“Hen, kerjaan kamu itu sibuk di resto. Apa nggak mengganggu kalo kamu bawa Alan?” Sejak tadi malam Hendra mengatakan akan membawa Alan bekerja, Juwita sudah tidak setuju. Menurutnya, Alan akan lebih baik tinggal di rumah sebab ada Ratih yang akan mengurus anak itu. Tapi sudah sekuat apa pun Juwita meyakinkan, Hendra tetap saja berkeras akan membawa Alan bersamanya. “Jangan bikin Alan jadi kesulitan, Hen. Lebih baik Alan di rumah saja bareng Ratih,” ucap Juwita lagi, berharap Hendra mungkin akan mengalah. “Nggak apa-apa, Wi. Aku sudah jarang main sama Alan, sesekali bawa ke tempat kerja juga nggak masalah, kok. Lagian, di resto banyak karyawan yang bisa lihat Alan, kalo aku sibuk banget.” Hendra mengenakan jaket pada Alan, mempersiapkan anak itu untuk ikut dengannya. Sebenarnya dia merasa bersalah pada Juwita, karena harus berbohong perihal Alan. Hendra tidak mungkin memberitahu padanya kalau Alan akan dipertemukan dengan Lilis, hal itu bisa melukai perasaan Juwita dan membuat is
Hendra sudah berangkat ke resto setelah memastikan Alan mau tinggal dengan Lilis. Sekarang Lilis membawa anak itu ke sebuah panti asuhan, yang terdapat beberapa anak bayi sedang tidur di dalam boks-nya. Sesuai yang dia janjikan pada Alan, dia terpaksa memberikan sumbangan untuk panti itu hanya agar Alan bisa melihat banyak bayi.Hal itu ternyata sangat disukai Alan. Anak itu berpindah dari boks satu ke boks yang lainnya untuk melihat wajah bayi-bayi bernasib malang yang ditinggalkan orang tuanya di tempat itu. Alan belum paham apa yang membuat bayi-bayi itu berada di sana, yang dia tahu tempat ini hanyalah gudangnya bayi-bayi lucu dan menggemaskan.“Alan suka lihat adik bayinya?” tanya Lilis, mengikuti Alan dari belakang.Alan mengangguk dua kali. “Suka!” serunya girang. Tak dia alihkan tatapannya dari bayi yang kini sedang dia sentuh selimutnya. “Tapi kenapa meleka semua tidul, Tante?”“Lagi jam tidurnya. Nanti kalo sudah lapar, mereka akan bangun. Alan nggak boleh ganggu ya, cukup l
“Kalian di mana? Aku harus jemput Alan sekarang,” kata Hendra di dalam telepon. Ini sudah akan masuk jam makan siang, dan sesuai perjanjian dia akan menjemput anak itu dari Lilis sebab Hendra harus menemui Juwita. Dia tidak ingin Juwita menjadi curiga jika tidak membawa Alan bersamanya.Begitu mendapat jawaban dari Lilis, Hendra langsung berangkat menemuinya di tempat yang Lilis sebutkan. Tidak terlalu jauh dari mal tempatnya berada, hanya selang sepuluh menit saja Hendra sudah tiba di tempat permainan anak-anak yang sedang sangat ramai. Ternyata Lilis bisa juga menyenangkan anak mereka, sehingga Alan menikmati harinya.“Alan ketiduran, kayaknya dia kecapekan habis bermain,” ucap Lilis menyambut kedatangan lelaki itu. Benar saja, Alan sedang tertidur di dalam pangkuan mantan istrinya.“Tak apa, aku akan menggendongnya,” kata Hendra, sejujurnya dia tidak ingin berlama-lama bersama Lilis, meski sudah mengizinkannya bertemu dengan Alan, cukup lah pertemuan mereka hanya karena Alan.Ak
