Pikiran sudah tidak di badan lagi, emosi mempermainkan diri dengan prasangka buruk yang begitu banyak memenuhi kepala. Juwita duduk di dalam mobilnya dengan pandangan lurus ke depan sana, tak ingin melewatkan sebuah momen yang dinanti-nanti.Dia tidak tahu di mana kedua orang itu melakukan pertemuannya, sehingga hanya menunggu lah yang bisa Juwi lakukan. Hendra pasti akan kembali ke resto setelah bertemu dengan Lilis, atau mungkin akan datang dengan perempuan itu? Ya, Juwita ingin melihat sendiri bagaimana keduanya saat berjalan bersama.Hingga waktunya pun tiba, mobil milik Hendra terlihat memasuki parkiran yang biasa digunakan. Mata Juwita tak ingin lepas sedikit pun dari mobil berwarna hitam itu. Akan tetapi, Juwi tidak melihat keberadaan Lilis di sana. Hendra keluar dari dalam mobil, berjalan menuju tangga penghubung ke lantai atas, di mana restorannya berada.“Ke mana perempuan itu, kenapa kamu tidak membawanya?” bisik Juwita sendiri.Padahal, Juwita sudah merencanakan menangkap
Ancaman itu tidak main-main. Dengan keberanian Juwita mendatangi apartemen Lilis, tentunya perempuan itu sudah mempersiapkan serangan untuk Steve dan istrinya. Tak bisa diabaikan, Steve mengaku dirinya tidak rela jika harus terseret ke dalam penjara.“Bukannya lu sendiri yang bilang semua ini harus ditutupi? Kenapa sekarang lu ngancam gue? Lagian, semua itu antara lu dan Lilis, gue hanya orang yang bersaksi bahwa Lilis menjual anaknya ke lu. Jangan mengancam gue, lu juga bakal kena dengan kasus ini!”Steve mungkin terlihat menyedihkan sekarang, tapi dia pernah bersekolah juga. Meski bukan bersekolah di bidang hukum, Steve sedikit banyaknya tahu apa itu hukum.Tawa Juwita terdengar renyah menertawakan laki-laki di depannya, membuat Steve menggertakkan giginya.“Jangan mempermainkan orang, kau akan kesulitan sendiri.”“Oh ya? Bukannya kalian yang lebih dulu mempermainkan orang lain? Lantas, kenapa aku tidak boleh membalas perbuatan kalian itu?” balas Juwita masih diselingi dengan tawa m
Dibunuh? Juwita tidak akan membiarkan dirinya mati di tangan laki-laki gila itu, dia segera bangkit meski pinggangnya masih terasa sakit. Juwita berlari menuju pintu, berharap bisa melepaskan diri dari tangan laki-laki sakit jiwa itu.“Buka, buka pintunya! Tolong, siapa pun tolong bukakan pintunya!” teriak Juwita, tangannya sibuk memukul daun pintu.“Lu mau ke mana? Pintu itu pakai password, percuma lu gedor-degor juga nggak bakal terbuka. Lagian orang-orang di sini nggak akan peduli, jangan harap seseorang bakal bantuin lu.” Steve menertawakan Juwita di belakangnya.“Apa-apaan ini? Lepaskan aku, kamu tidak boleh mengurung seseorang begini!” sentak Juwita dalam kepanikan.“Kenapa tidak? Lu datang ke rumah gue dengan ancaman nggak guna, gue hanya ingin membela diri. Siapa yang rela diseret ke penjara begitu saja, goblok?” ejek Steve lagi, tawa menjijikkan itu terus saja keluar dari mulutnya.Astaga... tampaknya Juwita terlalu bersemangat mengancam Steve sampai lupa dengan tujuan kedata
