“Kamu yakin bisa kerja? Sayang, ini kehamilan pertama kamu, loh. Masih banyak pantangan orang hamil yang kamu nggak tahu. Orang hamil itu banyak pamalinya.” Kabar kehamilan Juwita tidak hanya membahagiakan pasangan suami istri itu saja. Ketika mereka menghubungi kedua orang tua Juwi, segera mereka bergegas datang untuk mengucapkan selamat untuk putrinya. Bahkan ketika Juwita berangkat ke kantor pun, Maria turut serta mengantarkan Juwita sampai ke lobi. “Wi, mending pikirkan dulu, Sayang. Kamu ini butuh istirahat yang banyak, biarkan papa kamu saja yang urus kantor, ya. Setidaknya sampai anak kamu lahir,” ucap Maria lagi, berharap Juwi akan mengurungkan niatnya. “Ma, dokter juga bilang nggak apa-apa, kok. Lagian toh aku bisa merasakan jika tubuhku nggak enak, aku bakal langsung pulang dan meminta Hendra menjemputku.”Juwi mencoba memberi pengertian pada mamanya, bahwa dia dan Hendra sudah sepakat jika Juwita tidak sanggup bekerja dia harus pulang ke rumah. Tapi keraguan seorang ibu
Sekitar beberapa menit Lilis memendar pemandangan di restoran itu, akhirnya bisa melihat Hendra datang dari arah berlawanan. Lilis membuat senyumnya sangat lebar menyambut Hendra, berpikir mungkin akan membuat suaminya senang. Tapi tanpa diduga, Hendra langsung menarik lengan Lilis dan membawanya keluar dari tempat itu.“Kamu kenapa, sih? Lepasin, Hen, tangan aku sakit ditarik-tarik begini tahu nggak?” serga Lilis kesal, memegangi pergelangannya yang dicengkeram kuat oleh Hendra.Sebenarnya Hendra sangat muak dengan sikap Lilis yang belakangan ini terlalu berani. Padahal sudah beberapa kali diingatkan agar perempuan itu tidak terlalu sering menemuinya.Selain karena Hendra sudah menikah dan bahagia bersama Juwita, Hendra juga tak ingin disebut-sebut ada hubungan terlarang dengan mantan istrinya itu. Lilis memiliki suami seorang aktor, sudah barang tentu hidupnya juga sangat dekat dengan pandangan publik, dan Hendra tidak ingin dirinya ikut terbawa ke dalam gosip murahan yang akan membu
“Selamat atas kehamilan Juwita, kalau begitu.”Lilis mengucapkan kata selamat dengan mengulurkan tangannya. Tentu saja itu hanya ucapan di bibir, tapi di dalam hatinya Lilis tak rela dengan kebahagiaan yang tengah Juwita rasakan. Bahkan ketika melihat mata Hendra berbinar saat mengatakan kehamilan istrinya pun sudah menyayat hati Lilis sangat sakit.Bukan Lilis tidak sadar dirinya lah yang memberi kesempatan Juwita berbahagia dengan Hendra. Tapi Lilis punya alasan untuk semua itu. Dia tidak mungkin menjual suaminya sendiri jika seluruh kebutuhannya tercukupi saat bersama dengan Hendra.“Kenapa tidak menerima ucapan selamat dariku?” tanya Lilis, menyadari Hendra sama sekali tidak menyambut uluran tangannya. Sesak di dalam dadanya semakin sakit Lilis rasakan. “Baik lah, aku paham. Kamu pasti tidak ingin ada seseorang melihat kita berjabat tangan, lantas melaporkannya pada istrimu. Ya... perempuan hamil memang sangat sensitif, aku pernah begitu saat mengandung Alan,” lanjut Lilis lagi, l