Hendra terpaksa mengantarkan Alan kembali ke rumah, sebab sudah menunggu beberapa saat anak itu masih belum juga bangun dari tidurnya. Hendra sendiri sudah jengah berada di dekat Lilis yang terus saja mencari-cari kesalahannya. Begitu mengantarkan Alan ke rumah, dia segera menemui Juwita. Istrinya sudah lebih dulu menunggu di restoran dekat perusahaan. Tak ada waktu panjang lagi untuk berdiskusi akan makan siang di mana mereka.“Bagaimana kerjanya sambil ngasuh anak? Alan nggak ganggu, kan? Kerjaan kamu aman semua, kan?” tanya Juwita, sembari menikmati makan siang yang sudah tersaji di depan mata.Akan tetapi, pertanyaan itu ternyata membuat Hedra kurang senang. “Alan bukan pengganggu, dia sama sekali tidak memberatkanku,” sahut Hendra, nadanya sedikit ketus membuat Juwita yang tadi sedang fokus dengan makanannya, segera mengalihkan wajah melihat Hendra.“Ada apa? Kayaknya hari kamu kurang menyenangkan?” Juwita bertanya lagi, dia tidak merasa ada yang salah hari ini.“Nggak kok, aku b
Hendra berkata Juwita fokus saja pada kehamilannya, agar tidak menjadi sakit dan stress, tapi nyatanya lelaki itu sudah membuat Juwi merasa sangat sakit. Sakit hati yang tidak dilihat suaminya, justru Hendra sudah terlihat sibuk dengan makan siangnya.Juwita tidak ingin melanjutkan lagi perdebatan itu, dia tak mau jika mulutnya terbuka sekali lagi, justru akan membuat mereka menjadi saling menyakiti. Mungkin Hendra memang sedang ada masalah, Juwi memberinya waktu untuk menyelesaikan masalah itu lalu nanti kembali seperti semula.“Kamu langsung ke resto?”Kini keduanya sudah berdiri di lobi perusahaan. Setiap kali selesai mengantarkan Juwi makan siang, biasanya Hendra selalu ikut mengantarkan Juwi sampai ke ruangannya bahkan menghabiskan waktu beberapa saat sebelum berangkat. Tapi kali ini, sepertinya Hendra sangat terburu-buru sampai tak bisa mengantar Juwi ke lantai atas.“Banyak kerjaan, aku nggak bisa berlama-lama. Kamu naik lah ke atas,” kata Hendra, tidak menjelaskan persis apa p
[Mari bertemu sekarang, aku butuh penjelasanmu!]“Baik lah, Sayang... mari kita bertemu. Kamu pasti sangat merindukan aku, kan?”Lilis tertawa seperti orang gila membaca balasan pesan dari Hendra. Benar sekali dugaannya, tidak sampai lima menit sejak dia mengirimi pesan pada laki-laki itu, Hendra sudah mengajaknya bertemu. Rencana yang dia susun tidak akan sia-sia, Lilis sangat yakin itu.Masih dengan gelak tawa yang tidak bisa dihentikan, Lilis segera menemui Hendra di tempat yang dijanjikan lelaki itu. Beribu rencana dan jawaban sudah dia persiapkan di dalam kepala, sehingga tak akan sulit bagi Lilis menjawab setiap pertanyaan dari Hendra nanti.Begitu melihat Lilis datang, Hendra berdiri dan menghampiri perempuan itu. wajahnya sangat menegangkan sudah seperti karet yang ditarik kencang. Hendra mencengkeram kedua pundak Lilis dan berkata dengan gigi terkatup.“Apa maksud pesan kamu? Jangan membuat omong kosong untuk merusak rumah tanggaku!”Merusak rumah tangga, entah kenapa Lilis
“Tidak! Itu tidak mungkin!”Hendra berbicara sendiri, tak lupa tangannya memukul stir mobil untuk melampiaskan rasa marah di dalam dada. Setiap kali ucapan Lilis selalu berputar di dalam kepala, mempermainkan emosi laki-laki itu sehingga membuatnya tak bisa tenang. Dia tidak mungkin bisa menerima bahwa anak yang ada di rahim Juwita adalah milik Arman.“Si brengsek itu tidak menyentuh istriku,” katanya lagi, meyakinkan diri bahwa saat itu Arman tidak sampai menyentuh Juwita.Namun, bagaimana pun dia ingin mengelak kenyataan, Hendra tidak bisa lupa dengan bukti yang dia temukan di tempat kejadian. Juwita dan Arman tidak mengenakan pakaian, dan saat itu istrinya sangat berhasrat atas dorongan dari obat sialan yang Arman cekoki pada Juwita. Siapa yang bisa mengetahui kalau hari itu Arman sudah melakukannya? Tentu Juwita tak bisa mengelak, sebab dia pikiran orang yang sedang dilanda nafsu pasti lah tak terkontrol.“Sial! Sial! Sial!” teriak Hendra, tak kuasa dia mengingat lagi kejadian saa