“Bekerja sama? Katamu bekerja sama denganmu?”Tawa Steve terdengar memenuhi ruangan. Gila, itu yang pertama kali dia pikirkan tentang Juwita yang mengajak bekerja sama. Mereka adalah musuh, Juwita bahkan berkata akan menjebloskan Steve ke dalam penjara dengan berbagai cara, bahkan mengganti isi surat kontrak. Lantas sekarang berkata ingin bekerja sama dengannya, bukankah itu sesuatu yang gila?“Tampaknya otak orang kaya memang nggak normal ya, sama seperti mantan suami lu yang goblok itu, padahal banyak perempuan yang rela memuaskan nafsunya. Ha! Ha! Ha!” Steve menyebutkan Arman bodoh karena merelakan dirinya di penjara, hanya karena nafsu sesaat.“Jangan gila deh, gue nggak tertarik nidurin lu!” Mata Steve melirik Juwita dari atas ke bawah. Menarik sih, sangat menarik malahan.Juwita sangat cantik, kulitnya putih bersih bagaikan porselen, rambutnya yang panjang itu juga sempat Steve cium saat di pintu tadi, wangi dan menyegarkan di hidung. Jika dibandingkan dengan Lilis, sangat jauh
“Ini surat yang kau minta, dan ini... kontrak kerja sama kita. Jangan berpikir aku akan memberimu uang jika kau tidak melakukan seperti yang aku katakan.”Juwita menyodorkan dua berkas di depan Steve. Dia memiliki banyak orang yang bisa disuruh, jadi tidak perlu lama bagi Juwita untuk mendapatkan surat penting yang diincar laki-laki itu.Tak ingin tertipu, Steve membaca isi kedua surat kontrak itu dan tertawa di menit berikutnya. Juwita tidak berbohong, berkas itu adalah surat yang dulu dia tanda tangani bersama Lilis. Dan untuk kontrak kedua, tentu saja isinya sama persis dengan yang Juwita katakan tadi—menjauhkan Lilis dari Hendra.“Baik lah, ini tidak sulit. Di mana penanya, gue ingin kerja sama kita segera dimulai dan lu kasih duitnya.” Steve sudah tak sabar ingin mendapatkan uang yang banyak dari Juwita.Perempuan itu bagaikan pohon uang, tak akan pernah habis berapa pun yang Steve minta. Ini adalah kesempatan bagus, maka Steve tidak terlalu peduli karena harus mengkhianati Lilis
Beruntung Juwita sudah keluar dari unit apartemen perempuan itu, sehingga Lilis tidak harus tahu apa yang dia lakukan di sana. Lilis tak boleh tahu Juwita dan Steve mengadakan kerja sama yang akan melawan perempuan di depannya.“Mencarimu, kenapa aku harus mencarimu?” ucap Juwita berbohong.Tujuan Juwita yang sebenarnya memang lah ingin mencari Lilis ke sana, tapi ternyata kesempatan lain justru dia dapatkan untuk memperalat suami Lilis. Dia sangat muak melihat wajah Lilis, bahkan sangat ingin menampar wajah menyebalkan itu, tapi Juwita berusaha menahannya dan terlihat tetap tenang.“Lantas apa tujuanmu datang ke sini? Jelas-jelas kau berada di depan gedung apartemenku!” sentak Lilis kesal.Lilis belum berhasil menaklukkan hati Hendra, justru laki-laki itu baru saja menghinanya. Sedangkan di dalam sana, di unit apartemennya masih ada Steve yang menumpang padanya. Lilis tidak ingin kehilangan tempat tinggal jika Steve tahu dirinya selama ini berbohong, jangan sampai Juwita memberitahu
Kepercayaan diri Juwita jatuh seketika. Kata-kata yang Lilis ucapkan mampu membuat dirinya tak bisa berkutik sekarang. Kekhawatiran yang sempat dia pikirkan tempo hari, bagaimana bisa Lilis tahu akan hal itu? Juwita bahkan tidak pernah mengatakan pada Hendra, tentang keraguannya apakah anak di dalam perutnya adalah benih Arman.Kepalanya terasa sakit, pandangan Juwita berputar di tengah parkiran gedung mewah itu. Juwi bahkan tidak bisa membalas tatapan Lilis lagi.“Ibu Juwita, Anda baik-baik saja?” Asisten perempuan itu menangkap tubuh Juwita yang limbung, menahannya agar tidak terjatuh.Ini hal yang memalukan. Tidak hanya di depan Lilis, bahkan di depan bawahannya pun Juwita harus kehilangan harga diri.“Novi, masuk lah lebih dulu ke mobil,” ucap Juwita, rahasia terdalamnya tidak harus diketahui oleh orang lain.“Tapi, Bu—““Masuk lah, aku masih ada urusan dengannya.”Perempuan itu tak punya pilihan. Sebagai asisten dia hanya bisa melakukan perintah atasannya.“Sudah sadar sekarang?