“Aku bahkan yakin kamu masih mencintaiku sampai sekarang, Hendra. Kamu hanya sedang melawan perasaan itu, mendahulukan ego atas perbuatanku padamu, dulu. Aku tidak mungkin salah, buktinya kamu sendiri nggak mampu menolak keinginan aku.”Lilis berbicara sendiri membawa mobilnya meninggalkan mal tempatnya bertemu dengan Hendra.Sangat wajar Hendra bersikap jaga jarak dengan Lilis, bukan? Hendra pasti masih kesal mengingat Lilis menjualnya pada Juwita di masa yang lalu. Laki-laki memang seperti itu, merasa harga dirinya sangat penting padahal saat itu pun mereka sangat terdesak. Jika saja Hendra paham tujuan Lilis hanya ingin mengangkat derajat rumah tangganya, agar tidak selalu hidup miskin dan serba kekurangan, sepatutnya lelaki itu tidak harus membenci Lilis.Ini juga demi kebaikan mereka, hanya Hendra saja yang terlalu bodoh dalam menyikapinya dan berpikir Lilis jahat. Ini juga demi Alan agar bisa bersekolah di tempat yang layak, mendapat kehidupan yang lebih baik, tidak ketinggalan s
Karena kesalahan kecil sudah berani menjawab perkataan Steve, Lilis harus mendapat perlakuan kasar lagi dari laki-laki itu. Apa lagi jika bukan pukulan? Wajah Lilis sudah membiru disebabkan tinju Steve yang mengenai tepat di bawah matanya. Hanya bisa menangis dan mengutuk yang bisa Lilis lakukan, sebab jika berani angkat suara lagi, dia pasti mendapat pukulan yang lebih hebat lagi.“Ampun, ampun, Steve....” ucap Lilis, saat Steve mengangkat tangannya sekali lagi, bersiap memberinya pukulan.Steve menurunkan tangannya dan berkata dengan kejam, “Bersyukur lu, gue masih setengah mabuk. Kalau tidak, yakin lu sudah babak belur sekarang. Enak saja lu nyuruh-nyuruh gue cari duit? Lu nggakk sadar, gue kehilangan ketenaran itu karena elu!” sentak Steve dan kembali ke atas sofa.Lilis tidak menjawab tuduhan laki-laki itu, sebab dia sadar hanya akan membuatnya dalam kesulitan. Lilis juga sadar, dulu memang dia lah yang sangat tergila-gila ingin menikah dengan Steve, sampai-sampai tidak mencari t
Alan mendongak menatap sang mama, ada keterkejutan di wajah anak itu. Wajah polos Alan terlihat bingung, membuat Juwita harus menahan kembali kalimat selanjutnya yang harus dia ucapkan. Juwita sedikit ragu merasa mungkin Alan tidak senang dengan kehamilannya? Dia harus memilah kalimat yang tepat sebelum melanjutkan kalimatnya lagi.“Adik bayi?” tanya Alan masih dengan wajahnya yang bingung, mata polos anak itu seakan sedang mencari sesuatu di manik mata Juwita.Alan memang belum tahu tentang kehamilan Juwita, sebab hari itu dia tinggal dengan Maria. Baru tadi malam Maria datang mengantarkan Alan setelah Hendra menelepon. Wajar saja Alan masih bingung, apalagi mengingat usianya yang masih sangat kecil pasti lah membingungkan baginya mendengar akan segera memiliki seorang adik bayi.“Iya, Sayang, Alan akan punya adik bayi. Apa Alan suka adik bayi?” kata Juwita lagi, ingin memastikan apakah Alan mungkin tidak menyukai kehadiran sang adik.Bukan hanya Juwita saja ternyata yang terlihat kh
“Aku tidak seharusnya membentak Alan, dia masih terlalu kecil untuk mengerti,” ucap Hendra, dia meletakkan pekerjaannya dengan kasar, memijit kepala yang sedikit sakit oleh beban pikiran.Seharian Hendra tidak tenang dalam bekerja. Setiap kali pertanyaan Alan masih berputar di kepalanya membuat laki-laki itu sangat merasa bersalah. Hendra tidak pernah memarahi Alan dengan suara bentakan, dan itu membuat dirinya merasa menjadi ayah yang buruk, yang tak bisa mengerti betapa kecilnya masih Alan.Tanpa berpikir panjang, Hendra sudah mengambil ponselnya dari laci meja dan menghubungi nomor ponsel Lilis. Dia berpikir mungkin perasaan bersalah itu akan sedikit hilang jika dia mengizinkan putranya bertemu dengan ibu kandungnya.“Iya, Hen, ada apa?” Suara Lilis terdengar girang di ujung sana. Sebenarnya Hendra tidak senang menyadari Lilis betapa bersemangat mendapat telepon darinya.“Kau sibuk? Ada pekerjaan?”“Nggak, aku lagi santai. Ada apa? Ada yang ingin kamu bicarakan? Aku bisa datang ke