Semua rumah tangga memiliki masalah, baik itu masalah besar atau kecil, tak ada yang berjalan mulus dan lempeng begitu saja. Tapi sekecil apa pun masalahnya, tidak akan berakhir jika keduanya hanya berdiam diri. Masalah memerlukan solusi agar tidak menjadi bumerang di satu hari nanti, dan menimbulkan masalah yang lebih besar lagi.Juwita memutuskan mendatangi Hendra ke resto untuk berbicara dengan suaminya itu, agar perang dingin yang Hendra tunjukkan tidak berlarut-larut. Akan tetapi, Juwi harus kecewa ketika tidak mendapati Hendra di sana.“Bapak sudah pulang sejak tadi, Bu,” ucap Rahmat, laki-laki muda yang membantu meringankan pekerjaan Hendra di resto.Juwi sangat kecewa, tapi hanya tersenyum yang bisa dia tunjukkan pada laki-laki itu. Tak ada pertanyaan berlanjut yang Juwi suarakan, sehingga orang luar akan tahu bahwa hubungan pernikahannya sedang tidak baik-baik saja. Biar lah pertanyaan itu bertumpuk di kepalanya.“Baik lah. Kalau begitu, saya pergi dulu.”“Hati-hati di jalan
Sejenak Hendra menunduk. Dia menatap lantai di bawah kakinya dan memikirkan pertanyaan itu. Cinta... Hendra tersenyum kecil.Tentu saja dia mencintai Juwita, dan cinta itu pula yang membuatnya selalu sabar dengan semua cobaan pernikahan mereka. Tapi Hendra tidak akan lupa bahwa cinta pula yang membuatnya menjadi suami yang terjual. Karena rasa cintanya pada Lilis dan tidak ingin istrinya bercerai, Hendra yang bodoh pun menerima pernikahan tertulis dengan Juwita.Bukankah cinta itu pula yang membuatnya menjadi menderita? Meski sangat mencintai Juwita, Hendra juga ingin mempertahankan harga dirinya.“Mencintai adalah hal yang sangat mematikan, sampai aku menjadi menantu Anda pun itu karena dulu aku mencintai mantan istriku. Jika sekali lagi aku mengalah demi cinta, bukan tak mungkin akan kehilangan harga diri lagi. Maka kuputuskan, bercerai adalah jalan yang sudah sepatutnya,” ucap Hendra dengan yakin.Juwita tidak kuasa mendengar perkataan Hendra, air matannya mengalir lebih deras oleh
Hendra mengangguk, tidak ingin mengulur waktu sehingga membuat orang-orang berharap banyak padanya. Semuanya harus diakhiri agar Juwita tidak terus merendahkannya.“Nggak mungkin,” bisik Juwita patah hati, kedua tangan memegangi kepalanya yang belum mampu menerima kenyataan. “Kamu nggak mungkin menanda tanganinya, kamu pasti berbohong.” Dia tatap suaminya dengan mata memelas, sungguh tidak Juwita harapkan benar-benar bercerai dari Hendra.“Maaf mengecewakan kamu. Tapi... kedatanganku ke sini untuk mengantarkan surat cerai itu.” Hendra mengeluarkan amplop yang Juwita kirimkan itu, dan membuka bagian yang sudah dia tanda tangani. Dia letakkan berkas itu di atas meja agar semua orang bisa melihatnya. “Aku hanya mengabulkan permintaan kamu. Dan lagi, aku rasa kita tidak mungkin meneruskan pernikahan yang sejak awal tidak sehat. Aku tidak ingin terus dikenal sebagai suami yang dibeli, maka itu memang sebaiknya kita bercerai saja.”Sebagai lelaki, Hendra punya harga diri. Meski di awal sud