Juwita berputar-putar di dalam kamar, sudah seperti setrika yang tidak lelah bermondar mandir. Kedua tangan saling meremas sedangkan pikiran masih terusik dengan ucapan Lilis saat mereka bertemu tadi.Tes DNA, ya... hanya itu yang bisa Juwita lakukan untuk membuktikan anak yang dia kandung bukan milik Arman, melainkan benih Hendra. Harus kah dia melakukannya sekarang?“Tidak, itu tidak penting. Jika aku melakukannya, sama saja aku meragukan anak di dalam perutku,” ucap Juwita sendiri, desah napas putus asa pun keluar dari mulutnya.Bagaimana bisa Juwita terpengaruh oleh ucapan Lilis? Jelas-jelas perempuan itu hanya ingin merusak rumah tangganya.“Dia tak mau aku dan Hendra punya anak, sudah pasti akan dia lakukan apa pun untuk membuat aku stress. Ya, pasti seperti itu.” Juwita meyakinkan dirinya sendiri.Lilis tidak senang akan kehamilan Juwita sebab tak ingin Juwi dan Hendra hidup bahagia. Lilis ingin hanya dirinya lah yang memiliki anak bersama Hendra, agar posisinya selalu di atas
Sejenak Hendra menunduk. Dia menatap lantai di bawah kakinya dan memikirkan pertanyaan itu. Cinta... Hendra tersenyum kecil.Tentu saja dia mencintai Juwita, dan cinta itu pula yang membuatnya selalu sabar dengan semua cobaan pernikahan mereka. Tapi Hendra tidak akan lupa bahwa cinta pula yang membuatnya menjadi suami yang terjual. Karena rasa cintanya pada Lilis dan tidak ingin istrinya bercerai, Hendra yang bodoh pun menerima pernikahan tertulis dengan Juwita.Bukankah cinta itu pula yang membuatnya menjadi menderita? Meski sangat mencintai Juwita, Hendra juga ingin mempertahankan harga dirinya.“Mencintai adalah hal yang sangat mematikan, sampai aku menjadi menantu Anda pun itu karena dulu aku mencintai mantan istriku. Jika sekali lagi aku mengalah demi cinta, bukan tak mungkin akan kehilangan harga diri lagi. Maka kuputuskan, bercerai adalah jalan yang sudah sepatutnya,” ucap Hendra dengan yakin.Juwita tidak kuasa mendengar perkataan Hendra, air matannya mengalir lebih deras oleh
Hendra mengangguk, tidak ingin mengulur waktu sehingga membuat orang-orang berharap banyak padanya. Semuanya harus diakhiri agar Juwita tidak terus merendahkannya.“Nggak mungkin,” bisik Juwita patah hati, kedua tangan memegangi kepalanya yang belum mampu menerima kenyataan. “Kamu nggak mungkin menanda tanganinya, kamu pasti berbohong.” Dia tatap suaminya dengan mata memelas, sungguh tidak Juwita harapkan benar-benar bercerai dari Hendra.“Maaf mengecewakan kamu. Tapi... kedatanganku ke sini untuk mengantarkan surat cerai itu.” Hendra mengeluarkan amplop yang Juwita kirimkan itu, dan membuka bagian yang sudah dia tanda tangani. Dia letakkan berkas itu di atas meja agar semua orang bisa melihatnya. “Aku hanya mengabulkan permintaan kamu. Dan lagi, aku rasa kita tidak mungkin meneruskan pernikahan yang sejak awal tidak sehat. Aku tidak ingin terus dikenal sebagai suami yang dibeli, maka itu memang sebaiknya kita bercerai saja.”Sebagai lelaki, Hendra punya harga diri. Meski di awal sud