“Hen, kerjaan kamu itu sibuk di resto. Apa nggak mengganggu kalo kamu bawa Alan?” Sejak tadi malam Hendra mengatakan akan membawa Alan bekerja, Juwita sudah tidak setuju. Menurutnya, Alan akan lebih baik tinggal di rumah sebab ada Ratih yang akan mengurus anak itu. Tapi sudah sekuat apa pun Juwita meyakinkan, Hendra tetap saja berkeras akan membawa Alan bersamanya. “Jangan bikin Alan jadi kesulitan, Hen. Lebih baik Alan di rumah saja bareng Ratih,” ucap Juwita lagi, berharap Hendra mungkin akan mengalah. “Nggak apa-apa, Wi. Aku sudah jarang main sama Alan, sesekali bawa ke tempat kerja juga nggak masalah, kok. Lagian, di resto banyak karyawan yang bisa lihat Alan, kalo aku sibuk banget.” Hendra mengenakan jaket pada Alan, mempersiapkan anak itu untuk ikut dengannya. Sebenarnya dia merasa bersalah pada Juwita, karena harus berbohong perihal Alan. Hendra tidak mungkin memberitahu padanya kalau Alan akan dipertemukan dengan Lilis, hal itu bisa melukai perasaan Juwita dan membuat is
Sejenak Hendra menunduk. Dia menatap lantai di bawah kakinya dan memikirkan pertanyaan itu. Cinta... Hendra tersenyum kecil.Tentu saja dia mencintai Juwita, dan cinta itu pula yang membuatnya selalu sabar dengan semua cobaan pernikahan mereka. Tapi Hendra tidak akan lupa bahwa cinta pula yang membuatnya menjadi suami yang terjual. Karena rasa cintanya pada Lilis dan tidak ingin istrinya bercerai, Hendra yang bodoh pun menerima pernikahan tertulis dengan Juwita.Bukankah cinta itu pula yang membuatnya menjadi menderita? Meski sangat mencintai Juwita, Hendra juga ingin mempertahankan harga dirinya.“Mencintai adalah hal yang sangat mematikan, sampai aku menjadi menantu Anda pun itu karena dulu aku mencintai mantan istriku. Jika sekali lagi aku mengalah demi cinta, bukan tak mungkin akan kehilangan harga diri lagi. Maka kuputuskan, bercerai adalah jalan yang sudah sepatutnya,” ucap Hendra dengan yakin.Juwita tidak kuasa mendengar perkataan Hendra, air matannya mengalir lebih deras oleh
Hendra mengangguk, tidak ingin mengulur waktu sehingga membuat orang-orang berharap banyak padanya. Semuanya harus diakhiri agar Juwita tidak terus merendahkannya.“Nggak mungkin,” bisik Juwita patah hati, kedua tangan memegangi kepalanya yang belum mampu menerima kenyataan. “Kamu nggak mungkin menanda tanganinya, kamu pasti berbohong.” Dia tatap suaminya dengan mata memelas, sungguh tidak Juwita harapkan benar-benar bercerai dari Hendra.“Maaf mengecewakan kamu. Tapi... kedatanganku ke sini untuk mengantarkan surat cerai itu.” Hendra mengeluarkan amplop yang Juwita kirimkan itu, dan membuka bagian yang sudah dia tanda tangani. Dia letakkan berkas itu di atas meja agar semua orang bisa melihatnya. “Aku hanya mengabulkan permintaan kamu. Dan lagi, aku rasa kita tidak mungkin meneruskan pernikahan yang sejak awal tidak sehat. Aku tidak ingin terus dikenal sebagai suami yang dibeli, maka itu memang sebaiknya kita bercerai saja.”Sebagai lelaki, Hendra punya harga diri. Meski di awal sud
