu tidur dengannya, kapan aku berkata seperti itu?” Tapi Juwita selalu punya jawaban untuk membuat
‘Kamu sendiri tidak lebih baik daripada Lilis yang berselingkuh!’Kalimat yang Hendra ucapkan masih terus terngiang di kepala Juwita, berulang membuat dia termenung lama. Dia tidak mencegah kepergian Hendra yang sudah hilang dari pandangan, pikiran terus saja fokus memutar ulang ucapan Hendra yang menyamaratakan dirinya dan Lilis.“Dia anggap aku seperti Lilis?” gumam Juwita kemudian, sangat tidak terima dirinya.Lilis itu perempuan busuk! Lilis tega menjual anak dan suaminya demi bisa hidup mewah. Lilis juga tidak pernah merasa puas dengan uang dan segala yang dia dapat, perempuan itu masih tega berselingkuh terang-terangan di depan Hendra, lalu meminta cerai. Lilis bahkan tidak memikirkan perasaan Hendra yang saat itu masih berstatus resmi istri pertama Hendra, tapi dengan teganya menikah dengan lelaki lain. Sementara Juwita, apakah dia pernah menyakiti Hendra sedalam itu, sampai Hendra menyamakan dirinya dengan Lilis? Juwita tak habis pikir dengan tuduhan tak beralasan Hendra.“Ken
“Loh, kok kamu sendiri? Alan di mana, bukannya kamu bilang mau bawa Alan?”Lilis menyambut kedatangan Hendra dengan senyum ramah yang selalu dia pamerkan belakangan ini, seakan dia adalah perempuan yang sangat baik. Tapi saat melihat wajah Hendra yang kusut dan penuh tekanan, dia tahu sesuatu yang tidak beres sedang terjadi pada Hendra.“Maaf, hari ini aku tidak bisa bawa Alan padamu.”Sebuah kursi Lilis sodorkan untuk diduduki Hendra. Sekarang dia menjadi perempuan yang sangat tenang, tidak seperti dulu yang penuh dengan emosi. Lilis sudah banyak belajar dari kesalahan dan tidak akan mengulangi lagi kesalahan itu.“Duduk dulu, ngomong yang benar. Kayaknya kamu lagi tertekan banget,” ucap Lilis mempersilakan. Meski dalam hatinya sangat kesal mendengar Hendra tidak bisa membawakan Alan padanya, dia tidak ingin menunjukkan emosi.“Ada apa? Muka kamu kusut banget, nggak seperti hari biasanya.” Lagi, Lilis berbicara.Hendra sendiri tidak pernah berniat ingin menceritakan apa yang sedang t
Tak sia-sia memang Lilis melahirkan Alan ke dunia ini. Hendra sangat mencintai anak itu sampai-sampai tak bisa mendengar hal-hal yang merugikan putranya. Lilis sangat senang melihat Hendra akhirnya duduk di depannya.‘Begitu dong, jangan jadi laki-laki goblok terus!’ ucap Lilis sambil tertawa membatin.Sejenak Lilis menyusun kalimat di dalam pikirannya, agar Hendra tidak lantas curiga. Lilis mencari alasan yang paling tepat untuk menarik Hendra dengan perlahan.“Kamu bilang, Lilis sudah tahu Alan sering bertemu aku?”Hendra tak punya selera bahkan untuk menjawab pertanyaan itu, hanya mengangguk yang bisa dia lakukan sekarang.“Kalau begitu, Juwita pasti berpikir mungkin kamu ada niat kembali padaku.” Dia sangat girang menunggu respons Hendra.Akan tetapi, respons yang Hendra tunjukkan hanya wajah malas yang sama sekali tidak tertarik dengan ucapan Lilis.“Itu konyol. Kita sama-sama sudah memiliki keluarga, tidak mungkin dia berpikir demikian.”Sial! Hendra memang terlalu polos dalam
Pikiran sudah tidak di badan lagi, emosi mempermainkan diri dengan prasangka buruk yang begitu banyak memenuhi kepala. Juwita duduk di dalam mobilnya dengan pandangan lurus ke depan sana, tak ingin melewatkan sebuah momen yang dinanti-nanti.Dia tidak tahu di mana kedua orang itu melakukan pertemuannya, sehingga hanya menunggu lah yang bisa Juwi lakukan. Hendra pasti akan kembali ke resto setelah bertemu dengan Lilis, atau mungkin akan datang dengan perempuan itu? Ya, Juwita ingin melihat sendiri bagaimana keduanya saat berjalan bersama.Hingga waktunya pun tiba, mobil milik Hendra terlihat memasuki parkiran yang biasa digunakan. Mata Juwita tak ingin lepas sedikit pun dari mobil berwarna hitam itu. Akan tetapi, Juwi tidak melihat keberadaan Lilis di sana. Hendra keluar dari dalam mobil, berjalan menuju tangga penghubung ke lantai atas, di mana restorannya berada.“Ke mana perempuan itu, kenapa kamu tidak membawanya?” bisik Juwita sendiri.Padahal, Juwita sudah merencanakan menangkap