Berkali-kali Juwita melirik ke pintu utama rumah orang tuanya. Duduknya tak bisa diam, bergeser setiap menit seakan tidak sabaran. Sofa yang didesain sangat empuk itu seakan tidak nyaman menjadi tempatnya. Dia melirik lagi, dan itu terus saja terulang setiap kali dia mendengar suara pergerakan seseorang di sekitarnya.Maria mengamati putrinya itu dari anak tangga, tampak penyesalan dan ragu-ragu di wajah cantik Juwi yang belakangan ini terlihat semakin kurus. Dia mendatangi putrinya dan duduk di sebelah Juwi.“Wi, tenangkan dirimu,” kata Maria, mungkin dengan ucapan itu putrinya bisa merasa lebih baik. “Pikirkan anak di kandungan kamu. Jika mamanya stres, anak kamu juga akan ikut stres di dalam sana.Mata sayu Juwi menatap mamanya ragu dan dia berkata, “Entah lah, Ma. Aku tidak bisa tenang sebelum melihat Hendra datang. Aku takut jika dia tidak benar-benar menemuiku,” katanya.Hendra memang tidak pernah berkata akan datang menemui Juwita, melainkan Armaja lah yang akan ditemui lelaki
Setelah mendapatkan bukti itu, polisi langsung memeriksanya. Benar saja, video yang Steve berikan sebagai bukti jelas adalah editan. Banyak bukti yang Armaja bawa sehingga Steve tidak bisa berkutik sekarang. Bukan hanya itu, Armaja juga berhasil menangkap pelaku yang selama ini bersembunyi di belakang Steve, sebagai orang yang mengunggah di media sosial.“Bukan saya yang bersalah, Pak! Dia yang lebih dulu memukul saya!” Steve meronta di tangan polisi. Dia terus menuduh Hendra lah yang sudah memukulnya terlebih dahulu, tapi bukti-bukti yang dibawa oleh Armaja tidak bisa dibohongi.Hendra yang masih sangat shock dengan kejadian ini, hanya bisa diam menyaksikan Armaja dan polisi menyelesaikan masalah mereka. Lelaki itu memeluk putranya erat, menenangkan Alan yang masih sesunggukan.“Dia yang memukul saya! Dia yang seharusnya ditangkap!” Steve menunjuk-nunjuk pada Hendra, sangat memuakkan. Bahkan ketika semua bukti sudah terarah padanya, lelaki itu masih saja ingin menyalahkan Hendra.And
Jalan raya itu sangat ramai oleh mobil-mobil yang berlalu lalang. Tak ada cela jika pun Hendra ingin lari dari kejaran polisi yang tengah menunggunya di luar sana. Pasrah. Hanya itu yang bisa Hendra lakukan sekarang. Dia tidak mungkin berlarian di jalanan menggendong Alan, seperti yang tadi dilakukannya. Bisa-bisa membuat Alan menjadi celaka.“Pak, bagaimana selanjutnya? Kita tidak bisa lewat, apakah kita harus menabrak mobil lainnya agar memberikan jalan?” tanya Rahmat dari bangku kemudi, dia tidak rela bosnya tertangkap begitu saja.Akan tetapi, Hendra sudah lelah. Perkataan Rahmat terlalu berisiko dan dia tidak ingin membuat masalah yang lebih besar.Dia melepaskan sebelah tangan dari punggung Alan, kemudian membuka pintu mobil itu sangat pelan.“Pak, jangan keluar. Bagaimana nasib Alan jika bapak sampai ke kantor polisi?” Rahmat masih mengingatkan.“Kita tidak mungkin membuat masalah yang lebih besar lagi, Mat. Aku tidak ingin kamu ikut ke dalam masalah ini.” Dia pun keluar dari
Taksi yang Hendra tumpangi dengan Alan pun meluncur di jalanan. Sopir taksi itu merasa iba melihat Alan yang menangis berkata takut, dia membayangkan andaikan dirinya bersama anaknya yang ada di posisi Hendra sekarang. Meski sebenarnya pak sopir juga terlihat ketakutan, wajahnya berkeringat saat melihat dua petugas polisi dari kaca spion-nya.“Bapak ini mau ke mana, toh? Saya nggak berani kalo Suria Hotel, itu terlalu jauh, takutnya dikejar sama polisi. Saya juga punya anak istri, Pak, tidak berani berurusan dengan mereka,” kata pak sopir, nadanya gemetar saat bertanya.Hendra pun tidak mungkin melibatkan orang lain dalam kasusnya. Suria Hotel terbilang jauh dari posisi mereka sekarang, sangat benar yang dikatakan sang sopir kalau petugas kepolisian itu mungkin tengah mengejarnya. Lagian, Hendra juga tidak mungkin pergi ke sana lagi, akan sangat gampang jika polisi melacaknya.Beruntung saja ponselnya terselip di saku celana Hendra, sehingga dia bisa menghubungi Rahmat untuk meminta