Berkali-kali Juwita melirik ke pintu utama rumah orang tuanya. Duduknya tak bisa diam, bergeser setiap menit seakan tidak sabaran. Sofa yang didesain sangat empuk itu seakan tidak nyaman menjadi tempatnya. Dia melirik lagi, dan itu terus saja terulang setiap kali dia mendengar suara pergerakan seseorang di sekitarnya.Maria mengamati putrinya itu dari anak tangga, tampak penyesalan dan ragu-ragu di wajah cantik Juwi yang belakangan ini terlihat semakin kurus. Dia mendatangi putrinya dan duduk di sebelah Juwi.“Wi, tenangkan dirimu,” kata Maria, mungkin dengan ucapan itu putrinya bisa merasa lebih baik. “Pikirkan anak di kandungan kamu. Jika mamanya stres, anak kamu juga akan ikut stres di dalam sana.Mata sayu Juwi menatap mamanya ragu dan dia berkata, “Entah lah, Ma. Aku tidak bisa tenang sebelum melihat Hendra datang. Aku takut jika dia tidak benar-benar menemuiku,” katanya.Hendra memang tidak pernah berkata akan datang menemui Juwita, melainkan Armaja lah yang akan ditemui lelaki
Setelah mendapatkan bukti itu, polisi langsung memeriksanya. Benar saja, video yang Steve berikan sebagai bukti jelas adalah editan. Banyak bukti yang Armaja bawa sehingga Steve tidak bisa berkutik sekarang. Bukan hanya itu, Armaja juga berhasil menangkap pelaku yang selama ini bersembunyi di belakang Steve, sebagai orang yang mengunggah di media sosial.“Bukan saya yang bersalah, Pak! Dia yang lebih dulu memukul saya!” Steve meronta di tangan polisi. Dia terus menuduh Hendra lah yang sudah memukulnya terlebih dahulu, tapi bukti-bukti yang dibawa oleh Armaja tidak bisa dibohongi.Hendra yang masih sangat shock dengan kejadian ini, hanya bisa diam menyaksikan Armaja dan polisi menyelesaikan masalah mereka. Lelaki itu memeluk putranya erat, menenangkan Alan yang masih sesunggukan.“Dia yang memukul saya! Dia yang seharusnya ditangkap!” Steve menunjuk-nunjuk pada Hendra, sangat memuakkan. Bahkan ketika semua bukti sudah terarah padanya, lelaki itu masih saja ingin menyalahkan Hendra.And
Jalan raya itu sangat ramai oleh mobil-mobil yang berlalu lalang. Tak ada cela jika pun Hendra ingin lari dari kejaran polisi yang tengah menunggunya di luar sana. Pasrah. Hanya itu yang bisa Hendra lakukan sekarang. Dia tidak mungkin berlarian di jalanan menggendong Alan, seperti yang tadi dilakukannya. Bisa-bisa membuat Alan menjadi celaka.“Pak, bagaimana selanjutnya? Kita tidak bisa lewat, apakah kita harus menabrak mobil lainnya agar memberikan jalan?” tanya Rahmat dari bangku kemudi, dia tidak rela bosnya tertangkap begitu saja.Akan tetapi, Hendra sudah lelah. Perkataan Rahmat terlalu berisiko dan dia tidak ingin membuat masalah yang lebih besar.Dia melepaskan sebelah tangan dari punggung Alan, kemudian membuka pintu mobil itu sangat pelan.“Pak, jangan keluar. Bagaimana nasib Alan jika bapak sampai ke kantor polisi?” Rahmat masih mengingatkan.“Kita tidak mungkin membuat masalah yang lebih besar lagi, Mat. Aku tidak ingin kamu ikut ke dalam masalah ini.” Dia pun keluar dari
Taksi yang Hendra tumpangi dengan Alan pun meluncur di jalanan. Sopir taksi itu merasa iba melihat Alan yang menangis berkata takut, dia membayangkan andaikan dirinya bersama anaknya yang ada di posisi Hendra sekarang. Meski sebenarnya pak sopir juga terlihat ketakutan, wajahnya berkeringat saat melihat dua petugas polisi dari kaca spion-nya.“Bapak ini mau ke mana, toh? Saya nggak berani kalo Suria Hotel, itu terlalu jauh, takutnya dikejar sama polisi. Saya juga punya anak istri, Pak, tidak berani berurusan dengan mereka,” kata pak sopir, nadanya gemetar saat bertanya.Hendra pun tidak mungkin melibatkan orang lain dalam kasusnya. Suria Hotel terbilang jauh dari posisi mereka sekarang, sangat benar yang dikatakan sang sopir kalau petugas kepolisian itu mungkin tengah mengejarnya. Lagian, Hendra juga tidak mungkin pergi ke sana lagi, akan sangat gampang jika polisi melacaknya.Beruntung saja ponselnya terselip di saku celana Hendra, sehingga dia bisa menghubungi Rahmat untuk meminta