Ancaman itu tidak main-main. Dengan keberanian Juwita mendatangi apartemen Lilis, tentunya perempuan itu sudah mempersiapkan serangan untuk Steve dan istrinya. Tak bisa diabaikan, Steve mengaku dirinya tidak rela jika harus terseret ke dalam penjara.“Bukannya lu sendiri yang bilang semua ini harus ditutupi? Kenapa sekarang lu ngancam gue? Lagian, semua itu antara lu dan Lilis, gue hanya orang yang bersaksi bahwa Lilis menjual anaknya ke lu. Jangan mengancam gue, lu juga bakal kena dengan kasus ini!”Steve mungkin terlihat menyedihkan sekarang, tapi dia pernah bersekolah juga. Meski bukan bersekolah di bidang hukum, Steve sedikit banyaknya tahu apa itu hukum.Tawa Juwita terdengar renyah menertawakan laki-laki di depannya, membuat Steve menggertakkan giginya.“Jangan mempermainkan orang, kau akan kesulitan sendiri.”“Oh ya? Bukannya kalian yang lebih dulu mempermainkan orang lain? Lantas, kenapa aku tidak boleh membalas perbuatan kalian itu?” balas Juwita masih diselingi dengan tawa m
Dibunuh? Juwita tidak akan membiarkan dirinya mati di tangan laki-laki gila itu, dia segera bangkit meski pinggangnya masih terasa sakit. Juwita berlari menuju pintu, berharap bisa melepaskan diri dari tangan laki-laki sakit jiwa itu.“Buka, buka pintunya! Tolong, siapa pun tolong bukakan pintunya!” teriak Juwita, tangannya sibuk memukul daun pintu.“Lu mau ke mana? Pintu itu pakai password, percuma lu gedor-degor juga nggak bakal terbuka. Lagian orang-orang di sini nggak akan peduli, jangan harap seseorang bakal bantuin lu.” Steve menertawakan Juwita di belakangnya.“Apa-apaan ini? Lepaskan aku, kamu tidak boleh mengurung seseorang begini!” sentak Juwita dalam kepanikan.“Kenapa tidak? Lu datang ke rumah gue dengan ancaman nggak guna, gue hanya ingin membela diri. Siapa yang rela diseret ke penjara begitu saja, goblok?” ejek Steve lagi, tawa menjijikkan itu terus saja keluar dari mulutnya.Astaga... tampaknya Juwita terlalu bersemangat mengancam Steve sampai lupa dengan tujuan kedata
Sejenak Hendra menunduk. Dia menatap lantai di bawah kakinya dan memikirkan pertanyaan itu. Cinta... Hendra tersenyum kecil.Tentu saja dia mencintai Juwita, dan cinta itu pula yang membuatnya selalu sabar dengan semua cobaan pernikahan mereka. Tapi Hendra tidak akan lupa bahwa cinta pula yang membuatnya menjadi suami yang terjual. Karena rasa cintanya pada Lilis dan tidak ingin istrinya bercerai, Hendra yang bodoh pun menerima pernikahan tertulis dengan Juwita.Bukankah cinta itu pula yang membuatnya menjadi menderita? Meski sangat mencintai Juwita, Hendra juga ingin mempertahankan harga dirinya.“Mencintai adalah hal yang sangat mematikan, sampai aku menjadi menantu Anda pun itu karena dulu aku mencintai mantan istriku. Jika sekali lagi aku mengalah demi cinta, bukan tak mungkin akan kehilangan harga diri lagi. Maka kuputuskan, bercerai adalah jalan yang sudah sepatutnya,” ucap Hendra dengan yakin.Juwita tidak kuasa mendengar perkataan Hendra, air matannya mengalir lebih deras oleh