Ketika Hendra masih memaksa Lilis agar keluar dari mobilnya, dua mobil lainnya datang ke tempat itu. Berhenti tepat di sebelah Hendra, membuatnya bertanya-tanya siapa kira-kira orang yang datang di dalam sana. Hendra menghela napas panjang ketika melihat itu adalah Steve dan beberapa orang dengan kamera besar.Reporter lagi?Astaga... entah sampai kapan Hendra harus bertemu dengan orang-orang itu, dia sudah sangat lelah.Tidak cukup hanya Steve dan reporter saja yang datang ke sana. Tidak lebih dari dua menit, ada mobil polisi yang juga ikut parkir di halaman warga yang luas itu. Entah apa yang akan terjadi di ke depan nanti, Hendra sudah sangat lelah berpikir. Menghadapi Lilis saja sudah membuatnya kesulitan, kenapa Steve harus datang ke sini membawa reporter dan polisi?“Itu perempuan yang menghancurkan kaca mobil saya, tolong tangkap dia, Pak. Meski Lisa adalah istri saya, saya tidak terima mobil saya dirusak begitu saja,” kata Steve pada polisi, menunjuk Lilis di dalam mobil Hendr
“Jangan bawa Alan, Hendra! Kamu nggak boleh bawa dia sebelum kasih duit ke aku!”Hendra sudah berhasil merebut paksa Alan dari Lilis dan Ratna, tapi saat akan membawanya masuk ke mobil, Lilis segera menghentikan Hendra. Perempuan itu betul-betul tak merelakan Hendra pergi tanpa memberinya uang. Lilis bahkan bergantung di kaki Hendra, memegangi agar lelaki itu tidak bisa bergerak.“Kasih aku uang dulu! Kamu nggak boleh pergi dari sini sebelum ngasih aku uang!” kata Lilis terus berteriak, memeluk kaki Hendra sangat erat.Setiap kali Hendra akan melangkah, kakinya selalu ditahan oleh Lilis. Bahkan hampir saja Hendra terjatuh karena tidak bisa menjaga keseimbangan.“Lepasin, Lilis! Kamu ini jangan bikin malu!” Hendra berkata geram, orang-orang sudah berkerumun menyaksikan mereka di halaman itu. Sudah seperti suami kejam saja Hendra dengan posisi Lilis memeluk kakinya.“Nggak! Aku nggak bakal lepasin kaki kamu, sebelum kasih aku uang!” sahut Lilis semakin mempererat pelukannya di kaki Hend
Dalam kecewanya yang mendalam terhadap Steve, Lilis mencengkeram baju lelaki itu, lalu merosot perlahan-lahan. Saat itu dia mendengar deru mesin mobil di sebelahnya, dalam keputusasaan dia melihat ke kanan, berharap seseorang mungkin mendengar pertengkarannya dengan Steve. Mungkin seseorang itu bisa bersaksi untuk Lilis, bahwa semua ini sudah direncanakan Steve, dan laki-laki itu adalah alasannya bercerai dari Hendra.“He-Hendra. I-itu Hendra!” seru Lilis penuh harap. Dia berpikir Hendra bisa membantunya untuk itu.Namun, benarkah Hendra mau membantunya? Meski laki-laki itu mendengar pertengkarannya dengan Steve, Hendra tidak mungkin mau membantu Lilis. Harapan yang tadi sempat singgah, perlahan menjadi rasa takut.“Tidak! Dia tidak boleh mengambil Alan!” seru Lilis lantas berdiri. “Jangan ambil Alan! Alan milikku!”Tidak Lilis hiraukan lagi Steve yang kebingungan melihatnya, Lilis sudah berlari kembali ke dalam mobil. Dia harus menghentikan Hendra sebelum lebih dulu mengambil Alan.