Ketika Hendra masih memaksa Lilis agar keluar dari mobilnya, dua mobil lainnya datang ke tempat itu. Berhenti tepat di sebelah Hendra, membuatnya bertanya-tanya siapa kira-kira orang yang datang di dalam sana. Hendra menghela napas panjang ketika melihat itu adalah Steve dan beberapa orang dengan kamera besar.Reporter lagi?Astaga... entah sampai kapan Hendra harus bertemu dengan orang-orang itu, dia sudah sangat lelah.Tidak cukup hanya Steve dan reporter saja yang datang ke sana. Tidak lebih dari dua menit, ada mobil polisi yang juga ikut parkir di halaman warga yang luas itu. Entah apa yang akan terjadi di ke depan nanti, Hendra sudah sangat lelah berpikir. Menghadapi Lilis saja sudah membuatnya kesulitan, kenapa Steve harus datang ke sini membawa reporter dan polisi?“Itu perempuan yang menghancurkan kaca mobil saya, tolong tangkap dia, Pak. Meski Lisa adalah istri saya, saya tidak terima mobil saya dirusak begitu saja,” kata Steve pada polisi, menunjuk Lilis di dalam mobil Hendr
“Jangan bawa Alan, Hendra! Kamu nggak boleh bawa dia sebelum kasih duit ke aku!”Hendra sudah berhasil merebut paksa Alan dari Lilis dan Ratna, tapi saat akan membawanya masuk ke mobil, Lilis segera menghentikan Hendra. Perempuan itu betul-betul tak merelakan Hendra pergi tanpa memberinya uang. Lilis bahkan bergantung di kaki Hendra, memegangi agar lelaki itu tidak bisa bergerak.“Kasih aku uang dulu! Kamu nggak boleh pergi dari sini sebelum ngasih aku uang!” kata Lilis terus berteriak, memeluk kaki Hendra sangat erat.Setiap kali Hendra akan melangkah, kakinya selalu ditahan oleh Lilis. Bahkan hampir saja Hendra terjatuh karena tidak bisa menjaga keseimbangan.“Lepasin, Lilis! Kamu ini jangan bikin malu!” Hendra berkata geram, orang-orang sudah berkerumun menyaksikan mereka di halaman itu. Sudah seperti suami kejam saja Hendra dengan posisi Lilis memeluk kakinya.“Nggak! Aku nggak bakal lepasin kaki kamu, sebelum kasih aku uang!” sahut Lilis semakin mempererat pelukannya di kaki Hend
Dalam kecewanya yang mendalam terhadap Steve, Lilis mencengkeram baju lelaki itu, lalu merosot perlahan-lahan. Saat itu dia mendengar deru mesin mobil di sebelahnya, dalam keputusasaan dia melihat ke kanan, berharap seseorang mungkin mendengar pertengkarannya dengan Steve. Mungkin seseorang itu bisa bersaksi untuk Lilis, bahwa semua ini sudah direncanakan Steve, dan laki-laki itu adalah alasannya bercerai dari Hendra.“He-Hendra. I-itu Hendra!” seru Lilis penuh harap. Dia berpikir Hendra bisa membantunya untuk itu.Namun, benarkah Hendra mau membantunya? Meski laki-laki itu mendengar pertengkarannya dengan Steve, Hendra tidak mungkin mau membantu Lilis. Harapan yang tadi sempat singgah, perlahan menjadi rasa takut.“Tidak! Dia tidak boleh mengambil Alan!” seru Lilis lantas berdiri. “Jangan ambil Alan! Alan milikku!”Tidak Lilis hiraukan lagi Steve yang kebingungan melihatnya, Lilis sudah berlari kembali ke dalam mobil. Dia harus menghentikan Hendra sebelum lebih dulu mengambil Alan.