Hendra mengangguk, tidak ingin mengulur waktu sehingga membuat orang-orang berharap banyak padanya. Semuanya harus diakhiri agar Juwita tidak terus merendahkannya.“Nggak mungkin,” bisik Juwita patah hati, kedua tangan memegangi kepalanya yang belum mampu menerima kenyataan. “Kamu nggak mungkin menanda tanganinya, kamu pasti berbohong.” Dia tatap suaminya dengan mata memelas, sungguh tidak Juwita harapkan benar-benar bercerai dari Hendra.“Maaf mengecewakan kamu. Tapi... kedatanganku ke sini untuk mengantarkan surat cerai itu.” Hendra mengeluarkan amplop yang Juwita kirimkan itu, dan membuka bagian yang sudah dia tanda tangani. Dia letakkan berkas itu di atas meja agar semua orang bisa melihatnya. “Aku hanya mengabulkan permintaan kamu. Dan lagi, aku rasa kita tidak mungkin meneruskan pernikahan yang sejak awal tidak sehat. Aku tidak ingin terus dikenal sebagai suami yang dibeli, maka itu memang sebaiknya kita bercerai saja.”Sebagai lelaki, Hendra punya harga diri. Meski di awal sud
Berkali-kali Juwita melirik ke pintu utama rumah orang tuanya. Duduknya tak bisa diam, bergeser setiap menit seakan tidak sabaran. Sofa yang didesain sangat empuk itu seakan tidak nyaman menjadi tempatnya. Dia melirik lagi, dan itu terus saja terulang setiap kali dia mendengar suara pergerakan seseorang di sekitarnya.Maria mengamati putrinya itu dari anak tangga, tampak penyesalan dan ragu-ragu di wajah cantik Juwi yang belakangan ini terlihat semakin kurus. Dia mendatangi putrinya dan duduk di sebelah Juwi.“Wi, tenangkan dirimu,” kata Maria, mungkin dengan ucapan itu putrinya bisa merasa lebih baik. “Pikirkan anak di kandungan kamu. Jika mamanya stres, anak kamu juga akan ikut stres di dalam sana.Mata sayu Juwi menatap mamanya ragu dan dia berkata, “Entah lah, Ma. Aku tidak bisa tenang sebelum melihat Hendra datang. Aku takut jika dia tidak benar-benar menemuiku,” katanya.Hendra memang tidak pernah berkata akan datang menemui Juwita, melainkan Armaja lah yang akan ditemui lelaki
Setelah mendapatkan bukti itu, polisi langsung memeriksanya. Benar saja, video yang Steve berikan sebagai bukti jelas adalah editan. Banyak bukti yang Armaja bawa sehingga Steve tidak bisa berkutik sekarang. Bukan hanya itu, Armaja juga berhasil menangkap pelaku yang selama ini bersembunyi di belakang Steve, sebagai orang yang mengunggah di media sosial.“Bukan saya yang bersalah, Pak! Dia yang lebih dulu memukul saya!” Steve meronta di tangan polisi. Dia terus menuduh Hendra lah yang sudah memukulnya terlebih dahulu, tapi bukti-bukti yang dibawa oleh Armaja tidak bisa dibohongi.Hendra yang masih sangat shock dengan kejadian ini, hanya bisa diam menyaksikan Armaja dan polisi menyelesaikan masalah mereka. Lelaki itu memeluk putranya erat, menenangkan Alan yang masih sesunggukan.“Dia yang memukul saya! Dia yang seharusnya ditangkap!” Steve menunjuk-nunjuk pada Hendra, sangat memuakkan. Bahkan ketika semua bukti sudah terarah padanya, lelaki itu masih saja ingin menyalahkan Hendra.And
Jalan raya itu sangat ramai oleh mobil-mobil yang berlalu lalang. Tak ada cela jika pun Hendra ingin lari dari kejaran polisi yang tengah menunggunya di luar sana. Pasrah. Hanya itu yang bisa Hendra lakukan sekarang. Dia tidak mungkin berlarian di jalanan menggendong Alan, seperti yang tadi dilakukannya. Bisa-bisa membuat Alan menjadi celaka.“Pak, bagaimana selanjutnya? Kita tidak bisa lewat, apakah kita harus menabrak mobil lainnya agar memberikan jalan?” tanya Rahmat dari bangku kemudi, dia tidak rela bosnya tertangkap begitu saja.Akan tetapi, Hendra sudah lelah. Perkataan Rahmat terlalu berisiko dan dia tidak ingin membuat masalah yang lebih besar.Dia melepaskan sebelah tangan dari punggung Alan, kemudian membuka pintu mobil itu sangat pelan.“Pak, jangan keluar. Bagaimana nasib Alan jika bapak sampai ke kantor polisi?” Rahmat masih mengingatkan.“Kita tidak mungkin membuat masalah yang lebih besar lagi, Mat. Aku tidak ingin kamu ikut ke dalam masalah ini.” Dia pun keluar dari