Berkali-kali Juwita melirik ke pintu utama rumah orang tuanya. Duduknya tak bisa diam, bergeser setiap menit seakan tidak sabaran. Sofa yang didesain sangat empuk itu seakan tidak nyaman menjadi tempatnya. Dia melirik lagi, dan itu terus saja terulang setiap kali dia mendengar suara pergerakan seseorang di sekitarnya.Maria mengamati putrinya itu dari anak tangga, tampak penyesalan dan ragu-ragu di wajah cantik Juwi yang belakangan ini terlihat semakin kurus. Dia mendatangi putrinya dan duduk di sebelah Juwi.“Wi, tenangkan dirimu,” kata Maria, mungkin dengan ucapan itu putrinya bisa merasa lebih baik. “Pikirkan anak di kandungan kamu. Jika mamanya stres, anak kamu juga akan ikut stres di dalam sana.Mata sayu Juwi menatap mamanya ragu dan dia berkata, “Entah lah, Ma. Aku tidak bisa tenang sebelum melihat Hendra datang. Aku takut jika dia tidak benar-benar menemuiku,” katanya.Hendra memang tidak pernah berkata akan datang menemui Juwita, melainkan Armaja lah yang akan ditemui lelaki
Setelah mendapatkan bukti itu, polisi langsung memeriksanya. Benar saja, video yang Steve berikan sebagai bukti jelas adalah editan. Banyak bukti yang Armaja bawa sehingga Steve tidak bisa berkutik sekarang. Bukan hanya itu, Armaja juga berhasil menangkap pelaku yang selama ini bersembunyi di belakang Steve, sebagai orang yang mengunggah di media sosial.“Bukan saya yang bersalah, Pak! Dia yang lebih dulu memukul saya!” Steve meronta di tangan polisi. Dia terus menuduh Hendra lah yang sudah memukulnya terlebih dahulu, tapi bukti-bukti yang dibawa oleh Armaja tidak bisa dibohongi.Hendra yang masih sangat shock dengan kejadian ini, hanya bisa diam menyaksikan Armaja dan polisi menyelesaikan masalah mereka. Lelaki itu memeluk putranya erat, menenangkan Alan yang masih sesunggukan.“Dia yang memukul saya! Dia yang seharusnya ditangkap!” Steve menunjuk-nunjuk pada Hendra, sangat memuakkan. Bahkan ketika semua bukti sudah terarah padanya, lelaki itu masih saja ingin menyalahkan Hendra.And
Jalan raya itu sangat ramai oleh mobil-mobil yang berlalu lalang. Tak ada cela jika pun Hendra ingin lari dari kejaran polisi yang tengah menunggunya di luar sana. Pasrah. Hanya itu yang bisa Hendra lakukan sekarang. Dia tidak mungkin berlarian di jalanan menggendong Alan, seperti yang tadi dilakukannya. Bisa-bisa membuat Alan menjadi celaka.“Pak, bagaimana selanjutnya? Kita tidak bisa lewat, apakah kita harus menabrak mobil lainnya agar memberikan jalan?” tanya Rahmat dari bangku kemudi, dia tidak rela bosnya tertangkap begitu saja.Akan tetapi, Hendra sudah lelah. Perkataan Rahmat terlalu berisiko dan dia tidak ingin membuat masalah yang lebih besar.Dia melepaskan sebelah tangan dari punggung Alan, kemudian membuka pintu mobil itu sangat pelan.“Pak, jangan keluar. Bagaimana nasib Alan jika bapak sampai ke kantor polisi?” Rahmat masih mengingatkan.“Kita tidak mungkin membuat masalah yang lebih besar lagi, Mat. Aku tidak ingin kamu ikut ke dalam masalah ini.” Dia pun keluar dari
Taksi yang Hendra tumpangi dengan Alan pun meluncur di jalanan. Sopir taksi itu merasa iba melihat Alan yang menangis berkata takut, dia membayangkan andaikan dirinya bersama anaknya yang ada di posisi Hendra sekarang. Meski sebenarnya pak sopir juga terlihat ketakutan, wajahnya berkeringat saat melihat dua petugas polisi dari kaca spion-nya.“Bapak ini mau ke mana, toh? Saya nggak berani kalo Suria Hotel, itu terlalu jauh, takutnya dikejar sama polisi. Saya juga punya anak istri, Pak, tidak berani berurusan dengan mereka,” kata pak sopir, nadanya gemetar saat bertanya.Hendra pun tidak mungkin melibatkan orang lain dalam kasusnya. Suria Hotel terbilang jauh dari posisi mereka sekarang, sangat benar yang dikatakan sang sopir kalau petugas kepolisian itu mungkin tengah mengejarnya. Lagian, Hendra juga tidak mungkin pergi ke sana lagi, akan sangat gampang jika polisi melacaknya.Beruntung saja ponselnya terselip di saku celana Hendra, sehingga dia bisa menghubungi Rahmat untuk meminta