Taksi yang Hendra tumpangi dengan Alan pun meluncur di jalanan. Sopir taksi itu merasa iba melihat Alan yang menangis berkata takut, dia membayangkan andaikan dirinya bersama anaknya yang ada di posisi Hendra sekarang. Meski sebenarnya pak sopir juga terlihat ketakutan, wajahnya berkeringat saat melihat dua petugas polisi dari kaca spion-nya.“Bapak ini mau ke mana, toh? Saya nggak berani kalo Suria Hotel, itu terlalu jauh, takutnya dikejar sama polisi. Saya juga punya anak istri, Pak, tidak berani berurusan dengan mereka,” kata pak sopir, nadanya gemetar saat bertanya.Hendra pun tidak mungkin melibatkan orang lain dalam kasusnya. Suria Hotel terbilang jauh dari posisi mereka sekarang, sangat benar yang dikatakan sang sopir kalau petugas kepolisian itu mungkin tengah mengejarnya. Lagian, Hendra juga tidak mungkin pergi ke sana lagi, akan sangat gampang jika polisi melacaknya.Beruntung saja ponselnya terselip di saku celana Hendra, sehingga dia bisa menghubungi Rahmat untuk meminta
Ketika Hendra masih memaksa Lilis agar keluar dari mobilnya, dua mobil lainnya datang ke tempat itu. Berhenti tepat di sebelah Hendra, membuatnya bertanya-tanya siapa kira-kira orang yang datang di dalam sana. Hendra menghela napas panjang ketika melihat itu adalah Steve dan beberapa orang dengan kamera besar.Reporter lagi?Astaga... entah sampai kapan Hendra harus bertemu dengan orang-orang itu, dia sudah sangat lelah.Tidak cukup hanya Steve dan reporter saja yang datang ke sana. Tidak lebih dari dua menit, ada mobil polisi yang juga ikut parkir di halaman warga yang luas itu. Entah apa yang akan terjadi di ke depan nanti, Hendra sudah sangat lelah berpikir. Menghadapi Lilis saja sudah membuatnya kesulitan, kenapa Steve harus datang ke sini membawa reporter dan polisi?“Itu perempuan yang menghancurkan kaca mobil saya, tolong tangkap dia, Pak. Meski Lisa adalah istri saya, saya tidak terima mobil saya dirusak begitu saja,” kata Steve pada polisi, menunjuk Lilis di dalam mobil Hendr
“Jangan bawa Alan, Hendra! Kamu nggak boleh bawa dia sebelum kasih duit ke aku!”Hendra sudah berhasil merebut paksa Alan dari Lilis dan Ratna, tapi saat akan membawanya masuk ke mobil, Lilis segera menghentikan Hendra. Perempuan itu betul-betul tak merelakan Hendra pergi tanpa memberinya uang. Lilis bahkan bergantung di kaki Hendra, memegangi agar lelaki itu tidak bisa bergerak.“Kasih aku uang dulu! Kamu nggak boleh pergi dari sini sebelum ngasih aku uang!” kata Lilis terus berteriak, memeluk kaki Hendra sangat erat.Setiap kali Hendra akan melangkah, kakinya selalu ditahan oleh Lilis. Bahkan hampir saja Hendra terjatuh karena tidak bisa menjaga keseimbangan.“Lepasin, Lilis! Kamu ini jangan bikin malu!” Hendra berkata geram, orang-orang sudah berkerumun menyaksikan mereka di halaman itu. Sudah seperti suami kejam saja Hendra dengan posisi Lilis memeluk kakinya.“Nggak! Aku nggak bakal lepasin kaki kamu, sebelum kasih aku uang!” sahut Lilis semakin mempererat pelukannya di kaki Hend
Dalam kecewanya yang mendalam terhadap Steve, Lilis mencengkeram baju lelaki itu, lalu merosot perlahan-lahan. Saat itu dia mendengar deru mesin mobil di sebelahnya, dalam keputusasaan dia melihat ke kanan, berharap seseorang mungkin mendengar pertengkarannya dengan Steve. Mungkin seseorang itu bisa bersaksi untuk Lilis, bahwa semua ini sudah direncanakan Steve, dan laki-laki itu adalah alasannya bercerai dari Hendra.“He-Hendra. I-itu Hendra!” seru Lilis penuh harap. Dia berpikir Hendra bisa membantunya untuk itu.Namun, benarkah Hendra mau membantunya? Meski laki-laki itu mendengar pertengkarannya dengan Steve, Hendra tidak mungkin mau membantu Lilis. Harapan yang tadi sempat singgah, perlahan menjadi rasa takut.“Tidak! Dia tidak boleh mengambil Alan!” seru Lilis lantas berdiri. “Jangan ambil Alan! Alan milikku!”Tidak Lilis hiraukan lagi Steve yang kebingungan melihatnya, Lilis sudah berlari kembali ke dalam mobil. Dia harus menghentikan Hendra sebelum lebih dulu mengambil Alan.