Ketika Hendra masih memaksa Lilis agar keluar dari mobilnya, dua mobil lainnya datang ke tempat itu. Berhenti tepat di sebelah Hendra, membuatnya bertanya-tanya siapa kira-kira orang yang datang di dalam sana. Hendra menghela napas panjang ketika melihat itu adalah Steve dan beberapa orang dengan kamera besar.Reporter lagi?Astaga... entah sampai kapan Hendra harus bertemu dengan orang-orang itu, dia sudah sangat lelah.Tidak cukup hanya Steve dan reporter saja yang datang ke sana. Tidak lebih dari dua menit, ada mobil polisi yang juga ikut parkir di halaman warga yang luas itu. Entah apa yang akan terjadi di ke depan nanti, Hendra sudah sangat lelah berpikir. Menghadapi Lilis saja sudah membuatnya kesulitan, kenapa Steve harus datang ke sini membawa reporter dan polisi?“Itu perempuan yang menghancurkan kaca mobil saya, tolong tangkap dia, Pak. Meski Lisa adalah istri saya, saya tidak terima mobil saya dirusak begitu saja,” kata Steve pada polisi, menunjuk Lilis di dalam mobil Hendr
“Jangan bawa Alan, Hendra! Kamu nggak boleh bawa dia sebelum kasih duit ke aku!”Hendra sudah berhasil merebut paksa Alan dari Lilis dan Ratna, tapi saat akan membawanya masuk ke mobil, Lilis segera menghentikan Hendra. Perempuan itu betul-betul tak merelakan Hendra pergi tanpa memberinya uang. Lilis bahkan bergantung di kaki Hendra, memegangi agar lelaki itu tidak bisa bergerak.“Kasih aku uang dulu! Kamu nggak boleh pergi dari sini sebelum ngasih aku uang!” kata Lilis terus berteriak, memeluk kaki Hendra sangat erat.Setiap kali Hendra akan melangkah, kakinya selalu ditahan oleh Lilis. Bahkan hampir saja Hendra terjatuh karena tidak bisa menjaga keseimbangan.“Lepasin, Lilis! Kamu ini jangan bikin malu!” Hendra berkata geram, orang-orang sudah berkerumun menyaksikan mereka di halaman itu. Sudah seperti suami kejam saja Hendra dengan posisi Lilis memeluk kakinya.“Nggak! Aku nggak bakal lepasin kaki kamu, sebelum kasih aku uang!” sahut Lilis semakin mempererat pelukannya di kaki Hend
Dalam kecewanya yang mendalam terhadap Steve, Lilis mencengkeram baju lelaki itu, lalu merosot perlahan-lahan. Saat itu dia mendengar deru mesin mobil di sebelahnya, dalam keputusasaan dia melihat ke kanan, berharap seseorang mungkin mendengar pertengkarannya dengan Steve. Mungkin seseorang itu bisa bersaksi untuk Lilis, bahwa semua ini sudah direncanakan Steve, dan laki-laki itu adalah alasannya bercerai dari Hendra.“He-Hendra. I-itu Hendra!” seru Lilis penuh harap. Dia berpikir Hendra bisa membantunya untuk itu.Namun, benarkah Hendra mau membantunya? Meski laki-laki itu mendengar pertengkarannya dengan Steve, Hendra tidak mungkin mau membantu Lilis. Harapan yang tadi sempat singgah, perlahan menjadi rasa takut.“Tidak! Dia tidak boleh mengambil Alan!” seru Lilis lantas berdiri. “Jangan ambil Alan! Alan milikku!”Tidak Lilis hiraukan lagi Steve yang kebingungan melihatnya, Lilis sudah berlari kembali ke dalam mobil. Dia harus menghentikan Hendra sebelum lebih dulu mengambil Alan.